Bab 7

I hate my life. Gue membenci kehidupan yang gue miliki terlepas dari kenyamanan yang Daddy berikan. Gue selalu merasa sendiri dan tak memiliki seseorang yang bisa memahami keinginan gue. Sejak kecil, gue tak memiliki pilihan apapun selain yang Daddy arahkan kepada gue. Sekolah dimana, ekstrakulikuler apa, liburan, hingga makanan yang Bik Minah masak dan sajikan untuk gue. Gue paham, bahwa Daddy bekerja keras—sangat keras—demi membesarkan gue yang lahir tanpa seorang ibu. Gue keluar dari rahim wanita yang enggan mengakui gue sebagai anaknya. Gue paham dan tahu betul perjuangan dan pengorbanan Daddy agar hidup kami bisa baik dan nyaman. Namun, yang tak dunia tahu bahwa gue pun menginginkan kenyamanan gue sendiri yang tak bisa gue dapatkan dari manapun sebelum bertemu Zia dan menikmati senyum serta setiap raut wajah perempuan itu.

Gue baru tahu bahwa dampak dari jatuh cinta bisa segila ini. Gue ingin mengejek diri sendiri yang lemah pada pesona Zia, tetapi hati berkata bahwa gue berhak mengejar mimpi gue termasuk Zia yang kini menjadi salah satunya. Jika memang tak bisa lagi menggambar gedung tinggi, maka gue tak ingin gagal memiliki senyum dan sorot mata Zia yang menghanyutkan.

Keringat sudah membasahi tubuh hingga kaus yang gue kenakan pagi ini, tetapi otak gue masih belum menemukan alasan mengapa Zia tampak pias saat kami bertemu semalam dan tak mengangkat panggilan dini hari tadi.

Gue mengistirahatkan tubuhku setelah berlari mengelilingi Merlion Bay dan sekitar hotel tempatku singgah. Gue duduk di undakan Merlion, dimana gue bisa melihat ikon Singapura dan Esplanade yang berdiri Anggun beberapa jarak. Napas gue berangsur tenang, tetapi pikiran tidak. Mungkin salah gue yang tak sekalipun menghubunginya kemarin dan tiba-tiba datang pada jam yang tak semestinya. Namun gue tak yakin dengan kemungkinan ini. Zia ... seperti tak ingin memperjuangkan kami dan membalas perasaan gue. Intuisi gue berkata seperti itu.

Tatapan perempuan itu seperti bimbang dan putus asa. Meski gue yakin ia adalah perempuan kuat, tetapi tak ada manusia yang benar-benar kuat. Gue harus bertemu dengannya hari ini, bagaimanapun caranya. Jika ia tak merespons panggilan dan pesan, maka gue akan mengejarnya sendiri.

Dering ponsel pada kantung training, membuat gue terlepas dari bayangan Zia sesaat. Pak Bastian menghubungi dan gue yakin sudah banyak tugas yang harus gue lakukan hari ini. Tidak seperti Zia yang besok malam sudah kembali ke Indonesia, gue masih memiliki tiga hari lagi di sini. Konferensi berakhir hari ini, tetapi gue masih harus berada di Capital City sampai lusa. Sebelum Zia kembali ke Indonesia, gue harus memastikan status hubungan kami dan gue hanya menerima kabar baik.

"Ya, Pak. Sebentar lagi saya siap." Gue berdiri seraya masih memegang ponsel yang menempel telinga. Udara Singapore cukup segar dengan cuaca cerah, tapi hati ini tetap saja merasa seperti ada badai yang mengganggu. "Kita bertemu di ruang konferensi."

Gue menutup sambungan dengan Pak Bastian setelah pria itu menyebutkan banyaknya jadwal dan tugas yang harus gue selesaikan. Melelahkan, tetapi gue tidak akan menyerah karena gue tahu hanya ini bentuk bakti dan balas budi kepada Daddy.

Sambil melangkah cepat kembali ke Fullerthon, gue mencoba menghubungi Zia tetapi ditolak. Ini masih pukul tujuh dan gue yakin seminarnya belum mulai. Zia berubah dan itu bikin frustrasi.

Sepanjang konferensi berlangsung, gue berusaha memusatkan konsentrasi. Zia masih mendominasi pikiran tetapi gue bisa menjalani setiap sesi dengan baik. Saat tengah menikmati makan siang, senyum tak bisa gue tahan lagi. Zia mengirimi pesan setelah sikap anehnya semalam.

Zia: Aku seminar sampai pukul tiga. Setelahnya, berencana main ke Gardens bersama Kemala dan Dion setelah mengantar para dokter bertemu seorang sejawat di flatnya. Bisa—bertemu di sana?

Dengan segera gue mengetik balasan dan memastikan akan berada di sana pada waktu yang ia tentukan. Pesan Zia serupa oase di pikiran gue yang gersang. Sayang, saat gue melihat agenda konferensi hari ini, senyum berganti datar. Penutupan konferensi baru pukul lima dan gue harus berada pada sesi itu.

Persetanlah. Gue memilih Zia dan penutupan konferensi tidaklah penting. Yang penting gue sudah menjalankan tugas di setiap sesi konferensi ini dan gue akan mengambil waktu untuk bersama Zia.

Pukul dua lewat, saat sesi akhir konferensi selesai, gue melesat meninggalkan hotel menuju Gardens. Pukul tiga tepat gue sampai di Gardens dan bersiap menunggu Zia di pintu keluar stasiun MRT. Dia berkata menaiki MRT bersama dua temannya menuju tempat ini dan gue akan menyambutnya dengan cara gue.

"Damian?" Zia tersenyum saat tubuhnya menemukan gue di depan escalator stasiun MRT.

Gue membalas senyumnya dan memberikan satu buket bunga lily kepadanya. "I miss you."

Dehaman Dion dan Kemala membuat Zia salah tingkah. Gue tertawa lirih melihat sikapnya yang bikin yakin bahwa perempuan ini sebenarnya memiliki rasa kepada gue. Dan ... pemikiran ini semakin kuat saat Zia tak menolak tanganku yang mengait di tangannya. Kami berjalan bergandengan dan membiarkan Kemala serta Dion mendului kami.

"Kamu jalan kapan? Sampainya bisa lebih cepat dari kami."

Gue tersenyum senang mendengar suara Zia yang ringan dan tanpa beban. "Gardens tidak jauh dari Fullerthon. Ada jalan yang menghubungkan antara tempat ini dan Merlion. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di sini."

Zia hanya mengangguk, lantas melanjutkan langkahnya dengan diam.

"Sudah pernah ke sini?"

Zia menggeleng. "Belum. Aku hanya pernah ke Sentosa dan beberapa pusat perbelanjaan."

Tawa gue tak bisa dicegah. "Kalau begitu, aku akan menemani kamu menikmati Gardens di waktu yang tepat."

Gue menarik Zia menuju satu tempat sambil membuka aplikasi yang ada di ponsel. Gue memproses transaksi pada aplikasi itu dan membawa Zia pada tempat parkir sepeda yang ada di dekat stasiun MRT Marina Bay.

Zia menatap penuh tanya saat gue memindai barcode yang menempel pada sepeda hingga bisa mengambil dua sepeda untuk kami.

"Jalan kaki akan berasa capek kalau kamu tidak terbiasa. Jadi, aku menyewa dua sepeda untuk kita menikmati Gardens yang cukup besar." Hati gue mengembang saat Zia tersenyum dan mengangguk.

Kami menaiki sepeda masing-masing dan mengayuh mengelilingi Gardens dan pemandangan laut Singapura. Zia menghentikan sepedanya di sebuah kursi kosong. Gue menyusul Zia dan ikut memarkirkan sepeda gue di samping miliknya. Zia duduk di kursi itu, lalu mengeluarkan camilan dari tasnya.

"Kamu tahu, Damian. Aku anak pertama yang memiliki tanggung jawab besar. Aku harus menjadi dokter hebat agar orangtuaku bangga kepadaku. Aku ingin membahagiakan papiku dan memberikannya bukti bahwa kami bisa melalui hidup yang berat." Zia mengunyah camilannya seraya menatap arah depannya dengan binar kosong. "Aku tidak yakin apakah hubungan kita akan berhasil, karena aku pasti memfokuskan diriku pada karir."

"Aku mencintaimu tanpa syarat."

"Aku tahu." Zia mengangguk. "Aku pun mulai nyaman denganmu. Hanya saja, aku merasa ini terlalu cepat untuk kita. Aku tidak yakin kamu bisa memahami duniaku, keluargaku, masa laluku, dan ritme kerjaku sebagai tenaga kesehatan."

"Kamu hanya tinggal bicara denganku tentang apapun yang harus aku pahami, Zia. Aku hanya butuh keterbukaanmu kepadaku. Aku menyukaimu, mencintaimu, dan akan menerimamu apa adanya, seburuk apapun masa lalu dan latar belakangmu." Gue bicara dengan serius dan tegas. Gue tak peduli seperti apa kehidupan masa lalu Zia. Gue akan tetap memperjuangkannya karena gue mencintainya.

"Orangtuaku—bercerai." Zia menunduk. "Aku malu dengan kenyataan itu. Papi menikah lagi dan Mami juga. Aku memiliki dua pasang orangtua."

Gue terdiam. Ini—di luar yang perkiraan.

Zia menatapku dengan wajah pias. "Kamu pasti berubah pikiran, kan? Sudah kukatakan, kamu berhak atas perempuan yang lebih baik dariku. Aku tidak sebaik dan sehebat yang kamu katakan. Aku memiliki cita-cita tinggi, untuk membuat papiku bangga atas pencapaianku dan terhibur dari luka hatinya saat Mami berselingkuh dan kelaurgaku berantakan."

"Aku—" Gue memijat keningku seraya menutup mata. "Aku—lahir tanpa Ibu."

"Maksudmu?"

Gue menatap Zia dengan jantung yang berdegup kencang. Ini kali pertama gue membuka diri pada orang lain, tentang masa lalu yang menjijikkan. "Aku anak yang terlahir tanpa pernikahan. Ibuku melahirkanku, lalu memberikanku kepada Daddy. Ia meminta Daddy merawatku sebagai bentuk tanggung jawab kesalahan mereka." Gue menghela napas panjang, demi meredam gemuruh rasa yang tiba-tiba menyerang. "Seperti kamu, Aku juga memiliki tanggung jawab besar karena anak tertua. Daddyku memiliki empat anak dari empat perempuan yang berbeda."

Zia menganga dengan wajah terperanjat. Gue yakin, kali ini dialah yang akan berubah pikiran dan menganggapku hina. "Papamu—poligami?"

Gue menggeleng. "Lebih buruk dari itu," jawab gue malu. "Daddy memiliki tiga anak di luar pernikahan termasuk aku. Hanya Rayya yang lahir dengan status pernikahan. Kamu malu dengan perceraian orangtuamu, apalagi aku?" Gue tertawa getir. "Seperti kamu yang ingin membahagiakan ayahmu, akupun mengalah demi berbakti kepada Daddy. Kamu pikir aku nyaman dengan tugas yang Daddy berikan? Mengelola perusahaan kakek dan harus siap mengemban tanggung jawab besar sesaat lagi. Aku tidak menyukai, tetapi berusaha menerima tugas itu."

Zia mengerjap pelan, menatap gue dengan sorot dalam. "Pasti—sangat berat untukmu."

"Tidak jika ada kamu di sisiku."

"Tidak semudah itu, Damian." Zia membuang pandangannya. "Aku akan menjalani residen yang artinya menghabiskan nyaris seluruh waktuku di rumah sakit. Kalaupun memiliki waktu libur, aku akan menghabiskannya bersama keluarga. Kamu tidak akan nyaman dengan hidupku. Sudah kukatakan bukan, jika kita berbeda?"

Gue menatap Zia lamat. "Kita sama dan kita akan saling menguatkan."

Zia menghela napas panjang lalu beranjak dari bangku taman. Ia kembali menaiki sepeda lalu mengayuhnya pelan. Gue mengikutinya, berada di belakang dan memastikan ia menikmati sore ini. Zia pasti sedang memikirkan kami dan menimbang permintaan ggue untuk hubungan kami.

Zia mengembalikan sepeda sewaan kami di titik dekat Supertree Groove. Ikon Gardens berupa Menara tumbuhan serupa payung yang akan menyala di malam hari. Kami duduk di dalam area itu dan bertemu Kemala serta Dion yang sedang mengantri naik ke atas pohon buatan itu.

"I love you," ucapku lagi. "Kita akan melewati apapun bersama dan aku akan mendukungmu."

Zia masih terdiam dengan tatapan menerawang. "Aku—jatuh cinta kepadamu, tetapi ragu pada diriku sendiri." Ia mengerjap pelan dengan wajah sendu. "Aku takut hubungan kita akan membebanimu."

"Aku tidak merasa mendapatkan beban apapun darimu, selain—rindu."

Zia menoleh kepada gue, lalu menatap dengan sorot menuntut. "Bagaimana jika aku sulit kamu hubungi dan susah kamu temui kelak? Aku akan sangat sibuk dengan pasienku dan pendidikanku agar menjadi dokter spesialis."

"Aku akan sabar menunggu, selama kamu tetap setia denganku. Aku akan sabar menunggu dan memahami alasanmu apalagi jika menjadi suamimu." Gue membalas tatapan Zia dengan wajah serius. Zia harus tahu jika pendekatan dengannya tak main-main. "Perasaanku memang terlalu cepat, karena aku jatuh cinta kepadamu pada pandangan pertama. Namun, kamu harus tahu bahwa aku tidak sembarangan jatuh cinta dan main-main dengan itu. Aku tidak ingin menjadi pria seperti Daddy yang mengumbar cinta kepada banyak wanita dan menciptakan masalah. Aku ingin berlabuh pada satu perempuan dan bertahan dengannya dalam kondisi apapun dan kamu adalah perempuan itu."

Tatapan Zia kepada gue berubah lembut. Ia beranjak dari duduknya, mengulurkan tangan kepada gue, membuat gue dengan sigap menerima uluran itu dan menggenggamnya. "Aku—lapar. Ada rekomendasi makanan yang bisa aku nikmati?"

"Shake and Shack," jawab gue santai seraya merasakan telapak tangannya yang dingin dalam genggaman. Gue akan menghangatkan dingin itu dan memberikan rasa nyaman hingga ia yakin bahwa gue layak ia pilih sebagai sandarannya. "Kita bisa menikmati burger dan float di sana. Dokter seperti kamu, tidak resisten pada makanan cepat saji, kan?"

Zia tertawa lirih. "Kamu lupa jika kamu pernah menyusulku ke Mc Donalds Bugis Junction?"

Gue tertawa lebar menanggapi pertanyaannya. Rasanya menyenangkan memiliki kebersamaan yang sehangat ini dengan Zia berdua. Gue bahkan tak peduli dengan ponsel yang terus bergetar di kantung. Pasti Pak Bastian yang mencari dan gue tak akan kembali ke konferensi karena yang gue inginkan saat ini hanyalah Zia.

**** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top