I'll be home for Christmast (Yeji/Lia) part 1
Firasat ini rasa rindukah
Ataukah tanda bahaya?
(Dewi 'dee'Lestari)
A/n : kata bercetak miring ada yang menyatakan moment flashback. Perhatikan tanggal :D. Happy reading.
20-12-2019
Kronologis waktu berjalan seperti biasa. Semburat tinta jingga, menyerah pada pekatnya gulita, ketika malam semakin laik. Hanya saja kali ini, ada lantunan rintik gerimis mengalun jernih, dari balik jendela.
Biasanya siraman air langit di bumi Buitenzorg, tanpa disertai presensi guntur --yang memancarkan bau petrichor seperti kala ini--mampu membuat kalbu Keara dihampiri ketenangan. Alih-alih begitu, malam ini, hujan gagal mengusir kegusarannya, apalagi sampai menyuntikkan rasa kantuk.
Tubuh Keara sudah rebah sepenuhnya di atas kasur. Rambutnya tersisir rapi dan wajahnya lembab setelah melakukan ritual skincare tujuh langkah, tetapi matanya menolak terpejam.
Sepasang netra bertinta hazelnut itu, masih setia petakan tatapan jengah di langit-langit. Ada gelenyar risau yang ingin si gadis tepis, seiring pergerakan dadanya yang terlihat kembang kempis, juga percikan keringat di pelipis, yang lungsur tipis-tipis.
Wajar jika pelupuk matanya enggan ia tutup, belakangan lelap istirahatnya lebih sering dijajah oleh mimpi buruk, sampai ia terbangun dengan jantung berdetak kencang dan tubuh bermandikan peluh. Bisa ditebak, ia akan terjaga semalaman, sampai semburat jingga milik sang fajar menampakkan diri, disertai suara ayam jago bertalu.
Saat ini Keara berharap perkataan orang zaman dulu jika mimpi hanyalah bunga tidur, benar adanya. Bayang-bayang ilusi dalam kepalanya terlalu tragis untuk menjelma menjadi kenyataan. Semoga saja ini hanya efek terlalu lama menumpuk rindu.
Keara menepuk pelipisnya sendiri. Duh sebegitu hebatnyakah efek rindu memporak-porandakan kewarasannya? Entahlah, yang pasti kurva euphoria terpahat begitu saja di rupa bestarinya, ketika amygdala-nya melukis sosok prameswari hati yang berbola mata kelereng, berambut hitam selegam tirai malam, dengan hidung terpahat tajam.
Tidak perlu waktu lama untuk Keara bangkit dari ranjang menuju pc di meja belajar denga senyum mengembang. Meja belajar Keara terbilang minimialis dengan sentuhan putih gading. Selain komputer, hanya ada beberapa buku cetak yang tertata rapi, disekat pembatas buku besi berwarna hitam, dan dua bingkai foto berona senada.
Lengkungan hangat sekali lagi tertoreh di paras Keara, ketika pandangannya mendarat di salah satu figura. Ada foto yang diambil Keanu, kembarannya ketika ia dan tim dance Smansa Bogor memenangkan pertandingan di art festival IPB. Dalam lembaran berwarna berukuran 6 R, terlihat Keara tersenyum lebar disebelah Abel.
Abel bukan anggota tim dance. Namun gadis Iskanti nyaris tidak pernah absen menyumbangkan yel-yel penyemangat dengan pandangan berbinar vitalitas dan kedua lengan mengangkat slogan tinggi-tinggi.
Keara berani taruhan seluruh isi tabungannya, jika ada staff stasiun tv lokal menangkap penampakan Abel kala itu, ia sudah ditarik ke studio dan dibayar mahal sebagai spectactor bayaran untuk program musik alay.
Walaupun sering melemparkan gurauan mengenai kebiasaan Abel, tidak bisa dipungkiri jika ada yang kurang jika tidak menemukan gadis bersurai sepinggul itu di barisan kursi penonton seperti beberapa bulan ini. Kehadiran Abel yang mendengkingkan namanya setara denga kesahihan hukum newton ke tiga. Semakin keras Abel menyerukan namanya, semakin tumbuh semangat Keara untuk membalas dengan cara memberikan performa terbaiknya.
Terdengar Klise. Aksi reaksi yang berkesinambungan diantara penari dan fans-nya melahirkan defraksi perasaan di antara mereka, yang awalnya dibalut kemuning persahabatan berganti merah jambu renjana. Setelah berkali-kali mencoba membantah debar jantungnya yang selalu tereskalasi kala berada dekat Abel, Keara memberanikan diri membuat pengakuan tidak terduga pada jam makan siang tertanggal 12 Juni lalu, pada saat jam makan siang.
"Bel, I think i like you!"
Tidak ada gurat terperanjat di air muka Abel mendengar ucapan Keara, yang terdengar lebih seperti desisan tertahan.
"Gee, thanks! Everyone like me anyway," selorohnya dengan nada penuh narsisme. Bibir penuh itu tertarik membentuk seringai lebar, hingga sepasang netranya menyipit.
Di bangku seberang, Air muka Keara mendadak mendung. Sunggingan di mukanya sudah sekecut lemon. "But...I like.. you more than a friend," balasnya dengan nada sendu sebelum menguburkan pandangan penuh lara ke meja plastik, yang berisikan dua mangkok bakso dengan asap masih mengepul dan teh botol dingin berembun di permukaan kacanya.
Napas Keara tersekat di tenggorokan. Mengkerkah bibir bawah kuat-kuat jadi satu-satunya pilihan, agar embun di pelupuk matanya tidak lungsur di pipi. Rok seragam Keara pun ikut jadi korban pergolakan emosi-- tampak kusut seakan belum digosok karena sedari tadi sepasang tangan sang hawa sibuk mengcengkeram lapisan kain abu-abu itu.
Sejujurnya Keara sudah siap ditolak, tetapi ia belum (tidak akan pernah) siap jika Abel menjauh di masa mendatang seolah eksistensinya hanya sebatas mitos.
Lebih buruk lagi kalau puan penyuka parfum floral itu sampai hati melemparkan tatapan geli dan kemudian berlari seakan Keara adalah sampah masyarakat pembawa sial.
Oke Bogor, mungkin khayalan Keara berlebihan. Masalah utama yang ia hadapi bukan hanya tidak punya clue mengenai perasaan Abel terhadap dirinya. Ia juga tidak paham Abel ini akan berkiblat di galaxy mana, jika sudah berhubungan dengan representatif kaum pelangi. Akankah ia mendukung dengan berpedoman prinsip kemanusiaan atau justru dia tipe kolot yang memandang seseorang dengan orientasi berbeda tidak ubahnya malapetaka yang harus disingkirkan? Ah kenekatan memang selalu melahirkan sesal di akhir.
Well Bumi Buitenzorgh, semesta sedang ingin berpihak pada Keara hari itu. Tidak ada penolakan penuh sarkasme atau makian histeris atau pelototan jijik dilayangkan kepadanya. Hanya ada jemari dengan kuku merah terang dalam pantulan matahari menyisiri surai selembut sutra milik Keara.
"I don't like you silly, but I love you more than a friend."
Untuk sesaat Keara seperti berada di dimensi yang berbeda. Jawaban Abel begitu terdengar membahana di rungunya sehingga Keara menjadi tuli untuk menangkap bunyi-bunyi lain. TIdak lagi bisa ia menangkap langkah kaki dan obrolan ramai haha-hihi dari gegap gempita para siswa di jam istirahat. Seakan terkena sihir, indra penglihatannya pun mendadak kehilangan fungsi juga. Pandangannya mengabur terkecuali untuk figur Abel yang janggalnya semakin terlihat jelas seakan ia sedang melihat Abel dari layar raksasa tiga dimensi di bioskop. Oh tolong jangan tanyakan keadaan indra lainnnya. Penciumannya terlalu dipenuhi wewangian lembut milik Abel. Tangannya terasa mati rasa, tidak sanggup merasakan permukaan lembut fabrik seragamnya, namun masih sanggup merasakan tangan mulus milik Abel bermain-main dengan rambutnya.
"So are we know....uhm abel? "
"Ya ampun Keara, yang kayak gitu masih perlu ditanyain?"
❄❄❄
Momen bersejarah itu berlangsung enam bulan yang lalu. Empat bulan setelahnya Abel menjadi salah satu siswa yang terpilih mengikuti program pertukaran pelajar ASF. Mungkin memang begitu cara takdir bermain-main dengan perasaan anak cucu adam, sengaja mempertemukan mereka dengan keberuntungan dan kesialan dalam waktu bersamaan.
Wahai Buitenzorg yang tidak pernah sepi dari senandung hujan, jangan berani-beraninya kamu tanyakan ke Keara mengenai bagaimana perasaannya kala itu. Bisa-bisa dia menulis buku setebal trilogi Dilan untuk mendeskripsikan rasa kangen yang menerpanya tanpa henti.
Keara bukan penggemar bocah tengil dalam balutan jaket jeans, yang membelah jalanan beraspal kota Bandung dengan moge tua, penuh jumawa itu. Namun dia harus mengakui perkataan ikonik si Dilan dilan itu benar adanya, rindu memang berat. Apalagi jika kamu hanya bisa berkomunikasi face to face di waktu-waktu tertentu, dengan layar alat elektronik sebagai pembatas seperti sekarang.
Ketuk-ketukan kuku Keara di mejanya mendadak berhenti, saat screen dari komputernya dipenuhi rupa familiar yang ia rindukan.
"Kok belum tidur? disana udah tengah malam juga," protes Abel dengan bibir tercebik, "Kalau tidur larut malam nanti disekolahan kamu ngantuk, terus nanti ketiduran, terus ketahuan pak Sucipto terus.... "
"Terus aja terus Bel, biar panjangnya nyaingin jarak stasiun Bandung ke stasiun Gambir, " timpal Keara. Ia terkekeh begitu dalam sampai kedua matanya membentuk sepasang garis horizontal bersisian.
"Ya abis kamu, gak ada hujan, gak ada angin tiba-tiba ngajak skype-an di luar jadwal biasa. Untung aja aku lagi online! Segitu kangennya sama aku ya..hmmm?" tanya Abel dengan satu alis terangkat.
Di lain waktu Keara sudah pasti menggeleng membantah, tidak peduli jika pipinya sudah bertinta merah. Kali ini ia putuskan untuk menelan gengsinya dalam-dalam. "Banget Bel, " balas Keara dengan pandangan sayu. Ada getaran kesedihan merambat dalam suaranya, yang nyaris terdengar seperti bisikan.
"Gak usah sedih Keara nu gelis, tiga hari lagi kan aku uda nyium udara Bogor. Pokoknya I'll be home for Christmast. Nih lihat aku lagi packing," tutur Abel yang kemudian bangkit dari tempat duduk dan menggeser kursinya. Ia menggerakan laptopnya dekat ke ujung meja sehingga Keara bisa menangkap pemandangan di lantai.
Ada dua koper tergeletak di lantai, dengan beberapa pasang baju berhamburan di sekitarnya. Belum lagi ada beberapa bungkus plastik hitam bertaburan yang only Abel know what's actually she put inside.
Keara menahan napas. Netranya tak kuasa layangkan pandangan penuh penghakiman, melihat betapa berantakannya kamar homestay Abel.
"Halah neng Abel, geulis tur anggun na mereun sapertos putri , tapi kamarna pabalatak nageluewihin kapal karam." (Cantik dan anggun boleh seperti tuan putri, tapi kamarnya berantakan melebihi kapal karam).
Tawa Abel lepas bertalun setelah mendengar omelan Keara. "Neng Keara tong galak-galak ceunah, engke kuring sono ka anjeun leuwih!" ( Nona Keara jangan galak-galak ya, nanti aku makin kangen!)
"Halah Abel gombal!" sungut Keara. Bola matanya berotasi gemas. Jauh di lubuk hati ia meledak dengan euforia, tiap Abel loloskan rayuan.
"Ih urang mah jujur atuh neng Keara. Tapi beneran ya kangen dengar suara hujan deras di tengah malam, terus nyium bau petrichor di pagi harinya. Main-main ke Botani Square buat borong komik Miko di Gramedia. Terus jajan-jajan cantik di sepanjang jalan Pajajaran. Ya ampun kangen banget nonkrong di Death by chocolate apalagi sama Ice chocolate dan lava cake-nya," ujar Abel dengan mata menerawang. Tanpa sadar lidahnya menjulur keluar, menjilati bibirnya yang kering.
Keara menopang tangannya dengan kedua dagu. Ujung-ujung bibirnya melengkungkan senyum kecil. "Jangan kebanyakan makan cokelat Bel, nanti kalau sakit gigi, baru tahu rasa!" omel Keara.
Nada suara gadis Wihelmina itu mungkin menyampaikan kekesalan, tetapi bulir-bulir embun yang melingsir di manik matanya menggemakan kerumpangan hatinya. Bibirnya melandai seiring debaran jantungnya yang berdenyut nyeri setelah mendengarkan semua celetukan kekasihnya.
Keara benci jatuh tidak berdaya seperti ini. Ia bukan hanya kebanyakan meneguk siksaan rindu , namun juga didera firasat buruk. Bayangan itu mencuat lagi di kepala, tumbuh pesat menyedot semua harapannya, layaknya hama yang tidak pernah bersimpati pada induk semangnya.
"Earth to Keara. Hallo, are you still there young lady?" Abel bertanya seraya melambaikan telapak tangannya ke udara.
"Eh...eh..iya..iya... masih...masih kok Bel..." sahut Keara kelabakan.
Biasanya jika sedang dilanda panik, kapten eskul dance itu jadi terkena serangan latah. Bubar sudah citra cool dan chic yang ia pancarkan. Keara meringis hingga pangkal hidungnya berkerut, saat Abel terbahak menyaksikan tingkahnya.
"Udah gih, tidur gih mata kamu uda berair gitu," tukas Abel setengah memerintah, "Bentar lagi kan kita ketemu, sayang!"
Keara termanggu mendengar permintaan kekasihnya. Ia menggigit birainya dengan gelisah. Ada perang di balik kepalanya, untuk menuruti kata sang kekasih atau tetap online. Ia tahu kalau Abel paham, penyebab netranya berkolam bukan hanya rasa kantuk semata, namun hal lainnya.
Pada akhirnya ia mengalah. Keara
memanggutkan kepala seraya menghujani Abel dengan tatapan nanar. Jari jemari yang merekat pada mouse terpaku sekian sekon, sebelum akhirnya ia menggerakan benda itu untuk memutuskan sambungan.
"Semoga semesta memberikan waktu untuk bertemu," ucapnya dalam hati. Di saat bersamaan monitor komputer yang tadinya menampilkan wajah Abel, laun-laun menggelap seiring koneksi yang terputus.
-tbc-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top