Bab 2

"Jangan cemberut gitu dong, Zi."

Aku masih menahan dongkol pada Kemala. Bagaimana bisa anak itu memberikan nomor ponselku kepada Damian, padahal aku sekuat tenaga menjaga jarak dari pria itu. Kami baru sampai di hotel kawasan Bugis yang dipesan oleh tiga dokter itu untuk kami. Tadi, saat masih di Jewel, Damian menungguiku di toilet lalu mengikutiku hingga bertemu dengan Kemala. Pria itu sok akrab dan sok dekat dengan kami lalu ikut duduk bersama di kursi yang kami tempati. Ia menawarkan makan siang di sebuah restoran yang telak aku tolak dengan tegas.

"Nginap dimana?" tanya Damian kepada Kemala karena aku terus berusaha membuat jarak dan membuang muka.

"Bugis. Kami naik MRT ke sana. Kalau dari peta, hotel kami lokasinya tepat di tengah kawasan belanja Bugis, kampung Arab, dan stasiun MRT." Kemala menjelaskan dengan panjang lebar hingga berapa lama kami di sini dan dalam rangka apa. Sungguh sangat menyebalkan sekali.

"Ah, seminar internasional. Sama." Damian mengangguk santai. "Aku juga sedang mengikuti konferensi pertambangan dunia."

"Stay dimana, Pak?"

"Damian saja. Aku belum punya anak dan berencana punya bersama Dokter Zia nanti."

Amit-amit jabang bayik! Dan Kemala justru tergelak kencang.

Aku melirik Damian ketus dan pria itu hanya menyeringai santai seraya menatapku dengan binar bahagia. Terlepas dari ucapannya yang songong itu, aku akui pria tengil ini memang tampan. Pantas saja penampilannya cukup baik dan nyaris seperti konglomerat. Ia pasti bekerja di perusahaan pertambangan dan menjadi asisten pribadi salah satu pejabat sana. Usianya kutaksir sama sepertiku, jadi kemungkinan besar tugas kami tidak jauh beda. Aku menjadi asisten papiku dan dia menjadi asisten atasannya yang sedang datang pada konferensi itu.

"Temenin bos ya?" Pertanyaan Kemala mewakili penasaranku kepadanya.

Damian hanya tersenyum santai seraya mengangguk. "Ditugasin bos buat datang. Bos aku ada dua, satunya galak, yang satunya lagi galak banget." Ia tertawa santai dengan wajah geli. "Sialnya, setiap hari harus ketemu mereka di mana pun."

Kemala ikut tertawa santai seakan paham dengan cerita pria itu. Sementara aku, berusaha tak hanyut pada sikap sok akrabnya dan menilai seperti apa pria ini.

"Kamu—sendiri?" Entah mengapa tiba-tiba aku ingin tahu padahal aku sudah menetapkan diriku agar tidak terlalu dekat dengannya. Dasar hati dan otak yang sering kali tidak singkron.

Damian tersenyum dengan seringai menggoda. "Kalau ada kamu jadinya berdua, Zia."

Aku melengos. Anak ini tidak bisa diajak serius.

"Tegang banget sih ketemu aku." Damian tertawa santai. "Aku sama Bastian, salah seorang pejabat di kantorku. Dia sudah di hotel sejak dua jam lalu karena kami pergi terpisah. Kami ditugasi oleh dua bos galak kami untuk hadir di konferensi ini dengan segudang tugas yang membosankan. Tidak ada perempuan seksi dan hanya ada pria dan wanita berpakaian formal dengan pembahasan berat."

Kemala kulihat mengernyit dengan wajah berpikir. "Itu artinya—kamu memegang peran penting di kantor hingga mendapat tugas sebanyak itu pada konferensi bergengsi?"

Damian hanya mengangkat bahu tak acuh. "Aku hanya menjalankan perintah untuk bertahan hidup. Tidak ada pilihan lagi selain menuruti dua bos galak dan sok berkuasa itu."

"Lucu ya kamu," komentar Kemala seraya tertawa santai. "Kamu bisa saja resign kalau gak suka dengan pekerjaan kamu, tetapi memilih bertahan. Well, aku tahu sih pertambangan selalu bisa memberikan pendapatan fantastis. Aku yakin itu yang bikin kamu bertahan."

Alih-alih menjawab hipotesis asal Kemala, Damian justru menatapku intens, membuatku sedikit berdebar. "Zia," ucapnya dengan nada serius. "Karena yang saya inginkan adalah Dokter Zia, jadi saya harus mau bertahan dengan dua bos galak itu demi bisa memberikan dia hidup layak." Satu alisnya terangkat dengan mata yang menyorot tajam. Entah mengapa, tatapannya kali ini membuat jantungku berdegup sangat kencang. Ada ketakutan yang kurasa dari tatapan Damian kepadaku, tetapi ada kegembiraan mengetahui bahwa pria itu sangar serius menginginkanku. Aku tahu, Damian pasti hanya sedang membual agar aku salah tingkah dan masuk ke dalam perangkapnya. Hanya saja, mimik seriusnya membuatku jadi kepikiran dan ingin mengorek lebih dalam untuk tahu hidup pria itu yang sebenarnya.

"Acaranya dimana?" tanya Kemala lagi.

"Fullerton Bay Hotel. Aku juga menginap di sana."

Aku menganga sesaat, lalu mengatup mulutku agar Damian tak menangkap keterkejutanku kepadanya. Dia jelas bekerja di perusahaan besar dan menghadiri acara yang bukan sembarangan. Dia pasti memiliki peran penting di perusahaannya hingga ditugasi untuk datang pada perhelatan di hotel berbintang seperti itu.

"Mewah banget, tapi aku yakin tugas kamu pasti berat banget. Kemewahan biasanya sejalan dengan beban tanggung jawab yang besar."

"Exactly," jawab Damian seraya menjentikkan jari. Ponsel pria itu berdering dan mengangkat panggilan entah dari siapa, bersamaan dengan Dion yang datang dengan satu kantung berisi kemeja.

"Siapa?" tanya Dion melirik Damian. Tak lama, mata Dion membelalak dan menatapku penuh tanya. "Kamu janjian sama dia? Kalian jadian?"

Aku berdecak seraya mengibas tanganku. "Ngaco," ucapku dengan wajah kesal, lalu berdiri dan mengambil koperku. Lebih baik jalan ke MRT sekarang saja dan menunggu check in di lobi daripada bertahan dengan Damian di tempat ini. Jewel adalah salah satu destinasi wisata kesukaanku tetapi rasanya jadi kurang menyenangkan jika menikmatinya bersama Damian.

"Mau kemana, Zi?" Kemala menegurku yang sudah melangkah seraya menarik koper.

"Jalan ke hotellah, kemana lagi?" tanyaku seraya menaikkan satu alisku.

"Bareng aku saja," ucap Damian. "Mobil hotel yang menjemputku sudah datang." Lalu, tanpa kuduga, pria itu mendekatiku dengan langkah cepat, mengambil koperku dan memegangnya, lalu mengambil tanganku dan menggandengnya.

"Hei!" Aku menegur keras Damian yang tanpa izin mengambil tanganku. "Kita bukan siapa-siapa dan kamu tidak boleh bersikap seperti ini ke aku." Aku melotot, menegurnya dengan wajah tegas.

Damian melepas genggam tangannya, melayangkan satu tangannya membuat gestur menyerah. "Sorry. Aku Cuma takut kamu tersesat."

Aku memutar bola mata. Gombal! Aku lantas berjalan mendului mereka dengan perasaan dongkol. Lebih dongkol lagi saat Damian berbincang dengan Kemala dan Dion lalu meminta nomorku pada Kemala.

"Jangan kasih!" Tegurku pada dua temanku

"Gak ada salahnya nambah temen di negeri orang, Zi. Kita gak tahu apa yang akan terjadi dan Damian bisa menolong kita, kan?"

"Ajak kalian nongkrong dan jalan juga boleh," tambah Damian santai yang membuatku makin kesal.

Aku menatap mereka dengan wajah tak suka. "Kita di sini dengan tiga dokter senior dan aku yakin kita tidak butuh dia."

"Just in case," jawab Dion. "Kalau Damian ganggu kamu, tinggal blokir aja nomornya. Kelar."

"Betul, Bro."

Aku hanya mendengkus kesal lalu melanjutkan langkahku. Di pintu keluar bandara, ada ATM yang harus aku singgahi sebentar untuk menarik uang. Meski Singapura negara yang menggunakan teknologi untuk pembayaran fasilitas umum, tetapi uang tunai tetap harus kupegang. Aku berhenti di ATM dan kemala serta Dion juga melakukan hal yang sama. Kami mengambil uang masing-masing dua ratus dollar singapura, seperti yang diperintahkan oleh dokter kami.

"Buat kamu." Aku memicing defensive saat Damian tiba-tiba memberikanku buket bunga. Ia melirik ke arah vending machine yang ada beberapa meter dari ATM dan benda itu menjual buket bunga. Ya Tuhan, sempat-sempatnya pria ini bermain mesin penjual otomatis dan membeli bunga untukku. "Welcome to Singapore, welcome to Damian's colorfull life."

"So sweet." Kemala berkomentar dengan nada lebay. "Kamu tuh udah lucu, romantis lagi."

"Pas banget gak sama Zia?" Damian menyeringai santai dengan tatapan menggoda kepadaku.

"Untuk ukuran Zia yang apa-apa dianggap serius dan harus taat aturan sih ... harusnya kalian cocok." Dion menimpali seraya menggeret kopernya. "Mobil lo dimana Bro?"

Damian tertawa santai lalu mendului kami ke area penjemputkan. Langkahnya santai seakan ia sedang berlibur, bukan bekerja dengan tugas segudang dari dua bos galaknya. Aku baru melihat pria dewasa yang sesantai dan seeasygoing ini. Di duniaku, kami bekerja dengan sungguh-sungguh dan mengemban tugas dengan serius. Tidak ada yang melakukan perjalanan dinas sambil menggoda perempuan dan menyogok dengan bunga.

Kali kedua, mulutku menganga saat mobil yang menjemput kami datang. Mobil van luxury warna putih dengan supir yang menyapa Damian dengan hormat. Anak itu menyapa si supir santai, lalu membuka pintu dan mempersilakan kami naik.

Bukannya norak, tapi aku canggung mengendarai mobil mewah bersama orang yang tak kukenal. Kami bisa saja diculik dan sebenarnya kami sedang melanggar SOP. Harusnya kami hanya melakukan instruksi dokter senior alih-alih menuruti ajakan Damian.

"Kamu tegang banget, Zi? Jetlag?" Damian yang duduk di sampingku menatapku dengan cemas. "Kita bisa mampir rumah sakit kalau kamu gak enak badan."

Aku menggeleng lalu membuang pandangan ke jendela. Ini tidak benar. Aku kecewa pada diriku sendiri yang begitu mudahnya terbawa oleh kebaikan Damian. Seharusnya aku mengingatkan dua temanku agar tidak begitu saja mau menerima tawaran ini. Meski aku yakin Damian bukan orang jahat, tetap saja aku tidak setuju dengan tindakanku saat ini.

Mobil van berhenti di hotel kami dan aku turun. Dion mengucapkan terima kasih dan Kemala berbasa-basi menjawab tawaran makan malam Damian entah kapan. Ia juga berada sekitar satu minggu di Singapura, katanya tadi saat perjalanan menuju hotel ini. Ia menawarkan makan malam dan wisata ke beberapa tempat di Singapura yang dijawab antusias oleh Kemala.

Setelah Damian pergi bersama van mewah itu, aku menegur Kemala seraya antri check ini bersama Dion.

"Kalau kamu terganggu sama dia, blokir aja." Kemala bicara dengan wajah sungkan kepadaku. Kami sedang berada di lift menuju kamar kami dan berencana pergi makan setelah petang. "Atau nanti aku bilang ke dia deh biar gak hubungin kamu."

Aku enggan berkomentar dan fokus pada kebutuhanku untuk mandi. Setelah masuk kamar dan membersihkan diri, aku bersantai di kursi yang ada di kamarku dan membuka ponsel. Ada pesan masuk dari nomor baru dan aku yakin Damian.

So happy to see you. Tadinya aku tidak semangat dengan konferensi ini karena bisnis pertambangan bukanlah passionku. Namun, aku tahu bahwa untuk mendapatkan kamu, aku harus memiliki kenyamanan yang bisa kuberikan kepada kamu nanti. Thankyou for being my spirit.

Aku tertawa dalam hati. Konyol sekali pria ini. Mana pernah aku bilang syarat menjadi suamiku adalah memiliki kehidupan mewah. Aku belum menentukan standar minumun pria yang bisa mengajakku berumah tangga. Lalu, Damian dengan seenaknya menyimpulkan sendiri meski baginya aku adalah semangat.

Well, terserah dia saja. Aku menyimpan nomornya meski sebenarnya malas. Lalu, saat membuka fitur status di Whatsapp, aku mendapati status baru Damian. Foto sebuah laptop di meja hotel yang mewah, lengkap dengan beberapa dokumen dan perlengkapan menulis.

Welcome to Singapore, captionnya pada foto itu. Aku tak tahu maksud kalimat itu untuk dirinya sendiri atau kami, tetapi aku merasa sedikit—kagum jika ia sungguhan memiliki posisi bagus pada perusahaan besar. Itu artinya, ia memiliki kompetensi yang baik dan seorang pekerja keras. Dua variable ini boleh kumasukkan ke dalam kriteriaku mencari pendamping hidup kelak. Iya, kelak, bukan saat ini karena Papi memintaku untuk fokus meraih mimpi.

****  

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top