Bagian 46 - Rasa Kecewa Dave
Ck!
“Kenapa melihatku seperti itu?! Duduk! Aku akan mengobatimu!”
Luke tersadar dari lamunannya. Lamunan manis tentangnya yang bisa memeluk Anna, dan Anna yang mau menerimanya kembali. Tapi kenyataannya?
Luke harus belajar dari kenyataan. Jika Anna di depannya kini bukanlah Anna yang akan dengan mudah dia taklukkan. Dia masih harus berjuang keras, untuk mendapatkan maaf wanita itu. Baru setelahnya, dia bisa berpikir bagaimana caranya membuat wanita itu kembali ke dalam pelukannya.
“Aku bisa melakukannya sendiri, Anna. Jangan merepotkan dirimu,” ucap Luke dan mendapat dengusan sebal dari wanita itu.
“Songongnya masih nggak berubah ya, meski sudah tua?” cibir Anna sambil mengambil kapas yang sudah dia bubuhi dengan obat, dan menempelkan kapas tersebut di sudut bibir Luke yang berdarah, “aku juga nggak mau kerepotan ngobatin kamu, jika saja saudaraku nggak mukulin kamu, sampai tangan kamu patah!” Lanjut Anna membuat alis Luke menukik sebelah.
Patah? Tanganku patah? Batin Luke sambil melihat tangannya yang menjuntai. Perasaan, tangannya baik-baik saja. Peter tidak melakukan apapun pada tangannya. Hanya bagian tubuhnya yang menjadi sasaran.
“Mau sok kuat lagi? Berlagak sok baik-baik saja?” omel Anna, “nggak sekalian tuh, Peter patahin leher kamu, terus kamu bilang baik-baik aja. Besoknya, tentu saja aku harus kerepotan kuburin mayat kamu!”
Luke menggigit bibir dalamnya demi menahan tawa. Akhirnya dia mengerti. Rupanya, Peter membohongi Anna, sehingga Anna mau mendatanginya dan mau mengobatinya seperti sekarang.
Setelah ini, dia akan mencium adiknya yang sangat pengertian itu.
Anna memberi plester untuk luka di bagian kening dan pipi Luke.
“Seharusnya, Peter bikin muka kamu hancur sekalian, biar penyakit mata keranjangnya hilang!”
Luke tetap diam, meski sebenarnya dia ingin tertawa terbahak-bahak. Melihat Anna yang seperti ini, membuat rasa sakitnya terobati. Tak dia lihat kesedihan di mata itu. Anna nya kuat. Anna nya bisa bangkit dalam keterpurukannya, dan hidup bahagia. Meninggalkannya sendiri di dalam jurang penyesalan yang tak kunjung menemukan kata maaf sebagai tali untuk menariknya ke dasar.
Anna mendudukkan Luke di ranjang. Wanita itu sangat lihai mengobati luka lebamnya. Wajah cantiknya pun, tentu saja tak dia sia-siakan untuk Luke pandangi dalam keterpesonaan. Anna sudah berhasil membuatnya seperti budak cinta.
“Tanganku tidak patah. Hanya sedikit nyeri. Mungkin karena tulangnya yang sedikit retak. Peter berlebihan,” ucap Luke begitu Anna mengangkat tangannya. Tapi kemudian, Anna meletakannya lagi bahkan sedikit keras hingga membuat Luke sedikit meringis—kesakitan.
“Baguslah. Setidaknya Peter tidak perlu membuang uangnya dengan membawamu ke rumah sakit!” jawab Anna ketus, “lalu, bagian mana lagi yang sakit?!” tanya Anna dan Luke menggeleng sebagai jawaban. Karena tubuhnya memang benar-benar tak merasakan rasa sakit lagi setelah kehadiran dan sentuhan ajaib Anna.
“Baiklah, tugasku sudah selesai!” ucap Anna, “beberapa menit lagi kami akan makan malam. Bersiaplah untuk bergabung. Karena besok, kamu harus segera pergi dari rumahku!” lanjut Anna dengan sikap dinginnya, membuat Luke menatap Anna dengan pandangan putus asa. Se keras itukah hati wanita itu, sehingga untuk melihatnya beberapa waktu saja, Anna tidak bisa?
“Apa tidak ada pintu maafmu untukku?” tanya Luke spontan, membuat Anna menghentikan langkahnya.
“Aku sudah memaafkanmu. Sejak dulu.”
“Lalu, apa kita bisa kembali seperti dulu?” tanya Luke lagi. Tak goyah oleh penolakan yang bertubi-tubi.
Anna tertawa pelan. “Seperti apa maksudmu?” ujarnya, “menjadi sebuah keluarga yang di bayangi oleh kebohongan, rasa cinta di satu pihak, dan pengkhianatan maksudmu?” lanjutnya, “maaf saja. Tapi, Anna mu yang tolol itu sudah lama mati!” sambungnya lalu pergi dari sana setelah berhasil membuat Luke kalah telak oleh sebuah pukulan kenyataan.
Memang benar. Masa lalu apa, yang bisa menarik Anna untuk mau menerimanya lagi? Kebahagiaan, kenangan indah, atau rasa cinta?
Tidak ada. Selama pernikahan mereka, Anna tak mendapat apa pun selain rasa sakit. Rasa sakit dari berbagai sudut yang membuat wanita itu benar-benar hancur. Sendirian, tanpa ada yang memeluk atau menjadi tempat untuk bersandar.
Luke mengusap wajahnya kasar. Dia harus mengetahui semua rahasia itu malam ini juga. Dia tidak mau menundanya lagi, karena besok dia harus segera pergi. Pergi untuk merelakan Anna bahagia dengan hidup barunya yang sekarang. Ya, tentu saja Anna pantas untuk hidup bahagia. Jauh dari bayang-bayang manusia iblis seperti dirinya. Sudah saatnya Anna bahagia, dan dirinya yang harus lapang menerima akibat dari perbuatan jahatnya.
***
Luke melangkah memasuki ruangan yang satu-satunya ramai di sana. Rupanya, mereka masih bersedia menunggu dirinya untuk makan malam.
“Duduklah,” ucap Peter dan Luke segera duduk di kursi yang tersisa di sana.
Luke melirik Davio yang berseberangan dengannya. Davio yang tidak menyambutnya. Pemuda itu tetap diam dengan pembawaan dinginnya yang mirip sekali dengan Peter. Tak pernah dia menyangka, Davio akan tumbuh se cepat ini dan menjadi pemuda yang sangat tampan dengan sorot matanya yang tajam.
Hubungan mereka yang renggang setelah kematian Anna, membuat Luke tidak mengetahui perkembangan keponakan tersayangnya itu. Karena sekali pun, tidak ada yang memberitahukan bagaimana foto Davio dan hidup pemuda itu pada dirinya.
Anna juga berada di sana. Duduk di samping Davio dengan nyaman. Tentu saja, Anna merasa nyaman karena Davio lah yang menemani sekaligus menjadi pelindungnya sejak lama.
Makan malam di mulai. Luke sendiri canggung untuk memakan makanan yang sudah siap saji di piringnya. Entahlah, melihat Davio yang bersikap seperti ini, membuatnya merasa tak nyaman.
“Semua makanan ini aman dari racun. Jadi Paman tidak perlu merasa canggung.”
Celetukan Davio, membuat Peter dan Jasmine saling berpandangan. Agaknya, Davio mulai membuka dirinya lagi dengan kehadiran Luke. Mereka pun tau, jika Luke tetap menjadi paman favorit bagi Davio meski kekaguman itu, dikalahkan oleh kekecewaan anak tertua mereka itu.
Luke merasakan tubuhnya mengerucut. 3 kali dia mendengar suara Davio yang berhasil membuatnya kagum. Bocah usil yang dulu sering tertidur di pangkuannya, dan manja keterlaluan ketika bersamanya, kini membuatnya bak seorang tersangka. Meski memang dirinyalah yang menjadi penyebab atas semua keretakan itu. Davio membencinya sejak mereka kehilangan Anna.
Luke mengenyahkan semua pikiran itu sejenak. Saatnya makan malam, karena dirinya pun merasa lapar. Luke hendak mengambil ikan di depannya. Tapi belum sampai sendoknya mendarat di piring itu, Davio sudah lebih dulu menarik piring berisi ikan itu menjauh.
Suasana menjadi hening. Bahkan Jasmine khawatir, jika tindakan Davio tadi akan membuat Luke marah karena merasa tidak dihargai. Tak ada bedanya dengan Anna. Anna pun merasa takut. Tangannya berkeringat dingin. Aura permusuhan Davio jelas sekali akan menyulut kemarahan Luke.
Luke menahan napasnya. Sikap dingin Davio masih bisa dia terima. Tapi, jika Davio bersikap keterlaluan seperti ini, lebih baik dia pergi saja.
Davio menarik piring berisi ikan itu dan menggantikannya dengan mangkok berisi sup ayam.
“Ada tomat di dalam masakan ikan itu. Aku masih ingat, jika Paman alergi tomat. Sebaiknya Paman makan masakan ini. Aku tau, Paman juga merindukan rasanya sama sepertiku.”
Setelah mengatakan itu. Davio bangkit kemudian pergi dari sana dengan langkah cepat. 5 tahun dia membenci masakan bernama sup ayam karena kehilangan si pembuat favoritnya. Ya, sup ayam selalu membuatnya teringat pada kesedihan bibinya. Kesedihan yang selalu pamannya berikan, hingga rasa trauma itu terkadang membuatnya muak. Dan kemudian, 5 tahun kemudian dia menemukan bibinya masih hidup. Tapi, masakan itu tetap saja terasa hambar di lidahnya. Pengaruhnya, sudah mematikan sedikit sudut hatinya.
“Kamu harus mengejarnya. Berusalah untuk menghilangkan rasa traumanya. Karena kamu lah yang bertanggung jawab atas kekecewaan Davio yang berimbas membuatnya bersikap dingin seperti ini. Bahkan, masakan ini bukan lagi menjadi makanan favoritnya.”
Anna bangkit kemudian pergi dengan air mata berderai. Dia ingat, bagaimana Davio kecil yang menyukai sup ayam, kini justru membenci masakan itu.
“Dia tidak membencimu, Luke. Jauh di lubuk hatinya, kau tetap menjadi paman terbaik di dunia. Hanya saja, kau membuat Davio kecewa karena kau sudah membuatnya kehilangan Anna. Kau tentu saja masih ingat, bagaimana memori bocah 8 tahun yang masih rentan terhadap sekelilingnya. Saat itu, dia menjadikanmu sebagai idola favorit. Tapi, tanpa kau sadari, hatinya juga akan terluka saat melihat Anna terluka. Saat itu dia begitu menyayangi Anna. Sampai-sampai begitu mengetahui Anna yang kau buat masuk rumah sakit, dia menjadi pendiam dan menyalahkan dirinya yang tak bisa melindungi Anna. Anna bahkan sudah mengalahkanku.”
Jasmine meremas tangannya. Tidak! Dia sama sekali tak cemburu atas rasa sayang Davio terhadap Anna. Justru dia bahagia. Sangat bahagia karena Davio menjadi sosok pria yang baik atas didikan sahabat baiknya itu.
Luke bangkit. Dia harus memperbaiki hubungannya dan Davio. Dia harus bisa mendapatkan kepercayaan Davio lagi, dan tetap menjadikannya sebagai paman favoritnya.
Luke melangkah ke sebuah kamar di mana dia melihat Davio menghilang di balik pintunya. Benar. Ini kamar Davio. Pemuda itu sedang duduk di ranjangnya sambil memainkan sebuah miniatur mobil sport berwarna merah.
Luke menarik napasnya pelan sebelum memberanikan diri untuk duduk di samping Davio yang sama sekali tak terkejut atas kedatangannya.
“Maafkan Paman, Dave. Tanpa sadar, Paman sudah membuatmu terluka. Sungguh, Paman tidak ingin semua itu terjadi. Paman pun juga terluka, dan merasa tak berguna. Coba pikir. Bagaimana bisa paman ingin melenyapkan wanita yang paman cintai?” Luke menarik napasnya lagi. Tentu saja dia tau. Davio yang sekarang, akan sulit mempercayai kata-katanya lagi.
“Paman hanya bersandiwara. Paman melakukan semua itu, untuk membantu seorang polisi.”
“Aku tau. Tapi, sandiwara Paman membuatku benci. Aku tidak suka cara menyelesaikan masalah dengan merugikan sebelah pihak seperti itu. Lebih baik bermain secara cepat dan transparan, dari pada sembunyi-sembunyi tapi tak membuahkan hasil. Siapa yang bersalah, maka secepatnya dia yang harus mendapatkan hukuman.”
“Ya, paman bodoh. Paman melakukan kesalahan yang fatal saat itu.” Luke mengakui jika perkataan Davio benar. Jika saja, dirinya tidak melakukan kebodohan itu, mungkin insiden kehilangan Anna tidak akan pernah terjadi dalam kamus hidupnya.
“Lalu, apa kau mau memaafkan, Paman?” tanya Luke dengan pelan. Sekarang, mau atau tidaknya, dia harus menerima jika selamanya, dia akan minus di mata Davio.
Davio menghembuskan napasnya kasar. Apapun yang terjadi, dan bagaimana pun kesalahan pamannya di masa lalu, tentu saja pamannya itu masih menjadi yang nomor satu dihatinya. Memang rasa kecewa itu terlampau besar hingga menimbulkan kebencian. Tapi se iring waktu, dia pun bisa menyadari. Jika manusia tidak akan selamanya melakukan hal yang benar.
Melakukan kesalahan sudah menjadi bagian dari torehan takdir dalam perjalanan hidup seseorang.
“Aku sudah memaafkan paman sejak tau bibi Anna ku masih hidup. Bibi selalu membicarakan kebaikan paman, dan meyakinkanku jika kecelakaan itu murni ulah penjahat itu. Sehingga mau tak mau. Paman akan tetap menjadi paman favoritku.”
Luke tertawa pelan di iringi air mata kebahagiaan yang menghiasi bola matanya.
Bagaimana Anna masih bisa melakukan semua ini? Seharusnya, Anna membiarkan Dave terus membencinya. Tapi wanita itu? Dia semakin jatuh cinta pada wanita itu. Selamanya, Anna pun akan tetap menjadi wanita favoritnya.
“Mau berpelukan?” tawar Luke dan Dave pun langsung menghambur ke dalam pelukan pamannya yang sudah 10 tahun sangat dia rindukan.
“Peluknya sebentar saja. Aku bukan bocah 8 tahun lagi. Umurku sudah 18 tahun, dan aku pria terhormat!”
“Hahaha ...”
Ke tiga manusia yang juga banjir oleh air mata kebahagiaan, menjadi saksi bersatunya dua pria di dalam sana yang sempat terpisah oleh kesalah pahaman dan rasa kecewa.
Peter, Jasmine, dan Anna. Mereka sengaja mengintip di balik pintu untuk berjaga-jaga, jika sampai Dave dan Luke tak sepemahaman. Tapi mereka salah. Dave jauh lebih dewasa dari yang mereka kira. Dan akhirnya, rasa benci dan kecewa itu dikalahkan oleh perasaan rindu yang juga kasih sayang yang selama ini terpenjara oleh waktu
***
Selamat membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top