Bab 8 : Rencana

Naruto menyentuh rambut Sasuke yang masih tertidur.

Jika Sasuke akan naik tahta dia akan membantu sebisanya,

Menyingkirkan beberapa pejabat termasuk pamannya.

"Maaf Sasuke tapi aku harus membunuh pamanku, dia batu sandungan dalam pemerintahanmu nanti. Maaf juga jika ayahmu terbunuh olehku karena dendam ini masih tetap ada meski aku mencintaimu." bisik Naruto, dia merapihkan diri dan keluar dari kamar tamu mencari udara segar.

Mata wanita itu membulat sempurna saat melihat siluet Nagato, dia langsung mengambil belati yang selalu dia simpan balik bajunya tapi lengannya ditahan oleh Chojurou,

"Jangan Nona."

"Lepas!!" desis Naruto,

Chojurou menggeleng.

"Dia ada didepan mataku dan kau menahanku?!! Atas dasar apa?!!"

PLAK.

Mei datang dan menampar Naruto,

"Dinginkan kepalamu Naru!!"

Naruto menjatuhkan pisau itu, menatap siluet yang sudah pergi keluar rumah bordil.

"Nyonya..."

"Istirahatlah dan biarkan Putra Mahkota tidur."

Naruto terdiam.

"Mari Nona." ajak Neji yang baru sampai disana,

Naruto berjalan perlahan diikuti Neji yang terlihat khawatir.

"Dia ada didepan mataku tapi aku tak bisa melakukan apa-apa. Untuk apa aku menjadi pelacur? Aku disini untuk dendam, kenapa banyak hal yang mengangguku?"

"Anda perlu tenang Nona. Semua akan ada waktu yang tepat,"

"Aku pasti akan membunuhnya, membuatnya membayar semua ini."

Pagi hari Sasuke bangun, menatap sampingnya, tak ada Naruto, tentu saja, wanita itu sudah pergi pastinya.

"Kami bisa mengantarkan Anda pulang setelah sarapan, Yang Mulia." ujar Chojurou membawa sarapan untuk Sasuke,

"Dimana Naru?"

"Nona baru saja pergi."

"Aku akan langsung pergi. Terimakasih," ujar Sasuke yang sudah memakai bajunya dengan lengkap.

"Ah baik. Hati-hati dijalan Yang Mulia,"

Dengan langkah cepat Sasuke mengambil kudanya dan pergi dari rumah bordil itu,

Dia harus menemui kakaknya untuk berdiskusi sesuatu.

"Kau menerima pernikahan itu bukan Nona Hyuuga Hinata?" tanya Naruto yang kini tengah bersama gadis cantik dan anggun didepannya,

"Ya Naru, ayah mengatakan hal itu semalam. Aku akan dilamar Putra Mahkota, kau tak apa?" tanya Hinata halus,

"Aku ini wanita rendahan Nona Hinata, tentu aku baik-baik saja meski melihat Putra Mahkota menikah, terlebih dengan wanita baik sepertimu, aku yakin dia bahagia bersamamu."

"Pernikahan politik tak selamanya baik Naru. Aku melakukan ini karena aku berhutang nyawa padamu, aku bisa saja menolak perjodohan ini tapi aku tahu jika kau juga menginginkan perjodohan ini maka aku menerimanya."

"Terimakasih."

"Jika dendammu selesai kau harus kembali bersama Putra Mahkota, dia pasti sangat menginginkanmu menjadi pendamping hidupnya." ujar Hinata menggengam tangan Naruto,

Wanita yang berstatus sebagai wanita penghibur itu tersenyum kecil, "Yang menungguku dimasa depan adalah kehancuran, dan sebagai pendamping Putra Mahkota kau harus kuat, jangan biarkan seorangpun merebut posisimu, aku memberimu nasehat sebagai teman masa kecilmu Hinata."

"Aku akan mengingatnya."

"Aku harus pergi, karena tak baik jika orang lain melihatmu bersama orang rendahan sepertiku. Ah terakhir, meski Sasuke begitu dingin dia sebenarnya rapuh, jagalah dia."

Hinata mengangguk.

Sebegitu cintanyakah Naruto pada Putra Mahkota sampai mengkhawatrikannya seperti itu? Lalu kenapa tak dirinya sendiri yang menjaga Putra Mahkota? Dendam seperti apa yang dibawa temannya ini?

Kenapa takdir itu begitu menyakitkan bagi kedua orang yang saling mencintai itu?

"Hati-hati dijalan Naru."

"Ya."

Untuk beberapa saat Naruto menutup matanya, mengendalikan emosi yang bergejolak dalam hatinya, kenapa hatinya terasa dicubit? Kenapa ada perasaan tak rela? Kenapa harus ada rasa cinta di dunia ini? Kenapa rasanya begitu menyakitkan?

"Jika seperti ini terus aku tak kuat Kakek." bisik Naruto meremas dadanya,

"Maka berhentilah."

Naruto terdiam dan menegakan tubuhnya saat mendengar suara yang amat dikenalnya, "Pangeran Itachi, lama tak berjumpa."

Itachi tersenyum dan mengangguk, "Kemana Neji?"

"Apa aku harus terus bersamanya tanpa privasi?"

"Mau menemaniku berjalan-jalan Naru?"

"Tentu."

"Ada yang ingin kau tanyakan padaku Naru?" tanya Itachi membuka percakapan,

"Dan apa Anda akan menjawab pertanyaan hamba yang cukup mengganggu ini?"

Itachi terdiam dan mengangguk.

"Dalang fitnah keluargaku ternyata masalah awalnya karena Anda. Apa benar?"

Itachi kembali mengangguk.

"Kenapa Anda tak menceritakannya pada hamba? Anda tahu selama dua tahun ini hamba mencari semua hal yang berhubungan dengan fitnah itu!!"

"Bukankah kau tak ingin balas dendam? Kau hanya ingin membersihkan nama keluargamu? Bukankah itu tujuan awalmu? Lalu kenapa yang kau bicarakan selalu dendam?"

Benar. Dia disini hanya ingin membersihkan nama keluarganya. Tapi saat melihat pamannya dia ingin menebas kepala pria itu seperti saat dia melihat kakeknya yang dipenggal, dendam menguasai dirinya.

"Ada hal yang harus dikorbankan untuk mencapai sesuatu, aku memang tak memiliki banyak kekuatan untuk membalaskan dendam pada semua orang tapi aku bisa membunuh satu orang yang membuatku bermimpi buruk."

"Meski kau membunuh Nagato nama keluargamu tak akan kembali, tak bisakah kau bersabar?"

"Setidaknya dengan membunuuh Nagato aku bisa tidur tanpa mimpi buruk."

Itachi menggeleng, "Pemikiranmu salah Naru. Apa menurutmu kakekmu akan bangga dengan apa yang kau lakukan sekarang? Kenapa kau tak mencoba untuk menatap masa depan?"

"Masa depanku adalah kehancuran Pangeran. Anda lupa jika hamba seorang pelacur rendahan?"

"Adikku mencintaimu dan menginginkanmu bersamanya dan kau menolak masa depan itu. Masa depanmu bukan kehancuran Naru, kau yang membuat masa depanmu hancur!!"

"Anda benar. Hamba sekarang ini tengah menghancurkan diri sendiri, balas dendam hanya alasan agar bisa bertahan hidup, menyiksa diri sendiri karena rasa bersalah tak bisa berbuat itu yang tengah hamba lakukan."

"Berhentilah. Aku akan mencarikan tempat aman untukmu, tempat dimana semua orang tak mengenalmu."

"Itu namanya lari dari kenyataan Yang Mulia. Hamba masih bisa bertahan dan setelah semua selesai maka kehidupan hamba juga berakhir,"

"Kau berencana meninggalkan adikku yang terus menunggumu?"

"Anda harusnya mengkhawatirkan diri Anda sendiri, bagaimana istri Anda, bagaimana putra Anda."

"Dia istriku Naru, dia bisa bertahan. Putraku di didik olehnya, aku yakin akan keduanya. Tak perlu ada yang dikhawatirkan dari mereka," ujar Itachi yakin,

Naruto mendengus mendengar pernyataan penuh keyakinan itu,

"Jika Anda memiliki keyakinan seperti itu hamba juga memiliki sebuah keyakinan. Hamba yakin tanpa adanya hamba disisi Putra Mahkota dia bisa bertahan."

"Apa Putra Mahkota sekuat itu? Kau yakin?"

"Mesti tak yakin tapi dia harus bertahan apapun yang terjadi, ada atau tidak adanya hamba dia harus bertahan."

"Kau tak ingin berada disampingnya? Kau menyerahkannya pada temanmu. Apa tak masalah?"

"Hinata gadis baik hamba mengenalnya dari kecil."

"Sasuke tak mencintainya, gadis itu akan menderita."

"Sasuke akan mencintainya, gadis sebaik Hinata tak mungkin dia sia-siakan,"

"Kau naif."

"Ini keyakinan."

Keduanya terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing,

"Sudah sampai." ujar Itachi memecah keheningan.

Naruto menatap bangunan didepannya,

"Ini kediaman pribadi Putra Mahkota."

"Aku pergi."

Itachi menahan lengan Naruto,

"Kau mau lari?"

"Hamba tak memiliki alasan untuk ketempat ini Pangeran."

"Ada. Ditempat ini adalah wilayah paling aman, dan aku ingin mengatakan kebenaran dari kebenaran yang kau cari."

"Apa maksud Anda?"

"Ikut denganku."

Mau tak mau akhirnya Naruto melangkah masuk kedalam kediaman pribadi milik Putra Mahkota yang ada di pusat kota, dia baru tahu Sasuke memiliki rumah diluar istana, atau memang semua pangeran memilikinya?

Nagato melempar semua barang yang ada diruangannya.

Dia lengah, harusnya dia meminta agar putrinya dijadikan putri mahkota bukan istri putra mahkota, karena jika istri bisa saja putrinya dijadikan selir,

Dan benar saja. Saat pertemuan para pejabat istana raja memerintahkan larangan menikah bagi rakyat karena putranya akan menikah dengan putri keluarga Hyuuga.

Betapa murkanya dia mendengar itu, tenyata raja selama ini mencari kelemahan dalam permintaannya.

"Kau pikir dengan itu semua berakhir? Tidak. Posisi permaisuri kelak akan jatuh pada putriku."

Dia akan membuat Sakura menjadi istri kesayangan, lalu setelah itu putrinya harus mengandung calon penerus tahta dengan itu posisi permaisuri dengan mudah akan diambil alih, tinggal menunggu waktu agar putra mahkota jatuh kedalam pesona putrinya yang terkenal cantik.

"Yahiko selidiki putra mahkota gadis seperti apa yang bisa mambuatnya jatuh hati. Dia pasti memiliki kriteria tersendiri," perintah Nagato pada orang kepercayaannya.

"Tentu, aku akan menyelidikinya sesuai keinginanmu."

Nagato mengangguk. Yahiko adalah teman masa kecilnya yang dia tolong saat sekarat dan hingga sekarang pria itu selalu berada dipihaknya melakukan semua hal yang dia perintahkan dan dia harus memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.

"Baiklah Yang Mulia. Anda mengibarkan bendera perang maka aku harus menyambutnya dengan persiapan matang." gumamnya dengan seringai mengerikan.

"Sepertinya hamba harus pulang jika keberadaan hamba membuat Putra Mahkota dan Pangeran tak bisa berbicara leluasa." ujar Naruto memecah keheningan diantara ketiganya,

"Tidak. Kau disini saja Naru," Itachi mencegah dengan memegang pergelangan tangan Naruto.

Sasuke menatap Itachi tak suka, dan membuang nafas. Dia akan berbicara pada kakaknya sekarang.

"Aku sudah tahu kebenarannya dari Ayahanda." Sasuke membuka suara,

Itachi terdiam, menunggu adiknya kembali membuka suara.

"Kau difitnah oleh Nagato, Ayahanda yang seolah merebut kakak ipar yang sebenarnya melindungi istri dan putramu."

Naruto mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari mulut Sasuke.

Dari mulai fitnah Itachi, Nagato yang licik menjebak Itachi. Fugaku yang menerima tawaran Nagato agar Itachi keluar dari masalah, hingga perbuatan Nagato yang membuat kakeknya terbunuh dengan dalih menghilangkan rumor raja yang merebut istri pangeran.

Semua informasi itu dia telan bulat-bulat hingga tak bisa berkata apa-apa.

"Bolehkah hamba pamit pergi?"

Sasuke menatap Naruto khawatir,

Naruto pasti sangat terkejut, bahkan diapun sama terkejutnya mendengar kebenaran ini dari ayahnya, keluarga Uchiha yang terkenal dengan pemerintahannya yang tak mudah goyah kini rapuh oleh seorang pejabat istana licik.

"Putra Mahkota."

"Ya?"

"Selamat atas pernikahan Anda, semoga Anda bahagia bersama Hyuuga Hinata, dan tolong jaga dia untuk hamba."

"Naru tung-..."

"Jangan dikejar. Dia butuh waktu sendiri," cegah Itachi,

Sasuke kembali duduk. Menatap kakaknya yang dengan tenang meminum teh,

"Aku akan membuat kakak ipar kembali bersamamu setelah aku naik tahta." ujar Sasuke,

Itachi tersenyum kecil dan menggeleng.

"Masih ada yang harus aku lakukan agar pemerintahanmu kelak tak rapuh. Aku akan menjadi bayanganmu, aku akan menyelidiki semua orang yang ada didekatmu dan memusnahkannya, aku akan menjadi tumbal hidupmu."

"Kakak..."

"Sudah kewajiban seorang Pangeran membantu pemerintahan dari belakang."

"Tak bisakah kita berkumpul?"

"Jangan manja adikku. Kau kuat, kau harus bisa melakukan sendiri, tahta berat maka dari itu aku membantu meringankan meski sedikit."

"Aku takut. Aku takut tak bisa melindungi semua orang,"

"Aku akan mendengarkan semua keluh kesahmu tapi satu hal yang tidak bisa aku lakukan untukmu."

"Apa?"

"Membuat Naru bersamamu maaf aku tak bisa membantu untuk itu."

Sasuke menutup matanya dan tersenyum kecil.

"Naru menginginkan pernikahan ini. Aku juga tak bisa terus egois dengan memaksanya, kelak aku yakin, sangat yakin jika kami bisa bersama."

Itachi mengangguk. Adiknya sudah dewasa, dia yakin pemerintahan yang akan dibangun adiknya akan sempurna jika para pejabat macam Nagato menghilang dari kerajaan Api.

"Aku akan pergi menyelidiki beberapa pejabat. Kau juga harus bersiap, pernikahanmu akan digelar tiga hari lagi,"

"Jangan mengingatkan hal itu karena aku selalu menghitung waktu yang kulalui semenjak bertemu dengan Naru."

"Begitu. Aku pergi dulu dan hati-hati, jaga juga calon istrimu kita tak akan tahu apa yang akan Nagato lakukan."

Itachi meninggalkan Sasuke dalam kesendirian,

"Apapun keinginanmu akan selalu aku berikan yang terbaik Naru, tapi saat aku memintamu berada disampingku kau malah menolak. Kenapa takdir kita harus seperti ini?"

Tak ada jawaban. Tentu saja, dia hanya bertanya pada dirinya.

"Menikah ya? Kenapa rasanya hati ini kosong? Bagaimana aku bisa mengisi kekosongan ini?"

Naruto berjalan dengan langkah gontai, kebenaran yang dia dengar telalu jauh dari bayangan.

Raja yang dibencinya ternyata juga diperalat oleh Nagato,

Raja yang begitu diagungkan kalah oleh pamannya, dan dia hanya seorang pelacur.

Bisa apa pelacur melawan pejabat yang bahkan bisa memanipulasi orang nomor satu di kerajaan Api.

"Hanya dengan membunuh Nagato aku bisa tenang melihat Sasuke menjalankan pemerintahan yang dibuatnya kelak." gumam Naruto penuh tekad.

"Jika sesuatu terjadi pada Naru... Bawa dia ketempatku, apa kau mengerti Neji?"

"Baik. Tapi bukankah ada baiknya Anda bertemu dengan Nona?"

"Tidak."

"Anda yakin?"

"Ya. Karena aku tak memiliki wajah untuk bertemu dengannya. Sampai jumpa,"

Neji membungkukan badan pada orang yang berbincang dengannya tadi.

"Dan aku kehilangan Nona sekarang. Aku harus mencari kemana? Kenapa sekarang Nona selalu pergi seorang diri?"

"Neji?"

"Nona, darimana saja Anda?"

"Tiga hari lagi Putra Mahkota menikah, dan aku ingin menghadiahkan kematian Nagato."

"Jangan gegabah Nona."

"Aku akan menyerah pada dendam setelah membunuh Nagato, nama kakekku tak bisa kubersihkan meski pria itu mati. Tak masalah selama pemerintahan Sasuke tak diganggu."

"Hamba tak menyetujui hal itu."

"Tekadku sudah bulat. Aku akan menyusun rencana, cari tahu berapa banyak penjaga yang ditempatkan dikediaman Nagato setelah itu kita akan menyerang mereka. Kau masih mau ikut denganku bukan?"

"Sesuai yang Anda inginkan Nona."

TBC

A/N : Tanpa banyak kata. Aku akan usahakan up setiap hari minggu atau sabtu malam. Dan untuk ceritaku yang lain kemungkinan akan di unpublish jika aku tak yakin bisa menyelesaikannya dan merevisi alur yang menurutku tak tertata. Sampai jumpa minggu depan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top