FOCUS, 1991 pt 1/2 (Mark/Chaeyoung)
Hidup adalah sebuah pilihan. Kalau ada yang mengatakan idiom itu di depan muka Mark, ia hanya akan mengangguk dengan mimik datar.
Di usia terbilang muda, keadaan sudah memaksa Mark mengambil pilihan-pilihan penting dalam hidup. Tanpa perlu ada yang menasehati, Mark paham setiap alternatif yang ada akan menggiringnya menghadapi keuntungan dam risiko yang berbeda.
Memilih menjadi atlet Catur Igo (atau juga dikenal sebagai Baduk), Mark terpaksa menempuh jalur pendidikan home schooling. Dengan kata lain, ia telah melepas gaya hidup normal dari jangkauan tangan.
Jangan tanyakan kepada Mark soal asyiknya bertukar bekal pada jam istirahat sambil merumpi soal gadis - gadis! Ia tidak berpengalaman sama sekali. Begitu juga keseruan menggocek bola di lapangan hijau setelah bel pulang berdentang. Mark juga tidak punya ide bagaimana repotnya terjebak antrian panjang bioskop di akhir pekan.
Sebagian besar waktu Mark didedikasikan untuk berlatih. Sisanya untuk belajar dan sesekali bersosialisasi dengan anak satu komplek. Bahkan, di saat yang lain menikmati study tour yang penuh kesan, Mark malah beradu sengit dalam turnamen Internasional di negara orang.
Namun, pengorbanan membuahkan hasil setara. Kala teman-teman masih bergantung pada orang tua, tabungan Mark sudah cukup untuk membeli rumah dan mobil. Bila para tetangga gemar mengeluhkan kenakalan putra mereka, ayah dan ibu Mark bisa tersenyum bangga menceritakan kecemerlangan prestasi Mark.
Bukankah semua itu cukup sebagai kompensasi untuk menggantikan masa mudanya yang tidak berwarna? Ya, Mark pernah merasa semua itu setimpal, setidaknya sampai tiga sekon lalu.
Mark menghela napas. Sudah lama ia memendam perasaan pada tetangga seberang rumah. Pindah dari kota metropolitan, Kanada ke dusun Ssangmundong, dusun di Korea menempatkan Mark kecil terjebak dalam kondisi awkward. Kemampuan bahasa Koreanya yang pas-pasan membuat Mark otomatis terasing di sekolah.
Beruntung Yeji datang menawarkan persahabatan. Gadis kecil itu tanpa sungkan mengajak Mark mengobrol dan bergabung dengan teman-teman lainnya. Ia juga tidak tinggal diam, membela Mark ketika anak berandalan berusaha menganggu. Sesibuk apa pun Yeji, si cantik bermata sipit itu selalu punya waktu untuk mendengarkan keluh kesah Mark soal tekanan menjadi pemain profesional.
Seiring berjalan waktu benih-benih afeksi mulai tumbuh di hati Mark untuk Yeji. Sayang, perasaan cinta Mark kandas sebelum sempat mekar secara utuh. Kenyataanya Yeji tidak pernah melihatnya lebih dari sahabat. Ia menaruh hati untuk orang lain.
Saat ini dari balik kaca jendela, Mark menyaksikan Yeji diantar pulang Jeno. Mereka duduk berboncengan pada scooter berwarna krem. Sebelum Yeji beranjak masuk, ia menyempatkan diri memeluk erat dan mencium pipi pemuda bermata sipit itu.
Mark tidak mau tahu apa yang terjadi selanjutnya. Dengan hati retak, ia menutup jendela dan merebahkan tubuh di atas kasur. Selama beberapa jam Mark hanya termenung, menatap hampa langit-langit kamar. Penerangan kamar yang sudah digelapkan bahkan tidak membantunya terlelap.
Musim panas tahun 1991, air mata Mark mengucur tanpa suara. Mungkin setelah menganugrahi Mark kemenangan bertubi-tubi dalam turnamen baduk, semesta pikir sudah saatnya Mark jatuh dalam nelangsa dan berkenalan dengan patah hati. Yang serba hebat pada akhirnya akan kalah dengan yang selalu ada.
***
Braak!
Tanpa sadar Mark mengetuk meja keras keras, mengakibatkan seluruh mata dalam ruang tunggu menatapnya dengan raut ngeri bercampur penasaran.
Mark buru-buru berdiri, hanya untuk membungkuk ke segala arah sambil berucap kata maaf berkali-kali. Meski raut wajahnya menunjukkan rasa sungkan, tetapi kedua telapak tangannya mengepal, menahan emosi.
Batinnya sibuk memaki otak yang tidak mau diajak kerja sama. Bisa-bisanya peristiwa menyakitkan terputar di kepala kala ia harus menghadapi turnamen final.
Berpedoman pada jarum jam di pergelangan tangan, Mark memutuskan pergi mencari udara segar. After all dia masih punya waktu satu jam sebelum pertandingan dimulai. Dalam keheningan ia melangkah keluar sendirian. Walkman Mymy keluaran terbaru cukup membantu untuk melindungi telinga dari bisik-bisik gunjingan yang masih berlangsung.
Sempat berjalan tanpa arah, Mark akhirnya berhenti di minimarket dekat telepon umum. Ia butuh minuman dingin untuk menyegarkan kerongkongan sekaligus juga kepala. Mengedarkan pandangan, netra Mark akhirnya terpaku pada banana milk yang hanya tersisa satu kotak di etalase.
Tepat saat ia mengulurkan lengan, ada satu tangan dari arah berlawanan yang juga berusaha meraih minuman tersebut pada saat bersamaan. Mark terkesiap. Matanya refleks melirik siapa sosok di sebelahnya.
Ada seorang gadis mungil di sana dengan rambut bob hitam sebahu dan mata bundar yang menyiratkan kerisauan. Tahi lalat kecil di atas bibir terlihat mencolok sekaligus mempermanis wajahnya.
Mark menggeleng kecil sebelum memijat tengkuk. Ini bukan saat yang tepat untuk tertarik pada lawan jenis di saat luka hatinya masih belum sembuh.
"Kalau mau ambil saja susu ini."
Mark berkata sembari menyodorkan susu pisang ke genggaman si gadis.
Anehnya kebaikan Mark justru disambut dengan ekspresi dingin dan celetukan sarkastis. "Semudah itu kau mengalah?"
Kening Mark terlipat samar. Dia tidak yakin mengapa perempuan di depannya terlihat kesal. Bukankah dia sudah berbuat baik?Mark menghela napas lelah. Reaksi negatif si lawan bicara menyebabkan situasi awkward yang sedari tadi membungkus mereka terasa semakin mencekik.
"Apa karena aku perempuan?" tanyanya dengan nada hampa.
Mark menggeleng secepat kilat. "Bukan! Aku lihat kau begitu sedih saat tanganku menyentuh kotak susu. Jadi, ya aku mengalah saja. Toh, aku bisa mengambil minuman lain."
Di luar dugaan penjelasan Mark malah bikin bibir si lawan bicara tersungging lebar seolah-olah dia baru saja memenangkan lotre. Senyumannya begitu cantik, tetapi di mata Mark malah terlihat ganjil. Tanpa sadar bahu laki-laki itu bergidik ringan
"Kau punya kemampuan pengamatan yang bagus, ya," ujar sang gadis seraya mengangkat satu alis
"Apa ini semacam pujian?"
Nada suara Mark yang mengindikasikan ketidaknyamanan dan kebingungan, nampaknya menjadi semacam hiburan baginya. Dia tampak terkekeh riang. Berbeda dengan ekspresinya yang berubah ramah, manik mata perempuan itu malah menyorot Mark tajam seakan ingin menyantapnya.
"Mungkin. Fokus dan pergunakan kemampuanmu sebaik mungkin, ya. Jangan mudah mengalah di pertandingan nanti," sahut puan berambut pendek itu seraya mengepalkan salah satu tangan dan mengangkatnyake udara.
Melihat antusiasme si gadis, Mark berpikir mungkin dia hanya another fan dengan kelakuan sedikit berbeda.
"Iya," ujar Mark pelan dengan senyum sopan mengembang tipis di muka. Dia tidak yakin telah memberikan respon yang tepat. Sang "penggemar" berlalu tergesa-gesa tanpa melihat ke belakang setelah Mark menyetujui saran darinya.
***
Mark menyipitkan mata. Di tengah-tengah siraman flash kamera wartawan, ia bisa menatap jelas siapa lawan mainnya. Perempuan yang tidak sengaja ia temui tadi ternyata bukan orang sembarangan.
Entah kenapa napas Mark tersekat di kerongkongan kala pandangan mereka tidak sengaja bertubrukan. Semoga saja ini bukan pertanda buruk....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top