Siapa Kamu?

"Arrrggghhhh."

Jeritan Jen pagi itu membuat seorang pria yang terbaring di sebelahnya ikut terbangun. Sama seperti Jen, ia juga terkejut saat mendapati tubuhnya tanpa sehelai kain, hanya berbalut selimut tebal yang menutupi tubuhnya sebatas dada.

"Kamu apain aku hah?" ujar Jen panik.

"Sumpah aku nggak ngapa-ngapain kamu. Aku juga nggak tahu kenapa aku bisa ada di sini."

Jen tertawa mengejek jawaban pria itu. "Alah. Jangan bohong deh.  Ini akal-akalan kamu aja kan biar nggak dituduh macam-macam."

"Macam-macam apa? Sumpah aku memang nggak ngapa-ngapain kamu. Kalau kamu islam, ambil Al-Quran, aku berani sumpah di atasnya kalau apa yang aku bicarakan itu benar!" Pungkas pria itu tampak menyakinkan.

"Balik sana, tutup mata kamu, jangan dibuka sampai aku masuk kamar mandi!" Intruksi Jen.

"Oke, tapi kamu juga tutup mata."

"Hah? Gila kali ya ini orang, terus gimana jalannya kalau aku tutup mata?"

"Lah kamu lebih gila. Kalau kamu tarik selimut ini, kamu tahu kan pemandangan apa yang bakal kamu lihat?" Spontan, Jen menutup matanya dengan kedua belah telapak tangan.

"Ya udah gini aja. Kita sama-sama jalan ke kamar mandi. Begitu sampai di depannya, kamu harus tutup mata. Deal?"

"Deal."

Akhirnya mereka jalan beriringan seperti dua orang bodoh yang baru saja digrebek polisi. Sesuai kesepakatan, pria itu menutup matanya ketika Jen hendak masuk ke dalam kamar mandi.

Setelah itu ia memunguti pakaian yang berserakan di lantai sambil memikirkan kira-kira apa yang terjadi hingga ia bisa bersama Jen di dalam kamar hotel ini. Terakhir, seingatnya ia mabuk berat hingga hilang kesadaran, bangun-bangun sudah ada Jen di sampingnya. Sebuah kebetulan yang sangat membingungkan.

Pria itu mengetuk pintu kamar mandi. "Pakaian kamu." Jen menyambut dengan tangan kanannya tanpa menyembulkan kepala.

Sepuluh menit membersihkan diri Jen keluar dari kamar mandi dengan handuk digulung di atas kepala. Ia melirik ke arah pria tadi yang sedang duduk di sofa dengan pakaian lengkap. Ragu-ragu Jen menghampirinya.

"Ehemm, ehemm."

"Kenapa?" tanya pria itu tanpa menatap Jen, matanya malah asik berselancar pada gawai yang ada di tangannya.

"Nama kamu siapa? Aku perlu nomor telepon kamu. Kalau sampai aku kenapa-kenapa, kamu harus tanggung jawab!"

"Tanggung jawab?"

"Iya, tanggung jawab. Jangan pura-pura bego. Kamu udah ngambil satu-satunya milik aku yang paling berharga!"

"Hei. Jaga mulut kamu. Jujur aku nggak ingat apa-apa. Kalau pun aku nyentuh kamu, itu semua di luar kuasa karena semalam aku mabuk berat."

Jen terdiam. Ia juga baru sadar kalau tadi malam ia minum alkohol berlebihan akibat didesak ibunya untuk segera menikah hanya karena usia Jen nyaris menginjak kepala tiga.

"Kenapa diam?"

"Tadi malam aku juga mabuk, makanya aku nggak ingat apa-apa.  Tahu-tahu bangun udah ada di samping kamu."

"Itu dia. Kita adalah dua orang mabuk yang nggak ingat apa-apa. Jadi tolong jangan saling tuduh menuduh. Nama aku Bragy, ini kartu nama aku, kalau ada apa-apa kamu boleh hubungi nomor itu."

"Aku Jen. Oke, kalau gitu aku bisa pulang dengan tenang sekarang. Thanks."

"Thanks?"

"Buat kartu namanya!" Tegas Jen membuat Bragy cekikikan.

***

"Dari mana kamu nggak pulang semalaman?" Baru saja kaki Jen menginjak ruang tamu, suara berat sang mama sudah menyapa.

"Nginap di kos-kosannya Arin."

"Terus nggak ngabarin mama?"

"Maaa. Bisa nggak sih jangan ngajak ribut terus. Aku capek Ma."

"Siapa yang ngajak kamu ribut? Mama cuma nanya."

"Iya kan Mama tahu aku lagi marah sama Mama makanya nggak ngabarin. Kenapa pakai acara ditanya sih Ma?"

"Marah karena didesak menikah?" Jen mengangguk. Ia berjalan ke arah dapur, mengambil gelas, lalu mengambil air di dispenser.

"Mama itu cuma ngingatkan kamu, sebentar lagi kamu itu udah dua puluh sembilan tahun, boro-boro mau nikah, pacar aja belum ada."

Jen menghela napas. Setelah putus dengan mantan terakhir, Jen seolah trauma pada sosok laki-laki. Jen tidak mau ia disakiti lagi, karena itu, Jen begitu selektif saat ada pria yang mulai mendekatinya. Bukan cuma itu, Jen juga seolah membuat benteng besar agar tak sembarangan laki-laki mampu menembus tembok yang sudah ia ciptakan.

Pernikahan yang harusnya terlihat indah, berganti jadi momok yang menakutkan, saat Jen tahu bahwa kekasih yang sangat ia cintai, yang ia harapkan memiliki masa depan dengannya, sosok suami idaman yang selama ini ia agung-agungkan, malah pergi meninggalkannya lalu menikah dengan perempuan pilihan orang tuanya. Sungguh miris.

"Jodohnya masih otw Ma, sabar aja dulu. Lagian kenapa harus buru-buru sih. Omongan tetangga nggak usah didengerin Ma, tutup telinga aja," sahut Jen yang tak mau repot.

Rantika sebagai ibu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya. Ibu mana yang tidak mau melihat anaknya bahagia. Menikah dengan pria yang ia cintai, bahagia bersama keluarga kecilnya, sementara Jen di usia yang sudah sangat matang, malah sibuk bekerja, dan mengurus hobi-hobinya.

Masuk ke dalam kamar Jen menulis pesan pada Arin. Syukurnya ini weekend, Jen bebas melalang buana tanpa memikirkan pekerjaannya.

Jen : Rin, bisa ketemuan di Kafe biasa nggak siang ini, aku teraktir deh.

Semenit kemudian notifikasi balasan dari Arin masuk ke ponsel Jen.

Arin : Boleh. Aku juga lagi suntuk nih di rumah. Syukur deh kamu ajaki nongkrong

Jen : Oke. Jam setengah 1 otw ya.

Arin : Siap.

Lovely Kafe adalah tempat andalan Jen dan Arin untuk nongki-nongki cantik sekadar berhaha-hihi, membahas seputar hal-hal random, curhat soal hidup mereka, atau sekadar lunch dan dinner, karena tempatnya sememorable itu. Apalagi saat malam hari, mereka bisa melamun sambil menikmati live akustik hingga larut malam, sejenak melupakan masalah yang ada.

"Tumben ngajak nongki dadakan, kamu baik-baik aja kan Jen?" Sambar Arin begitu sampai di meja  yang sudah direservasi oleh Jen.

Menanggapi pertanyaan Arin, Jen menggeleng. "Aku berasa baru aja dapat tiket ke neraka," ucap Jen sambil mengingat kejadian tadi pagi.

"Hah, maksudnya?"

"Tadi malam aku akui, kesalahan paling bodoh yang pernah aku lakuin. Karena baper sama ucapannya mama, aku pergi ke club, minum alkohol, sampai mabuk berat. Paginya----" Jen berhenti hanya sekadar menarik napas berat sebelum lanjut bercerita.

"Paginya?" tanya Arin penasaran.

"Paginya, aku udah di kamar hotel sama pria yang sama sekali nggak aku kenal. Kita tanpa sehelai kain, dalam satu selimut yang sama. Itu rasanya kayak besok aku pasti ke neraka," tutur Jen dengan suara penuh sesal.

Arin terkejut hingga mulutnya hanya bisa menganga tanpa menyahut sepatah kata pun. Ia bagaikan orang linglung, tak percaya cerita itu keluar dari mulut Jen. Sahabat yang ia kenal sangat menjaga kehormatannya sebagai perempuan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: