Bab 5
Dering ponsel membangunkanku sepagi ini. Damian? Ada apa dia menghubungiku saat waktu masih menunjukkan pukul empat? Alarmku saja baru akan berdering tiga puluh menit lagi tetapi pria itu sudah ramai saja sepagi ini. Aku segera mengangkat panggilan itu agar Kemala tak harus terganggu dengan suara ponselku yang bisa saja membangunkannya.
"Damian? Apa kamu baik-baik saja?" Hanya itu yang terpikirkan olehku. Setahuku, hanya kondisi gawat darurat yang membuat orang menghubungi pada waktu tak normal seperti ini.
"Apa aku mengganggu tidurmu?" Suara itu mengalun lembut dan merdu. "Aku minta maaf jika membangunkanmu sepagi ini, tetapi jujur aku merindukanmu sejak menutup mata beberapa jam lalu dan membuka mata satu jam lalu. Terima kasih sudah datang di mimpiku dan saat ini menerima panggilanku."
Apakah ada hal yang lebih tidak penting dari urusan pria ini kepadaku di pagi buta begini?
"Hanya—itu perlumu menghubungiku?"
Aku mendengar tawa lirih Damian. "Maaf. Aku yakin kamu pasti terganggu denganku. Lanjutkan tidurmu dan aku akan menghubungimu pukul enam pagi sebelum aku keluar kamar dan memulai aktifitasku. Kamu tidak perlu kuatir kesiangan."
Aku hanya tersenyum masam, lalu menyandar pada sofa satu dudukan yang ada di kamarku. "Sudah tidak akan bisa tidur lagi. Subuh di sini baru pukul enam sih, tapi ya sudahlah aku bisa menunggu sambil membaca."
"Bagaimana jika sambil bincang denganku?"
"Mau bincang apa?" Jujur saja, ini pertama kalinya aku tersambung dengan pria yang bukan dari kalangan tenaga kesehatan atau sekolah kesehatan di jam upnormal seperti ini. Aku sering menerima panggilan pada jam-jam begini dari rekan-rekanku atau teman kuliah saat kami sedang ada tugas-tugas penting. Untuk hal yang—uhm, mungkin remeh begini—aku belum tahu harus membuka topik apa. Rumitnya proses izin praktik dan bagaimana rencana untuk PPDS setelah ini? Aku yakin ini bukan topik yang bisa kubuka bersama pria seperti Damian.
"Hari ini—apa kegiatanmu?"
"Tentu saja seminar. Aku datang ke sini memang untuk menemani Dokter Faris menghadiri seminar kesehatan. Menjadi notulen dan personal asistennya sambil belajar banyak hal." Pertanyaan bodoh yang membuatku jadi berpikir bahwa Damian tidak secerdas yang kuduga.
Damian bergeming selama beberapa saat sebelum terdengar lagi. "Dokter atasanmu itu—muda?"
"Sudah berusia," jawabku sedikit kesal.
"Sudah menikah?"
"Tentu saja sudah dan aku bukan istrinya! Kamu menghubungiku sepagi ini hanya untuk bertanya soal Dokter Faris?"
"Tentu saja tidak," jawab Damian cepat. "Aku hanya—berpikir mungkinkah kamu terlibat cinta lokasi dengan atasanmu. Daddyku terlibat cinta lokasi dengan istrinya dan sebelumnya mereka adalah atasan dan bawahan. Aku jadi takut dan sedikit cemas andai kamu mungkin mengalami hal yang sama dengan orangtuaku."
Dasar gila. Sudah kubilang bukan kalau Damian itu setengah gila dan setengahnya lagi impulsive? Penjelasannya membuatku menarik napas panjang tak habis pikir. "Kamu—cemburu?" tanyaku dengan nada sedikti tak percaya. "Kamu berpikir jauh padahal kita belum memiliki hubungan apapun."
"Maaf." Damian terdengar menghela nafas. "Aku tidak seharusnya berpikir begitu."
"Aku dan Dokter Faris dekat, sangat dekat karena aku selalu menemuinya jika mengalami kesulitan. Beliau yang mendukungku untuk menjadi dokter seperti yang aku cita-citakan. Beliau yang selalu mengupayakan agar aku memiliki fasilitas belajar yang baik hingga bisa menggali potensiku. Beliau akan marah besar jika aku tidak bagus dalam bekerja tetapi tidak perhitungan jika aku meminta fasilitas."
"Sebaik itu dia kepadamu?"
Aku mengangguk seraya membayangkan sosok yang tengah kubicarakan bersama Damian. "Dia memiliki istri dan empat anak.
"Aku tidak bermaksud begitu, Zia, sungguh tidak. Aku hanya kuatir sebagai pria dan seharusnya itu membuktikan bahwa aku sungguhan mencintai kamu."
Aku menyeringai malas. "Ini pembahasan yang cukup berat untuk ukuran pagi buta. Berat, tapi tidak berbobot."
"Sorry." Suara Damian melemah. "Baru ini pikiranku terdistraksi. Aku sedang membuka data untuk konferensi pagi ini, mempelajarinya. Nanti siang aku akan meninggalkan Fullerthon selama dua jam untuk pindah ke Capital City. Ada yang harus kulakukan di sana. Aku berharap kita bisa bertemu hari ini."
"Aku tidak bisa berjanji," ucapku melembut. "Tugasku banyak juga dan sepertinya kita memang memiliki tanggung jawab masing-masing. Bukankah sebaiknya kita fokus pada tugas kita saja alih-alih pendekatan begini? Aku terbukti menjadi distraksimu, kan? Artinya aku justru membuat performamu menurun. Ini bukan hal bagus."
"Beda, Zia, beda." Damian mengelak dengan nada sedikit tinggi. "Pokoknya kita tidak boleh putus komunikasi dan harus bertemu minimal setiap hari." Damian berkeras dan aku hanya bisa diam saja. Terserah pria itu ingin apa dan aku tak akan memaksakan.
"Lihat nanti saja. Kalau kesempatannya ada, ya sudah, tapi ingat fokus utama kita adalah tugas dan pekerjaan kita masing-masing. Aku tidak akan menutup diri jika kamu memaksa untuk dekat, tetapi aku tidak akan memaksakan waktuku untukmu selama di sini. Ini kesempatan emas bagiku dan tak akan menyia-nyiakan seminar kesehatan ini."
Damian tak menyanggahku. "Aku—mengikuti kamu saja," ucapnya santai. "Tapi jangan larang aku untuk berusaha ada di dekatmu."
***
Damian sudah ada di lobi saat aku, Kemala, Dion, dan tiga dokter itu masuk ke hotel usai acara. Aku terbelalak selama beberapa saat melihatnya duduk santai di salah satu kursi lobi. Tampilannya sempurna dengan jas dan celana hitam khas eksekutif muda. Aku tidak heran karena perhelatan di hotel berbintang seperti miliknya pasti berisi orang-orang rapi seperti itu. Dia duduk santai sambil memegang tablet dan entah memainkan apa.
Jantungku berdegup kencang saat Damian mengerling ke arahku sambil melambai pelan. Aku tak berani membalas sapaannya meski Kemala berdeham membuat Dokter Roy mengapa perempuan itu. Jangan sampai Papi tahu ada pria yang menungguku di sini. Untungnya, Papi sedang sangat serius berbincang dengan Dokter Syarif tentang salah satu bahasan seminar tadi hingga tak begitu menyadari kehadiran Damian dan dehaman Kemala.
"Bapak mau makan malam apa?" Aku bertanya saat kami semua masuk ke dalam lift menuju kamar. "Biar saya dan Kemala carikan, sementara Dion mempersiapkan bahan jurnal yang akan kami buat setelah ini."
Papi terlihat berpikir sesaat. "Makanan Indonesia seperti kemarin, boleh. Saya kurang cocok dengan taste selain Indonesia. Apalagi, jika belum jelas kehalalannya."
"Ya sudah, saya ikut Dokter Faris saja. Apa saja yang kamu belikan, kami makan. Tapi saya titip camilan, ya. Saya harus ngemil kalau mau bikin laporan." Dokter Syarif berkelakar yang langsung kuangguki.
Sampai kamar, aku langsung menghubungi Damian dan bertanya mengapa dia ada di lobi sementara aku tak mendapat informasi tentang rencana kedatangannya.
"Aku gak bisa gak ketemu kamu." Dia hanya beralasan begitu yang tanpa sadar membuatku jadi buru-buru mandi dan ganti baju.
"Kemala, kamu nyusul aja gimana? Aku gak enak bikin Damian nunggu lama. Aku rencana balik ke Kampong Glam untuk beli makan malam para dokter dan beli gorengan untuk camilan. Gorengan dan kebab. Mungkin itu."
Kemala mengulum bibirnya seraya menyeringai. "Kalau—aku gak ikut gimana? Aku gak siap kalau jadi obat nyamuk kamu."
Aku mendesis gemas. "Gak bisa kamu gak ikut, Mal. Nanti kalau papiku tanya bagaimana?"
Kemala tampak berpikir sesaat. "Aku ikut turun, tapi gak ikut kamu beli makan, gimana?"
"Ikut, Kemala. Aku tidak berani pergi dengan pria asing." Mataku menyorot tegas, berharap temanku ini mau memahami yang kutakutkan.
Kemala menghela napas panjang lalu mengenakan cardigan. Tak mungkin menunggunya mandi dulu karena dokter itu pasti sudah mulai lapar. Akhirnya, kami turun ke lobi berdua dan disambut oleh Damian yang tersenyum cerah.
"Aku kok punya feeling dia bukan anak biasa, ya." Kemala berbisik saat kami melangkah ke arah Damian. "Auranya beda. Apalagi pake setelan ala pengusaha muda begitu."
Aku tak bereaksi apapun atas bisikan Kemala. Jujur, akupun memiliki pemikiran yang sama dengan temanku ini. Damian tampan. Penampilannya membuatku menilai bahwa pria ini seperti bukan dari kalangan biasa. Aku tahu, bekerja pada perusahaan besar pasti membuatnya kuat dari segi finansial. Hanya saja, ada sesuatu yang perlahan membuatku penasaran, berdesir, dan membayangkan berada di sampingnya dengan kemewahan itu. Aku menilainya mewah. Aku tidak bodoh untuk tahu setelan yang Damian kenakan adalah merek ternama. Terbiasa melihat tipikal barang bermerek kelas menengah hingga atas di butik Ibu, membuat mataku mulai bisa jeli menilai penampilan.
"Jalan sekarang?"
Aku mengangguk pada Damian yang sudah berdiri di depanku. "Kamu mau jalan kaki beli nasi warteg dengan pakaian seperti ini?" Aku menunjuknya dengan jari telunjukku sambil memindai penampilannya dari atas ke bawah. "Aku takut kamu dikira pengusaha bangkrut."
Damian tertawa kencang. "Kamu bisa aja. Aku gak peduli penilaian orang terhadap penampilanku." Ia melepas jasnya dengan gerak yang membuat jantungku berdegup kencang. Damian tampan, aku akui dia tampan, dan ... sikapnya perlahan namun pasti menggodaku. Pria ini serupa virus mematikan yang datang tiba-tiba dan memberikan efek mematikan dengan gejala yang pelan tapi pasti terasa.
Aku tersenyum simpul saat Damian mengulurkan tangannya. Mohon maaf, aku tidak bisa menerima karena belum ada status apapun pada kedekatan kami. Ia memasukkan jasnya ke dalam ransel ukuran sedang, lalu memakainya. Saat ini, ia seperti pria Sudirman yang mengenakan kemeja rapi dengan pantalon dan pantofel berjenama baik, dengan tubuh yang proporsional dan penampilan rapi.
Kami berjalan santai bertiga sambil berbincang tentang daerah Bugis yang menjadi tempat singgahku selama di Singapura ini. Damian menginformasikan banyak hal tentang Singapura yang kusimak dengan saksama bersama Kemala.
Enam bungkus makanan sudah kami beli. Kemala berhasil menghalau Damian yang ingin membayar semua kebutuhan kami. Bukannya aku sok kaya, tetapi aku kurang nyaman jika pria itu selalu mengeluarkan uang untukku atau memberikanku materi. Aku belum layak menerima apapun darinya karena kami memang bukan apa-apa.
Sebagai gantinya, Damian membeli baklava di restoran turki yang ada di dekat Sultan Mosque. Ia memaksaku menerima camilan manis itu dengan wajah penuh permohoanan.
"Aku menyempatkan diri bertemu kamu karena ingin merasakan menjadi pria hebat di depanmu." Damian menyeringai lemah dengan binar penuh permohoanan. "Setidaknya, biarkan aku terlihat gagah dengan memberikanmu perhatian sekecil ini."
Sikap Damian membuatku mau tak mau menerima pemberiannya dan kembali mengajaknya jalan ke hotel. Aku hanya membayar makan malam sementara pria itu membelikan kami gorengan dan es cendol yang dijajakan tak jauh dari hotel.
"Zi, selamat makan, ya." Damian tersenyum kepadaku. "Besok aku datang lagi, ya."
Aku menggeleng pelan. "Jangan paksakan waktu dan tenagamu untuk hal yang tidak perlu. Terima kasih sudah memberitahuku tentang daerah ini, tetapi jujur aku tidak tega kamu harus mendatangiku jauh-jauh dari tempatmu, Damian.
Damian tersenyum masam seraya mengangkat bahu asal. "Aku hanya melakukan apa yang ingin kulakukan. Kamu—tidak keberatan, kan?"
"Sedikit berat," jawabku jujur.
"Aku tidak akan mundur."
"Aku tidak mendorongmu menjauh," jawabku. "Aku hanya mengatakan fakta tentang hidupku yang harus kamu ketahui agar tidak menyesal telah membuat waktu dan tenagamu hanya untuk dekat denganku."
"Selamat malam." Damian mengangguk dengan wajah datar. "Aku pulang dulu, sampai bertemu besok." Ia melambaikan tangannya sepintas, lalu berbalik dan berjalan meninggalkanku yang masih berdebar setelah bicara panjang lebar.
Andai Damian tersinggung dan marah atas apa yang kukatakan, mungkin lebih baik kami tidak saling mengenal lebih jauh dari hari ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top