Bab 3

Konferensi hari pertama berjalan lancar dan baik. Tidak ada masalah berarti meski sejujurnya gue gak begitu menikmati. Gue lulusan arsitek dengan predikat cumlaude dan menjadi lulusan terbaik di angkatan gue. Namun, Daddy memaksa gue bekerja di perusahaan tambang milik kakek dan mempelajari hal bukan passion gue. Gue suka menggambar, menuang imajinasi dalam sketsa dan bercita-cita menjadikannya nyata. Sayang, gue harus menerima takdir memiliki ayah yang egois dan tak bisa mengelak saat tongkat kepemimpinan perusahaan kakek harus jatuh ke tangan gue.

"Dua jam lagi kita zoom dengan Jakarta."

Gue hanya melirik Pak Bastian yang baru saja membisikan informasi itu. Pak Bastian adalah tangan kanan kakek sejak dulu yang saat ini menjabat sebagai direktur utama perusahaan kakek. Delapan tahun lagi, Pak Bastian akan pensiun dan saat itulah gue yang akan menggantikannya. Kami berdua ditugaskan menghadiri konferensi ini. Pak Bastian tentu karena menjadi wakil dari perusahaan kakek, sementara gue harus mengekorinya karena tuntutan untuk dikenal sebagai calon pimpinan perusahaan dan mempelajari banyak hal tentang bisnis pertambangan.

Pembicara salah satu sesi konferensi masih berdiri tegak di podium dan menjelaskan prospek bisnis pertambangan pada lima tahun mendatang. Nikel akan menjadi primadona di Indonesia, menyusul banyaknya produksi mobil listrik yang mulai digadang beberapa negara. Perusahaan kakek salah satu yang bermain di pasar ini. Gue diberi banyak tugas oleh Daddy untuk mempelajari cara memainkan bisnis ini dan melakukan beberapa riset.

Bukannya gak mampu, gue hanya tidak bergitu menyukai dunia ini. Andai diberi kesempatan untuk bebas memilih jalur hidup gue sendiri, gue akan dengan senang hati berjuang masuk menjadi arsitek developer ternama Indonesia atau menjadi arsitektur dunia.

Gue pernah mengatakan keinginan itu pada Aldira—istri Daddy. Barangkali perempuan itu bisa membantu gue membuka pikiran Daddy bahwa gue memiliki hak untuk memilih passion dan tantangan. Sayang, Aldira si budak cintanya Surya Salim, justru mempersuasi gue dengan cara halus agar aku mau mengikuti keinginan suaminya.

"Kamu cucu Broto Salim. Kandidat pertama yang akan memegang pimpinan perusahaan miliknya. Kamu bisa tetap menggambar di sela pekerjaanmu mengelola usaha Kakek. Daddy sudah sangat sibuk dengan tiga bisnis yang ia kelola. Jadi, hanya kamu yang bisa kami percaya untuk melakukan itu."

Saat bosan, gue memang membuka buku sketch dan membuat sesuatu di sana. Gambar apapun yang suatu hari nanti bisa gue jadikan nyata. Gue tahu, gue harus bisa menjadi pria kaya dan berwibawa, mengalahkan Surya Salim. Bekerja keras sejak dini adalah langkah awal merealisasikan cita-cita itu. Selain kaya, gue ingin memiliki kontribusi besar dalam bidang arsitektur, tetapi jalan menuju keinginan itu sepertinya tertutup rapat. Jadi, gue hanya akan membuat rumah gue sendiri kelak dengan rancangan yang gue inginginkan. Bangunan yang akan menjadi tempat gue pulang, bercengkrama bersama pasangan hidup gue dan membesarkan anak-anak kami.

Gue jadi senyum sendiri membayangkan sudah sejauh itu berfikir. Menikah? Iya, gue dua puluh delapan tahun dan Aldira berkata sudah waktunya untuk mencari pasangan. Banyak perempuan yang mendekati gue, terutama di kantor. Namun, hanya dokter jaga dengan wajah ketus itu yang membuat gue membayangkan pasti seru bisa berdebat setiap hari dengannya tentang hal-hal kecil sambil bercanda dan berakhir dengan satu ciuman yang menggoda.

Zia Melviana Hadinata. Gue menemukan nama itu pada daftar dokter yang praktik di rumah sakit tempat Mike dirawat dulu. Gue menyukai matanya yang tegas tetapi sarat akan perhatian. Saat membuka kemeja gue yang basah muntahan kunyuk itu, jantung gue berdegup kencang. Bukan karena malu, tetapi karena mata indah itu yang membelalak melihat tingkah gue membuka baju di ruang gawat darurat. Hai, Men, gue tidak mungkin berinteraksi dengan perempuan semenarik dia dengan kemeja berbau busuk isi perut gorilla itu. Gue harus terlihat tampan meski merelakan kemeja. Setidaknya, Zia tahu gue memiliki bentuk tubuh atletis meski tak seperti atlit gimnastik.

Gue menyukai suaranya, caranya bicara, caranya menolak setiap pemberian gue, bikin gue semakin tertantang untuk bisa dilihat olehnya. Ini bukan obsesi. Gue yakin ini cinta, jatuh cinta. Gue tertarik pada perempuan itu dan berfikir menjadikannya satu dari sekian impian gue dalam hidup. Zia perempuan yang berbeda. Dia tidak mencoba menarik perhatian gue tetapi berhasil membuat gue kerap memikirkan dia. Sebagai tenaga kesehatan, ia bersikap professional. Tegas, tetapi penuh perhatian. Bayangkan, jika gue memiliki istri yang tegas sepertinya, gue yakin bisa mendidik anak gue dengan mudah. Ia juga sangat perhatian kepada Mike, membuat gue jadi berpikir bahwa sakit tidak selalu hal yang buruk. Diperhatikan oleh perempuan seperti Zia, pasti menyenangkan. Gue bisa merasakan kasih sayang dan diperhatikan dengan detail oleh perempuan cantik sepertinya. Satu minggu lebih memperhatikan, membidik, dan berusaha dekat dengannya, membuat gue yakin untuk memperjuangkan perempuan itu.

Gue tak menyesali Mike yang jatuh sakit dan membuat gue sedikit lebih sibuk, ditambah menjaga monyet itu pada jam pulang kerja. Bukan kewajiban gue memang, tetapi gue menawarkan diri agar bisa sebanyak mungkin mencari tahu tentang Zia dan memikirkan strategi agar bisa kenal dan lebih dekat dengan perempuan itu. Satu minggu ternyata tidak cukup untuk meyakinkan perempuan itu bahwa gue serius jatuh cinta kepadanya pada pandangan pertama.

Riuh tepuk tangan menyadarkan gue dari lamunan tentang Zia. Sesi pertama konferensi ini akhirnya berakhir. Pembicara yang datang dari Amerika itu akhirnya turun podium dan pembawa acara bersiap menutup sesi ini sebelum kami harus pindah pada sesi seminar selanjutnya. Ini melelahkan. Percayalah. Untungnya, ada Zia yang berada pada daratan yang sama dengan gue sekarang. Gue bisa menemuinya kapan saja dan mengisi kembali semangat untuk berjuang di jalan yang Daddy paksakan ke gue.

"Ready less than an hour."

Bastian mengingatkan saat kami sudah di depan pintu kamar kami masing-masing. Kamar gue dan bastian berhadapan. Kami tidak satu kamar karena Bastian menyukai privasi. Gue tentu gak keberatan dengan itu. Gue juga menyukai privasi dan berbaring sendiri memikirkan Zia. Membuat strategi bagaimana mendapatkan perempuan itu secepat mungkin.

Setelah mandi dan berganti pakaian, gue membuka laptop dan bergabung dengan zoom yang dibuat oleh asisten Pak Bastian. Ada delapan orang yang bergabung dalam pertemuan virtual ini. Gue, Pak Bastian, Broto Salim, Surya Salim, asisten Bastian, asisten Surya Salim, dan dua direktur bawahan Bastian.

Dari delapan orang itu, guelah yang termuda. Gue yang paling tak tahu apa-apa dan harus berjuang memahami apapun itu demi tanggungjawab yang Daddy berikan kepada gue. Meski sudah lima tahun masuk ke perusahaan ini sejak lulus kuliah, tetap saja gue masih harus banyak belajar dan duduk bersama orang-orang ini. Kalau boleh jujur, gue lebih menyukai menggambar dan memulai karir dari bawah sebagai arsitek. Namun gue tak ingin lagi mengeluhkan itu karena seorang Zia harus bersanding dengan pria kaya.

"Kamu paham dengan apa yang saya perintahkan, Damian?" Surya Salim bicara dengan wajah serius. Sepuluh menit terakhir ia menjelaskan tentang target yang dibuatnya dengan gue yang akan bergerak sebagai eksekutor. Artinya, gue yang harus menjalankan keinginannya meski belum sepenuhnya tertarik.

Gue mengangguk seraya mencatat beberapa hal dengan pena dan buku di samping laptop. Katakanlah gue konvensional, kuno, atau tak mampu menggunakan teknologi dengan baik. Namun terkait menulis di buku, gue masih menyukainya. Gue selalu membuat mind map tentang hal-hal yang harus gue kerjakan dan perencanaan terkait target yang Daddy dan kakek berikan.

"Saya akan mulai menjalankan besok."

"Jika bisa sekarang, lakukan sekarang," jawab Surya Salim tegas. "Konferensi hanya terselenggara selama satu minggu dan itu artinya waktumu hanya enam hari lagi."

Surya Salim selalu berhasil membuat gue tak berkutik. Si pemaksa itu membuat gue hanya bisa mengangguk dan berusaha menjalankan apapun keinginannya. Gue paham, paham banget dengan setiap langkah yang dia lakukan untuk menjalankan bisnis. Ayah gue cukup lihai dalam membangun usaha dan sepak terjangnya sudah cukup lama. Hanya saja, kadang gue merasa Daddy masih menganggap gue anak kecil yang ceroboh dan tak tahu apa-apa. Harus didikte dan diawasi pergerakannya. Kalau memang masih merasa seperti itu, mengapa Daddy tetap memaksa gue mengurus perusahaan kakek?

"Baik, Pak. Saya akan memulai tugas ini sekarang." Begini saja agar Surya Salim tak lagi banyak bicara dan menuntut. Sudah mulai petang di Singapura dan ada agenda makan malam sesaat lagi. Gue harus segera Bersiap agar tak terlambat dan bisa mulai menjalankan titah Surya Salim.

Makan malam berjalan lancar. Bastian mengajak gue untuk memulai obrolan dengan salah seorang peserta konferensi ini. Kami sudah saling mengenal dan tahu, karena di dunia bisnis pertambangan, tidak sulit untuk saling mencari tahu profil petinggi-petingginya. Nama Broto Salim juga cukup terkenal sehingga mudah bagi gue memperkenalkan diri sebagai cucunya yang kini mengurus perusahaan milik konglomerat itu. Kakek gue kaya, old money, dan dikenal banyak kalangan. Mereka tak memandang sebelah mata ketika tahu siapa gue. Meski bukan hal yang bisa dibanggakan, gue menikmatinya karena tak harus menerima sikap yang membuat gue rendah diri.

Makan malam selesai saat waktu menunjukkan pukul delapan. Gue sudah lelah dan ingin lekas pergi dari perkumpulan ini. Gue merindukan Zia. Apa kabarnya perempuan cantik itu? Gue gak boleh menyia-nyiakan satu minggu ini dengannya. Waktu menjaga Mike di rumah sakit, gue belum berhasil menjadikan dia pacar dan jangan sampai gagal lagi pada kesempatan ini. Jika Daddy memiliki target yang harus gue capai selama konferensi, gue pun memiliki target yang sama, meski dengan orang yang berbeda. Gue harus berhasil memiliki hubungan dengan Zia dan membuat perempuan itu menjadi milikku seutuhnya. Iya, jangan mulai rencanamu dari besok jika bisa dilakukan sekarang. Itu prinsip Surya Salim yang akan gue lakukan untuk mendapatkan Zia.

"Pak Bastian," bisik gue saat kami hanya berdua dan baru selesai berbincang dengan peserta dari Brunei. "Saya izin undur diri sekarang karena ingin membeli sesuatu di luar. Kita bertemu lagi besok, bisa?"

Pak Bastian hanya mengangguk dan mempersilakan gue pergi dari jamuan yang sebenarnya sudah selesai. Beberapa peserta sudah kembali ke kamarnya atau pergi dari ruang ini, sementara sisanya masih asik bercengkrama. Gue memilih pergi karena harus melaksanakan misi yang penting ini.

Gue menghubungi Zia dan bersyukur panggilan gue dijawab pada nada sambung kedua. "Bu Dokter dimana?"

"Bugis Junction. Makan malam sama Kemala dan Dion."

Gue tersenyum senang mendengar jawabannya. Jam segini dia baru makan malam sementara gue sudah kenyang. "Masih lama?"

"Tidak. Kami hanya sebentar karena setelah ini ingin membeli beberapa hal untuk dokter-dokter."

"Bu Dokter—makan dimana?" Gue belum pernah menghabiskan waktu di tempat itu. Orchard lebih sering gue kunjungi ketimbang pusat perbelanjaan lain di negeri ini.

"Mc Donalds."

"Oke, selamat makan. Aku—aku hanya ingin kamu tahu kalau hari ini sangat melelahkan tetapi satu sambungan telepon denganmu membuat semua lelahku hilang." Setelah mengatakan itu, aku memutus sambungan kami lalu berjalan cepat menuju lobi, meminta pihak hotel membawaku ke tempat Zia berada saat ini.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top