Bab 14 : Separuh Ingatan
Yaaa... Balik lagi sama aku Ivera, author tak konsisten... Yaps... Hari ini aku akhirnya bisa meng-up salah satu ceritaku yang sudah lama tak terjamah, alhasil kalian pasti lupa alur... Sama... Aku juga yang nulisnya lupa...
Akan tetapi... Aku mencoba sebisa mungkin selalu menulis diwaktu senggang... Dan tanpa banyak kata... Selamat menikmati ceritaku ini... An maaf jika ada typo... ☺☺☺
.
.
"Selamat datang di rumah bordir kami, perkenalkan hamba adalah Karin yang mengelola tempat ini. Mau pesan untuk berapa orang?" tanya Karin menghampiri Neji dan Naruto.
Neji terdiam melihat Karin yang tersenyum padanya, ingin mengabaikan tapi tak mungkin.
"Kami pesan satu kamar privasi, ada?" tanya Naruto dengan suara lembut,
Karin mengangguk dan menuntun mereka ke ruang yang tersedia,
"Silahkan tunggu disini." ujar Karin mempersilahkan masuk dan menutup pintu dan segera pergi,
"Kau mengenalnya bukan Neji?"
Neji mengangguk tapi diam seribu bahasa.
"Kau tak mau menjelaskan semuanya?"
"Nona... terkadang ada hal di dunia ini yang tak perlu diungkit dan dibiarkan hilang ditelan masa."
"Meski itu tentang masa laluku?"
Suara pintu geser terbuka, Karin dan beberapa pelayan membawa nampan berisi makanan dan arak untuk mereka,
Karin memberi kode pada pelayan nya untuk segera pergi dan menutup pintu,
"Maaf Tuan dan Nona tapi wanita penghibur disini tengah melayani banyak pelanggan, jadi izinkan hamba menemai kalian barang sebentar." ujar Karin masih dengan kesopanannya.
"Siapa namamu tadi?"
"Karin."
"Karin, kau tahu bukan tujuan kami kesini bukan untuk mencari hiburan?" tanya Naruto menatap Karin dengan sorot intimidasi ala bangsawan miliknya.
"Tentu saja, karena hal aneh bukan jika seorang wanita muda memasuki rumah bordir, kecuali jika dia pelacur seperti hamba."
"Bagus jika kau mengerti. Aku akan langsung pada inti, aku ingin info tenang insiden Uzumaki secara lengkap dan terperinci, dan aku akan membayar berapapun."
"Itu hal tabu untuk dibicarakan karena perintah perdana menteri sendiri."
"Dan memangnya kerajaan ini dipimpin oleh perdana menteri?!!"
"Baiklah."
Karin membuang nafas, siap menceritakan insiden Uzumaki versinya yang dulu sering dia dengan dari mulut Naruto sendiri.
Siapa yang menyangka jika dia akan kembali menceritakannya pada Naruto?
Bohong jika Neji tak panik melihat wajah Naruto yang semakin pucat, ingin mengentiikan tapi tak bisa,
Lihat saja tangan Naruto yang kini berkeringat dingin menggengam lengan baju miliknya,
Nonanya sudah pasti amat sangat terguncang dengan fakta ini.
Tragedi dulu tak boleh kembali terjadi lagi.
.
.
.
Itachi menatap putranya yang tersenyum ringan,
"Untuk apa kau kesini?" tanya Itachi datar,
"Mengunjungi ayah tentu saja. Tak boleh?"
"Apa kau seorang bocah Shisui? Kau tahu bahaya apa yang mengintaimu jika kau keluar istana tanpa pengawalan. Kau membuat ibumu khawatir,"
"Dan ayah tak peduli pada kami. Kau terlalu fokus pada kerajaan, mengorbankan banyak hal dan apa yang kau dapat?"
"Untuk melindungi hal berharga ada hal yang harus dikorbankan nak. Kau sudah dewasa tentu mengerti."
"Tidak. Aku tidak mengerti, saat aku melihat ayah yang rela puluhan tahun diluar istana hanya untuk kerajaan, aku tak mengerti!! Paman Sasuke saja masih bisa mempertahankan cintanya meski tahun silih berganti tanpa banyak berkorban, ayahku adalah dirimu bukan paman Sasuke!!"
"Tanpa banyak berkorban? Kau salah Shisui, Yang Mulia Raja terlalu banyak berkorban, demi melindungimu dan ibumu dia mengangkat selir Sakura, demi menjagaku agar tetap di ibukota dia memberikan wilayah Ame pada Nagato. Dia bahkan tak bisa bersama cintanya karena berkorban demi kelangsungan kerajaan. Dia korban, kau korban, ibumu korban, dan aku tak terlalu kuat untuk bisa melawan Nagato."
"Ibu sakit, apa Ayah benar-benar membuang kami?"
"Tirai sudah dibuka, peran utama sudah memasuki panggung. kemungkinan ini adalah pertempuran terakhir, bertahanlah, bantu pamanmu, kita akan bertemu lagi nanti, kita bisa kembali berkumpul."
.
.
.
Naruto dengan langkah gontai berjalan mengikuti langkah kakinya yang entah kemana bahkan dia menolak Neji, dia meminta Neji menjauhinya untuk sementara.
Pikirannya melayang, ingatannya belum pulih tapi apa yang diceritakan Karin dia yakin bukanlah kebohongan.
"Sasuke... Aku ingin bertemu dengannya," gumamnya lirih menatap istana megah yang tak jauh darinya.
Ahh dia tanpa sadar kembali kesisi Sasuke?
"Aku utusan kerajaan Air, Namikaze Naruto." ujar Naruto pada penjaga gerbang mengeluarkan tanda pengenalnya dan masuk tanpa dipersilahkan.
"Aku tidak ingat. Kenapa aku tak bisa mengingatnya," bisik Naruto meremas dadanya saat melihat siluet Sasuke dari jauh,
Sakit. Ada hal yang membuatnya ingin menjauhi Sasuke, tapi ada hal lain yang menariknya.
"Aku harus bagaimana? Tolong biarkan aku mengingat semuanya." ujar Naruto meremas rambutnya frustasi,
"Jangan lakukan itu Naru, kumohon." Kurama memegang tangan adiknya dan membawanya kedalam pelukannya.
"Apa yang harus aku lakukan? Ingatanku hilang, aku hanya tahu dari sebagian orang, aku ingin mengingatnya, aku ingin mengingat Sasuke, aku ingin mengetahui semuanya kakak, disini sakit Kak'." tangis Naruto pilu, meremas dadanya yang terasa menyesakan.
"Jika memang itu keinginanmu kau bisa perlahan membuka diri, jangan paksakan dirimu untuk mengingat hal menyakitkan itu."
"Pria itu menungguku, dia dengan setia menungguku yang tak peduli padanya. Aku ingin mengingatnya, mengatakan jika dia harusnya melupakanku dan melanjutkan kehidupannya yang indah."
"Semua akan baik-baik saja, tenanglah... Kau perlu istirahat ayo," ajak Kurama memapah menuju kamar tamu adiknya.
.
.
Kurama dengan setia menunggu adiknya sampai terlelap setelah diberi ramuan oleh Ino agar adiknya bisa tertidur.
Terlihat wajah adiknya begitu lelah dan menyedihkan,
Masa lalunya sudah terbuka, tapi adiknya belum ingat sepenuhnya.
Harusnya dia lebih keras pada Naruto agar tak pergi,
"Harusnya aku membunuh Nagato dari dulu, harusnya aku tak membiarkanmu, harusnya kakek lebih cepat datang. Harusnya aku tak jatuh cinta pada putri pengkhianat itu, maaf karena menjadi kakak yang buruk untukmu Naru." bisik Kurama menggengam tangan adiknya erat.
.
.
.
Malam begitu sunyi. Naruto terbangun dari tidurnya,
Kamarnya gelap, kakaknya sepertinya pergi setelah menemaninya.
Perlahan Naruto berjalan keluar kamar, angin dingin menyentuh kulitnya yang hanya ditutupi baju tidur tipis,
Senyumnya terukir saat melihat gazebo dan kecapi.
Teng.
Petikan pertama.
Benar. Dia dulu pemain kecapi handal menurut Karin, dia dulu adalah seorang pelacur.
Teng.
Petikan kedua.
Dia rela berjalan diatas bara api deki dendam.
Teng.
Petikan ketiga.
Dia mengorbankan segalanya, termasuk cintanya.
Teng.
Petikan keempat.
Hingga dia kehilangan segalanya.
Petikan kecapi itu semakin cepat, banyak emosi tertuang disana.
Semuanya tumpah dalam petikan kecapi dari jari lentiknya.
Teng.
Salah satu benang kecapi itu putus,
Naruto terdiam dan menatap tangannya yang berdarah.
Kenapa rasanya tak sakit?
Kenapa malah dadanya yang sakit?
"Tanganmu terluka."
Naruto yang tengah menunduk langsung mendongkak, mengenal suara siapa itu.
"Apa hamba menganggu istirahat Anda Yang Mulia? Maafkan hamba."
Sasuke berlutut dan melihat jemari Naruto yang terluka,
"Kau ceroboh." ujar Sasuke menarik lembut lengan Naruto dan membalutkan kain pada jari Naruto.
"Apa sakit?" tanya Sasuke saat melihat Naruto yang meneteskan air mata,
Naruto menggeleng dan tanpa diduga meraih leher Sasuke dan memeliknya.
"Maafkan aku, maafkan aku... Aku melupakanmu, aku tak bisa mengingatku. Maafkan aku," ujar Naruto tertahan,
Sasuke membatu, rombongannya langsung memalingkan wajah.
"Naruto?"
"Aku terlalu bodoh, kau terlalu lembut, harusnya kau bisa bahagia tanpaku. Maafkan aku membuatmu begitu tersiksa, maafkan aku."
Sasuke yang tadi hanya terdiam membakas pelukan Naruto.
Ahh... Pelukan ini, sensasi ini, wangi ini, semua hal yang dia rindukan ada dihadapannya sekarang.
Narutonya... Wanitanya...
Bukankah harusnya dia senang karena akhirnya wanitanya datang padanya?
Tapi kenapa rasanya masih ada hal yang mengganjal?
Ahh... Nagato masih ada, target balas dendam Naruto masih ada.
Mau sampai kapanpun kehidupannya tak akan tenang jika Nagato masih berkeliaran.
"Aku akan melindungimu mulai sekarang. Aku tak akan membiarkan siapapun mengganggumu, aku akan ada disampingmu." bisik Sasuke mengusap lembut rambut pirang Naruto.
Wanita itu menghentikan tangisnya dan mendorong Sasuke.
"Lupakan aku. Berbahagialah bersama Permaisuri Hinata, Anda mengkhianati cintanya, kumohon lupakan aku."
"Kau lagi lagi mengatakan itu. Apa yang harus aku lakukan agar kau percaya padaku? Agar kau menerimaku? Kenapa kau tak pernah mencoba memahami perasaanku? Kenapa kau begitu egois? Apa dengan bersama Hinata aku akan bahagia?"
Naruto menggigit bibirnya, "Hanya akan ada kemalangan jika kita bersama. Maaf," bisik Naruto melepas gengaman tangan Sasuke dan berjalan menjauh.
Air mata Naruto kembali jatuh, dia menangis sejadi-jadinya saat sampai di kamar.
Ini hanya sebagian ingatannya saja, bagaimana jika ingatannya kembali sepenuhnya?
Kenapa rasanya dia begitu lemah."
"Hiks... Kenapa... Kenapa harus aku?" tangisnya memukul adanya yang terasa begitu sesak.
.
.
.
"Maksudmu utusan yang ada di istana bersama Kurama adalah Uzumaki Naruto? Namikaze Naruto itu adalah keponakanku yang harusnya sudah mati? Luar biasa... Apa karena dendam dia bisa bertahan hidup?"
"Ya Tuanku."
"Dia datang untuk membalas dendam?"
"Dia kehilangan ingatan."
"Begitu. Jadi perang dingin ini akhirnya mencapai puncak, tetap awasi semuanya, laporkan semuanya, aku tak akan mengingkari janji jika kau tetap setia."
"Baik Tuanku."
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top