Bab 8


                Zia: Hai, apa kamu sibuk? Aku, Kemala, dan Dion sedang di Starbuck Merlion. Kami ingin berbelanja oleh-oleh sekalian mengambil foto sebelum pulang malam nanti. Selain Bugis, apa ada rekomendasi belanja oleh-oleh?

Gue gak bisa menahan senyum membaca kabar dari Zia. Ia sedang berada sedekat ini sama gue dan gue akan datang ke sana. Janji temu di Capital City bisa gue undur yang penting ketemu Zia dulu dan ikutan ambil foto di Merlion bareng dia.

Semalam, Pak Bastian menegur gue habis-habisan karena hilang pada penutupan konferensi dan tidak ada di foto peserta konferensi itu. Gue gak banyak beralasan, hanya berkata bahwa ada urusan yang gak bisa gue tinggalkan. Tolonglah, gue punya kehidupan pribadi dan gak mau terlalu menjadi budak korporasi perusahaan keluarga sendiri. Hanya penutupan, ramah tamah yang gak penting, lalu foto bersama. Gue gak butuh itu semua.

Pagi tadi, Pak Bastian sudah bersiap pulang ke Indonesia, meninggalkan gue sendiri yang masih harus menemui konsultan bisnis kakek di Capital City. Janji gue sih siang ini, sekarang, tapi gue akan mundur sedikit karena Zia sangat-sangat penting.

Jadi, gue mempercepat rapi-rapi penampilan dan langsung keluar hotel menuju Merlion. Gue berjalan dengan santai dan riang, seakan Singapura adalah surga dan hari ini adalah hari terbaik sepanjang bumi berputar. Senyum gue terlengkung sempurna dan gue gak pernah merasa seganteng ini. Kali kedua Zia mengundang gue dan artinya cinta gue gak bertepuk sebelah tangan.

"Hai!" Gue melambaikan tangan riang saat sosok Zia dan teman-temannya terlihat. Zia tersenyum kepada gue, lalu bicara pada Kemala sebelum Kemala dan Dion beranjak dari kursi Starbuck dan pamit ke gue. "Kok pada pergi? Katanya mau ambil foto?"

"Udah," jawab Dion santai. "Capek gue jadi fotografer mereka."

Kemala berdecih santai. "Sekali ini aja perhitungan banget." Ia lalu menatap gue. "Kami mau belanja oleh-oleh, sementara Zia biar bersantai sama kamu. Kami tahu kalian butuh waktu sebelum harus berpisah, kan?"

Sialan, Kemala bikin gue salah tingkat. "Aku sama Zia gak akan pisah."

Kemala terkikik lirih. "Maksudnya, sebelum kami pulang ke Jakarta."

Terserah dialah. Yang penting Zia jadian sama gue sekarang. Gue menoleh kepada Zia dan menatapnya penuh tanya. "Kamu gak beli oleh-oleh sekalian? Mau aku antar?" Gue gak masalah pesan mobil hotel untuk mengantar Zia ke Orchard dan membelikan dia apapun yang dia mau. Saldo gue masih cukuplah untuk beli satu dua tas luxury yang seperti Aldira punya.

Zia menggeleng santai, lalu menepuk satu kursi di sebelahnya. "Aku titip Kemala saja. Semalam kami sudah ke Bugis Street dan beli kaus di sana. Mereka ingin ke Mustafa dan berkeliling Bugis Junction aja sebelum ke hotel dan packing."

Gue mengangguk saja. "Oke." Setelahnya, gue tersenyum pada Kemala dan Dion. "Thanks ya." Kalau gak karena mereka, belum tentu gue punya satu kali lagi waktu kencan sama Zia.

Setelah kemala dan Dion pergi, gue masuk ke Starbuck dan memesan minuman. Gue membungkus beberapa camilan dan sembilan tumbler dengan aneka bentuk. Semua itu akan gue kasih ke Zia untuk dibagi-bagikan. Gue juga mau kasih oleh-oleh buat teman dan keluarga dia.

"Kamu borong apa?" Zia melihat kantung Starbuck yang gue teruh di satu kursi.

"Kue sama tumbler. Buat kamu," jawab gue santai seraya duduk dan meletakkan cup di meja. "Jadi ... kita jadian, kan?" Seperti dalam berbisnis, kita juga harus tegas dalam hubungan percintaan. Daddy selalu menekankan gue agar tidak melepas klien potensial demi keberlangsungan perusahaan. Begitupun dengan percintaan gue dengan Zia, gue gak mau terlalu lama tanpa kejelasan.

Zia seketika terdiam dengan wajah sendu. "I love you too, maybe?" Ia menatap gue dengan binar bimbang. "Aku—aku bingung dengan perasaanku sendiri."

Gue mengambil satu tangannya, menggenggamnya. "I know you love me too."

"Maybe," cicitnya lirih. "Aku senang menerima perhatianmu, pesan, senyum, dan apapun yang kamu lakukan. Kamu seru. Kamu seperti kejutan untukku setiap kita bertemu. Sejak di rumah sakit sampai sekarang. Aku merasa, kamu mungkin saja bisa menjadi warna baru dalam hidupku yang terlalu monoton. Hanya saja ..."

"Kamu tidak perlu meragukan apapun, Zia. Hidupmu apalagi aku." Gue mempererat genggaman tangan kami. "Yang harus kamu lakukan hanya menerima aku lalu yakin pada hubungan kita."

"I don't know."

"Tatap aku."

Zia menatap gue dengan sorot bimbang dan sedih. Gue bisa merasakan semua yang bergejolak di hatinya. Ia cinta sama gue, jatuh cinta dan membalas perasaan gue. Ia hanya ... galau gak jelas karena takut hubungan kami mengganggu karirnya. Padahal, gue gak akan sekonservatif itu. Gue tipikal pria yang terbuka dan open minded. Gak masalah istri gue bekerja selama ia bahagia.

Kami saling tatap selama beberapa saat, hingga binar Zia berangsur lembut dan teduh. Semoga, ini membuatnya lebih tenang dan semakin yakin sama ikatan yang kami miliki.

"Marry me?" Gue berbisik selembut dan semacho yang gue bisa.

Zia tersenyum lembut. "Papi aku gak akan kasih."

"Kawin lari kalau gitu." Gue tertawa lirih dengan seringai canda. "Uang aku cukup untuk biayain sekolah spesialis kamu dan hidupin kamu seumur hidup."

Zia tertawa lirih dengan wajah merona. Anjir, gue demen banget lihat dia dan pengen banget cium bibirnya yang lembut itu. Ayo cepet kawin, cepet kawin biar gue bisa setiap hari berduaan gini sama dia.

"Aku gak akan berani melawan Papi," jawab Zia lembut. "Aku cinta sama Papi."

"Tapi cinta aku ke kamu lebih besar dari cinta kamu ke papi kamu," jawab gue asal. Pokoknya Zia harus yakin sama gue dan terima lamaran gue.

Zia menatap gue dengan sorot teduh, tenang, dan cinta. Iya, gue merasakan satu rasa yang bikin tubuh gue jungkir balik dan sumpah mati gak bisa lagi nahan hasrat ini. Gue mengambil dagu Zia, mengusapnya pelan dan lembut, lalu menariknya untuk bisa gue kecup sebentar saja. Sebentar saja kalo gue kuat, agak lamaan dikit kalau hasrat gue emang udah gak karuan.

Bibir kami bertemu dan gue bisa merasakan tubuh Zia menegang. Ini pertama kalinya bagi gue dan bikin gue berdebar kencang. Setelah ini, harusnya gue membuka bibir dia agar kami bisa lebih dalam menyatu dan berbagi cinta, kan? Zia merapatkan matanya dan tangan gue menahan tengkuknya.

Gue sudah membuka bibir dan pelan-pelan memasuki mulut Zia. Jantung gue makin gak karuan, seperti ada adrenalin yang menaik turunkan mental gue. Saat bibir Zia terbuka, hati gue mulai kembang kempis dan memberanikan diri memperdalam ciuman kami. Namun, tiba-tiba tubuh gue ditarik dari belakang, diseret dengan kencang lalu satu bogem mentah gue rasakan di wajah, bersamaan dengan teriakan Zia.

"Papi!"

Kursi yang kami duduki jatuh dan terguling, petugas Starbuck datang membantu dan menghentikan pria tua yang sedang menghajar gue. Anjrit, kepala gue sakit kena pukul dia dan tendangan akik-akik ini berasa juga di paha sampai betis. Kalau terjadi apa-apa sama gue, gak pandang bulu akan gue tuntut di pengadilan.

Sebentar, Zia tadi teriak apa?

"Papi, stop!"

Mata gue yang berkunang melihat Zia lari mendekati pria tua itu dan memeluknya. Ada dua pria paruh baya lain yang menyebut satu nama. Dokter Faris. Otak gue yang rada oleng gara-gara pukulan tadi, berusaha mencerna kondisi ini. Papi ... dokter Faris?

"Kamu apakan anak saya, heh?" Satu tinjuan kembali gue rasakan, bahkan sebelum gue benat-benar berhasil berdiri. Kampret banget! "Mana orangtuamu? Dia harus tahu anaknya amoral dan hina! Sialan kamu!"

Gue hampir kena tending sebelum seseorang menarik gue lagi. "Damian!"

Anjing! Siapa lagi ini? Gue menoleh ke samping dan rasanya nyawa gue udah di ujung tanduk. Gak mungkin. Gak mungkin orang ini ada di sini. Gak mungkin orang ini tahu gue ada di sini. Sialan, gue gak tahu gimana harus menyelamatkan diri.

"Sini kamu, saya harus perhitungan dengan kamu!" Pria tua itu kembali maju, tetapi gue didorong mundur agar bisa berlindung. "Berani kamu cium anak saya di depan umum! Saya akan tuntut kamu!"

Tangis Zia terdengar jelas, bersamaan dengan teriakannya memanggil "Papi."

"Papi?" Gue menatap Zia dengan tatapan penuh tanya.

"Cium?" Suara itu terdengar seperti petir yang menuntut gue dengan hukuman mati. "Kamu mencium perempuan di tempat umum sementara Alvin menunggu kamu?" Daddy, bokap gue, iya bokap gue. Surya Salim yang gak tahu datang dari mana, yang tadi melindungi gue dari amukan pria tua yang Zia panggil dengan Papi, menatap gue dengan kobaran amarah yang terlihat jelas di mata dan wajahnya.

"Daddy ... kenapa di sini?" Alih-alih menjawab pertanyaan Daddy, gue lebih butuh alasan Daddy ada di Singapura. "Bukannya Daddy seharusnya ada di Suria Kuala Lumpur?"

Napas Daddy memburu. Ia mencengkram tangan gue dengan kencang, lalu menyeret gue. Daddy menatap tiga pria tua yang berdiri mengelilingi Zia, lalu berkata. "Damian anak saya dan saya tidak akan merestui hubungan mereka. Saya minta maaf jika anak saya berlaku buruk, tetapi saya yakin anak Anda juga pasti memiliki peran besar hingga mereka bersikap amoral."

"Saya mendidik anak saya dengan sangat baik! Pemuda ini yang memberikan pengaruh buruk kepada Zia. Bagaimana mungkin anak saya melakukan hal amoral kalau bukan karena paksaan anak Bapak."

Daddy menatap gue dengan wajah garang. "Kamu ...."

"Kami saling mencintai. Aku dan Zia akan menikah."

"Tidak!" Pria tua yang menghajar gue, berteriak. "Saya tidak akan melepas anak saya kepada pria seperti kamu. Tidak akan pernah!" Pria itu menatap Zia dengan wajah merah, sarat dengan amarah. "Dokter yang baik seharusnya menjaga etika dimanapun. Kamu ...."

"Zia minta maaf, Papi."

"Dokter?" Daddy berbisik penuh tanya dengan mata yang memicing penuh amarah. "Kamu—berhubungan dengan dokter?"

Tanpa sempat gue berkata apapun, Daddy menarik gue dengan kuat, membuat gue sedikit limbung menyamai langkahnya yang penuh amarah. Gue ditarik seperti kambing yang akan dibawa ke tempat jagal dan siap diakhiri hidupnya.

**** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top