4 | Aku Benci Ayah


Faiz mengemasi barang-barangnya. Ia baru saja latihan silat bersama rekan-rekan satu ekstrakurikuler. Saat itulah ia dipanggil gurunya. Gurunya termasuk seorang lelaki paruh baya yang usianya mungkin sudah 50-an. Meskipun sudah berumur tapi dia termasuk salah satu pendekar yang paling disegani. Namanya Ki Anwar. Mengajar untuk anak-anak SMA memang merupakan tantangan tersendiri, terlebih biasanya anak-anak remaja itu kebanyakan suka pamer, termasuk pula Faiz. Menyadari Faiz merupakan seorang siswa yang berbakat, maka ia begitu hati-hati untuk menggembleng bocah itu.

"Bagaimana akhirnya?" tanya Ki Anwar. Meskipun melatih silat tapi baju yang dipakainya kaos lengan panjang dengan ikat pinggang sebagai penanda tingkatannya di dalam perguruan.

Faiz menghela napas, "Saya tidak tahu guru. Rasanya saya harus ke Jakarta. Saya tak punya pilihan lain."

"Aku tidak bisa mencegahmu kalau begitu. Hanya saja, itu artinya waktumu tinggal sedikit lagi berada di kota ini," ucap Ki Anwar sambil mengelus-elus janggut putihnya yang pendek.

"Sebenarnya saya masih betah di kota ini, tetapi itu bukan keputusan saya," ujar Faiz.

"Kenapa harus kamu yang pergi padahal kalian itu dua bersaudara," kata Ki Anwar.

"Meskipun bersaudara tapi kami beda ibu. Lagipula di keterangan orangtua, kami mengisinya dengan nama yang berbeda. Saya memakai nama ibu sedangkan dia memakai nama ayah," jelas Faiz.

Ki Anwar tertawa sinis. "Kalian itu orang kaya memang aneh. Padahal sebenarnya masalahnya sepele."

Faiz ikut tertawa. "Begitulah Ki, saya juga tak habis pikir. Padahal saya dengan ibu sudah menikmati hidup seperti ini, tetapi masih saja dikejar-kejar. Ah, sudahlah. Saya cuma patuh ama perintah orangtua. Saya bisa apa? Kalau menolak nanti dianggap durhaka."

"Tapi perlu diingat. Kamu itu punya kehidupan, karena kamu punya kehidupan maka sudah sepantasnyalah kamu yang harus mengatur hidupmu sendiri. Meskipun kamu dan orangtuamu punya pemahaman yang berbeda, setidaknya idealisme mereka tidak bisa menyetir hidupmu." Ki Anwar mencoba memberikannya nasehat.

"Kalau soal itu tenang saja, Ki. Selama ini saya masih bisa mengontrol diri. Saya tahu batasan-batasan itu," ucap Faiz.

Ki Anwar terdiam. Sepertinya tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Faiz kemudian menghormat kepadanya sebelum pergi meninggalkan tempat mereka latihan. Faiz menuju ke sepasang sepatu yang ia tinggalkan di pinggir tempat latihan. Setelah ia memasangkan sepatu itu ke kakinya ia pun pergi meninggalkan ruang gym tersebut.

Suasana sekolah sudah sepi sore itu, apalagi matahari sudah condong ke barat. Sebentar lagi malam akan disambut penduduk bumi. Faiz memicingkan mata saat melihat ke cahaya matahari yang mulai membuat bayangan panjang pada benda-benda yang terkena olehnya. Ponselnya berdering saat ia hendak mencapai gerbang sekolah. Segera ia mengambil dari saku celananya. Melihat nama "Ayah" yang tertera di layar ponsel membuatnya keheranan. Sebab sudah beberapa bulan ini orang itu tak pernah menghubunginya. Sebenarnya ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak untuk mengangkat ponsel itu. Dia tak ingin mendengar suara orangtua itu, meskipun sebenarnya orangtua tersebut masih dia sebut sebagai ayah.

"Halo?!" segera Faiz menjawab teleponnya.

"Halo, Faiz?!" sapa ayahnya.

Faiz tak menjawab. Dia terdiam. Ia ingin tahu apa maunya orangtua itu menelponnya.

"Kau ada acara Hari Sabtu nanti? Aku berkunjung ke kotamu, ingin melihat kalian," lanjut ayahnya. "Kukira tak ada salahnya kalau aku mengajak kalian untuk makan malam."

"Aku sibuk," ucap Faiz.

"Sibuk? Bagaimana bisa malam minggu sibuk? Apakah pihak sekolah membuatmu tidak punya waktu untuk istirahat? Ayah bisa memperkarakan hal ini ke meja hijau."

"Sudahlah, lupakan saja. Ini tak ada hubungannya dengan itu. Katakan ada apa?" tanya Faiz.

"Tak ada apa-apa. Aku hanya ingin mengajak anak-anakku makan malam," jawab ayahnya.

"Anak-anak? Kau mau mengajaknya juga?"

"Iya. Kalian semua akan aku kumpulkan. Sebab ini persoalan yang penting. Kau dan saudaramu pewaris dari Wijaya Group. Ini menyangkut masa depan kalian," ujar ayahnya.

"Aku tak tertarik. Ayah berikan saja itu kepada dia, aku tak tertarik," ucap Faiz. "Dan jangan sebut dia saudaraku lagi. Aku anak tunggal dari ibuku. Dan setahuku ibuku tak pernah melahirkan anak yang lain."

"Biarpun begitu, ia masih saudaramu, kalian masih anak-anakku."

"Anakmu? Ayah macam mana yang menelantarkan anak dan istrinya? Sudah bertahun-tahun aku memakai nama ibuku sebagai waliku, bukan nama ayah. Dia masih bangga sebagai anak seorang Hendra Wijaya, aku? Aku bangga sebagai anak ibuku, sampai sekarang aku hidup dengannya. Aku tak butuh bantuan ayah, kami tak butuh dan kami tetap hidup sampai sekarang."

"Itu tidak benar. Bagaimana bisa aku menelantarkan anak-anakku? Aku tetap memberimu nafkah sampai sekarang. Ibumu tetap menerima nafkah sampai sekarang, aku tak pernah menelantarkan siapapun," ujar ayahnya membela diri.

"Tak perlu repot-repot lagi mengirimi kami uang. Kami masih bisa hidup sampai sekarang, bahkan asalkan kamu tahu ibuku sama sekali tak pernah menyentuh uang pemberianmu," ucap Faiz. Dia benar-benar kesal.

Terdengar ayahnya mendesah. "Jadi begitu, pantas saja sampai sekarang keadaan kalian seperti itu. Ternyata uang sebanyak itu sampai sekarang tidak kalian ambil sedikit pun. Kenapa begitu? Itu uang halal. Itu pemberian ayah kepada anaknya."

"Ayah berikan saja kepada yang lain. Aku tidak butuh."

"Datanglah besok sabtu! Ayah mengundangmu dan ibumu. Ibumu bersedia hadir, maka seharusnya kamu juga," pinta ayahnya setelah itu menutup teleponnya.

"Halo?! Ayah!? Aarrgghh!" Faiz kesal. Teleponnya diputus. Hampir saja ia membanting ponselnya. Dia pun segera berlari menuju tempat parkir untuk mengambil sepedanya. Saat ini dia benar-benar kesal dan mendongkol dengan keputusan sepihak ayahnya.

Faiz mengambil sepeda miliknya dan segera mengayuh pedal. Dia melewati gerbang lalu langsung berbelok ke jalan raya. Dia setel gearnya ke gear berat agar gaya dorongannya bisa membuat dia lebih cepat bergerak. Angin berhembus menerpa wajahnya membawa kesejukan. Sepedanya melaju di atas jalan raya, terkadang ia naik ke trotoar. Untuk menuju ke rumahnya ia pun melewati jalanan kecil yang menurun, jalanan itu kemudian terhubung dengan jembatan kecil. Dari jembatan kecil itu ia masuk ke kampung baru, dari kampung tersebut ia melewati gang sempit kemudian berbelok lagi ke jalanan yang agak lebar. Di sini ia melewati perlintasan kereta api. Saat itu ternyata ada kereta api yang mau lewat. Palang diturunkan petugas dengan cara manual. Ini bukan perlintasan kereta api yang berada di jalanan besar. Perlintasan api ini dibiayai swadaya masyarakat, petugas kereta apinya pun digaji juga dari iuran masyarakat setempat.

Sekitar lima menit Faiz menunggu sambil ditemani beberapa pengendara motor. Dia menyandarkan tubuhnya di stang sepeda. Ia melihat kiri dan kanan menduga-duga darimana kereta datang. Kemudian kereta pun muncul dari sisi kanannya. Rentengan kereta penumpang Matarmaja sedang bergerak dengan kecepatan tinggi melintasinya. Kepala gerbongnya berwarna putih menarik delapan gerbong penumpang berwarna orange. PT KAI telah melakukan pembenahan semenjak beberapa tahun terakhir ini, terlihat bentuk gerbongnya tidak jelek lagi. Dulu banyak grafiti-grafiti di tubuhnya, bahkan beberapa kaca yang pecah serta bau pesing di gerbongnya sudah menjadi hal yang sering ditemui. Sekarang tidak lagi. Faiz memperhatikan semua gerbong itu lewat sampai habis. Ia kembali mengayuh sepedanya setelah palang perlintasan kereta api dinaikkan lagi.

Tak lama untuk sampai ke rumah kontrakan yang sudah dihuninya selama lima tahun ini bersama ibunya. Mereka hanya hidup berdua semenjak Faiz masih duduk di Sekolah Dasar. Ada persoalan rumah tangga yang rumit terjadi dengan mereka sehingga ayahnya tidak lagi tinggal bersamanya. Faiz tak bisa memaafkan ayahnya karena pergi meninggalkan dia dan ibunya. Mereka hanya bertemu kalau ayahnya mau.

"Assalaamu'alaykum!" ucap Faiz.

"Wa'alaykumussalam," sahut ibunya yang saat itu sedang berada di depan mesin jahit kesayangannya.

Di ruang tamu yang juga sekaligus berfungsi sebagai tempat kerja ibunya sehari-hari menjahit pakaian tampak kain-kain perca berceceran dimana-mana. Juga berbagai tumpukan baju yang hampir jadi serta kain-kain, benang-benang, juga ada beberapa pesanan yang masih belum selesai tergeletak di sana. Meskipun begitu, beberapa pesanan sudah diberi label ibunya yang berprofesi sebagai penjahit sehingga sangat mudah untuk mencarinya. Mesin jahit listrik berwarna hijau itu berbunyi tiap kali pedalnya di tekan membuat jarumnya bergerak lincah menusuk-nusuk kain lalu membelitnya dengan benang.

"Kamu pasti lapar. Ibu masakin ikan goreng di dapur," ucap ibunya.

Setelah ia mencopot sepatunya dan menaruhnya di rak sepatu, Faiz segera pergi ke dapur.

"Ganti baju dulu sebelum makan!" lanjut ibunya.

"Iya bu," sahut Faiz. Ia tetap ke dapur lalu melihat masakan yang tadi disinggung ibunya tertutup tudung saji. Segera ia membuka sedikit untuk melihat apakah benar perkataan ibunya. Dan ternyata benar. Beberapa ekor ikan bawal terhidang di atas piring, ada sambel terasi, juga ada cah kangkung. Faiz segera menutup kembali tudung saji tersebut kemudian beranjak ke kamarnya.

Kamar Faiz, tempat privasi yang tak ada seorang pun masuk ke dalam kemarnya. Jadi apapun yang ada di kamarnya tak ada yang tahu bahkan termasuk juga ibunya. Ada apa di dalam kamar Faiz? Begitu masuk ke dalam kamarnya suasana kamarnya terasa menyihirnya. Energi murni yang membuat ia akan betah berada di dalam kamar yang temboknya bercat kuning. Rak bukunya sangat rapi bahkan bukan sembarang buku yang ada di sana, kebanyakan buku-buku berbahasa Inggris. Meskipun buku berbahasa Inggris tetapi buku-bukunya membahas tentang fisika, kimia, elektronika dan juga beberapa buku motivasi. Meja belajarnya juga bersih dan rapi, tempat tidurnya pun rapi. Faiz merasa kerapian kamar bisa membuat ia betah di dalamnya dan ia melakukan itu.

Meskipun kamarnya rapi, tetapi ada sesuatu lain yang membuatnya betah di kamar. Di salah satu sisi tembok kamarnya ada kumpulan gambar dan foto-foto. Kebanyakan itu kumpulan corat-coretnya serta kumpulan foto-foto yang ia kumpulkan. Meskipun banyak tetapi temanya sama, yaitu gambar seorang perempuan. Dia mengurutkan foto-foto dari ketika perempuan itu masih kecil, lalu beranjak dewasa, hingga yang terbaru. Di bawah foto-foto itu ada corat-coretnya dari buku tulis yang selalu ia gambar kelas.

Diturunkannya ransel yang ada di punggungnya, setelah itu ia mengambil buku tulis yang ia bawa. Dia lalu merobek lembaran yang telah ia coreti dengan gambaran. Lalu ia mengambil satu pin lalu menancapkan kertas dan pin tersebut ke tembok. Ia tersenyum melihat hasil karyanya.

"Iskha Harimbi Kusumaningrum," ucapnya.

Dia mengucapkan nama-nama sesuai dengan tema foto-foto dan gambar-gambar yang ada di tembok tersebut. Semua gambar dan foto-foto itu merupakan perwujudan dari Iskha. Faiz mengoleksi semua foto-foto dan gambarnya tanpa sepengetahuan Iskha. Ia bukan seoorang maniak, tetapi ia mengagumi gadis itu sudah sejak lama. Sejak mereka masih bermain bersama ketika kecil.

"Faiz?! Ada yang ingin ibu bicarakan. Kau bisa keluar sebentar?" kata ibunya dari luar kamar.

"Iya, sebentar," jawab Faiz. Faiz segera berganti baju sebelum keluar dari kamarnya. Setelah itu ia dapati ibunya tampak sudah berdiri di depan kamarnya. "Ada apa? Apa soal ayah yang mengundang ibu?"

"Iya, tadi beliau kesini," ucap ibunya.

"Ke sini? Ibu izinkan dia masuk ke rumah kita? Setelah apa yang telah dia lakukan kepada ibu? Kepadaku? Kenapa ibu lakukan itu?" tanya Faiz. Ia tak suka dengan perlakuan ibunya.

"Faiz, dengarkan ibu dulu!"

"Ini tidak benar. Ibu tahu bukan apa yang telah dia lakukan ke ibu? Dia telah membuat ibu sengsara seperti ini. Dia bahkan tak pernah melihatku sampai sekarang. Tiap hari bu, tiap hari aku melihat anaknya rasa muak sekali. Ibu masih saja membela dia," ucap Faiz.

"Ini bukan salah ayahmu. Kau harus tahu itu. Kita harus mendatangi undangannya. Ibu sudah berjanji suatu saat kau akan mendapatkan hakmu. Dan sekarang ayahmu ingin memberikan hak-hakmu. Hanya ini saja nak, setelah itu ia tak akan menemui kita lagi," kata ibunya. "Ibu tahu kamu benci dia, tapi hanya kali ini saja kita temui dia, setelah itu terserah kamu."

"Sudahlah, Faiz tak mau membahas ini. Dia hanya mementingkan dirinya sendiri. Hak-hakku? Memangnya apa? Aku tak pernah digendongnya ketika kecil, aku juga tak pernah merasa bangga mempunyai seorang ayah," ujar Faiz. "Maaf ibu, tapi aku tak mau." Dia pun kembali masuk ke dalam kamarnya.

"Faiz?! Faiz!" panggil ibunya berkali-kali, tetapi Faiz tidak menggubrisnya. Dia sudah masuk ke dalam kamarnya kembali ke dalam dunianya.

* * *

Iskha berganti pakaian dengan baju casual. Dia memakai cardigan kemudian mengambil gitar yang tergantung di kamarnya. Setelah selesai berdandan dengan make-up tipis, ia pun keluar dari kamarnya. Dia segera menuju ke dapur untuk mengisi perut. Ada sayur asem berisi kacang, jagung dan tauge. Dia tersenyum saat melihat isi mangkuk tempat sayur tersebut. Sayur asem, salah satu sayur kesukaan Iskha. Dia pasti bakalan nambah kalau ada sayuran tersebut. Dia segera duduk di kursi.

"Wah, masak sayur asem nih. Asyiiikk!" seru Iskha.

"Iya, mama emang sengaja masak itu. Biar suaramu nggak ancur," ucap mamanya yang berada di ruang tengah sambil menonton televisi.

"Makasih ya ma," ucap Iskha. Dia pun segera mengambil secentong nasi kemudian mengguyurnya dengan kuah sayur asem beserta isinya.

"Nanti pulang jangan malam-malam! Mama nggak mau di rumah sendirian apalagi tiba-tiba listrik mati seperti kemarin," pinta mamanya.

"Lho, papa kemana ma?"

"Papa lemburan lagi. Pulang malam," jawab mamanya.

"Iya, nggak bakalan lama koq. Oh ya, ada murid baru tadi. Dia ternyata tinggal di komplek ini," cerita Iskha.

"Oh, iya. Mama tahu, tadi pagi orangnya nyapa kita." Kali ini mamanya beranjak dari ruang tv menuju ke dapur kemudian duduk di meja makan. "Yang bertemu ama mama tadi istrinya Pak Aryo, namanya Ibu Meta. Memang baru pindah di sini. Mama juga heran sih perasaan blok I nomor 8 itu nggak ada. Tapi setelah mama cek ternyata ada. Mungkin baru dibangun. Kata Pak RT sih udah lama mereka melapor kalau mau pindahan. Kata beliau juga blok I nomor 8 itu juga udah lama koq dibangun rumahnya, mungkin memang mama yang kurang faham kalau ada yang bangun rumah baru di perumahan ini."

"Hmm, itu nama ortunya Kayla?"

"Ah iya, nama anak mereka Kayla. Jadi kalian satu sekolah tadi?"

Iskha mengangguk. "Iya, satu sekolah. Anaknya baik sih, kami punya kesamaan."

"Cocok dong jadi temenmu. Kapan-kapan ajak ke rumah anaknya! Mama ingin kenalan," pita mamanya.

"Boleh. Nanti kapan-kapan aku ajak," kata Iskha menyetujui usul mamanya. "Hari ini dia mau ikut aku latihan di studio."

"Bagus kalau begitu. Ya udah, habisin gih makan siangnya. Ntar kemaleman lagi pulangnya," ujar mamanya. Kemudian wanita itu beranjak lagi dari tempat duduknya. "Ingat yah, jangan malam-malam pulangnya! Mama sendirian di rumah."

"Beres mah," jawab Iskha.

Setelah selesai makan siang, Iskha segera pergi. Barang bawaannya tak banyak, ada dua tas yang dia bawa yaitu tas berisi gitar kesayangannya dan tas pinggang. Celana jeansnya sendiri panjangnya sebetis ditambah dengan sepasang sepatu kets berwarna abu-abu membuatnya seperti seorang pengamen jalanan. Tapi dia masa bodoh dengan itu semua. Selama ini dia tak pernah mempermasalahkan penampilan, itulah Iskha. Dia menguncir rambutnya, kemudian menyisakan sedikit poni panjang di depan.

Iskha kembali melewati blok tempat di mana Kayla tinggal. Begitu berbelok di blok tersebut dia sudah langsung melihat rumah teman sekelasnya itu. Seingat Iskha memang tempat itu dulu merupakan tanah kosong, memang agak sedikit aneh saja tiba-tiba ada rumah yang sudah berdiri di tempat ini. Dia mulai mengetuk pagarnya.

"Kayla?" panggilnya.

Saat itulah Iskha berusaha melongok dari celah pagar. Di dalam pekarangan rumah itu sudah terlihat rumput yang dicukur rapi, ada juga jemuran yang ada di atas halaman, ada mobil juga terparkir di garasi yang sepertinya tidak beranjak satu inchi dari sejak pertama kali dilihatnya tadi. Hanya saja ada yang aneh ketika dia memperhatikan garasi. Ada seorang laki-laki paruh baya sedang membawa sesuatu di tangannya. Lelaki itu memutar badannya ke arahnya.

Untuk beberapa saat tiba-tiba saja Iskha merasa pusing melihat apa yang terjadi. Dia melihat lelaki paruh baya itu tak memiliki kepala. Dan yang lebih aneh lagi, kepala itu dibawa dengan kedua tangan.

"Oh, maaf. Ada tamu rupanya," ucap kepala itu.

"K-kepalanya b-b-bisa bicara!" ucap Iskha sebelum ia pingsan.

* * *

Dari author:

sementara sampai 4 dulu, besok dilanjut. Masih banyak yang harus saya kerjakan soalnya :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top