13

Happy reading sista😘

****

Eru menatap langit-langit kamar kostnya, ia tengah memikirkan Arumi. Wanita itu berhasil mencuri perhatian sejak ia bertemu di taman dua setengah tahun lalu. Entahlah, kenapa Eru sangat menginginkan Arumi bahkan saat ia bersama Ara dirinya biasa saja.

Ara wanita yang ia cinta selama dua tahun pergi hanya karena laki-laki lebih kaya darinya, ia memang sempat terpuruk karena Ara tapi tidak lama. Setelahnya ia hanya menutup diri dari makhluk bernama wanita.

Bisa saja saat itu ia membuat Ara kembali padanya tapi tidak ia dilakukannya. Sudah cukup baginya mengetahui kalau Ara bukan wanita baik. Ia menghela napas panjang, Arumi benar-benar mempengaruhinya. Wanita itu jika di banding dengan kekasihnya yang lain biasa saja, tapi ada sesuatu dalam dirinya Arumi mampu menarik perhatian Eru. Ia jadi teringat obrolannya dengan Arlan.

"Apalagi kali ini?" tanya Arlan.

"Biasa hama kecil," jawabnya.

"Lo jangan aneh-aneh, main tebas sembarangan. Lo kira pohon pisang,  gila aja! Itu nyawa woy," Eru hanya mengangkat bahunya, "lagian ya kalau sampai Arum tau lo apa-apain itu cowok yang ada Arum makin jauh dan benci lo."

Eru diam memikirkan kata-kata Arlan, ada benarnya juga yang dikatakan sahabatnya ini. Arumi mungkin akan semakin membencinya, itu artinya perjuangan dia selama satu tahun akan sia-sia. Bahkan keluarga Arumi juga akan benci.

Mungkin ia harus mencoba saran Sadewo dan Nisa, memberi waktu dan bermain cantik. Ia harus mencari sekutu untuk menjalankannya rencananya. Eru segera mengambil handphone di saku celananya, Eru menepuk dahinya ia hampir lupa menelepon Seno. Baiklah ia akan menelpon pria itu sebelum menelpon seseorang.

"Hallo!"

"...."

"Seno awasi saja, jangan melakukan apapun. Jaga jarakmu, jangan sampai mereka tau. Satu lagi pastikan laki-laki itu tidak berbuat macam-macam pada Arumi."

"...."

"Aku tunggu terus laporanmu. Pastikan Arumi selamat sampai rumah."

Eru mematikan sambungan telepon dengan Seno. Ia harus pulang, memastikan keadaan rumah baik-baik saja.

*****

"Makasih ya. Udah traktir makan juga anterin pulang," Arumi dan Sendy saat ini didepan rumah Arumi.

"Sama-sama, apa sih yang nggak buat cewek cantik kayak lo," balas Sendy.

"Prett! Gombalan receh lo.  Masuk dulu yuk," tawar Arumi sekedar basa-basi.

"Nggak deh, lain kali aja ya," tolak Sendy. Kemudian dia masuk lagi ke mobil dan menjalankan mobil meninggalkan rumah Arumi.

Arumi masuk ke rumah, di ruang tengah ada ayahnya dan Eru. Ibunya mungkin masih sholat, wajar saja ini sudah jam delapan malam. Arumi menyalami ayahnya kemudian duduk di sebelah ayahnya.

"Dari mana tumben nggak bareng Eru?" tanya ayahnya begitu Arumi duduk.

"Jalan sama Sendy, Yah," jawabnya, "ibu mana?"

"Sholat, udah lama kamu nggak nemenin ayah nonton tv."

"Ini ditemenin," Arumi mengambil toples isi camilan kesukaannya. Matanya melirik pada Eru. Keningnya mengkerut tumben laki-laki itu diam saja, biasanya ada saja ulahnya.

Arumi mengangkat bahu tidak peduli. Baguslah akhirnya Eru sadar kalau dirinya tak semudah itu cinta kepadanya. Akhirnya pria itu menyerah mengganggunya.

"Gimana, Ru, jadi pindah kesini?" tanya ayahnya.

Arumi sontak menoleh ke ayahnya dengan dahi berkerut, "Ayah! Kenapa nawarin Eru pindah ke sini? Emang udah nggak kuat bayar kost?" protesnya.

"Memangnya kenapa? Kamu keberatan?" Sadewo balik tanya.

"Jelas Ayah! Arum nggak suka dia pindah kesini. Lagian apa kata orang kalau tau ada orang asing tinggal di sini?" bantah Arumi. Kenapa jadi semakin di luar kendali.

"Eru bukan orang asing, Rum. Dia mantu Ayah kok," ujar Sadewo tidak mau kalah.

"Ayah!! Udah berapa kali Arum bilang kalau Arum itu---"

"Iya Ayah tau kamu nggak mau kan nikah sama dia, ya sudah nggak apa-apa. Tapi Eru tetep tinggal disini sebagai anak ayah."

Arumi sedikit bernapas lega ayahnya tidak memaksanya menikah dengan Eru. Tapi apa perlu harus tinggal di sini? Arumi tidak habis pikir. Sedang Eru diam saja melihat Sadewo dan Arumi berdebat. Ia tidak ambil pusing asal tujuannya tercapai.

"Tapi, Yah--" Arumi ingin protes langsung disela ayahnya lagi

"Ayah nggak mau denger bantahan lagi. Lagipula Ayah udah lama kepingin punya anak laki-laki," sambung Sadewo, "Ayah udah terima keputusanmu sekarang kamu harus terima keputusan, Ayah."

"Terserah Ayah! Arum naik dulu," bisa-bisa darah tinggi kalau dirinya terus berdebat sama ayahnya.

*****

Waktu Arumi turun dari kamarnya untuk sarapan, di sana hanya ada ayah dan ibunya saja. Ini yang ia rindukan makan bertiga tanpa ada gangguan dari kecoa bau itu.

"Pagi Ayah, Ibu," ia mencium bergantian pipi ayah dan ibunya lalu duduk di kursinya.

"Pagi, Rum," jawab ibunya, "ayo cepet sarapan."

Sadewo melipat koran yang dibacanya, diberikan ke Nisa untuk diletakkan di kursi sebelah Nisa, "ini kunci motor sama mobil yang Ayah sita. Mulai hari ini kamu berangkat sendiri, Eru nggak akan barengin kamu," Sadewo meletakkan kunci-kunci itu, mendorong pelan ke Arumi.

"Beneran, Yah?" Arumi sontak berdiri memeluk ayahnya dengan senyum lebar di bibirnya, "makasih.. makasih..." ucapnya mencium pipi ayahnya.

"Udah udah..geli, Ayah," Sadewo mendorong Arumi pelan agar melepaskan pelukannya.

'mimpi apa dirinya semalam, ayahnya tiba-tiba ngasih kunci motor dan mobilnya' batin Arumi

"Bu! Ayah kenapa sih? Kalo baik gini Arum malah takut," ucap Arum

"Kamu ini," Nisa memukul tangan Arum, "dibaikin salah, ntar dijahatin katanya nggak sayang. Repot!"

"Abis Ayahkan kalau dah mau nya nggak bisa dibantah, ini tiba-tiba baik Arum jadi curiga."

"Ya sudah balikin kunci motornya," pinta ayah. Arumi menggeleng mana mau kembalikan kunci ini.

Arumi berangkat sesudah membantu Nisa membereskan piring bekas mereka sarapan. Arumi seperti ayam lepas dari kurungan, ia bebas!

******

Ia masuk kantor dengan wajah ceria, senyum lebar terus terukir di bibirnya. Ah akhirnya! Ia tidak perlu pusing menghadapi tingkah laku Eru. Tapi pria itu akan tinggal satu rumah dengannya, harga yang harus ia tebus dengan kebebasannya.

Sudahlah! Hal terpenting saat ini adalah ia bebas, ketenangannya akan kembali lagi. Ia naik ke lantai dua, tapi kenapa lantai dua masih sepi? Apa hari ini hari libur atau dirinya kepagian? Ia melihat kalender duduk di ujung meja, tidak ini masih hari rabu. Pasti saking girangnya ia jadi terlalu semangat berangkat kerja.

Ia pun melirik jam yang menempel di dinding. Sudah jam sembilan tapi kenapa masih sepi di sini? Hanya lantai satu dan gudang yang ramai. Ia tidak ambil pusing, ia mulai mengerjakan tugasnya.

Tidak lama mereka berdatangan mulai Riska di susul Meilan. Tidak biasanya mereka telat.

"Tumben pada telat? Kalian janjian ya?" tanyanya.

"Gundulmu! Kebetulan ketemu dibawah," jawab Meilan, "beugh...Malang macetnya udah parah aja."

"Lewat mana sih?" tanya Arumi lagi.

"Jembatan Suhat, gila nggak ada cela dikit aja," Meilan mengelap keringat di pelipisnya.

"Lo juga, Ris?" Arumi mengajukan pertanyaan yang sama.

"Nggak, tadi nganter bunda dulu ke rumah abah."

"Oh.."

"Untung Pak bos belum dateng, bisa kena sp kalian," beritahu Arumi. Ia kembali fokus ke komputer. Kerjaannya banyak kalau tidak cepat diselesaikan bisa-bisa dirinya harus lembur. Meilan dan Riska pun mulai bekerja tanpa banyak omong.

Tapi ia merasa ada yang kurang, matanya menyusuri ruangan. Ah! Ia tahu Vera dan Eru belum datang padahal sudah jam sepuluh lewat. Pak bos juga tidak kelihatan batang hidungnya.

Vera kemana ya? Apa terjadi sesuatu sama dia? Lalu cowok tengil ini kemana lagi jam segini belum kelihatan juga. Dipikir ini kantor punya eyangnya masuk seenak udelnya, dipecat syukurin biar rasa. Tapi kalau dipecat malah bebani ayah dong, kan dia mau pindah kerumah. Tidak! Ini tidak boleh terjadi, ia tidak mau ayahnya harus memberi makan sama pengangguran. Mata Arumi terpejam ia juga menggelengkan kepala membuat Riska dan Meilan heran. Mereka salin lempar isyarat seolah bertanya 'kenapa?'

Sudahlah! Buat apa memikirkan cowok itu tidak ada gunanya. Konsentrasi Arumi buyar mendengar langkah kaki, ia menoleh ke arah tangga begitu juga Riska dan Meilan. Vera naik dipapah sama Eru, sedang Pak Arlan di belakang mereka. Kaki Vera dibalut perban jalannya pincang. Eru memapah sampai di meja Vera kemudian menempatkan kursi milk Vera di belakangnya. Vera duduk, dia sedikit meringis menahan sakit di pergelangan kakinya.

***

Part ini lumayan panjang jadi aku bagi 2 ya...

Makasih yang setia sama cerita ini😁😁...

Mlg,29-9-17

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top