Bab 6


"Uang Kakak masih ada?"

Aku menoleh pada Papi yang tiba-tiba bertanya di tengah coffee break seminar.

"Sudah empat hari Papi di sini, artinya lima hari kalau Kakak. Kayaknya Kakak selalu belanja makanan dalam jumlah banyak tetapi Papi tidak menerima laporan pembelanjaannya. Uangnya masih ada?" Papi menatapku santai sambil menikmati cake yang disediakan. "Apa ada sponsor dari dokter lain? Tapi seingat Papi, kami sepakat membagi sama rata semua pengeluaran."

Aku melirik Kemala yang sedang berbincang dengan Dokter Roy. Seketika aku bingung harus menjawab apa. Total enam ratus dollar dari tiga dokter untuk kami berenam, memang rasa-rasanya tidak mungkin bertahan dalam lima hari. Apalagi, permintaan mereka banyak. Mulai dari sabun, buah, hingga camilan dan jus yang kubeli bersama Kemala.

"Keripik yang kemarin enak. Kakak beli dimana? Kita beli lagi dan bawa pulang untuk Ibu, ya." Papi kembali berbisik santai. "Papi rasanya tidak sempat beli oleh-oleh. Kakak yang beli saja, ya. Pilih untuk Ibu dan adik-adik."

"Nanti Kakak belikan." Irvins. Damian membawakanku banyak keripik jenama itu sore kemarin. Papi menyukainya dan kerap menikmati saat membuat jurnal hingga tengah malam kemarin. Papi tidak pernah banyak tanya soal makanan ataupun camilan yang kusuguhkan untuknya. Aku jadi kaget mendengar pertanyaan Papi saat ini dan berencana mendiskusikannya bersama Kemala nanti. "Nanti Kakak hubungin Ibu barangkali ingin sesuatu."

Papi mengangguk lantas menjawab sapaan seseorang yang mendekatinya. Aku menghela napas lega, paling tidak memiliki waktu untuk mencari jawaban tentang laporan belanja makanan selama empat hari ini.

Seharian ini Damian tidak menghubungiku. Biasanya, dia akan mengirimkan pesan di Whatsapp dan bertanya tentang ini dan itu. Meski baru beberapa hari kedekatan kami, intensitas Damian membangun komunikasi membuatku jadi terbiasa dengan kehadirannya. Pria itu selalu menghubungiku di pagi hari sebelum salat subuh lalu mengirimkan pesan mulai dari yang penting hingga random pada Whatsapp kami. Aku mulai terbiasa dan tak terganggu meski kerap memenuhi notifikasi ponselku.

Saat tiba-tiba hening seperti ini, aku jadi bertanya-tanya apa yang terjadi pada Damian hingga tak mengirimiku kabar. Baiklah, kami baru bertemu sore kemarin saat ia mengirimkan Irvins dan beberapa kotak kwetiaw seafood hongkong halal untuk kami. Aku tak memesannya tetapi dia sudah datang dengan enam kotak makanan itu berikut jus alpukat dan jeruk.

"Aku beli di Market Street Hawker Capita Spring." Ia menyeringai santai seraya menyodorkan kantung kepadaku. "Aku habis dari Capital City untuk bertemu seseorang di sana. Makan di Market Street Hawker dan kepikiran untuk bungkusin ini untuk kamu."

Aku melirik kantung itu, lalu menatap Damian dengan wajah datar. "Aku hanya satu tetapi kamu membawa lebih dari empat bungkus."

Damian tersenyum lebar. "Untuk kamu dan tim kamu," jawabnya santai.

Aku hanya mengembuskan napas pasrah, lalu menerimanya dan meminta Dion memberikan kepada para dokter untuk mereka makan malam. Aku meminta tolong Dion agar memberitahu papi bahwa aku ke Sultan Mosque untuk salat dan mengikuti kajian di sana, padahal sebenarnya makan malam di Aya Sofia bersama Damian berdua setelah kami salat.

"Ada masalah?" Pertanyaan Papi membuyarkan lamunan dan kecamuk pikiranku tentang Damian yang belum mengirimkan kabar apapun kepadaku seharian ini. Sudah sore dan aku sedang bersama Papi di dalam taksi menuju hotel kami. "Kakak kayak diam terus seharian ini. Ada masalah?" Papi menatapku lembut, tetapi sorot matanya sangat serius. Tatapan Papi kepadaku seakan tengah mengulitiku hingga ke bagian terdalam dan membaca apa yang terjadi pada hati dan pikiranku.

Aku menggeleng santai. "Enggak, Kakak hanya agak ngantuk tadi." Aku berusaha tersenyum santai. "Sama ..."

"Apa?"

Aku mengangkat bahu tak acuh padahal jantungku berdegup sangat kencang. Aku tak tahu apakah harus mengutarakan ini kepada Papi atau lebih baik menyimpannya sendiri.

"Sama apa, Kak?"

Aku tersenyum kepada Papi. "Mikir random aja sih tadi. Mikir andai ada pria yang ingin menjalih hubungan serius dengan Kakak, Kakak harus bagaimana?"

Wajah Papi seketika terlihat berubah. Sedikit menegang dengan mata yang memicing tajam kepadaku. "Siapa?"

Aku menggeleng cepat. "Ini hanya pemikiran random, Pi. Gak ada orangnya. Hanya pengandaian." Aku berkilah dengan dada yang berdebar kencang. Ini pertama kalinya aku bicara dengan Papi tentang pria dan sikap Papiku seperti dingin dan defensive.

"Kalau begitu tidak usah kita bicarakan. Jangan memikirkan hal yang justru merusak fokus Kakak dalam berkarir. Kakak harus berhasil pada PPDS nanti kamu tahu prosesnya tidak mudah."

Aku hanya mengangguk, lalu membuang pandanganku ke arah jalan. Dari nada, ucapan, dan wajah Papi saat ini, aku tahu bahwa tak ada jalan untuk Damian mendekat kepadaku. Papi akan menutup jalan itu demi aku, demi masa depan dan impianku. Salahku yang dengan cerobohnya membuka diri pada pria. Namun, bolehkah aku sedikit saja membela diri bahwa perasaan yang Damian beri, dengan pasti mengisi hatiku dan kini mulai bersemi. Aku manusia biasa yang ternyata tak imun dari cinta, perhatian, senyum, dan sikap manis yang Damian berikan kepadaku. Ia tulus, aku bisa merasakan itu. Dan ketulusannya membuatku terseret arus yang kini perlahan menenggelamkanku pada kerinduan dan keinginan untuk terus bertemu dengannya.

Sesampainya di hotel, para dokter mengajak kami untuk menikmati Singapura. Ini kali pertama tiga dokter senior itu keluar dari hotel yang bukan untuk seminar. Setelah membersihkan diri, kami berjalan bersama ke Kampong Arab untuk salat dan makan malam. Pilihan kami jatuh pada Kampong Glam karena Dokter Roy tidak menyukai makanan Turki.

"Kalian belanja makanan di sini terus?" Dokter Syarif membuka obrolan saat nasi goreng pesanannya sudah tersaji. Ia mengambil satu kotak emping dan mulai menikmati bersama teh o tanpa gula dengan banyak es. "Seafood hongkong yang kemarin, kalian beli di depot mana?"

Kemala melirikku dan sedikit terbelalak. Aku mulai salah tingkah dan bingung harus menjawab apa.

"Food Panda," jawab Dion santai sambil menikmati mie kuah. "Kami pesan di Food Panda, Dok. Kami cari di aplikasi tersebut street food halal yang bisa kami beli dengan voucher promo. Zia yang memesannya."

Aku tersenyum kepada Dion seraya bersyukur kami memiliki hal untuk menutupi Damian. Aku tidak memiliki aplikasi yang Dion katakan, tetapi tak akan banyak bicara lagi.

"Enak," puji Dokter Syarif. "Untuk ukuran street food, makanan kemarin enak banget."

Seandainya aku tahu dimana membeli makanan itu, aku pasti dengan senang hati membelikan Dokter Syarif lagi. Hanya saja, aku belum pernah menjelajahi Capital City yang tak berani nekad mengunjungi tempat yang Damian katakana semalam ini.

Setelah makan malam di Kampong Glam, berlanjut membeli camilan yang diinginkan masing-masing, kami kembali ke hotel dan berkumpul di kamar Papi untuk mengerjakan jurnal. Kami berkumpul untuk briefing sampai pukul sebelas malam dan membawa tugas masing-masing. Aku kebagian membuat notula seminar hari ini dan harus selesai besok karena Papi ingin mengumpulkan dengan laporan sebelumnya.

Papi adalah pria pekerja keras yang paling tidak suka menunda pekerjaan. Katanya, ia harus menyelesaikan laporan itu sebelum mendarat di Indonesia, agar saat kembali ke rumah sakit bisa fokus pada pasien-pasiennya. Itu sebabnya Papi memintaku menjadi asistennya dan memberikan tenggat kerja yang cukup membuatku tertantang.

Setelah briefing kami selesai, aku langsung ke kamar bersama Kemala. Kami fokus dengan laptop masing-masing dan mengerjakan tugas dari dokter kami. Tak ada obrolan karena mulut kami hanya sibuk mengunyah camilan sambil mengetik laporan. Kami akan berhenti saat lelah, karena pekerjaan ini tidaklah mudah.

Konsentrasiku terpecah saat ponselku berdering. Damian menghubungi pada pukul satu dini hari. Ada apa dengan pria itu? Tanpa banyak berpikir, aku mengangkat panggilannya.

"I miss you." Ia berucap lirih. "Aku tahu ini sangat tidak sopan, tetapi aku ingin bertemu denganmu sebentaaar saja."

"Ini sudah tengah malam, Damian. Aku tidak mungkin naik taksi untuk bertemu denganmu."

"Aku di lobi hotelmu. Bisa bertemu sebentar saja?"

"Apa?" Informasi Damian membuatku refleks berdiri dari kursi kerja kamarku, lalu bergegas keluar kamar sambil masih tersambung dengan Damian. "Gimana bisa kamu ke sini tengah malam begini, Damian?"

Pria itu begeming. Aku yakin ini bukan karena sinyal hingga tak ada percakapan atau jawaban. Pasti sedang ada sesuatu pada Damian dan aku nyaris merutuki lift yang terasa lamban. Langkahku mengayun secepat mungkin saat sampai lobi dan menemukan Damian berdiri di salah satu sudut lobi.

"Seharusnya kamu ada di ranjang mewahmu dan beristirahat, Damian. Bukan menemuiku dalam ...." Aku menaik turunkan bola mataku, memindai penampilannya. "Kamu belum mandi dan istirahat?"

Damian tersenyum segaris dengan sorot mata yang dalam. Ia menatapku dengan keteduhan, tetapi aku bisa jelas melihat kelelahan dari binar matanya. Wajahnya seperti sedang memiliki tekanan dan tubuhnya terlihat lelah. Ia masih mengenakan jas rapi dengan pantalon meski rambutnya sudah tak begitu klimis. Ia melangkah pelan mengikis jarak diantara kami, lalu tanpa kuduga menarikku ke dalam pelukannya.

Tubuhku menegang akibat keterkejutan ini. Bagaimana mungkin aku berada dalam pelukan pria yang bukan Papi dan Zayn? Pria yang masih menguarkan aroma parfum maskulin dan menyandarkan kepalanya di pundakku.

"Aku rindu kamu. Aku lelah dengan semua ini. Aku menginginkanmu, hanya kamu dan impian kecilku, tetapi Daddy memaksaku untuk menerima tanggung jawab ini."

Aku tak mengerti apa yang sedang ia katakan, selain tentang merindukanku. Dengan tangan yang terasa dingin dan gugup, aku membalas pelukannya dan mengusap pelan punggung kokoh Damian. "Ada—yang bisa kubantu?" bisikku berusaha menenangkan. Aku bisa melihat jelas pergulatan batin yang tengah dihadapi Damian. Hanya saja, aku tidak bisa memaksanya menceritakan apa yang terjadi dengannya.

"Aku menginginkanmu dan mimpi kecilku menjadi arsitek. Sayangnya, aku memiliki ayah egois yang memaksaku untuk bekerja keras demi menggantikan kakek mengurus perusahaan keluarga kami."

Aku mengurai pelukan kami dan menatap Damian penuh tanya.

Damian tersenyum getir seraya memandangku. "Delapan tahun lagi, aku harus mau menjadi direktur utama perusahaan tambang milik keluargaku. Itu sebabnya aku ada di konferensi itu dan bekerja keras mempelajari sistim dalam usaha pertambangan dan itu membuatku lelah."

Astaga. Anak ini ... Damian ... aku seharusnya bisa lebih kritis menilainya. Dia ... bukan pria sembarangan dan aku tak bisa berkata apapun. Lingkunganku hanya berkutat pada tenaga kesehatan dan aku tak tahu apapun tentang kehidupan kelas atas. Aku ... aku tak menyangkan jika Damian datang dari kalangan pengusaha besar dan ....

"Marry me, Zia."

Aku menggeleng cepat. Ini gila.

"I'm serious, marry me." Damian tiba-tiba berlutut di depanku dengan wajah putus asa. "I need you."

Aku iku berlutut dan memegang kedua pundaknya dengan kencang. "Aku butuh bicara denganmu tentang kita," ucapku lembut tetapi tegas. "Ada hal yang harus kita kompromikan dan kita jalankan setelah kembali ke Indonesia."

"Tolong jangan campakkan aku."

Aku menggigit bibirku, memejamkan mata demi menghalau emosi yang mulai bergumul menggangu batin. Aku ingin bicara dengan Damian, tentang hubungan kami tak mungkin bisa berjalan lancar. Aku ingin dia tahu bahwa aku menerima cintanya dan rasa itu perlahan tumbuh di hatiku tetapi kami harus menghilangkan karena aku akan selalu berada pada pilihan Papi terhadapku.

"Kita bicara besok. Aku akan datang ke tempatmu dan kita bicara berdua. Kita akan menemukan solusi atas apapun yang terjadi pada kita saat ini. Bagaimana?"

Damian tak menjawab selama beberapa saat. Matanya menatapku dengan binar ketakutan. "I'll bring a ring for you tomorrow. Solusi kita hanya satu. Menikah."

"We'll talk it later. Kembalilah ke kamarmu dan lekas istirahat." Aku mengusap pundaknya sebelum memintanya berdiri. "Kamu naik apa?"

"Mobil hotel. Dia menungguku." Damian mengangguk pelan seraya mengusap pipiku lembut, menghantarkan satu rasa asing yang membuatku seperti terombang ambing. "I love you, Zia."

"See you tomorrow," ucapku seraya menarik tangannya dari pipiku, agar aku sadar bahwa tak ada jalan takdir untukku bersamanya.

***** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top