Lean On Me (Haechan/Chaeryeong)

Source pic : pinterest (please tell me if you make it, i Will give Credit.

Cast :

Haechan as Hendrik Winata
Chaeryeong as Chloe Arina

Ost : Little Girl by Oh Hyuck.
For Birthday Lady lazynim

***

Merantau ke luar negeri demi pendidikan tidak semudah meniup lilin. Kalau seseorang tidak terlahir dari keluarga kaya raya, masalah finansial masih menjadi penghalang utama. Memakai standar biaya hidup di negeri singa yang serba mahal, mengandalkan beasiswa saja rasanya tidak akan cukup.

Beruntung, persatuan pelajar Indonesia di Singapura cukup solid. Mulai dari urusan mencari tempat tinggal sampai pekerjaan part-time, selalu ada tangan terulur yang siap membantu.

Berkat pertolongan mereka juga Hendrik menemukan kontrakan sederhana dengan suasana nyaman dan biaya terjangkau. Tinggal hanya dengan Tora dan Dani yang notabene pelak tidak lantas membuat Hendrik berpangku tangan.

Meskipun menjadi paling muda, Hendrik selalu menjadi sosok andalan. Kalau ada bohlam yang rusak atau saluran air mampet, lelaki berkulit cokelat itu sigap membetulkan tanpa ba-bi-bu.

Kalau Tora banyak kerjaan sampai lupa makan, Hendrik bakal memaksa si mahasiswa jurusan teknik itu makan masakan buatannya. ("Duh, Bang jadi penyembah kopi melulu. Entar kena maag, baru tahu rasa. Makan dulu, sini! ada dadar sama sop.")

Putus dari pacar? Proposal penelitian ditolak dosen pembimbing? Bila Dani sedang berada dalam posisi diuji oleh semesta, ia pasti lari ke Hendrik. Soalnya hanya si pembaca setia komik doraemon itu yang mau menyediakan telinga untuk mendengarkan curhatan Dani sampai pagi.

Di saat pandemik mulai meretas hingga menyebabkan kepanikan masal, Hendrik tetap tenang melanjutkan hidup sambil tetap awas melaksanakan protokol kesehatan.

Sayangnya virus covid 19 bukan hanya membuat penduduk dunia memakai masker ke mana-mana, tetapi juga merampas kesempatan untung berpulang ke kampung halaman.

Grafik pertambahan penderita nan terus bertambah di Indonesia membuat kedua orang tua Hendrik meminta pria itu tetap tinggal di negeri seberang. Benar-benar sial, tahun ini momen Gong Xi Fat Cai jatuh mendekati akhir pekan, tapi ia malah tidak bisa bersua dengan orang-orang terkasih.

Dani dan Tora lebih mujur karena mereka masih punya famili jauh yang menetap di sekitar sini. Keduanya sebenarnya sudah meminta Hendrik ikut serta tetapi sang adam tegas menolak. Imlek adalah momen tepat keluarga besar untuk mengakrabkan diri. Mana tega Hendrik hadir sebagai orang asing yang membebani tuan rumah.

Dan di sinilah si pemuda jago masak itu sekarang, terjebak menonton netflix sendirian sambil duduk di sofa usang rumah kontrakan. Di lain waktu Hendrik mungkin bersyukur menguasai rumah bercat biru muda itu sendirian selama beberapa hari.

Tidak ada musik rock bergaung dengan volume memekkakkan rungu seperti saat Dani ada. Tidak pula ia perlu melatih kesabaran menyaksikan lantai penuh dengan remah-remah biskuit . Duh, Tora boleh jadi berusia dua puluh satu tahun ke atas, tetapi kebiasaan mengemil tidak jauh beda dengan balita--berantakan dan mengotori ruangan.

Kali ini ceritanya berbeda. Dua puluh menit lalu ia berbicara dengan keluarga via zoom. Tawa riang adik-adiknya yang berebutan angpao sukses bikin iri. Akan tetapi, ada hal lain yang membuat mood mahasiswa semester tujuh itu mendadak rebah.

Dari screen laptop, pupil cokelat miliknya bisa menangkap tubuh sang ayah semakin ringkih. Meskipun mengaku baik-baik saja, suara serak beliau justru mengungkapkan fakta sebaliknya.

Hendrik tahu Toni hanya pura-pura sehat agar ia yang notabene-nya terpisah ratusan meter tidak jatuh khawatir. Hendrik pun lakukan perbuatan serupa. Ujung bibir Hendrik terasa lelah setelah ia memaksakan diri untuk terus tersenyum. Mau tidak mau ia terpaksa bersandiwara. Harus terlihat gembira di depan keluarga agar mereka berhenti merisaukan Hendrik. Banyak pikiran bisa membuat kondisi kesehatan mereka( terutama sang ayah ) menurun.

Hendrik menarik napas panjang. Matanya masih terpaku ke layar kaca yang menampilkan adegan kejar-kejaran mobil. Namun, dia tidak bisa menangkap di mana letak keseruannya. Senada dengan pikiran yang caruk-maruk, awan mendung juga enggan enyah dari mimik pemuda Surabaya itu.

Hendrik meraih remote dan mematikan tv. Ia ingin lari dari kenytaan dan membenamkan diri di alam mimpi. Tidak peduli langit di luar belum menggelap. Tidak masalah jam di dinding pun masih menunjukkan pukul lima sore.

Sayang niat mulia si sulung Winata digagalkan oleh deringan bel. Menghempas napas panjang, ia berbalik arah, menuju ke luar.

Hendrik sudah siap menggerutu saat jemari menyentuh gagang pintu. Hanya saja keinginan itu terkubur begitu indra penciumannya menangkap aroma freesia nan familiar. Menyaksikan Chloe yang hadir dalam balutan sweater dan celana jeans, keinginan Hendrik untuk beristirahat seketika menguap.

"Chloe, ngapain ke sini?"

Si gadis yang berkuncir ponytail melirik Hendrik acuh tak acuh. Tanpa memberikan jawaban, Chloe melenggang masuk dengan cuek, menyebabkan si tuan rumah lepaskan tatapan keheranan.

"Ada tamu tuh diajak masuk dulu, kek. Ini malah diinterogasi," protes mahasiswi Nus itu. Kekesalan terpeta jelas dalam nada bicaranya.

Hendrik menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Uhm, sorry. Aku bingung aja karena kemarin katanya mau ngerasain imlek di rumah tante Mar."

Ya, sama seperti Tora dan Dani, Chloe masih memiliki sanak saudara yang menetap di negeri persemakmuran Inggris ini.

Chloe meletakkan bokongnya di sofa sebelum merespon, "I change my mind. Malas banget jauh-jauh ke sana buat dikepoin dan dinasihatin panjang lebar."

Hendrik duduk di sebelah Chloe. "Namanya juga orang tua. Mereka kepo karena peduli."

Sang gadis tertawa sinis. Ia menggulung lengan baju sampai ke siku hingga menampakkan tato kupu-kupu mungil. "Wait till they find it. Aku bakal di-judge habis-habisan sebagai gadis nakal."

Hendrik mengusap tato di lengan Chloe. Manik matanya menyiarkan binar kemahfuman. Dia paham betapa penting lukisan tubuh itu buat Chloe. Gadis yang juga berkuliah di Nus itu tidak membuat tato untuk sekadar gaya-gayaan semata. Tato itu penanda kebebasan dan kelahiran "Chloe yang baru".

Dari cerita sang terkasih, Hendrik tahu Chloe melewati masa remaja dibayangi segenap insekuritas. Tolong salahkan standar kecantikan yang tidak realistis. Sama dengan remaja berbada normal kebanyakan, Chloe merasa kegemukan hingga menjalani diet tidak sehat sampai terjangkit anoreksia

Baru setelah kuliah di Singapore dan rutin menghadiri bimbingan konseling khusus untuk pelajar Indoneseia , Chloe mulai merubah pemikiran sempitnya. Definisi cantik yang sesungguhnya adalah merasa nyaman tanpa perlu megikuti parameter populer yang dirancang industri.

Hendrik menjadi saksi bagaimana Chloe berjuang melawan paranoid. Sejak dua tahun lalu, Chloe berusaha untuk makan secukupnya tanpa dihantui rasa bersalah sampai berhenti menghabiskan waktu di gym berjam-jam setiap hari. Kini bersama Hendrik, Chloe hanya berolahraga tiga-empat kali seminggu sesuai saran dokter.

Seperti kupu-kupu, Chloe akhirnya bisa terbang bebas, mengepakkan sayap tanpa dijerat barometer apa pun. Tidak ada lagi Chloe yang ekstra sensitif dan terlalu sering melemparkan pertanyaan, "Aku kelihatan gemukan, ya?". Chloe kala ini bisa tertawa lebar dan tidak kelabakan saat jarum timbangan bergeser ke kanan. Hendrik bahkan berani bersumpah bila Chloe tidak lagi peduli mengukur berat badan selama dia merasa sehat dan penuh tenaga.

Tentu saja Hendrik lebih menyukai" Chloe baru" yang berhenti menghamba terhadap persyaratan dangkal seperti ukuran pinggang dan lingkar perut. Chloe menaklukkan rasa minder dan merasa pantas untuk berbahagia seperti Miss Universe yang tersenyum riang saat menerima mahkota.

"Kamu kelihatannya gak happy aku ke sini."

Celetuhan Chloe menyebabkan gelembung kontemplasi Hendrik meletus. Ia mencubit gemas pipi gembil Chloe. "Bukan gitu, Babe. Cuman kaget aja. Imlek harusnya dihabiskan bareng keluarga."

"But you are my family too," rajuk Chloe seraya mencebikkan bibir.

Alis Hendrik bertaut kala bibirnya menyunggingkan senyum jahil. "Do you mean almost?"

"No, we are family already," sahut Chloe ngotot. "Keluarga itu orang-orang yang membuat--"

"Membuat kita merasa berada di rumah," sela Hendrik. Pelajar rantau sudah pasti hapal di luar kepala mantra komunitas pelajar Indonesia di Singapura

"There you go, Boy! So...."

"So what?" Hendrik mengernyitkan dahi, penasaran kejutan macam apa lagi yang akan dibawa Chloe.

"Family means sharing your pain with other. So tell me what's your problem?"

Air muka Hendrik tampak semakin muram. Ia memalingkan pandangan ke layar kaca, membiarkan keheningan menyelimuti udara. Sementara Chloe masih setia menatapnya lekat, menanti sebuah jawaban.

Entah radar macam apa yang berada dibalik kulit Chloe sampai Hendrik selalu gagal menyembunyikan kerisauan di depan gadis itu. Aneh, Hendrik selalu berhasil mengelabui Tora dan Dani --yang notabene teman serumah--membuat mereka berpikir ia tidak punya masalah besar.

Hela napas panjang sebagai tanda menyerah lolos tercelus dari bibir lelaki itu.

" Ayah sakit tapi sok-sok akting sehat pas kita ngobrol via zoom tadi." Mata pemuda itu mulai berkaca-kaca gelisah saat bayangan ringkih sang ayah kembali terpatri di folder ingatan.

Penjelasan Hendrik memancing Chloe untuk tersenyum simpul. "It's father and son thing, isn't it?"

"Chloooeee...."

Meski berpura-pura merengek, dalam batin, Hendrik menyetujui kalau sang ayah memang mewarisi perilaku harus tampak setegar terumbu karang . Bukan pengaruh gengsi tinggi.Bukan jua perihal maskulinitas kaum adam. Keduanya hanya takut tanpa sengaja jadi beban bagi orang sekitar. Ini hasil pengaruh didikan turun temurun di keluarga mereka. Sebisa mungkin jangan merepotkan siapapun apalagi sampai berhutang budi.

"Tapi, benar, kan?" Chloe melancarkan serangan tanya diikuti kikikan geli.

Membantah hanya memberikan Chloe kesempatan untuk meledek. Hendrik tidak sedang berada dalam mood terbaik untuk berbalas gurauan dengan sang pacar. Dia memilih mengangguk pasrah . Bahu terkulai lemas dan mata berkaca-kaca adalah kombinasi yang jarang ditemukan dari sosok Hendrik. Dia sudah lama berusaha bertahan. Sesekali jatuh tidak ada salahnya, kan? Toh, hari ini Chloe bersedia menopangnya.

"It's okay if you don't want to tell me now."

Hendrik bisa mencium penyesalan dari cara berbicara Chloe. Sebelum perempuannya salah paham lebih jauh, Hendrik buru-buru berujar, "We are family, right? family should Lean on each other."

Maka terlucutlah rentetan kisah pilu dari bibir Hendrik. Hendrik mencemaskan banyak hal. Bagaimana bila kondisi sang ayah tidak kunjung membaik? Bagaimana bila takdir memisahkan mereka sebelum sempat reuni? Bagaimana kalau dia tidak lulus secepat harapan keluarga? Sebaliknya, apa yang harus dilakukan bila ia lulus cepat, tapi tidak kunjung mendapat pekerjaan. Sebagai anak pertama, di pundaknya bukan hanya bertengger tanggung jawab untuk mewujudkan harapan orang tua tetapi tuntutan untuk menjadi role model bagi adik-adik.

"Mr Richard emang perfeksionis, tetapi buktinya banyak juga yang lulus cepat dibimbing dia. Kalau pekerjaan pikirin nanti aja. Yang penting lulus dulu dan tetap sehat. lahir batin," ujar Chloe Telapak tangan si penyuka kupu-kupu mendarat di punggung Hendrik, mengusapnya perlahan layaknya seorang ibu menenangkan si anak.

"You are right, Babe. Sorry kalau aku--"

"Ssst! " Telunjuk perempuan ysang terlahir di bulan Juni itu singgah di antara kedua bilah bibir Hendrik. "Dilarang merasa jadi beban negara setelah curhat," larangnya seembari menggeleng kepala.

Hendrik menepis jemari lentik itu seraya terkekeh, "Baik, Ibu presiden!"

"But seriously ,Hendrik, you've been hold on for too long, it's okay to lean on me."

Chloe mengakhiri ucapan dengan mendekap sang pacar. Direngkuh mendadak tanpa peringatan, netra Hendrik melebar karena tersentak. Ada desir samar di dada cowok itu. Namun, tidak butuh waktu lama baginya untuk membalas pelukan gadis bersurai cokelat karamel itu.

Masih dalam keadaan tubuh saling mengapit, Chloe berkata, "Feel better?"

Hendrik merespon dengan memeluk Chloe lebih erat sebagai isyarat kalau badai di jiwa mulai mereda. Selengkung pelangi terbalik menyembul di rupa cantik si gadis bertato.

"You know you can always count on me, " bisik Chloe di telinganya. Hembusan napas Chloe menyentuh kulit Hendrik, mengalirkan ketenangan di batin pria itu.

"You too. We always have each other back," pungkas Hendrik sedikit mengoreksi.

Jauh dari rumah dan keluarga membuat segala macam masalah terasa lebih berat. Ada hari-hari di mana semua terasa buntu. Frustasi, kesepian dan keputuasasaan adalah episode-episode kelam yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan pelajar rantau. Kehadiran support system dibutuhkan untuk bertahan dan kembali bangkit.

Hari ini, Hendrik belajar kalau dia tidak pernah sendirian. Yang perlu dia lakukan hanyalah melepas topeng "saya baik-baik saja". It's fine not to be fine

Akan ada Chloe yang memberikan sandaran saat dia tergelincir. Presensi Chloe di sisinya membuat Hendrik sadar dia selalu mempunyai tempat berpulang setelah ditempa bencana. Setelah rumah mungil milik keluarga Winata di sekitar Malioboro yang selalu diisi dengan kehangatan, Chloe adalah rumah keduanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top