i'll Be Home For Christmas (Yeji/Lia) part 2
Di hadapan waktu yang tak lagi bersuara. Di dalam sunyi yang patah patah. Aku membiarkan namamu menjadi himne panjang. Yang diulang-ulang dalam ingatanku
(Ama Ahmad - keterampilan membaca laut)
kayla's note : perhatikan tanggal. Cetak miring menandakan past tense.
5 Januari 2020
Keara bukanlah tipe orang yang akan bangun pagi-pagi pada saat akhir pekan. Tidak peduli, jika ia punya jadwal ke gereja pada pukul sembilan. Gadis itu kokoh untuk tidak meninggalkan kasur, bersamaan dengan suara ayam berkokok. Silahkan bertanya kepada Keanu, betapa susahnya menyadarkan Keara dari alam mimpi. Dipastikan lelaki berbibir penuh itu, akan memuntahkan sejumlah omelan, saking kesalnya pada manusia yang dulu berbagi rahim dengannya.
Namun, itu cerita tahun lalu. A certain name sucesfully breaks her lazy sunday habit. Keara even wakes up before the dawn. Dengan mata yang masih sebelumnya sepenuhnya terbuka, ia meluruskan punggung dan bersandar di tepi kasur. Jari jemari milik dengan kuku berlapis merah marun itu, menari di atas keypad dengan lincah.
Ponsel merekat di rungu, kening berkerut dipadu jantung yang berdegup, demi sebuah 'halo' dari negeri seberang.
"Hai, Abel disini."
Suara familiar menjawil telinga, melahirkan senyum di wajah sayu Keara.
"Saya tidak bisa menjawab telepon di sini. Tolong tinggalkan pesan setelah nada berikut."
Rahangnya mendadak kaku. Cengkeramannya pada smartphone pun kini mengeras. Lengkungan sukacita itu terdistraksi dan laun-laun menurun ke bawah. Lagi dan lagi gadis bermata kucing itu, hanya disambut kotak pesan suara.
"Abel, kumaha damang? Urang kangen sama neng geulis. kamu uda lupa ya sama Bogor? Betah banget disana kayaknya."
Klik, telepon ditutup. Keara membidikkan pandangan ke langit-langit. Kontemplasinya hanya melahirkan sejumlah teka-teki yang membuat keningnya berkerut. Sekon, menit, jam, hari, dan bulan, tetap belum ada tanda-tanda bayangan Abel akan mewarnai kanvas hidupnya lagi.
Netra Keara terasa memanas, mengingat Abel menyalahi janji untuk membuat kukis natal bersamanya. Silahkan maki ia pathetic. Namun, gadis itu yakin Abel punya alasan yang kuat dibalik kealfaannya. Dan karena itulah, ia masih bertahan dalam ketidakjelasan status sampai saat ini.
♣️♠️♣️
14 Januari 2020
Tanpa sadar Keara membangun kebiasaan baru. Habit untuk menelepon Abel sebelum baskara menguasai permukaan langit dan setelah purnama bertahta di cakrawala. Saking rutinnya, melakukan ritual ini menjadi semudah bernapas.
Hanya saja tidak seperti menghirup oksigen, kebiasaan ini tidak membuat dadanya terasa lega. Alih-alih demikian, setiap dia selesai menghubungi Abel, udara di paru-parunya lenyap bergantikan oleh gelombang lara yang membuncah-- dirinya seperti ditarik tenggelam ke palung nestapa terdasyat. Bodohnya, ia tidak berusaha berenang ke tepi.
Bukan tanpa kausa, ia membiarkan dirinya ditelah bulat-bulat kesedihan. Ia tidak bisa meninggalkan kebiasaan itu, sebelum mendapatkan jawaban pasti. Sebenarnya hal maha dahsyat apa yang menimpa Abel, sampai gadis itu berubah pikiran dan memilih menetap di Jerman? Program homestay-nya saja sudah berakhir sebelum kembang api memadati langit tahun baru.
Keara menghempaskan napas lelah. Ia mengacak rambutnya frustasi. Lagi dan lagi usahanya hanya disambut pesan mailbox. Dan untuk kesekian kalinya ia tetap menjejali kotak suara Abel, dengan cerita yang mungkin gadis itu, tidak akan pernah dengar.
"Abel, tadi aku sama yang lain jalan-jalan ke daerah Padjajaran. Suasananya damai pisan di dinya saatos hujan. Sepanjang jalan, kavling daun hejo bikin seger mata. Aku jadi ingat kamu. Kamu kan tresna sama bau tanah saatos hujan sarua warna hejo. " ("Abel, tadi aku sama yang lain-lain jalan di daerah Padjajaran. Suasananya asri setelah hujan. Sepanjang jalan, pemandangan dedaunan hijau menyegarkan mata. Aku jadi teringat sama kamu yang suka bau tanah setelah hujan dan warna hijau.")
Suara Keara perlahan semakin memelan dan hidungnya sudah merah.
"Teruskan tadi hang out di Death by Chocolate. Aku mesan minuman kesukaan kamu lho. Segar banget. Disana juga banyak menu baru. Nanti kalau kamu sudah pulang, kita coba ya. "
Klik, sambungan telepon dimatikan. Tidak ada isakan pelan yang memenuhi ruangan, namun rupa cantik itu sudah dibasuh rinai lara.
Detik terhimpun jadi menit. Menit terakumulasi jadi Hari. Hari terkumpul jadi bulan -- Pergantian waktu menghempaskan sisa-sisa harapan Keara untuk bertahan. Namun, ia tidak mau bergerak ke lain arah, sebelum ada kata usai diantara mereka.
♣️♠️♣️
24 Januari 2020
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul dua puluh lewat lima belas. PR Fisika Keara baru setengahnya selesai. Ia mengerutkan kening, berpikir mengapa dia harus menghitung kecepatan benda yang jatuh. Apa gunanya untuk masa depan Keara?
Meletakkan pulpen dan menutup buku, Keara bangkit dari kursi. Tangannya mengambil handphone yang tergeletak di ranjang.
Bibirnya tercebik melihat layar ponsel, yang menunjukkan tanda susah sinyal. Dengan terpaksa, ia keluar dari kamarnya untuk mendapatkan sambungan yang lebih baik.
Keara memilih berdiri dekat tangga, persis di depan kamar Keanu. Ia mengacungkan ponselnya beberapa kali seraya menggoyangkan ke kanan dan kiri.
Mungkin ia terlalu memusatkan atensinya terhadap ponsel, sampai tidak sadar kalau Keanu keluar dari kamar dan menghampirinya.
Dengan sigap lelaki bersurai tebal itu, menarik smartphone dari genggaman Keara.
"Aa' apa-apaan sih?" pekik Keara gusar. Lengan panjangnya berusaha merebut balik ponselnya daru cengkeraman Keanu. Too bad, lelaki berbibir ranum itu, terlalu lihai menyembunyikan di kantung celananya.
Keaera merotasikan netranya dongkol. "Balikin gak? Aku lapor mama ya supaya uang jajan Aa' dipotong!" ancamnya tanpa ragu.
"Kamu mau menelepon siapa?" tanya Keanu yang nampaknya tidak peduli pada gertakan yang Keara kumandangkan.
Pertanyaan Keanu memancing dengusan frustasi loros dari birai delima Keara. "Mau menelepon Abel-lah. Emang siapa lagi?"
Pupil Keanu konstan melebar, setelah Keara menyinggung perihal sang dara berkulit cerah itu. "Keara, hentikan semua kegilaan ini. Abel sudah tiada!"
Intonasi suara Keanu tidak naik satu oktaf pun. Namun, di rungu Keara, peringatan dari Keanu terdengar memekakkan seperti sambatan halilintar. Dada Keara seperti dicabik oleh pisau tidak kasat mata. Sekujur tubuhnya mendadak terasa letih. Namun, entah mendapatkan kekuatan dari mana, ia masih bisa me-manage sanggahan lewat gelengan kepalanya.
"Maksud Aa' apa? Jangan ngomong sembarangan! Kalau dia meninggal pasti ada kuburannya. Keara pasti berziarah ke pemakamannya!" bantah Keara setengah berteriak. Liquid nestapa sudah berkolam di paras sendunya.
"Berhenti ngebohongin diri sendiri, Dek," ujar lelaki itu terlihat berusaha sabar. Ia mengeluarkan ponsel adiknya kemudian mengetikkan sesuatu di sana. Layar handphone itu ia acungkan ke udara agar Keara bisa melihat dengan jelas ke arah sana. Dengan suara nan lirih, Keanu bergumam,"See, kamu bisa lihat kan ada nama Abel dalam daftar korban hilang kecelakaan pesawat itu?"
Bahun Keara terkulai lemas. Lututnya nyaris kehilangan asa untuk menyanggah tubuhnya. Fokus netranya mengabur. Sepersekian sekon kemudian teriakan Keanu membahana di saat Keara kehilangan kesadarannya.
♣️♠️♣️
Chrismast Eve
Tubuh Keara terbaring lemah di atas kasur. Netranya terlalu banyak meneteskan air mata, untuk bisa berfungsi normal membaca ayat kitab injil. Bibir delimanya terkatup erat tidak dipakai untuk menyanyikan lagu pujian. Tidak ada misa di gereja. Tidak ada perayaan penuh keceriaan. Tidak ada pertukaran kado. Tidak ada kue-kue natal memenuhi mulutnya.
Keara hanya bisa merintih putus asa, sejak kabar pesawat yang ditumpangi Abel jatuh dalam perjalanan. Semua penumpang dipastikan tewas. Pencarian blackbox dan jasad para korban masih dalam proses.
Keara berteriak penuh frustasi, membuat Keanu berlari panik ke kamar saudari kembarnya itu.
"Ke... please," panggil Keanu sembari memadang Keara penuh kekhawatiran.
Hanya tatapan nanar yang Keanu terima sebagai jawaban. Sayup-sayup isakan Keara kembali mengudara ketika Keanu mendekapnya. Ia menangis sampai ia jatuh tertidur dengan wajah sembab, dalam pelukan kakaknya.
Keara berharap ini semua mimpi buruk. Kelak, ketika ia terbangun, gadis itu akan menelepon Abel. Pacarnya itu akan menjelaskan mengapa ia tidak pulang ke Indonesia. Semua akan baik-baik saja, iya kan?
♣️♠️♣️
Dua bulan sebelum Abel berangkat ke Jerman.
Hari itu Bogor kembali dijamah oh rinai gerimis. Keara dan Abel sedang duduk mengobrol di halte depan sekolah seraya menunggu bis.
"Eh kalau aku ditakdirin pergi dari dunia duluan, kamu bakal ngapain?"
Pertanyaan spontan Abel memancing firasat buruk bertengger di kepala Keara. Rasa heran terpeta dalam bentuk kernyitan dalam di pelipis gadis itu. Ada butiran pasir nyeri yang mengendap di paru-parunya. Namun, sebisa mungkin Keara berusaha mengabaikan.
"Kok kamu nanyanya gitu sih Bel? Pamali ah, gak boleh gitu! " sergah Keara, kesal.
"Ih Keara, gitu aja kok ngambek. Jawab aja lagi!"
"Enggak tahu! Kalau situasinya dibalik, kamu sendiri bakal ngapain?" tantang Keara
"Aku bakal sedih banget, nangis berminggu-mingu. Aku gak bakal ngelupain kamu , I swear, tapi hidup kan terus berjalan. Jadi ya aku bakal cari pacar baru lagi! gurau Abel seraya terkekeh ringan.
"Dih, enak banget, Dasar Abel genit!" sungut Tiara seraya berpura-pura memasang ekspresi masam, lengkap dengan bibir tercebik.
Sementara itu tangan Keara justru aktif bergerak mengelitiki perut Abel sampai gadis itu tergelak keras sebelum terus menerus memohon ampun. Beberapa pasang mata menembakkan pandangan ingin tahu, namun keduanya memutuskan untuk tidak hirau.
Keara terus 'menyerang' Abel sampai napas gadis itu pendek-pendek. Dadanya bergerak naik turun bersamaan dengan mukanya yang memerah.
"But Keara... seriously," ujar Abel di sela-sela dirinya berusaha menstabilkan kondisi.
Alis kanan gadis Wihelmina itu menukik ke atas. "Apa?"
"Kalau memang salah satu dari kita dipanggil duluan, yang ditinggalkan harus tetap bertahan, melanjutkan hidup," ucap Abel dengan intonasi tenang. Air mukanya pun tidak terlihat menggelap, seakan dia hanya menyampaikan ramalan cuaca biasa.
Berbeda dengan Keara yang tampak tertegun setelah mendengar perkataan Abel. Rona wajahnya memucat. Ada rasa gatal untuk menggerakkan lidahnya, menasehati kekasihnya itu, agar tidak bicara sembarangan. Namun deru suara bus yang datang, membuatnya menelan niatnya. Keara berjalan gontai, masuk ke dalam kendaraan umum berwarna biru itu. Berkebalikan dengan Abel, yang melangkah ringan sambil sesekali bersiul.
Petang itu, Alam sudah mengirimkan isyarat, pun juga Abel telah berbahasa melalui celetukannya. Sayang, Keara terlalu lengah untuk menangkap semua pertanda dari semesta.
♣️♠️♣️
Bertekad melanjutkan hidup seperti apa yang pernah Abel pinta, Keara menemukan dirinya berada dalam tempat konsultasi di bilangan Bogor Kota. Mulai dari dinding hingga lantai keramik, ruangan itu di dominasi warna putih yang membosankan. Wewangian pinus tercium samar oleh hidung Keara. Mungkin psikolog bernama Nana yang duduk di seberangnya itu, memasang aromatheraphy agar para pasiennya bisa merasakan sedikit tenang. Namun, hal itu tidak berpengaruh apapun terhadap Keara. Rongga dadanya tetap dicengkram oleh nelangsa yang menolak untuk pudat.
"Baik, Keara, kamu bisa menceritakan apa yang telah terjadi?"
Keara menghela napas pendek. Tatapan kosong sang dara jatuh ke arah sepatu kets-nya yang sedikit berdebu. Sepasang tangan miliknya yang berpangku di paha, saling mencengkram erat dengan gelisah. Tidak mudah bagi Keara untuk dihadapkan pada situasi yang memintanya untuk membongkar peti kenangan pahit.
"Relax saja, Keara," sahut Nana, membuahkan angukan dari Keara.
Keara menengadahkan kepala hingga pandangan mereka bersitemu. Ia sebetulnya tidak terlalu percaya pada Nana, tetapi lidahnya seperti punya kuasa sendiri. Semua cerita tentang Abel lucut begitu saja dari mulut Keara. Tentunya disertai oleh rupa yang basah dengan hangatnya cucuran percikan emosi. Nana mendengarkan dengan penuh perhatian, seraya menghadiahinya pandangan penuh simpati.
"Apakah kalian lebih dari seorang teman?" tanya sang psikolog hati-hati. Matanya menelaah lekat mimik Keara, yang tampak seperti menahan perih.
Bibir Keara bergetar hebat membuat Nana menyodorkan segelas air putih seraya berucap, "It's okay kalau kamu tidak mau cerita."
"Friend or Lover, I lost her in both ways," simpul Keara seraya membisikkan penderitaannya
Desibel suara si bungsu Wihelmina berbaur dengan bunyi pendingin ruangan, sebelum ditelan oleh kokohnya abar-abar.
Lebih dari satu bulan setelah kecelakaan naas itu, Keara akhirnya terpaksa mengakui kalau nasib telah memutus titik temu diantara mereka. Abel tidak berpulang ke dalam dekapannya, melainkan luruh, dalam rengkuhan semesta.
-Fin-
Okay. I'm so lame bcz it takes a century to finish it. Jangankan natal, valentine pun sudah lewat asdfghjklll.
Also dedicated to @blackswan_iz
Happy belated birthday! Gotta write a happier ending for yejisu someday!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top