Movie night (Hyunjin/Felix) part 3

"Ris, kalau di sekitar kita, ada gak sih yang tipe avoidant gitu?" 

Alunan kekehan Haris bergaung. "Gak usah jauh-jauh-jauh kuy, orang di depan muka gue juga tipe avoidant."

"Masak gue sih Ris?" Felix mendrop pertanyaan dengan nada tidak terima. Ia menggerakkan jari telunjuk rampingnya ke bagian dada.

Haris memandangi Felix dengan tatapan mendalam nan serius layaknya seorang Jaksa penuntut yang berusaha mengorek pengakuan dari narapidana. "Lo tuh beredar dimana-mana. Teman lo mulai dari anak satu fakultas sampai tukang mie ayam. Tapi diantara mereka semua, berapa orang yang tahu lo luar dalam?"

Felix menghitung-hitung menggunakan jemarinya. Bibirnya kini membentuk garis lurus, tiada beda dengan rambut yang baru dicatok. "Gak sampai tiga orang kayaknya. Well i guess you are right, Ris!" Ada kepasrahan mendarat dalam kesimpulannya.

"Lix, kalau lo bukan tipe avoidant, gue gak bakal butuh nunggu bertahun-tahun buat jadian sama lo. Lo juga kerapkali pura-pura gak peka, matahin begitu aja kode-kode dari gue."

Haris berhenti sejenak, mengecek tampang Felix yang sudah diliputi rasa bersalah. "Ingat gak sih waktu pertama kali gue nembak lo?"

"Ingat. Gue gak nolak dan juga gak terima."

Ada sedikit kesenduan menginvasi sudut hati Haris tercermin melalui kontur mukanya yang kini tampak kelabu. "Yeah, But you make me feel lika a clown, anyway!"

Si surai pirang merangkul bahu Haris, mendaratkan senyum simpati kepadanya. "Sorry Ris, tapi kan gue gak nyuruh melakukan aksi sekonyol itu juga, " ujar Felix menohok. Tidak terlihat rasa bersalah dalam gurat-gurat parasnya

Haris memutar bola matanya kesal. "Itu gak konyol ya! It was romantic," protes Haris sambil bersungut. Kemudian ia melanjutkan argumentasinya. "Suasananya lagi tepat banget. Taman fakultas lo lagi sepi, langit senja lagi cantik-cantiknya dan dipadu gemericik air mancur. Yak tangan gue emang sedingin itu dan jantung gue bener-bener deg-degan. Gue rasanya hampir mati waktu gue narik tangan lo ke dada gue. Dan waktu itu gue harusnya bilang, Lix can you feel my heartbeat? it's beating for you."

Haris berhenti sebentar menarik napas panjang. Dari sudut matanya, ia menangkap penampakan sang pemilik rumah sedang berjengit. Bisa dipastikan itu gara-gara last line yang keluar dari si rambut hitam.

Haris got it that Felix is not into chessy things at all just like Lion can't eating vegetables. Pemuda Halim itu bahkan lebih memilih merogoh kocek untuk mentraktir satu geng, daripada harus menulis puisi menye-menye untuk sang pacar.

"Dan sebelum gue nyebutin itu, lo malah ngira gue sakit jantung dan narik-narik gue buat ngunjungin dokter," sambungnya lagi, kentara dengan intonasi protes.

Felix melepaskan dekapannya dari pundak Haris. Bibirnya tampak bergetar selama beberapa detik sebelum gelak tawanya memenuhi ruangan. Saking kerasnya ia tertawa, tubuhnya sampai terjungkal kebelakang.

Untung saja sofa yang mereka duduki cukup panjang sehingga punggung lelaki Halim itu hanya mencium cushion bukan ubin. Haris hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan pola tingkah Felix. Ia sudah hapal kebiasaan  kuncian hati. Sekalinya Felix terbahak, dia akan sukar berhenti.

Tarikan napas panjang Felix ambil, setelah gelombang tawanya mereda. "On a serious note Haris Januar, gue sadar lo mau nembak , cuma gue belum yakin sama feeling gue sendiri. Daripada gue nyesal nanti lebih baik gue ngalihin topik. Terus muka lo pucat banget sih waktu itu, jadi ya gue insiatif aja ngajakin lo ke dokter," tutur Felix. Kilap-kilap usil bergulir di sepasang netranya, menjadikan seringai samar yang tercetus di mukanya terlihat sangat menyebalkan.

"Sialan lo Lix, gue sampai gak tidur ya gara-gara pingin jujur sama lo soal feeling gue," sahut Haris sembari menonjok pelan bisep pemuda yang wajahnya dipenuhi gugusan bintik cokelat.

Felix meringis, berpura-pura kesakitan seraya mengusap lengannya. "Anyway Ris, lo tuh dapat inspirasi dari mana sih cara nembak se-corny  itu?"

Haris memiringkan kepalanya dan tersenyum miris. Membuka kartu selalu membuat jantungnya terpacu lebih cepat dan mukanya merah padam. "Uhm.. dari Aji," bisiknya, sedikit gugup

"Apa dari Aji?Pantes!" Sahut Felix diikuti gelengan kepala. Dari nada suaranya Haris yakin Felix murni terkejut mendengar karib kos-nya merangkap teman satu angkatan Felix di jurusan akuntansi itu disebut

"Ris.. ris.. minta saran kok sama orang yang konstan menjomblo sejak lahir!"

Sepasang dewasa tanggung itu terkikik bersamaan, sampai mata mereka membentuk lengkungan pelangi kembar. Setelah puas mengolok-olok kebodohan Haris di masa lalu,  ke dua adam itu kembali bersitatap.

"Ris Ini bisa sembuh gak sih. Kalau dipikir-pikir gue seperti mengsabotase kehidupan sosial sendiri. Terus tanpa sadar gue nyakitin orang lain seperti yang gue lakuin ke lo ..."

Air muka Felix tampak melembut setelah diguyur penyesalan. Haris tersenyum simpul. Telapak tangan lebar Haris bergerak naik turun di punggung Felix, berusaha memadamkan sebongkah keresahan di dalam jiwa sang kekasih.

"Pertama-tama lo harus tahu ini bukan penyakit. Ini hanya style dalam membina hubungan. Tipe avoidant terbentuk karena efek samping parenting style yang salah. Kita ambil contoh kasus Tony Stark aja. Bokapnya, Howard Stark cenderung super cuek dan kalkulatif. Jarang di rumah, sekalinya ada secara fisik, dia gak menuhi tangki afeksi  untuk Tony. Howard gak pernah bilang sayang ke Tony, yang ia dengar cuma perintah belajar dan belajar. So gak heran Tony tumbuh jadi tipe avoidant. Gampangnya gini kalau ortu aja uda distant sama si anak, gimana dia bisa percaya kalau orang lain  di luar keluarga inti mau terikat mendalam secara emosional?"

"Jadi Ris ini semacam gue terjebak membangun pembatas buat gue sendiri dalam membina relasi?"

Haris menganggukan kepala tanpa ragu. "Iya dan pembatas itu bisa dipatahkan. We can work it out. Buktinya si  Tony  bisa adem ayem berkeluarga sama Pepper sampai mereka punya Morgan. Dan gue rasa lo uda gak seburuk dulu dalam menyambut tawaran ikatan emosional."

Kernyitan halus menjejak di dahi felix serima dengan jakunnya yang bergerak naik turun gelisah  "Uhm... Lo gak bilang gitu karena gue pacar lo kan?" Tanya Felix yang menatap Haris dengan mimik skeptis.

"Nope Lix. Gue bilang begini karena gue benar-benar merhatiin kalau sekarang pas bicara sama yang lain lo bisa bertahan me-maintain kontak mata, beda pas awal-awal kita kenalan. Dan lo bisa terbuka soal kondisi keluarga lo yang gak jauh beda sm keluarganya Tony itu uda menandakan kemajuan."

Felix mendesah. Pandangan si pemilik suara berat itu  berpendaran ke segala penjuru ruangan, sebelum mendarat ke figura berukuran besar di dinding. "Ris lo tahu kondisi keluarga gue. Kadang gue ngeri sendiri gimana senyum lebar yang berhasil diabadikan kamera. Foto-foto keluarga yang dipajang menyembunyikan kerenggangan hubungan antara gue, ortu dan Chris!"

Dari cara Felix menekankan beberapa patah kata terakhir, Haris bisa merasakan lelaki pengisi hatinya menyimpan kekecewaan teramat besar untuk keluarganya. "I know," respon Haris seraya membentangkan lengan panjangnya untuk merangkul Felix. Dirasakan tiada penolakan dari si pirang, Haris mengetatkan dekapannya. Kepala lelaki Halim itu ia istirahatkan di tengah perpotongan  ceruk lehernya.

"Ris, seandainya ortu gue lebih peduli dan gak  memandang anak-anak sebagai trophy. Minimal tidak menjadikan rumah sebagai ajang persaingan buat gue dan Chris. Gue capek dari kecil  kita selalu dibandingin dalam segala hal. Mungkin kalau mereka begitu, gue gak akan jadi  seorang avoidant  yang sibuk ngusir semua orang yang tulus pingin dekat sama gue."

"Sayangnya kita gak bisa milih ortu Lix, tapi lo bisa milih mau stuck menempatkan diri jadi korban salah asuh dan terus jadi avoidant  atau  perlahan memperbaiki diri kayak Tony. Lo bisa mulai ngasih kepercayaan lebih ke Aji buat curhat diluar mata kuliah. Terus jangan lupa bangun lagi komunikasi dengan Chris. Kalian berdua kan sama-sama korban. Kalau dia di rumah, jangan  cuma  say hi  aja. Ajak ngobrol lah!  Kebetulan mantannya  Chris, Jess baru jadian sama kakak tingkat gue, Daniel. Mungkin lo bisa mulai dari situ. Siapa tahu dia butuh teman curhat buat move on," usul Haris seraya menepuk bagian belakang tubuh Felix.

"Benar juga kata lo. Thanks Ris buat sesi konsultasi dadakan," ucap Felix tulus.  "So gue harus bayar pake apa ini? Jangan minta aneh-aneh lo!"

Deret kata terakhir adalah gurauan, tetapi disampaikan dengan nada ancaman. Ujung-ujung bibir Haris naik keatas membentuk senyum samar. Felix tetaplah Felix, sebisa mungkin menghindari suasana sentimentil dengan melempar  candaan secara serampangan. Yah memang semuanya butuh waktu. Perubahan manusia umumnya terjadi  perlahan dan bertahap, sudah pasti tidak akan secepat masak indomie rebus.

"Halo Haris masih ada di bumi kan? mau Kopi aja?"

"Hari ini uda dua gelas. Gue mau es krim aja deh lix kalau ada," putus Haris.

"Sip lo uda tahu arah dapur kan? Ada kulkas di sana. Di freezer ada stok es krim punya Chris. Ambil aja sepuas lo!" Felix memberikan instruksi dengan tatapan kembali terpaku pada sinema di layar kaca.

"Kok lo sodorin punya Chris?" Tanya Haris dengan alis bertaut heran.

"Gak ada salahnya kan? Kali aja kalau es krimnya kita habisin, gue dan Chris bakal punya bahan diskusi lebih panjang selain 'I am home' dan 'I am out--" 

 Felix mengantung kalimatnya. Ia memutar kepalanya menatap  Haris.  "Kan lo sendiri yang bilang   gue  harus mulai memperbaiki  hubungan dengan Chris," katanya sambil mengerlingkan salah satu mata.

"Oke sip tuan muda," respon Haris sambil mengacungkan jari jempol ke udara sebelum telapak kaki lembabnya menyentuh dinginnya lantai keramik. Well, turns out that Felix's change may come faster than he predicts.

🍦🍦🍦

Haris datang dengan kotak es krim berukiran 14 floz, dari waralaba dengan gerai-gerai biru-ungu yang kerap dijumpai  di pusat perbelanjaan ibukota. Raut wajahnya terlihat begitu sumringah ketika ia membanting bokongnya ke katil. Film yang diputar Felix sudah mendekati akhir durasi dan itu pertanda, mereka bisa melewati sisa malam dengan obrolan panjang pelepas rindu. Kesibukan kuliah menjelang UAS seringkali membuat mereka susah bertemu.

"Enak? " Tanya Felix setelah sinema yang sedari tadi ditontonnya menujukkan post- credit scene

Yang ditanya hanya manggut-manggut. Jari kurus itu pegang erat sendok besi, bergerak aktif mengaduk-aduk penganan manis , sebelum memasukkan suapan besar ke dalam mulut yang terbuka lebar. Sebagai penggemar kacang, paduan rasa pistachio  dipadu dengan cacahan kacang almond  cukup membuat si calon psikolog itu, memalingkan diri dari tujuan awalnya bertahan di rumah ini.

Terlalu sibuk dengan mulut yang dipenuhi frozen dessert, Haris tampak tidak tanggap jika Felix mendekat, perlahan meniadakan spasi diantara mereka.

Sendok lungsur dari tangan ke baskom es krim. Mata elang Haris membulat  sempurna mendapati Felix menyergap birai ranumnya dengan bibir lembab.

Felix tidak memberikan Haris pilihan selain mengikuti permainannya. Pelupuk mata ditutup dengan sigap bagaikan tirai panggung yang diturunkan. Haris membuka pintu bibir dam membiarkan lidah Felix bertamu, menyapu ke segala penjuru, mencecap sisa-sisa es krim di barisan gigi.

Lalu dia menyingkir, mengakhiri pergumulan bibir dan lidah mereka, meninggalkan Haris dengan spektrum merah di wajah dan sengatan elektris di dada. Jangan tanyakan kesehatan jantung Haris.  Mungkin kalau ia ada di rumah sakit sekarang, pria Januar itu sudah dipapah masuk ke UGD dengan hidung ditempeli alat bantu pernapasan.

"Yah Felix Halim! what the hell was that?"

Gertakan Haris direspon dengan cengiran dan disusul celetukan asal. "I just wanna know how great the ice cream is. It was delicious Ris, and your kiss make it taste better."

"Damn gak usah segitu juga caranya. Gue gak mau  mati muda ya!"

Haris berdecak seraya melempar bantal persegi ke muka Felix. Too bad sasaran utamanya sudah terlatih  untuk lihai menghindar.

"Ya anggap aja itu balasan atas kesabaran lo nungguin gue selama ini."

Alasan Felix sukses membuat Haris tercenggang, layaknya pekerja kantoran yang mendapat mandat lembur dadakan.

Namun ternyata penyakit 'melongo' tidak menyakiti Haris terlalu lama. Akumulasi kebingungan itu enyah diganti sunggingan miring. 

"Lo bikin gue kecewa berkali-kali, terus ngobatinnya cuman sekali, gak adil kuy!"

Perputaran bola mata Felix jauh dari kata subtil. Ekspresi wajahnya pancarkan rasa jengah. "Gue masih ada jadwal kuliah siang besok. Ogah banget muncul dengan bibir bengkak!"

"Did i ask you to kiss me again?"

Pingkalan Haris semarakkan beranda, sementara di sudut satunya Felix terdiam dengan bantal dalam pelukan. Satu kalimat Haris berhasil membuatnya berpose bagaikan patung penjaga taman. Nampaknya  skor mereka kini berimbang, satu sama untuk Haris dan Felix. 

"Gue cuma mau minta lo bantuin habisin es krim kok. Suapin-suapinan pake tangan dan sendok, bukan pake mulut!"

Tatapan geli  Haris bersua dengan pandangan penuh sukacita milix Felix. Pertukaran senyum diantara dua pemuda tidak terelakkan. Mereka sama-sama siap mengukir kenangan di kepala akan malam ini. Biarlah mereka mengambil risiko menghabiskan waktu sebelum pagi menjelang, dengan sekotak penganan, beragam topik obrolan dan kecupan-kecupan ringan. 

Esok pagi, mungkin mereka akan bangun dengan perih di kerongkongan, kantung mata gulita seperti rakun, dan sakit sekujur perut. Mungkin salah satu atau dua-duanya akan berakhir bolak-balik ke toilet dan berujung tidak mengikuti perkuliahan.

Tidak menutup kemungkinan pula kalau Haris akan melanggar janjinya ke Aji, dan berakhir membuat lelaki itu gagal tampil keren, dengan motor kebanggaanya di depan Dinda. Semua posibilitas tidak menyenangkan bisa terjadi besok, namun baik Haris dan Felix memutuskan untuk abai sementara. Biarlah mereka menunda untuk temukan solusinya nanti. 

-Fin-

A/n : secara teori psikologi ada empat gaya attachment dalam membina hubungan : avoidant, anxious, fearful dan secure. Semuanya terbentuk karena faktor asuh orang tua dan pengalaman masa lalu.

Lebih jelasnya bisa dilihat disini :

Waktu itu aku tanya kak cheonsagateun lebih suka Iron Man atau Detective Conan. Kebetulan dijawabnya Iron Man. Dari Iron man yang tipe avoidant, lahirlah 3 shoots ini. Aku tahu mungkin susah menangkap esensinya kalau enggak pernah 
ngikutin sepak terjangnya Iron Man, tapi aku harap penjelasan Haris dan karakter Felix cukup flesh out untuk mewakili :__:

Aku minta kritik dan saran kepenulisan dan vommentnya ya :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top