Editorial (Jiyeon/JB)
Judul : Editorial
Pengarang : Kaytalist
Cast : T-ara Jiyeon
Got7 JB, Jackson, Jinyoung
Crossposted di halloauthor
Apa yang pertama kali kau pikirkan bila mendengar kata editor?
Bila kau tanya ke para penulis, mereka mungkin akan memberimu beragam jawaban. Sebagian penulis menganggap kami sebagai sahabat, partner in crime atau teman brainstorming untuk mengeksekusi ide yang mereka miliki ke dalam sebuah buku. Akan tetapi, tidak sedikit dari para perangkai kata yang menganggap kami sebagai musuh dalam selimut.
Harus diakui sentuhan kami pada suatu buah karya bisa mengakibatkan sang penulis menghabiskan waktu lebih untuk sekedar revisi atau bahkan gagal terbit. Namun, semuanya terjadi bukan tanpa alasan. Di punggung kami ada tanggung jawab yang besar.
Biar kujelaskan lebih terperinci. Ada banyak orang yang terlibat dalam penyampaian satu karya tulis dari penulis ke pembaca, mulai dari editor, tukang percetakan, sirkulasi, karyawan toko buku dan masih banyak lainnya. Butuh banyak aliran dana segar untuk membayar jasa mereka agar industri penerbitan tetap berjalan dan mendapat untung.
Salah besar bila ada yang menduga tugas editor hanya mengoreksi typo dan kesalahan kaidah kepenulisan. Butuh skill analisis dan intuisi tajam bagi seorang editor untuk memilah dan mengedit naskah yang bagus dan bisa dijual ke pasar. Tolong digarisbawahi empat kata terakhir, ya.
Bisa membaca suatu karya gratisan yang belum beredar di pasaran mungkin terdengar menyenangkan. Hanya saja benefit dari profesi kami juga diikuti tekanan tinggi. Beban pekerjaan editor akan semakin bertambah bila penulis susah diajak kerjasama untuk memenuhi deadline seperti sekarang.
Ini sudah ketiga kalinnya kugerakkan jari-jari berkuteks biru milikku di tuts telepon, tapi seseorang di seberang belum juga mengangkat.
Manik mataku membulat saat akhirnya kudengar kata "halo" dari sambungan.
"Ya, Jackson Park, darimana saja kau? Pesan tidak dibalas, telepon tidak kunjung digubris."
"Ya ampun, Park Jiyeon, kau kedengaran seperti pacar yang lagi cemburu, tahu."
Bibirku sontak berdecih mendengar gurauan sang flamboyan yang sama sekali terdengar tidak lucu. "Kalau bukan karena deadline, Aku tidak mau berurusan dengan kau, tahu!"
"Mulutmu tajam sekali, Hati Jaksonnie jadi sakit...," rajuknya dengan nada manja seperti anak kecil.
"Berhentilah main-main kalau kau mau bukumu terbit tahun ini," desisku, berupaya menyetir pembicaraan ke arah lebih serius.
Seringaian licik terpatri di permukaan wajahku. Bisa kubayangkan air muka Jackson memucat, mendengar gertakanku. Asal tahu saja, aku tidak pernah main-main dengan ancamanku. Novel Jackson dan beberapa penulis lain pernah ditunda waktu perilisannya karena mereka tidak mengindahkan batas waktu yang telah kutetapkan.
"Ya, mana bisa begitu! Berilah aku waktu sedikit lagi, Jiyeon-ah. Aku sibuk membuat konten youtube, menulis naskah film dan melakukan casting untuk menemukan pemeran yang cocok."
Aku membuang napas lelah. Jackson memang bukan hanya berkecimpung sebagai penulis novel komedi saja. Pria asal Hongkong aktif sebagai youtuber, sutradara dan sesekali aktor film. Wajah tampan dan kelakuan lucu membuatnya menduduki posisi khusus di dunia hiburan tanah air. Dengan berbagai profesi yang ia lakoni, menjadi editor untuk novel-novelnya memang butuh kesabaran ekstra.
Aku tahu di lain hari ia mungkin mempunyai jadwal kerja gila-gilan. Namun, salah besar kalau dia pikir bisa menipuku saat ini. "Oh, aku tidak tahu kencan dengan model Lalisa Manoban di kapal pesiar merupakan bagian dari pekerjaan."
Hening sesaat. Aku mengulum bibir, menahan tawa. Kepala ini sibuk membayangkan seraut wajah tampan Jackson yang diwarnai kekagetan dan rasa malu setelah mendengar sindiranku.
"Yak, darimana kau tahu?"
"Dari decitan burung pipit dibalik jendela," candaku sambil terttawa sinis. "Ya! Beritanya sudah muncul di Linetoday beberapa jam lalu. Makanya kalau kencan, tak perlu disiarkan di IG story."
Kekehan Jackson menyapa di rungu. "Ya, maaf. Sudah lama aku tidak berkencan karena sibuk kerja. Jadi apa salahnya berbagi sedikit kebahagiaan? Let me take a rest for today. Janji deh, sisa naskah akan kuserahkan besok."
Aku memijat-mijat batang hidung sambil mengerutkan kening. Lagi-lagi dia menunda kesepakatan, tetapi, ya, mau bagaimana lagi? Meskipun dongkol, sebenarnya aku sedikit merasa kasihan pada Jackson yang nyaris tidak punya waktu untuk urusan pribadi.
"Baiklah, kutunggu besok. Sebelum jam makan siang harus sampai atau say goodbye untuk slot terbit tahun ini," tukasku tegas seraya mengakhiri sambungan sebelum dia sempat menggubris.
Aku memijat-mijat tengkuk dengan tangan kiri kala mataku menelusuri daftar nama yang harus kutagih hari ini. Hanya tinggal satu nama lagi, Park Jinyoung.
Kutekan-tekan keypad berdasarkan apa yang tertera di catatan. Helaian desah lolos dari biraiku saat terdengar bunyi telepon berdering. Beberapa detik terlewat, tetapi si empu yang dituju tidak kunjung direspon. Oh, no, jangan sampai ini berakhir dengan hanya answering machine yang menyapa gendering telingaku.
Bunyi telepon diangkat terdengar. Ekspresi rupaku yang tadi penuh kerutan muram seketika berubah lebih cerah. Baru saja mulutku mau berujar , "Halo, Jinyoung", tetapi dia keburu berseru lebih dulu, "Ya, Jiyeon-shi, kan sudah kubilang siang itu jadwalku bermeditasi. Teleponmu menganggu harmonisasi Zen-ku!"
Aku merotasikan bola mata, menipiskan bibir, berusaha keras untuk tidak berdecih. Tanganku bergoyang, mengetuk-ngetuk meja sebagai pegalihan emosi. Menjadi editor terkadang membuatku merasa berada di posisi debt collector. Sama seperti kasus debt collector pada umumnya, kadang yang ditagih bisa jadi lebih galak dari sang penagih. Ya, seperti Park Jinyoung ini.
Aku melembutkan nada bicaraku, berusaha bersabar, Ingat, kau tidak bisa melawan api dengan api, Jiyeon, ah.
"Jinyoung shi, aku tidak akan meneleponmu bila mendesak. Pak Bos bilang kalau bukumu tidak mencapai target minimal 350 halaman, beliau emoh mencetak."
"Ya, ceritaku memang harus selesai di tahap itu. Kalau ditambah-tambahkan, nanti alurnya malah kacau," tukas Jinyoung diikuti decakan jengkel.
Ya ampun author satu ini. Bisakah dia sedikit menurunkan batas idealismenya? Atau minimal berhentilah berbicara dengan volume meledak-meledak. Telingaku sakit, tahu!
"Cuman kurang dua belas halaman lagi, Jinyoung-shi. Kau tulis saja satu atau dua bab tambahan beberapa tahun setelah peristiwa itu terjadi. Kau bahkan bisa menambahkan puisi bila mau."
Saran yang kuberikan sepertinya cukup ampun. Meskipun terdengar malas, ia berujar dengan suara normal, minus pekikan, "Baiklah beri aku waktu sampai Rabu, akan kutulis chapter bonus setelah epilog."
Senyuman lebar menyeruak di tampangku. "Tenang, aku bahkan akan memberimu waktu tambahan sampai jumat, asal kau penuhi permintaan kami."
"Oke, dan tolong jangan hubungi aku di jam meditasi lagi," tegasnya sebelum memutus sambungan komunikasi.
Aku merapikan kunciran rambutku setelah menutup gagang telepon. Kuperhatikan postnote warna-warni di kubikel. Hari ini memang hanya Jinyoung dan Jackson saja yang perlu kuhubungi. Sayangnya, bukan berarti pekerjaanku selesai sampai di sini.
Aku mempunyai tanggungan mengedit draft akhir buku biografi nation first love Bae Suzy yang ditulis wartawan senior Oh Sehun. Aku juga butuh membaca draft akhir novel Krystal untuk terbitan bulan depan. Para penggemarnya di lini social media sudah heboh menantikan karya romansa terbaru dari Krystal. Apalagi, ada desas-desus novelnya sudah dilamar PH besar untuk difilmkan tahun depan.
Ya, tidak perlu otak jenius untuk menebak jika aku akan berakhir pulang setelah matahari terbenam hari ini. But, it's okay, I love my job. Walaupun bohong saja, kalau aku tidak pernah merasa jenuh sama sekali.
Kebosanan, keletihan, slump, burnout merasa tidak berguna, atau sekadar merasa salah profesi-hal-hal seperti itu pasti akan kita temui, apa pun pekerjaan yang dilakoni. But you go to do what you need to do to make living. Di tengah era resesi di mana banyak orang kehilangan pekerjaan, aku harus bersyukur masih bisa mendapat gaji bulanan dengan melakukan aktivitas yang kusukai.
***
Aku membentangkan kedua lengan ke atas sambil menggeliatkan punggung. Kira-kira jam berapa sekarang. Perutku sudah berdengkur halus. Aku sudah mau mengambil dompetku dan pergi ke kantin bawah, tapi penampakan kerts kartun pembungkus makanan yang tiba-tiba ada di meja menghentikan aksiku. Aroma dari muffin hangat impuls menggelitik indra penciuman. Saking menggodanya, aku bahkan tak menggubris siapa yang membawakan
"Ngiler banget, ya? Aku sampai dicuekin begitu."
Suara Bariton milik otomatis Jaebum mengalihkan atensiku.
"Hai, sejak kapan kamu ada di depanku?" tanyaku sambil meringis, menahan malu. Raut wajahku sekarang pasti terlihat aneh layaknya pencopet yang ketahuan.
"Sedari tadi. Memang kau pikir kue-kue di depan matamu terbang sendiri?"
Oh, lihat sekarang dia memasang mimik memelas dengan bibir tercebik dan sorot mata menyedihkan. Ya Tuhan, pintar sekali pemuda Im ini menumbuhkan rasa bersalah di benakku.
"Maaf, aku benar-benar lapar," kataku sambil merekatkan ke dua tangan layaknya tahanan yang memohon kepada penguasa agar diberikan kasasi.
Mendengar permohonanku, dia malah terbahak. Sial, padahal hatiku lelah diganjal perasaan tidak enak. Heh, sekarang dia berani-beraninya mengacak rambutku seperti dia sedang menyugar bulu kucing. Ya, aku tahu mataku eksotis seperti hewan berkaki empat itu, tapi jangan samakan aku dengan binatang kesayangannya, dong.
"Makanya jangan keasyikan bekerja sampai lupa dunia. Untung saja aku mampir untuk mengecek," pintanya sambil menarik lengan dari kepalaku.
"Dikejar deadline tahu," gerutuku sebelum menjejalkan makanan ke mulut. Pipiku pasti sebulat bakpau sekarang, tapi siapa peduli?
Jaebum terkekeh lagi setelah kusampaikan alasanku. Kali ini ada netranya membentuk sepasang sabit yang mampu menyangai sudut-sudut perapian di loteng jiwaku. Kurasakan pipiku memanas Oh shit! Kapabilitas Jaebum untuk terlihat menggemaskan dan menyebalkan memang sudah teruji. Akan tetapi, mengapa aku harus berlaku seperti lovesick teenager yang diam-diam sibuk merangkai puisi picisan ?
Daripada dimakan oleh gumpalan kecanggungan, aku berusaha mengalihkan pembicaraan dengan pertnyaaan basa-basi. "Bagaimana pekerjaan hari ini. Lancar?"
Dia mengangkat sepasang alisnya dan tersenyum tipis. "Maraton rapat untuk merancang pemasaran buku-buku baru yang akan diterbitkan."
Aku mengangguk. Jaebum memang tulang punggung dari bagian marketing penerbit Haloauthor. Ide-idenya selalu out of the box seperti melakukan pre-order dengan bonus payung saat peluncuran novel Love Rain karya Sulli Choi atau melakukan seminar bisnis saat pengusaha muda Myungsoo Lee merilis buku finansial.
"Yah ,semoga saja buku-buku baru yang diterbitkan bisa tembus jajaran best seller," harapku seraya merogoh kantung makanan lagi. Sebelum ada yang berpikir aku rakus, well, aku hanya menghargai usaha Jaebum. Bila dia mengantarkan penganan ke mejaku, berarti dia sudah makan duluan. Jadi, semua yang dia bawa memang buatku. Jangan iri!
Hmmm, tunggu dulu, kenapa tidak ada keik lagi di dalam dus karton ini. Keningku mengernyit saat telapak tanganku bersua dengan permukaan kertas. Apa ini? Teksturnya terasa asing saat kuraba. Buru-buru kutarik benda asing itu dan voila....
Aku tersentak dengan mata membeliak saat menemukan sepasang tiket.
"Uhm...ini apa?" tanyaku dengan wajah mengeryit. Ya, siapa tahu Jaebum salah menyelipkan. Aku tidak mau terlanjur terbang tinggi.
"Tiket konser Ed Sheran di Stadium Seoul akhir pekan ini, Bu Editor," balasnya menunjukkan seraut wajah sumringah.
"Beneran buat aku?"
"Nope! Buat kita berdua. Enak aja aku yang beli, masak kamu nonton sendiri," protes Jaebum.
Aku spontan terkekeh. "Siap, Pak Manajer! Ngomong-ngomong tahu darimana aku suka Ed Sheran?"
Rasa-rasanya aku tidak pernah cerita pada Jaebum. Kami memang cukup akrab dan aku sering menumpang karena rumah kami searah. Obrolan kami cukup nyambung mau topik apa pun. Ya, sesekali menyinggung soal pribadi, tapi tidak pernah ada yang spesifik. Bisa dikatakan hubungan kami jalan di tempat. Friendzone or whatever the name is.
"Please, Bu Editor. Tiap kali kita jalan bareng, kamu selalu memilih menyetel lagu dia. Bahkan pas pesta pernikahan Seulgi dan Brian, kamu pilih menyumbang lagunya Ed."
Mulutku terbuka karena terperanjat. Ini gila! Aku tak menyangka Jaebum menaruh perhatian lebih pada detail remeh tentang diriku. Kupikir dia tipe pria tidak peka. Kenyataannya justru berbeda.
"Surprise, ya, gak menyangka aku bakal merhatiin?" tanyanya seolah bisa meng-scanning isi pikiranku. Lalu dengan bodohnya aku langsung mengangguk, mengiyakan tanpa berpikir seperti orang lingkung.
Jaebum melepaskan seringaian sebelum menyeletuk, "Dandan yang cantik, ya. Kejutannya belum selesai sampai di sini. Masih ada yang menunggu di sana, " pintanya sambil mengedipkan sebelah mata.
Duh, apa-apaan itu tadi? Jaebum-ah, cukup deadline saja yang bikin aku sport jantung, kamu jangan!
Eh, tapi tadi kulihat ujung telinganya merona jingga saat mengucapkan salam. Jadi skor kita satu sama 'kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top