2 | Kamu ini Siapa Sih?
Hal yang paling membuat semua penghuni kelas XI-3 cemburu yaitu ketika akhirnya Kayla duduk di sebelah Arief. Demi apa murid baru cewek itu bisa mendapatkan tempat duduk di sebelah Arief? Oh, baiklah. Itu karena wali kelas mereka menyuruh Kayla untuk duduk bersebelahan dengan Arief, tapi itu bukan berarti yang lain tidak boleh duduk di sebelahnya, hanya saja mana pantas?!
"Hai? Aku Kayla, panggil saja Kay," ucap Kayla kepada Arief. Keduanya pun bersalaman.
"Aku.... Arief," kata Arief.
"Eh, eh, lihat deh! Belum juga semenit berdiri di depan kelas, sudah gerak cepat aja itu murid baru," ucap Lusi dengan sinis.
"Udah ah, apaan sih. Nggak baik ngomongin orang," kata Iskha.
"Is, Iskha. Jangan bilang kamu nggak peduli lagi dengan Arief. Bukankah kita sudah sepakat kalau Arief itu salah satu dari tujuan hidup dan mati kita?" Lusi mencoba mengingatkan Iskha.
Kedua anak ini memang punya sesuatu yang disebut quest dalam hidup mereka sebagai seorang remaja. Salah satu quest-nya yaitu mereka harus berusaha mengejar Arief sebagai target untuk tidak menjomblo. Meskipun mereka berlomba-lomba untuk bisa menjadi tidak jomblo dengan menjadi pacarnya Arief, mereka sepakat untuk tetap bersahabat siapapun pilihan Arief kelak. Itu seperti quest konyol, tetapi hal itu mereka seriusi dalam kehidupan ini. Sebagaimana seriusnya mereka mempersoalkan bubur ayam dengan toping diaduk ataupun tidak.
"Bukan begitu maksudnya Lus! Aku tetep ingat koq tentang quest hidup dan mati kita. Hanya saja, jangan terlalu berprasangka buruk. Toh dia duduk di situ emang karena nggak ada tempat lain kan?" kata Iskha sambil mencoba memberitahu Lusi kalau memang benar tak ada tempat duduk lagi bagi murid baru selain di sebelah Arief.
Lusi menghela napas. "Baiklah, kau benar. Aku sepertinya terlalu berburuk sangka, tapi aku akan tetap mengawasi dia." Lusi membuat gerakan dengan kedua jarinya pertama menunjuk ke matanya, lalu dia arahkan kedua jarinya ke arah Kayla.
Iskha hanya mendesah kesal. Memang sih anak baru itu langsung menyita perhatian banyak orang. Dan ia cukup jadi pemenang karena sebagai cewek, trus cantik pula, boleh dibilang cantiknya di atas rata-rata. Ditambah pula kenyataan dia ternyata punya kesukaan yang sama dengan Iskha merupakan nilai plus. Kalau misalnya dia juga langsung suka ama Arief, berarti saingan bertambah satu. Tapi ada keuntungannya, Iskha bisa mengawasi murid baru itu.
Jam pelajaran pun berganti. Tibalah pelajaran berikutnya, yaitu pelajaran matematika dengan guru killer. Iskha dan Lusi tak merasa gundah karena memang pekerjaan mereka telah selesai. Tentu saja karena menyalin pekerjaan milik Arief, anak terpandai di kelas. Arief merasa tak keberatan meminjamkannya mungkin berbeda kalau diminta contekan ketika ulangan.
Pelajaran matematika itu seperti misteri. Bagi anak-anak seperti mereka mungkin berpikir kenapa harus repot-repot menyelesaikan persamaan-persamaan? Kenapa juga harus bingung membuat kurva? Kenapa juga harus bingung memecahkan fungsi-fungsi kuadrat? Padahal bisa jadi apa yang mereka pelajari sekarang tidak akan ada gunanya nanti ketika lulus. Itulah yang selama ini ada di pikiran Iskha. Buat apa harus bingung dengan matematika ketika matematika itu tak ada kaitannya dengan cita-citanya.
"Tugasnya sudah semua ini?" tanya Bu Tatik.
"Sudah bu," ucap seluruh murid.
"Ibu mau cek satu per satu. Kalian pelajari dulu Bab selanjutnya!" ucap guru berjilbab tersebut.
Iskha membolak-balikkan buku diktat matematika yang ada di atas mejanya. Tetap saja tak ada yang bisa nyantol di kepala. Dia ingin sekali ada satu saja persoalan matematika yang bisa ia kuasai, tetapi hasilnya nihil. Dia masih belum mengerti tentang huruf x, huruf y, angka-angka ini. Sebenarnya fungsinya untuk apa sih?
"Aku heran, kenapa orang belajar matematika? Aku nggak ngerti sama sekali," keluh Iskha.
"Kamu aja heran apalagi aku. Tetapi nikmati aja. Kita sebagai murid sekolah masa' mau protes?" kata Lusi sambil mencoba memahami isi buku yang ada di tangannya. Sesekali ia melirik ke arah Arief yang duduknya ada di terpaut beberapa bangku dari mereka. Bangku Arief lurus dengan meja guru dan cowok itu sekarang sedang menatap keluar jendela.
Iskha memijat-mijat keningnya. Ia sama sekali tak mengerti.
"Ckckckck, ini hampir satu kelas jawabannya sama semua. Apa sumbernya sama semua?" tanya Bu Tatik tiba-tiba setelah melihat hasil pekerjaan rumah murid-murid.
"Kami kerja kelompok, bu!" celetuk Lusi.
"Kerja kelompok? Ada dua puluh anak kerja kelompok dengan jawaban yang sama? Cara nulisnya, tandanya, semuanya sama. Saya tahu ini sumbernya darimana," ucap Bu Tatik. "Ibu akan panggil satu anak untuk menjelaskan pekerjaannya."
"Mampus!" bisik Lusi.
Iskha mengangkat alisnya. Dia tahu kalau ia juga menjadi salah satu orang yang akan dipanggil nantinya. Dia sama sekali tak mengerti matematika, bagaimana kalau ketahuan dia juga menyalin pekerjaan Arief? Dia menundukkan wajahnya berusaha menyembunyikan kecemasan. Murid-murid yang lainnya pun berusaha menutupi kecemasan itu dengan berbagai cara. Mereka berharap tidak dipanggil ke depan.
"Iskha, ke depan! Jelaskan apa yang sudah kamu kerjakan ini!" perintah Bu Tatik.
Mampus, beneran mampus! Ujar Iskha dalam hati.
Dengan berat akhirnya Iskha pun berdiri dari tempatnya duduk untuk menuju ke depan kelas. Tiba-tiba saja perutnya terasa mual. Sepertinya berdiri di depan panggung lebih baik daripada harus berdiri di depan kelas apalagi diuji Bu Tatik seorang guru killer yang terkenal di sekolah ini. Mimpi apa semalam dia sampai harus maju ke depan kelas?
"Iskha, coba kerjakan soal nomor dua PR yang kamu kerjakan tadi malam. Serta jelaskan ke teman-temanmu agar mereka juga mengerti!" perintah Bu Tatik.
Lusi menutupi wajahnya. "Mampus Iskha!" katanya dalam hati.
Iskha mengambil spidol yang ada di meja Bu Tatik. Ia sama sekali blank. Meskipun ia tahu soalnya, tetapi untuk mengerjakannya dengan benar, ia sama sekali tak bisa. Dia sampai saat ini masih belum mengerti maksud dari pelajaran matematika yang diajarkan sekarang.
Gadis itu hendak mengambil salah satu buku ditumpukan meja guru, tetapi tangan sang guru matematika menahannya. "Ibu akan diktekan. Kamu tulis di papan!"
Iskha menelan ludah. Dia menoleh ke arah rekan-rekannya, tampak juga si murid baru itu mengamatinya dengan seksama. Lusi tak berani melihat apa yang terjadi. Iskha benar-benar mampus sekarang. Dia tahu kelemahan sahabatnya yaitu pelajaran matematika. Ia sangat benci pelajaran itu. Ada dua sebenarnya, matematika dan sejarah. Dua hal yang dianggap Iskha sebagai pelajaran yang tidak ada gunanya.
Gadis itu menghadap papan. Tahu ia tak akan bisa lolos, sekarang ia hanya pasrah. Dia bersiap untuk menulis soal yang akan diucapkan guru matematikanya.
"Diketahui f(x) = x-7 dan g(x) = x2+ x, tentukan (fxg)(x)!" ucap Bu Tatik.
Iskha mengernyitkan dahi. Dia mencoba menulis apa yang didiktekan, ia saja tak faham apa yang didiktekan. Ia pun menulis sebisanya, hasilnya tak sesuai yang diharapkan. Dia menulis "fungsi fx = x-7 & fungsi gx = x2+ x. Itu saja sudah fatal.
"Iskha, kamu itu belajar atau nggak sih? Apa penjelasan ibu kemarin belum jelas?" tanya Bu Tatik.
"Salah ya, bu?"
"Salah!" bentak Bu Tatik.
Hampir saja Iskha melompat. Dia menoleh ke arah Lusi, kawan sebangkunya itu masih menutup wajah. Tahu kalau dia tak tega melihatnya diperlakukan seperti itu. Tak bisa dipungkiri kali ini pasti Iskha dan yang lainnya akan kena hukuman.
Tiba-tiba Kay mengangkat tangannya. Bu Tatik langsung menoleh ke arah murid baru tersebut.
"Iya, ada apa?" tanya Bu Tatik. "Kamu murid baru ya? Sebelumnya ibu belum pernah melihat."
Kay mengangguk. "Iya, saya murid baru. Boleh saya mengatakan sesuatu?"
Bu Tatik mengangguk. "Iya, katakan!"
"Sebenarnya tadi malam, terjadi pemadaman listrik. Rumah saya juga termasuk terkena pemadaman itu. Maka dari itulah mungkin banyak yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Saya bisa maklumi hal itu, terlebih matematika memang pelajaran yang setidaknya sulit bagi sebagian murid. Saya sendiri juga terkadang kesulitan mengerjakan matematika. Maka dari itu saya kira wajar kalau teman-teman menyalin pekerjaan orang yang lebih pintar karena memang mereka tadi malam belum selesai mengerjakan tugas. Kalau boleh dipertimbangkan, ibu beri kami kesempatan lagipula saya juga murid baru yang tidak tahu kalau ada PR," ujar Kayla.
Seketika itu seluruh kelas menatapnya. Lusi ternganga. Ia tak pernah menduga kalau Kayla akan berkata seperti itu. Bu Tatik menoleh ke arah murid-murid yang lain. Tampak ada raut harap-harap cemas terpancar dari beberapa murid, yang paling terlihat hanya Iskha.
"Apa benar tadi malam listrik padam?" tanya Bu Tatik.
"Iya buuu!!" seru seluruh isi kelas.
Bu Tatik mendesah panjang. Ia mengangguk-angguk sejenak. "Baiklah, alasan itu bisa ibu terima. Lain kali pulang sekolah langsung dikerjakan. Tapi ingat, jangan menyalin punya teman, kalau nanti sampai ketahuan lagi kalian menyontek punya teman. Maka ibu akan jemur kalian di lapangan upacara. Mengerti?"
"Iya buu!" ucap semuanya.
Iskha menghela napas lega. Ia selamat. Arief mengamati teman sebangkunya ini dengan tatapan aneh. Ada sesuatu yang lain pada diri cewek ini. Sesuatu yang tidak ditemui dengan cewek-cewek lain pada umumnya yang pernah ia temui.
"Kamu duduk kembali Iskha. Ingat, belajar lagi. Kalau tidak mengerti tanya ke ibu!" kata Bu Tatik.
"I-iya bu," jawab Iskha. Ia pun segera beringsut kembali ke bangkunya. Sekilas ia menoleh ke arah Kayla yang tersenyum kepadanya.
* * *
Setelah jam pelajaran matematika berakhir bel istirahat pun berbunyi. Otak Iskha rasanya seperti diperas habis-habisan. Dari seluruh penjelasan Bu Tatik, ia hanya mengerti sedikit. Sedikit sekali. Ia merutuki dirinya yang sampai sekarang belum faham soal matematika yang disampaikan Bu Tatik. Kalau besok ketemu lagi pelajaran matematika ia bisa mampus seperti tadi. Dia merasa yakin kalau Bu Tatik sudah mengincarnya sejak lama. Tahu kaalu ia bodoh soal matematika.
Belum selesai Iskha mengistirahatkan otaknya yang hampir matang tiba-tiba ada suara mengecohnya. "Hai?!" sapa Kay.
"Hai," sahut Iskha.
"Susah ya matematikanya?" tanya Kay.
"Iya, tapi sepertinya kamu baik-baik saja," jawab Iskha.
"Ehmm,... kita belum kenalan. Aku Kay," kata Kayla sambil mengulurkan tangannya.
Iskha menyambut tangan itu. "Iskha."
Kayla mengulurkan tangannya ke Lusi. "Aku Kay."
"Lusi," jawab Lusi tanpa ekspresi. Ia mengalami hari yang buruk, sama seperti Iskha.
"Bisa minta tolong?" tanya Kayla sambil tersenyum manis.
"Minta tolong apa?" tanya Iskha balik.
"Akukan murid baru di sini, bisa minta tolong antarkan aku keliling sekolah ini? Agar aku lebih mengenal sekolah ini," jawab Kayla.
Perasaan Iskha tak enak. Kenapa harus dia? Kenapa bukan yang lain? Seolah-olah Iskha merupakan penghuni sekolah ini. Dengan nada kesal iskha menjawab, "Aku sibuk. Apa nggak ada yang lain?"
Kayla mengangkat bahunya sambil memberi isyarat agar iskha melihat seluruh isi kelas. Semuanya telah keluar dari kelas kecuali mereka bertiga. Iskha memutar bola matanya sampai terlihat putih.
"Aku tinggal dulu deh, ke kantin dulu. Ntar susul ke kantin yah?!" ujar Lusi.
"Eh, Lus! Tunggu!" Iskha berusaha mencegah kawan sebangkunya itu untuk tidak pergi dahulu, tapi terlambat. Lusi buru-buru keluar kelas.
Kayla cuma nyengir melihat kelakukan Lusi yang berusaha kabur tadi. Tahu pasti Iskha sedikit canggung, ia pun mencoba menarik lengan gadis itu.
"Eh, apa ini?" tanya Iskha.
"Kenapa?" tanya Kayla.
"Jangan sok akrab pegang-pegang orang baru kenal yah?!" hardik Iskha.
Kayla langsung melepas pegangannya. "OK, baiklah. Jadi? Bersedia mengantarkanku keliling sekolah?"
"Bisa, tapi tidak pakai pegang-pegang. Entar dikira aku belok lagi," jawab Iskha tegas. Ia risih diperlakukan seperti tadi. Mana baru kenal hari ini pula koq sudah pegang-pegang, baginya hal itu sangat aneh.
Akhirnya Iskha pun mengantar Kayla untuk berkeliling sekolah. Mereka menyusuri lorong kelas. Iskha mulai memperkenalkan bangunan-bangunan yang ada di kelas. Mulai dari lapangan, pembagian kelas-kelas, ruang-ruang kelas sepuluh, sebelas dan kelas dua belas. Kayla cukup antusias melihat bangunan kelas yang mungkin usianya sudah tua tapi masih kokoh. Tampak kayu-kayu jati yang menjadi rangka bangunan sekolah itu juga terlihat masih kuat. Sekolah ini memiliki empat lapangan outdoor dan satu lapangan indoor. Lapangan itu terdiri dari dua lapangan basket, satu lapangan futsal dan satu lapangan bola voli yang juga terkadang digunakan untuk badminton. Satu-satunya lapangan indoor digunakan untuk beladiri ataupun gymanstic. Cukup luas memang. Ada pula alua, empat ruangan laboratorium, yaitu dua ruang laboratorium IPA, kemudian laboratorium seni dan multimedia dan laboratorium komputer. Dan tak ketinggalan satu aula. Aula ini jarang ada yang menggunakan kecuali untuk acara pertemuan, wisuda atau untuk ekstrakurikuler musik.
"Ekstrakurikulernya apa saja?" tanya Kayla.
"Banyak, ada beladiri, ada musik, ada pula basket, voli, macem-macem," jawab Iskha.
"Aku tebak, kamu pasti ikut ekstra musik," tebak Kayla.
"Koq tahu? Tebakanmu tepat."
"Soalnya... suaramu merdu," ujar Kayla.
"Oh," Iskha bingung menanggapi pujian itu. Tetapi terus terang hanya beberapa orang saja yang komentar kalau suaranya merdu tanpa perlu ia menunjukkan kemampuannya dalam mengolah vokal. Sepertinya Kayla punya pendengaran yang bagus.
"Hmm, kalau beladiri?" tanya Kayla dengan wajah ingin tahu.
"Oh, kalau beladiri kita ada pencak silat, ada karate juga, ada Jujitsu," jawab Iskha. "Kenapa? Kau tertarik?"
"Boleh juga sih. Kalau pencak silat, kemana mendaftarnya?"
Iskha mencoba mengamati mata Kayla yang berbinar-binar. Sepertinya anak ini sedikit aneh, jarang seorang cewek suka beladiri apalagi pencak silat. Tetapi memang sih dalam hati Iskha ingin sekali mencoba belajar, hanya saja entah kapan saat itu tiba.
"Serius tertarik?" tanya Iskha mencoba meyakinkan diri.
"Iya, beneran," jawab Kayla.
"Ketuanya sekelas ama kita koq, duduk paling pojok belakang. Namanya Faiz, ntar kalau udah masuk ke kelas kamu bakalan tahu yang mana anaknya," ujar Iskha.
"Faiz? Ah, ternyata. Kukira beda kelas," gumam Kayla.
"Hah? Kamu tahu Faiz?"
"Eh, nggak. Nggak tahu, belum kenal," ucap Kayla.
"Serius? Dari nadamu tadi sepertinya kamu tahu Faiz," ucap Iskha. Dia menoleh ke arah lain. Tampak di depan mereka ada tempat yang pasti disinggahi murid-murid ketika istirahat tiba. Mana lagi kalau bukan kantin sekolah.
"Kalau yang ini tak usah kau beritahu. Dari bentuknya sudah bisa diketahui kalau ini kantin sekolah," ucap Kayla.
"Kau benar. Dan aku paling suka menu bakso kantin ini," ucap Iskha sambil memejamkan mata menikmati aroma bakso yang menguar di udara. Iskha sudah bisa membayangkan bagaimana kuah bakso yang panas dicampur saus dan sambal meleleh di mulutnya. "Duh, jadi laper." Dia membuka matanya, tetapi tak mendapatkan Kayla. Lho, kemana anak itu?
"Iskha, makan yuk?! Aku juga ingin nyoba. Aku traktir!" ujar Kayla.
Iskha menoleh ke pintu kantin. Ternyata Kayla sudah ada di sana sambil melambai kepadanya. Iskha pun mengangkat bahunya. "Siapa takut?"
* * *
Pesanan bakso mereka sudah tiba. Bola-bola daging bulat-bulat tampak terapung-apung di atas kuah bakso yang segar dengan isi bihun dan taburan daun seledri serta bawang goreng gurih. Isi mangkok putih itu juga terdiri dari satu gorengan, siomay dan tahu. Ada satu peristiwa yang menarik yang terjadi saat itu. Kayla dan Iskha mengambil tempat saus dan sambal. Mereka langsung menaruh saus dan sambil di atas tempat kecil itu, kemudian menusuk bakso lalu mencocolnya. Saat keduanya sama-sama menggigit makanan itu, tampak mereka saling berpandangan aneh.
"Koq kita sama sih?" tanya Iksha.
Kayla tertawa. "Iya, kayaknya kita punya kesukaan yang sama. Hahahaha."
Iskha membatin, "Ini nggak lucu." Tapi bodo amat. Ia lapar dan ingin menghabiskan seporsi bakso yang sudah ada di hadapannya. Apalagi ini ditraktir. Ia tak mau menghilangkan mood orang yang mentraktirnya tersebut.
"Ngomong-ngomong, kamu tinggal dimana?" tanya Iskha. "Pastinya kita nggak terlalu jauh bukan tinggalnya? Karena kamu bisa tahu kalau listrik padam tadi malam."
"Aku tinggal di perumahan Emerald," jawab Kayla.
"Serius? Blok mana?" tanya Iskha dengan tatapan penasaran ingin tahu. Tentu saja dia sangat ingin tahu karena perumahan itu tempat dimana ia tinggal.
"Kau tinggal di sana?"
"Iya."
"Aku barusan pindah sih, jadinya nggak faham blok-nya, tapi kalau boleh nanti kita bisa bareng pulangnya," ucap Kayla menawarkan diri.
"Aku pulang naik angkot."
"Aku masih belum faham angkutan umum di daerah sini, jadinya tadi naik taksi," ujar Kayla sambil nyengir.
"Taksi? Kamu orang kaya ya?"
"Nggak juga. Cuma kepepet saja tadi. Daripada telat masuk kelas," ucapnya memberikan alasan. Alasan yang masuk akal sih. Asal tidak setiap hari naik taksi saja. "Iskha, aku anak baru di sekolah ini, juga di kota ini. Aku tak begitu faham tentang keadaannya, lingkungannya, orang-orangnya semuanya. Jadinya aku mohon bantuannya. Sebagai gantinya aku bisa membantumu dalam beberapa mata pelajaran yang sulit, misalnya matematika dan sejarah."
Iskha mengernyit. "Darimana kamu tahu aku kesulitan di matematika dan sejarah?"
"Sebab, aku juga tidak suka dua mata pelajaran itu," jawab Kayla sambil tersenyum, kemudian dia melahap lagi sebutir bakso masuk ke dalam mulutnya.
Jawaban itu sontak membuat Iskha merasa tak percaya. Ini kebetulan yang aneh. Secara kebetulan ia suka dengan musik yang sama. Makanan kesukaan mereka juga sama, lalu ini mata pelajaran yang tidak disukai juga sama. Tapi ini mungkin kebetulan. Bisa jadi memang Kayla seperti itu orangnya dan kebetulan saja Iskha bertemu orang yang mirip dengannya dalam banyak hal.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top