Athena (Nayeon + Jisoo+ Hwasa)
Enggak ada hal yang paling Nayeon inginkan sore ini, kecuali berbaring di atas sofa sambil ngemil dan memaku tatap ke layar Netflix. Miris, kegiatan sesederhana itu terlalu mahal untuk Nayeon gapai. Instead of leyeh-leyeh menonton episode terbaru Riverdale, ia terjebak di kursi penumpang mobil Audy hitam bersama dua rekan kerjannya, Jisoo dan Hwasa.
Dengan paduan kemeja, blazer, dan celana bahan, sekilas mereka kelihatan seperti pekerja kantoran yang baru pulang kerja. Nyatanya ketiga perempuan sedang menjalani misi penting. Kali ini mereka bertugas menyelamatkan Jung Eunha, putri seorang pengusaha yang diculik gerombolan mafia.
Seharusnya Tuan Jung bertemu dan menyerahkan tembusan untuk para penculik itu besok. Namun, siapa tahu apa yang direncanakan kawanan penjahat tersebut. Bisa saja mereka sebenarnya mengincar nyawa Tuan Jung, tetapi menggunakan Eunha sebagai pancingan. Jadi, sebelum keadaan semakin memburuk, Klan Athena harus beraksi untuk membereskan perkara ini secepatnya.
As usual, kumpulan raut wajah yang diwarnai ketegangan adalah pemadangan biasa. Ketiga wanita itu sadar kalau melakoni pekerjaan sebagai agen rahasia, berarti harus siap kehilangan nyawa kapanpun. Yah, minimal mendapatkan hadiah berupa luka-luka kecil.
Nayeon menahan napas ketika handy talky milik Jisoo berdering. Gadis bergigi gingsul itu yakin akan ada perintah tambahan dari atasan mereka.
"Klan Athena, ganti," sahut Jisoo seraya menempelkan alat komunikasi itu, di antara belahan bibirnya.
"Klan Athena, jangan lewati Jalan Magninda-gil. Telalu ramai, risiko tinggi," pinta dari suara dari seberang.
"Siap laksanakan. Klan Athena, ganti." balas Jisoo dengan penuh penekanan.
"Kapten Lee bilang apa?" tanya Hwasa dari balik bangku kemudi.
Kapten Lee adalah panggilan mereka untuk Lee Taeyeong, kepala polisi Seoul yang biasanya memberikan misi untuk mereka. Lelaki itu juga berperan di balik layar, mengintruksikan apa yang boleh dilakukan, dan sebaliknya.
"Dia bilang ganti haluan dari Magnida-gil. Cari jalanan yang lebih sepi!"
Dari balik kaca spion, Nayeon bisa melihat satu alis Hwasa terangkat. "Hanya itu saja?"
"Iya," balas Jisoo singkat diiringi anggukan dalam.
"Baiklah," jawab Hwasa sebelum membanting stir. Mobil yang ia supiri berbelok arah, menuju jalan lain. Wanita bersurai pendek seleher itu, tidak membuang waktu lebih lama untuk membela jalanan dengan kecepatan di atas rata-rata.
👩🎤👩🎤👩🎤
"Kalian yakin ini tempatnya?" tanya Hwasa nada agak sangsi. Mereka bertiga sedang bersembunyi di balik semak-semak dengan teropong di masing-masing tangan.
"Kelihatannya tidak ada tanda-tanda kehidupan. Namun, itu sempurna untuk tempat persembunyian," tukas Nayeon.
"Betul!" Jisoo mendongakkan kepalanya ke atap. "Namun, kupikir mereka juga bodoh. Look, bagian atasnya gak ada yang ngejagain. Tugas kita akan lebih mudah!" Wanita berambut cokelat itu, tersenyum simpul, memancarkan rasa percaya diri.
"Baiklah, mari berbagi tugas. Gue sama Nayeon bakal masuk menyerang mereka. Jisoo, lo tunggu di sini, cari bala bantuan. Jaga-jaga juga kalau penjahatnya bakal kabur," ujar Hwasa memberikan perintah.
"Kenapa harus gue yang bagian jaga di sini?" protes Jisoo tidak terima. Tangan dan Kakinya sudah gatal ingin menghajar gerombolan penculik itu.
"Well, your leg condition isn't stabile yet, Darling. Gue enggak mau ambil risiko. Bisa-bisa gue dimarahin Kapten Lee," respon Hwasa seraya mengedipkan sebelah matanya.
Jisoo mendengus kesal. Ia bersegera masuk mobil tanpa berkata-kata apapun. Nayeon cuma bisa tersenyum mahfum, melihat pola tingkah kawannya. Mereka sama-sama tidak mempunyai pilihan.
Hwasa dan Nayeon berlari menuju bangunan itu dengan lengan mengenggam senjata. Nayeon membawa pistol 35 MM, sementara Hwasa menenteng laras panjang AK-47.
👩🎤👩🎤👩🎤
Atap bangunan yang mereka tuju tidak terlalu tinggi. Mereka menancapkan ujung sling rapeling di genting untuk membantu mendaki. Sesampainya di atas sana, Nayeon dan Hwasa mengintip dari balik cerobong asap yang tidak lagi aktif. Samar-samar mereka menangkap penampakan Eunha.
Eunha terlihat terpekur di atas kursi. Sepasang tangannya dibelenggu oleh borgol. Ia tidak bisa berteriak minta tolong karena mulutnya terbekap kain putih yang diikat kencang. Ia terduduk dengan posisi setengah menunduk untuk meredam rasa nyeri di perut. Asam lambungnya naik, karena ulah para penculik yang belum memberikannya makan dan minum sejak semalam..
Derit pintu yang memberat menarik atensi Eunha, begitu juga fokus Nayeon dan Hwasa yang masih berdiri di atas loteng. Pria berperawakan sedang memasuki ruangan dengan dikelilingi beberapa penjaga. Goresan luka panjang di bawah mata lelaki itu membuat Nayeon memekik tertahan.
"Jungshik!" tukas Nayeon.
Kerutan menyambangi kening Hwasa. "Huh?"
"Pria yang memakai kemeja hijau itu, yang memimpin mereka, namanya Jungshik. Dia tawanan yang berhasil kabur dari penjara tahun lalu.
"Interesting! Ngomong-ngomong kau bawa pistol laser kan?"
"Pastinya," jawab Nayeon seraya mengacungkan ibu jari. Pistol laser yang mereka maksud tidak digunakan untuk menyerang manusia, melainkan melubangi bangunan, jika memang dibutuhkan.
"Oke, ayo tembakkan sekarang!"
Sementara itu dibawah, Jungshik menatap Eunha penuh intimidasi. "Bagus, tuan putri ternyata sudah bangun," sindir pria itu diakhiri tawa nyaring.
Bahu Eunha bergetar saking takutnya. Ia membuang pandangannya ke lantai, berharap para penculik itu segera meninggalkannya.
Too bad si penyandra belum mau berhenti menyiksa mental Eunha. Tanpa aba-aba dia menarik dagu perempuan itu sehingga mereka saling bersitatap. Iris kelabu Eunha membeliak dirudung kecemasan. Dentum jantung Eunha semakin menggila, ketika pria itu membuka mulut. Aroma alkohol pekat menyeruak dari napasnya.
"Kau beruntung punya orang tua kaya yang mau menembusmu. Jika tidak, kau pasti sudah ke tempat hiburan malam!" pungkas Jungshik seraya menghempaskan wajah Eunha dengan kasar.
Tepat ketika kalimat terakhir lolos dari mulut penjahat itu, suara hentakan puing-puing material jatuh dari langit -langit, menyingkirkan keheningan. Nayeon dan Hwasa turun dengan tali luncur dari dua lubang yang berbeda.
Jungnshik yang tidak memprediksi kedatangan tamu asing, sontak memerintahkan anak buahnya untuk menyerang mereka. Kawanan bawahan Jungshik terbagi menjadi dua, lima orang menyerang Nayeon, sisanya dengan jumlah yang sama menyerbu Hwasa.
Tiga orang sekaligus maju dari sisi yang berbeda untuk membekuk Nayeon. Wanita bertubuh mungil itu mendengkus, memperhatikan serangan mereka. Tiga lawan satu bukanlah duel yang seimbang, namun Nayeon tidak kehilangan akal. Ia melompat ke udara kemudian menyalurkan jurus tendangan berputar. Tendangan tersebut mengenai pundak lelaki pertama, menampar pipi lelaki ke dua dan berakhir mendarat di perut lelaki ke dua. Mereka semua roboh secara bersamaan, kewalahan oleh keahlian beladiri Nayeon.
Satu orang lagi maju memburu Nayeon dengan pisau tajam di tangannya. Ada beberapa kali ia mencoba menusukkan senjata itu ke wajah Nayeon. Namun, Nayeon cukup sigap bergerak ke kanan dan kiri untuk menghindari tusukan.
Si penyerang kini mengarahkan pisaunya ke jantung Nayeon. Wanita bersurai ikal itu berusaha menahan laju pisau dengan memegangi pergelangan tangan sang laki-laki. Dengan sekuat tenaga, Nayeon membelokkan lengan lelaki itu hingga ekpresi wajahnya menunjukkan rasa nyeri. Pisau pun jatuh dari cengkramannya. Nayeon tidak membuang waktu untuk melabuhkan beberapa tonjokan di kepalanya sampai pria itu kehilangan kesadaran.
Terlalu asyik menghajar lawan sebelumnya, membuat Nayeon lengah. Lelaki lain menodongkan pistol dari belakang. Melalui bentakannya, ia memaksa Nayeon untuk mengangkat tangan. Nayeon mematuhi. Dia terlihat pasrah, mengangkat lengannya ke udara hingga pria itu tertawa pongah. Tepat ketika pria itu terlena dengan kemenangan semu, Nayeon menyikut keras di ulu hatinya. Pria itu terdorong beberapa langkah ke belakang. Nayeon bersegera membalikkan badan untuk mendaratkan tendangan di dada, hingga badan sang penodong itu rubuh.
👩🎤👩🎤👩🎤
Sementara itu segerombolan anak buah Jungshik mengejar Hwasa sampai wanita itu hampir terpojok. Beruntung di tengah jalan buntu, ia menemukan tangga. Mengatur siasat, Hwasa memutuskan bersembunyi di balik sana.
"Dimana wanita itu? Kita kehilangan jejak!" sungut salah satu dari mereka.
"Coba lihat, di situ ada tangga. Mungkin dia ada di sana."
"Bisa jadi, ayo segera kau selidiki," perintah pria bersuara berat kepada seseorang di komplotan yang membalas perkataannya.
Percakapan yang menjalar sampai rungu Hwasa membuat nafasnya tertahan. Jantungnya bekerja dua kali lebih keras, seiring dengan derap sepatu pantofel yang terdegar mendekat. Dia mengetatkan pegangan pada senapan angin. Pertempuran sebenarnya akan dimulai.
Pemuda itu menyipitkan matanya. Hanya ada kegelapan menyapa pandangannya. Dia tidak aware jika Hwasa menyelinap di balik anak tangga.
"Tidak ada siapa -siap—Arrrggg!"
Ucapan pria itu terpotong karena Hwasa meneleng kepala lelaki itu, dengan pangkal pistol panjang. Raga pria malang itu jatuh berguling-guling di tangga, mengagetkan teman-temannya. Hwasa sontak muncul dari lorong tangga nan pekat, bagaikan petir di siang bolong. Dia menembakkan beberapa peluru ke atas untuk mengintimidasi sebelum mengarahkan senjatanya ke empat orang di bawah.
Latihan dan pengalaman di lapangan bertahun-tahun membuat pola Gerakan Hwasa menyaingi kilat cahaya. Sebelum para penculik itu punya waktu untuk menyentuh pistol mereka, Hwasa bersegera menarik pelatuk senapannya. Suara tembakan dan asap mesiu menejejali ruangan. Korban Hwasa jatuh bergelimpangan dengan luka tembak di lengan, perut dan kaki. Tidak ada dari mereka yang benar-benar mati. Mereka hanya terluka saja. Polisi akan mengurus kondisi mereka nanti.
Ada kurva kepuasan terpeta di bibir Hwasa. Melukai atau dilukai. Begitulah jalan hidup yang telah ia pilih. Hwasa tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi, sejak ia memutuskan bergabung dengan sindikat mata-mata berkode klan Athena.
👩🎤👩🎤👩🎤
Mengetahui para tangan kanannya berhasil ditaklukkan membuat Jungshik panik. Ia membawa kabur Eunha melalui pintu samping. Jisoo yang sudah mendapatkan notifikasi dari Hwasa, segera membidikkan tembakan begitu menangkap penampakan penjahat utama yang menggadeng paksa Eunha. Dua tembakan yang Jisoo lepas meleset. Sebaliknya, hampir saja lengan Jisoo menjadi korban tembakan Jungshik, jika dia tidak sigap bersembunyi di balik sisi samping mobil.
Dengan napas menderu dan adrenalin berpacu, Jisoo menarik boomerang yang tersembunyi di balik sepatu boot-nya. Netra almond milik Jisoo memicing, ketika ia mencari arah angin untuk memudahkan menggunakan bumerang itu.
"Tiga, dua, satu!" Jisoo menghitung dalam hati sebelum tangannya yang berlapis sapu tangan itu, melempar Bumerang dengan kemiringan empat puluh lima derajat.
Bumerang yang Jisoo lemparkan berputar-putar di udara, menyentuh pohon sekilas, sebelum terpental menyambit leher Jungshik. Bumerang kepunyaan Jisoo dirancang khusus untuk melumpuhkan lawan, dengan racun yang telah teroles di sisi-sisi senjata khas tradisional Suku Aborigin itu.
"Aaarrggh!" Pria itu rebah bersamaan dengan teriakannya yang mengudara. Genggaman tangannya dengan Eunha terlepas. Gadis manis itu refleks berlari menuju ke tempat lebih aman.
Hwasa, Nayeon, dan Jisoo berhamburan dari arah yang berbeda, menghampiri Jungshik yang masih mengerang kesakitan. Wajah lelaki itu tampak memerah dengan napas megap-megap. Hwasa membidikkan pistol ke pelipis Jungshik dengan raut wajah mengancam. Nayeon menyeringai sambil menyatukan tangan Jungshik dengan borgol. Keduanya melirik Jisoo, yang dibalas sang dara dengan senyum kemenangan.
Jisoo membuka paksa mulut Jungshik, meletakkan pil penawar ke lidah lelaki itu. Dia mendesis tajam. Lengannya ia gunakan untuk mendesak Jungshik menelan obat itu menuju kerongkongan.
"Telan pil itu, Bung! Belum saatnya lo pergi ke neraka. Lo harus bayar dulu kejahatan lo disini!"
Tidak lama kemudian, sirine mobil polisi bergema, menjalar sampai ke rungu mereka. Nayeon, Hwasa dan Jisoo saling bertukar sunggingan penuh arti. Satu misi telah berhasil mereka taklukkan.
-fin-
a/n : crossposted in halloauthor
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top