Good

Belum masuk bulan Desember, namun butiran halus itu sudah jatuh dengan perlahan mendarat dengan perlahan pada tubuh Bae Jinyoung. Wanita dengan surai panjang hitam itu menepuk pinggiran jaket kulit gelapnya yang kini dipenuhi titik-titik putih akibat hujan salju yang baru saja dimulai.

Jinyoung mendengus. Ia tidak pernah menyukai salju.

Mata coklatnya mengerling, ia memperhatikan sekitar. Jam di pergelangannya menunjukkan angka sebelas, dia tidak ingin banyak saksi mata melihatnya. Terutama teman-teman satu kampusnya.

Jinyoung sedang dalam perjalanan menuju tempat kerjanya. Wanita muda itu mendudukkan pantatnya di terminal,"sepertinya bus pun mengalami keterlambatan karena salju sialan ini," gumamnya. Nampak beberapa kepulan asap kecil dari mulutnya karena dinginnya udara.

Saat ia tengah merapatkan jaketnya, matanya menangkap sebuah gundukan kecil terselip di antara gelapnya lorong gedung. Awalnya, ia kira gundukan itu hanyalah betumpuk-tumpuk plastik hitam bekas. Namun, gundukan tersebut tiba-tiba naik turun kedinginan.

Jinyoung ingin mengabaikan sosok yang entah apapun itu. Tetapi, rasa penasarannya serta rasa bosannya menungu bus yang tak kunjung datang pun akhirnya memaksa Jinyoung mendekati gundukan itu.

Dia menyeberang ke arah lorong kecil itu. Dari dekat ternyata gundukan itu lebih besar dari dugaannya. Jinyoung mengumpulkan segenap keberaniannya dan menyentuh gundukan itu. "Hey??"

Gundukan itu menoleh. Jinyoung lega karena gundukan itu bukan hantu jejadian tanpa wajah atau semacamnya. Melainkan itu adalah seorang anak kecil dengan beanie hitam, sweater rajut hitam kebesaran, juga celana hitam hangatnya. Usianya sembilan atau sepuluh tahun mungkin?

Dia sejak tadi berjongkok memeluk kakinya sendiri, memunggungi Jinyoung, sehingga dari jauh ia sekilas tampak seperti gundukan plastik-plastik.

"Hey? Are you lost?" Tanya Jinyoung lagi ketika melihat paras anak ini yang tidak sepenuhnya Korea.

Anak itu menggeleng membuat beanienya meorosot menutupi setengah matanya. "I can speak Korean."

Jinyoung mengangguk lalu meraih sapu tangannya, membantu mengelap ingus bocah itu. "Apa yang kamu lakukan disini?"

Anak bersurai anggur itu menatap Jinyoung ragu, dia mempertimbangkan banyak hal.

Tentu saja. Anak kecil pun tahu betapa berbahayanya berbicara dengan orang asing bukan?

Namun Jinyoung makin penasaran, mengapa anak ini bisa tersesat disini. Jinyoung pun tersenyum lalu berkata, "I'm a bad person, kid. But I won't hurt you." Kata Jinyoung lagi memamerkan cengir kudanya. Jinyoung membuka lebar tangannya menunjukkan dia tidak membawa senjata apa-apa.

Anak itu mengusap matanya yang kini memerah. Dia tersenyum kecil menampakkan tahi lalat menawan di bawah bibirnya. "Aku tidak tersesat, Noona."

Jinyoung mengangguk-angguk. "Jadi kenapa kamu disini? .... Ah ngomong-ngomong, namaku Bae Jinyoung. You won't care about this but, aku calon psikolog." Dia mengulurkan tangannya.

"Lee Daehwi, kelas empat." Daehwi menyambut tangan Jinyoung polos. Dia tersenyum kecil. Namun senyumnya tidak cerah, dipenuhi kesenduan. Redup. Seredup lampu jalanan malam itu.

Lelah berjongkok, Jinyoung memutuskan untuk duduk di atas trotoar yang membeku. Daehwi mengikuti.

"Jadi, mengapa kamu disini? Ini sudah larut, dan bukannya besok sekolah?"

Ditanya begitu, Daehwi merunduk semakin dalam. "Aku kabur." Bisiknya.

Jinyoung terbelalak. Anak sekecil ini sudah bisa main kabur dari rumah? Sekacau apa lingkungan rumahnya? "Well, why?" Tanyanya berusaha menyembunyikan nada kepeduliannya.

"Aku baru saja memecahkan gelas di dapur. Madam pasti akan sangat marah padaku." Daehwi mencicit, masih dengan kepalanya merunduk disembunyikan diantara kedua lututnya.

Jinyoung menatap prihatin. "Memangnya jika madammu marah akan seseram itu?"

Daehwi mengangkat kepalanya. Mentap Jinyoung dalam, lalu mengangkat bahu. "Entah. Aku tidak pernah sekalipun melihat madam marah."

Jinyoung tertawa mendengar jawaban jujur Daehwi. Ia mencubit pipi anak sepuluh tahun itu gemas. "Oh, jadi mengapa kamu takut dengan sesuatu yang belum tentu terjadi?"

Daehwi mengangkat bahu lagi.

Jinyoung memutar mata dengan senyum terukir di wajahnya. Ia mengerling ke arah terminal yang kini sudah terparkir sebuah bus disana. Dia ingin pergi ke tempat kerja, lagipula dia memang sudah dipesan. Tapi, hello???? Meninggalkan anak yang bahkan belum tau pahitnya dunia ini begitu saja???? Jinyoung mana tega.

"Well, a bit punishment won't hurt me." Gumamnya lebih pada dirinya sendiri. "Hey, Daehwi." Jinyoung kemudian berdiri dan menepuk-nepuk butiran salju pada pakaiannya. "Dimana rumahmu? Mari kuantarkan."

"I don't want to go home!" Tolak Daehwi keras. Dia meringkuk lagi menahan dinginnya malam. "I'm scared." Ringisnya.

Jinyoung berkacak pinggang. Tiada pilihan lain, ia memaksa Daehwi berdiri; yang tentu saja dilawan oleh si kecil Lee Daehwi. Tapi bagaimanapun juga tenaga anak kecil-- apalagi dengan badan sekurus Daehwi-- tentu saja akan kalah oleh tenaga mahasiswi itu.

"Dimana rumahmu?" Tanya Jinyoung lagi dengan nada memaksa.

Tangan kecil Daehwi bergetar menunjuk rumah yang ternyata bersebarangan dengan mereka. Tepat di belakang halte.

Jinyoung menyipitkan matanya ketika melihat rumah besar itu. Bisa dia lihat lampu-lampu sudah dipadamkan, kecuali lampu di lantai satu, yang bisa ia duga adalah ruang tamu.

"Oh, tunggu, saat kamu bilang madam yang kamu maksud itu Madam Shihyun???"

Daehwi mengangguk.

"That's funny. Aku tahu Shihyun, tenang saja dia orang yang baik." Jinyoung tertawa melihat Daehwi yang mencemaskan hal yang sebenarnya tidak perlu dicemaskan.

Mereka berdua kini berada di kediaman Shihyun. Beautiful Orphange terpampang jelas pada gerbangnya. Jinyoung menekan bel, sementara Daehwi bersembunyi di balik pinggang ramping Jinyoung.

Tak perlu menunggu lama, terdengar suara tergesa-gesa dari balik pintu tersebut. Saat pintu terbuka nampaklah seorang wanita muda di akhir tiga puluhnya. Rambutnya berantakan dengan raut kecemasan tersirat jelas di matanya.

Melihat Jinyoung berada di depan pintu, ia segera merapikan rambut penjang legam acak-acakannya. "Jinyoung? Sudah berapa tahun kamu tidak mampir kesini. Kukira kamu tidak akan mampir lagi. Ah, maaf, ini sudah terlalu larut, anak-anak sudah tidur."

"Baru juga setengah tahun aku tidak mampir kesini, Madam." Jinyoung tertawa kecil. "Dan yah, walaupun ingin bermain dengan mereka, tapi seperti yang kamu bilang. Sekarang memang sudah terlalu larut dan aku tidak ingin mengganggu para malaikat yang sedang tertidur."

Shihyun mengangguk, lalu menatap Jinyoung heran lagi. Dia belum paham maksud kedatangan gadis itu kesini. "Ah, kamu mau masuk dulu? Sepertinya sangat dingin di luar sana."

Jinyoung menggeleng. "Tidak perlu. Aku hanya ingin mengantar salah satu bocahmu yang dengan nakalnya kabur dari rumah." Jinyoung lalu menarik tangan Daehwi hingga Shihyun bisa melihatnya.

Kaki Daehwi bergetar. Matanya naik-turun menatap trotoar, lalu berbalik menatap Shihyun. Dia berbisik kecil, "Maaf, Madam. Aku memecahkan gelasmu hukum saja a--"

Belum juga Daehwi bisa menyelesaikan kata-katanya, wajah Daehwi bertubrukan dengan pundak hangat milik Shihyun. Shihyun memeluk erat seraya menangis menciumi pucuk kepala Daehwi.

"Daehwi! Kukira kamu tidak akan pulang!" Isak Shihyun. "Tolong,, tolong,, jangan buat aku cemas seperti ini. Ingat, kamu sudah kuanggap seperti anakku."

Setelah Shihyun membungkuk berterima kasih pada Jinyoung, mahasiswi itu pun meninggalkan rumah kecil mereka.

Ya, rumah kecil penuh anak-anak itu, panti asuhan; dan seorang anak sepuluh tahun yang entah bagaimana baru-baru ini dititipkan disana.

Jinyoung memainkan hembusan dinginnya. Membentuk beberapa fragmen beku, yang hilang ditiup angin kemudian. Entahlah, mungkin salju tidak seburuk itu.

⛄⛄⛄

Anak sepuluh tahun itu menopang dagunya di dekat jendela. Setiap hari,sejak hari itu, dia selalu termenung disana. Dari kamarnya bisa dia lihat dengan jelas keramaian jalanan di luar.

"Daehwi, kamu mau ikut main lempar salju????" Itu Woojin hyung, anak yang dua tahun lebih tua darinya.

Daehwi menatap Woojin yang sudah penuh dengan gumpalan salju. Nampaknya dia baru saja dibantai anak-anak lainnya.

Daehwi menggeleng. "Kalian saja." Katanya lalu mengalihkan pandangan kembali ke jendela.

"Oh, ayolah, salju hanya ada setahun sekali! Kamu tidak mungkin melewatkannya tahun ini bukan?"

"No, actually musim dingin datang dua kali dalam setahun, Hyung. Kalau aku melewatkan salju Desember, toh masih ada Januari."

Woojin mendengus kesal. Anak dengan rambut merah gelap itu menarik tangan Daehwi dengan kerasnya. "Oh, ayolah kamu malah akan cepat sakit jika terus mengendap di kamar ini!"

Daehwi tetap berpegangan pada ambang jendela. "Lepasin hyung!!!" Namun tenaga si kecil Daehwi lagi-lagi dengan mudahnya dapat dikalahkan. Apalagu oleh Woojin yang badannya jauh lebih besar darinya.

Kini Woojin sudah berhasil menyeret Daehwi jauh dari jendela.

Daehwi meringis. Teman satu kamarnya ini memang susah diajak berkompromi. "Oke, oke, aku keluar! Tapi jangan seret aku seperti ini, Hyung! Punggungku sakit karenanya!"

Woojin tertawa memamerkan gigi tidak rapihnya.

Setelah Daehwi mengenakan mantel kedodoran dan beanie kebesarannya mereka pun segera pergi ke luar. Daehwi menatap jendela kamarnya lamat-lamat sebelum meninggalkan ruangan. Yah, mungkin noona juga tak akan terlihat lagi hari ini.

Setelah di luar, Woojin segera bergabung dengan anak lainnya. Terlihat dari tempat Daehwi duduk Woojin hyung sedang melempar salju dengan brutalnya ke arah Haechan hyung. Sementara Euiwoong dan anak-anak yang lebih kecil lainnya tertawa di pinggir lapangan membentuk tim untuk menyerang Woojin.

Daehwi sedang malas untuk tertawa. Jadi dia hanya duduk di dekat semak-semak dibawah jendelanya. Ya, sejak dipertemukannya dia dengan wanita bersurai hitam itu, Daehwi selalu terngiang akan sosoknya. Entahlah, Daehwi hanya rindu.

"Daehwi kenapa?" Daehwi menoleh. Itu Jihoon hyung; tetangga mereka dengan pipi bakpaonya dan gigi bawahnya yang tanggal satu kemarin. "Daehwi lapar?"

Daehwi menggeleng tatkala Jihoon menawarkan sepotong coklat padanya. Jihoon bingung, ini pertama kali baginya melihat Daehwi sesedih ini. Jihoon perlahan merengkuh Daehwi dalam pelukannya dan mencium pipi gembil anak itu.

"Kata Mommy ciuman sama pelukan bisa bikin bahagia." Jihoon tertawa. Daehwi meringis tatkala anak yang dua tahun lebih tua darinya itu menyebut kata Mommy.

Daehwi mengeratkan pelukannya pada Jihoon. Karena tidak tahu harus bilang apa, Jihoon hanya mengusap-usap beanie anak itu. "Daehwi kuat~ ayo semangat~" Bisik Jihoon padanya.

Disaat momen-momen hangat ini hampir membuat Daehwi menitikkan air matanya, tiba-tiba mereka berdua ditabrak sesuatu yang besar.

"Curaaanggggg! Daehwi curang dipeluk Jihoon hyung!" Rengek bocah yang sengaja menabrak mereka dengan pelukan besarnya. "Hoho juga mau peluk-pelukan!!!" Itu Yoo Seonho, anak yang tinggal berseberangan dari kamar Daehwi.

Jihoon tertawa mencubiti pipi Seonho. "Iya iya! Sini Jihoon hyung peluk juga!" Jihoon merentangkan tangannya yang langsung dipeluk oleh Seonho.

Daehwi, sedikit berusaha menjauh melihat keakraban mereka. Bagaimanapun juga, tujuan awal Daehwi kan memang menghindari keramaian. Tapi sialnya, sebelum dia sempat kabur, anak-anak lain telah menemukan mereka bertiga.

"Waaahhh acara peluk-pelukan!!! Ayo semuanya!!!" Komando Woojin selaku yang paling tua diantara anak-anak lainnya. Lima anak kecil itu segera berlari menghampiri Daehwi, Jihoon, dan Seonho lalu berpesta pelukan.

"A a a buluk! Woojin peluk Jihoon terlalu kencang! Jihoon enggak bisa napas!"

"Hehehe maaf habis Jihoon kayak boneka babinya Haknyeon."

"Apa?!"

"Eh, eh, salah, salah."

"Ayo Renjun sini pelukan sama Jeno juga, hehe."

"Un...."

"Sunwoo! Euiwoong! Pelukan sama Haknyeon juga!!!"

Daehwi benci. Dia benci kalau suasana sudah menghangat begini. Dia benci karena ini semua membuatnya semakin rindu keluarga lamanya. Dia benci karena kehangatan ini begitu menyesakkanya. Memaksa air matanya mengalir begitu derasnya diikuti lendir-lendir hidungnya.

Tapi walau begitupun.

"Daehwi sayang kalian semua......"

⛄⛄⛄

Gadis itu menatap sekujur tubuhnya dengan kesal. Beberapa bagian tubuhnya masih sakit dan bahkan beberapanya masih meninggalkan bercak keunguan. "Bajingan itu memang tidak macam-macam dalam memberi hukuman." Gerutu Jinyoung.

Setidaknya dia bersyukur dia masih bisa diberi kesempatan untuk hidup ya.

Setelah menutup beberapa lebam di wajahnya dengan bedak, Jinyoung segera mengambil ranselnya. Dia bersiap mengenyam kuliah paginya lalu lanjut bekerja sambilan di supermarket dekat sana.

Tentu saja, bekerja sebagai karyawati bukan satu-satunya pekerjaan wanita dengan surai hitam panjang semampai itu. Jinyoung memiliki dua pekerjaan, day and night.

During day dia hanyalah mahasiswi kutubuku yang memiliki keterbatasan keuangan dan terpaksa menjadi pekerja sambilan di supermarket. Semua orang tahu itu.

But during night, dia adalah wanita tercela yang pekerjaannya untuk memuaskan nafsu birahi para lelaki demi kantong mereka. Tidak, tentu saja Jinyoung tidak sampai sebegitunya seperti senior-seniornya disana. But still, she already let them touched her things; dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya dicap tidak pantas untuk lelaki baik manapun.

Jinyoung jenuh tentu saja, apalagi dengan klien yang seperti malam-malam kemarin itu; yang bisa dengan hinanya bermain fisik pada Jinyoung hanya karena dia melanggar janjinya.

Ah, sudah cukup soal Jinyoung. Dia pun benci dengan dirinya sendiri. Semua hal tentangnya membuat dirinya pusing.

"When will you end these shits, Bae Jinyoung." Gumamnya kesal.

Waktu berlalu super lambat. Setelah selesai dengan berbagai rupa tetek bengek campus lifenya, seperti biasa, Jinyoung akan mengisi waktu-waktu sorenya menikmati siraman senja. Dia duduk di pinggiran danau, hanya demi mendengarkan kicauan burung, kepakan bebek, dan yang paling penting, tawa anak-anak.

Bagi Jinyoung itu adalah berkah terindah yang Tuhan beri untuknya. Setidaknya mendengar tawa mereka bisa membuat Jinyoung menemukan harapan hidup kembali; dan tentu saja, menjauhkannya dari mati muda.

Jam 22:30.

Jinyoung suka berlama-lama disini. Jika satpam tidak mengusirnya, mungkin dia akan lebih memilih menghabiskan malamnya disini daripada tidur dalam kesendirian.

Menuju terminal, ia kembali termenung tatkala memandang panti asuhan di balik punggungnya. It's ridiculous, tapi dia selalu membayangkan jika saja dia hidup di antara kehangatan Beautiful Orphange, mungkin dia tidak akan berkahir seperti ini.

Entahlah.

Di antara lamunan sunyinya, dia kemudian kaget ketika melihat kegaduhan di balik remang-remang pada salah satu kamar di lantai dua.

Oh. Masih ada yang bangun rupanya?

⛄⛄⛄

[Continued]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top