Bab 9

Aku pernah bertengkar hebat dengan Papi. Berdebat dengan kerasnya hatiku hingga Papi menangis dan terlihat putus asa. Itu pertama kalinya aku melihat Papi terpuruk dan seperti hilang harapan untuk hidup. Kejadian itu sudah lama, sangat lama saat aku baru lulus SMA.

Papi menitikkan air mata dengan wajah frustrasi. Ada kecewa dan bingung pada wajah Papi, menghadapiku yang berkeras menolak pernikahannya dengan Ibu. Aku tak menyukai keretakan pernikahan orangtuaku. Meski tak menampik jika memang Mami yang meninggalkan Papi demi pria lain, tetapi aku berharap banyak kepada Papi untuk mengambil kembali Mami dan merekatkan keluarga kami. Sayang, alih-alih berjuang agar Mami kembali, Papi justru menikah lagi.

Aku tidak terima, apalagi perempuan yang Papi nikahi seperti jauh dari standar. Janda dua anak yang terlihat bodoh di mataku. Aku curiga Papi diguna-guna atau hanya diperalat saja. Namun, Papi berkeras memasukkan wanita itu dalam kehidupan kami, memintaku dan Zayn untuk menerima hubungan mereka.

Akhirnya aku merestui, saat paham jika Papi memang nyaman bersama wanita itu. Saat Papi sakit setelah bertengkar hebat dengan Ibu, aku merawat Papi seorang diri di rumah sakit dan menyadari pusat dunia Papi bukan lagi Mami, melainkan Jelita, ibuku. Papi mencintainya dan aku harus mau menerima kenyataan itu. Dari titik kehidupan kami pada masa itu, akhirnya aku merelakan impianku memiliki kembali kedua orangtuaku utuh dan menerima bahwa Papi memang sudah mencintai istrinya dan tak bisa hidup tanpa perempuan itu.

Sejak saat itu, aku tak lagi berani mengonfrontasi Papi, karena takut Papi menangis dengan wajah frustrasi atau sakit seperti saat wanita yang ia cintai marah besar. Aku mencintai Papi dan hanya menginginkan pria itu bahagia. Apapun akan kulakukan agar Papi terus tersenyum dan bahagia. Sepanjang kuliah hingga menyelesaikan koas dan menjadi dokter umum seperti saat ini, aku selalu berhasil membuat Papi tersenyum bangga dan bahagia atas pencapaianku. Aku belajar keras dan berusaha semaksimal mungkin mendapatkan nilai terbaik. Tak ada jatuh cinta atau pendekatan dengan pria manapun, karena pria yang menjadi pusat hidupku hanya Faris Hadinata, papiku.

Setelah delapan tahun sejak pertama kali melihat Papi menangis karena kebodohanku, kini aku melihat air mata papiku lagi dan kali ini jauh lebih deras dari saat kali pertama kami bertengkar hebat. Tanganku gemetar dan terus duduk menunduk di ruang tunggu bandara. Dokter Syarif menanyakanku tentang Damian dan apa yang kami lakukan hingga mereka memergokiku berciuman di tempat umum. Dokter Roy berkata mereka bertiga sedang ingin jalan-jalan sebentar dan berencana mengambil foto bersama setelah rangkaian seminar yang melelahkan. Sayang, rencana untuk mengambil kenangan dengan Merlion berubah menjadi bencana besar bagi Papi.

"Dia—pacar kamu?"

Aku menggeleng dengan bibir gemetar dan air mata yang juga terus bercucuran. Jika orang melewati kami dan melihat wajahku dengan Papi, mungkin mereka berpikir kami sedang dirundung kedukaan. Hal yang mungkin dan wajar jika melihat air mata di bandara dan orang akan berpikir jika itu tentang perpisahan, entah sementara atau selamanya. Aku tak peduli dengan anggapan orang, karena pikiranku kalut antara Damian yang babak belur dan dibawa paksa oleh pria yang kemungkinan besar papanya, lalu Papi yang kini menangis sesenggukan seraya duduk menunduk beberapa tempat dariku.

Papi ditemani dokter Roy yang duduk di sebelahnya, sementara aku didampingi dokter Syarif. Pria itu mengusap pundaku layaknya ayah dan anak dan bertanya tentang apa yang terjadi di Merlion tadi. Aku tak bisa menjawab atau menjelaskan apapun selain pernyataan bahwa aku dan Damian tak memiliki hubungan apapun.

Dari Merlion, Dokter Roy memesan taksi dan membawa kami kembali ke hotel. Dengan segera, kami checkout dan langsung menuju bandara, karena Papi terus menangis tanpa suara dan tak sedikitpun menoleh kepadaku. Dokter Syarif berkata akan lebih baik duduk di lounge atau kafe bandara dan bicara bersama. Dokter Roy menghubungi Kemala dan berkata kami meninggalkan hotel duluan. Kemala masih bisa melanjutkan hunting oleh-oleh karena jadwal penerbangan kami memang masih lama. Kemala dan Dion akan menyusul setelah urusan mereka selesai.

Tiga jam duduk di kursi bandara, akhirnya Kemala dan Dion datang. Wajah mereka bingung melihatku dan Papi yang menangis di kursi yang cukup berjarak. Papi tak mau duduk di kafe dan enggan diminta bicara dengan Dokter Syarif sebagai penengah. Papiku hanya menggeleng dan terus menangis sambil duduk. Ia bahkan tidak mengangkat panggilan saat ponselnya berdering dan aku tahu ibu yang menghubungi.

"Sesuatu terjadi di Jakarta? Ada apa Zia?" Kemala berbisik kepadaku sebelum bertanya kepada Dokter Syarif yang hanya dijawab dengan urusan pribadi. Setelahnya, Kemala kembali menatapku dan berbisik. "Damian?"

"Kamu tahu tentang pemuda itu?" Dokter Syarif bertanya kepada Kemala, membuatku kalut lalu menggenggam tangan Kemala.

Aku dan Kemala saling tatap beberapa saat dan menggeleng pelan. "Aku dan Damian gak ada hubungan apa-apa," cicitku lirih.

Tatapan Kemala kepadaku sendu, sarat akan empati dan iba. Ia menggeleng kepada Dokter Syarif dan berkata. "Saya kenal pemuda itu tetapi tidak begitu tahu tentang hubungannya dengan dokter Zia. Ini urusan pribadi dan saya tidak berani untuk masuk pada ranah itu."

Dokter Syarif hanya mengangguk dan meminta kami untuk bersiap check ini dan boarding. Jadwal penerbangan tinggal dua jam lagi dan kami tidak boleh tertinggal pesawat.

Kursiku berada di sebelah Papi. Aku tepat di samping jendela, sementara Papi di tengah dan dokter Roy di sebelah Papi. Papi menghubungi Ibu sebelum pesawat take off untuk mengabarkan penerbangan kami dan tidak menceritakan apapun tentang kejadian hari ini. Papi tak lagi menangis tetapi masih dingin kepadaku. Rasanya nyeri pada hati saat Papi sama sekali tak memandangku apalagi bicara, seakan tak akan ikatan apapun diantara kami.

Sepanjang perjalanan udara menuju Jakarta, Papi terus menunduk, memejamkan mata, entah memikirkan apa. Dokter Roy sesekali mencoba buka obrolan tetapi Papi gak bergeming sedikitpun. Kami semua tahu, Papi sedang dalam emosi yang tinggi dan penghiburan apapun tak begitu berarti. Kami semua juga tahu, penyebab emosi Papi adalah aku dan aku tak bisa berkutik sedikitpun.

Pesawat mendarat dengan selamat. Kami semua turun pesawat dan antri bea cukai. Sambil menunggu conveyor bagasi, aku mencoba mendekati Papi dan memanggilnya.

"Papi ...." Meski takut, aku berusaha mengenyahkan rasa apapun dan memberanikan diri memegang lengan Papi. Sayang, pria yang kucintai ini menyentak sentukanku dengan kencang dan melangkah mengambil jarak denganku cukup panjang.

Air mataku tak bisa lagi kucegah. Aku sakit dan bingung diperlakukan begini oleh Papi. Aku tahu aku salah tetapi aku berhak meminta maaf dan memberikan penjelasan. Aku menyesal, sangat menyesal dengan apa yang kulakukan siang tadi di Merlion. Aku ingin Papi tahu bahwa aku tak akan maju selangkahpun tanpa izinnya. Aku anak Papi, milik Papi, dan akan melangkah kepada pria yang diizinkan Papi memilikiku. Tak perduli bagaimana hatiku nanti, yang penting Papi tak bersikap seperti ini.

Koper Papi datang dan Dion dengan sigap mengangkatnya ke troli, bersamaan dengan koper Dokter Syarif. Mereka mendorong troli dan berjalan di antrian bea cukai menduluiku yang masih merasakan sesak di dada. Setelah koperku terlihat di conveyor, aku mengambilnya dan membawanya tanpa troli. Aku mengambil posisi paling belakang dari rombongan kami, karena tak ingin menganggu Papi. Aku akan meminta tolong Ibu dan menjelaskan kepadanya agar Ibu bisa membantuku menenangkan Papi.

Di pintu keluar bandara, aku melihat Dokter Syarif berteriak memanggil petugas bandara. Langkahku mengayun cepat karena ada kerumunan kecil dan semua rombonganku ada di sana. Aku tak bisa menahan keterkejutan dan langsung berteriak saat mendapati Papi tergeletak di lantai koridor pintu keluar bandara.

"Hubungi ibumu, Zia!"

Aku gemetar, tremor, dan mengambil ponsel. Zayn menghubungiku bertepatan saat aku hendak membuka kontak dan menghubungi Ibu. Ia berkata sudah sampai bandara untuk menjemputku dan Papi.

"Papi gak sadarkan diri! Tolong cepat kesini!" Aku memberitahu posisi kami dan meminta Zayn untuk lekas menjemputku dan Papi. Tak berselang lama, Expander milik Zayn terlihat dan Dion dengan cepat membuka pintu.

Petugas bandara dan beberapa orang membantu membopong Papi masuk ke dalam mobil. Dokter Syarif ikut di mobilku, sementara yang lain pulang ke rumah. Aku menangis seraya memangku Papi di belakang. Zayn mengemudikan mobil dengan cepat menuju rumah sakit dan dokter Syarif menghubungi rumah sakit agar ada yang bersiap menunggu Papi di IGD.

"Faris tidak sadarkan diri di bandara. Tolong tangani dia, kami sedang dalam perjalanan ke rumah sakit." Dokter Syarif menghubungi dokter Adnan. "Dia mengeluh sakit kepala sebelum ambruk di lantai."

Air mataku kembali bercucuran seraya menepuk pelan lengan Papi. "Papi ... bangun. Maafin Zia."

"Zia, tolong hubungi Ibu Jelita." Dokter Syarif menegurku. "Istrinya harus ada di rumah sakit dan minta dia ke sana sekarang agar saat doketr Faris sampai, istrinya bisa menemani."

Aku mengangguk meski takut merajai. Aku takut Ibu akan marah karena membuat suaminya sakit begini. Ibu mengangkat panggilanku dan bertanya mengapa Papi tak lekas mengangkat panggilannya.

"Papi ... Papi pingsan, Bu. Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ibu tolong pergi ke rumah sakit sekarang." Aku gemetar hingga ucapanku terbata.

Ibu berteriak dari tempatnya dan bertanya mengapa Papi bisa tak sadarkan diri.

"Nanti Zia ceritakan, Bu. Sekarang tolong ke rumah sakit." Aku menutup sambungan kami dengan tangan yang terasa tak bertulang. Entah kemana perginya otot serta syarafku hingga rasanya tak ada daya untuk menggerakkan tubuhku sendiri.

Aku menggenggam tangan Papi dengan erat, merasakan tubuhnya yang dingin. Jangan sampai terjadi apapun pada Papi karena aku tak sudi memaafkan diriku sendiri andai kami kehilangan Papi karena kebodohanku.

Saat mobil sampai di rumah sakit, Dokter Syarif mengarahkan Zayn ke IGD dan meminta rekan tenaga medis untuk langsung mengambil Papi dan meletakkan di brankar. Dokter Adnan sudah bersiap di sana dan langsung memeriksa Papi. Tak lama, Ibu datang dengan wajah berderai air mata dan histeris melihat Papi yang pucat, dingin, dan tak sadarkan diri.

Dokter Adnan meminta timnya membawakan alat resusitasi jantung dan melakukan beberapa tindakan agar Papi sadar.

"Jantungnya lemah," ucap Dokter Adnan pada Dokter Syarif yang langsung disambut oleh teriakan histeris Ibu.

Dokter Syarif meminta Zayn membawa Ibu keluar dan menunggu kami melakukan tindakan darurat dan observasi.

"180 per 120, Dok." Seorang ners memberitahu setelah memeriksa tekanan darah Papi.

Tubuhku langsung lemas, serasa tak bertulang.

"Temani ibumu dan percayakan Dokter Faris kepada kami." Dokter Syarif menatapku dengan serius.

Aku melangkah lunglai meninggalkan IGD dan berusaha kuat meski rasanya ingin menghilang saja. Tubuhku gemetar ketakutan, tetapi aku harus berani bertanggung jawab dan menghadapi ini. Para petugas kesehatan tak mungkin mengizinkanku ikut turun tangan atau menemani Papi sekarang. Seperti keluarga pasien yang lain, aku pasti diminta menunggu saat para petugas medis memberikan pengobatan dan tindakan.

"Papi kenapa, Zia?" Ibu mengguncang tubuhku dengan wajah frustrasi dan kalut. Air matanya mengucur deras dengan tubuh gemetar ketakutan. "Kamu tidak salah memberi makanan dan memantau waktu istirahat Papi, kan?"

Aku bergeming dengan tumpukan rasa bersalah yang menggulung batin. Ini bukan karena makanan atau istirahat, karena aku selalu memantau apa yang Papi konsumsi selama di Singapura. Aku membalas tatapan Ibu kepadaku dan melihat ada kerapuhan, cinta, dan ketakutan pada sorotnya kepadaku. Andai terjadi sesuatu kepada Papi, akulah antagonis pada hubungan Ibu dan Papi karena akulah yang membuat mereka terpisah.

Air mataku menderas lagi. Bibirku yang gemetar berusaha mengucapkan satu kata. "Maaf."

"Maaf kenapa, Zia? Papi kenapa? Ibu takut, Zia ... tolong beritahu Ibu Papi kenapa?"

Tubuhku meluruh ke lantai dan refleks memeluk kaki Ibu. Tak peduli saat ini kami berada di tempat umum dan banyak orang berlalulalang. "Maafkan Zia, Bu ... maaf." Tangisku pecah bersamaan dengan brankar Papi yang keluar dari ruang IGD bersamaan dengan dokter Adnan yang berteriak meminta ruang ICU untuk Papi segera.

"Cito!"

Mendengar teriakan Dokter Adnan mengucapkan kata itu, tubuhku semakin gemetar, lemas dan aku merasa duniaku akan runtuh sesaat lagi.

*****   

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top