Prolog

Ini adalah cerita lama. Alkisah, terdapat kerajaan dengan tahta kosong. Kekosongan tersebut memanglah sebuah takdir. Kerajaan Bhartavia namanya.

Bhartavia mulanya hanya sebuah desa. Namun, jumlah populasi yang meledak mengharuskan para penduduk untuk memperluas wilayah dan membangun sebuah sistem kepemimpinan.

Ki Nawasena, seorang sesepuh sakti yang paling dihormati di Bhartavia menanam sebuah pohon. "Seratus tahun dari sekarang, beringin ini akan memilih seorang Raja dari keturunan Trimurti. Pohon ini bernama Beringin Rajendra," ucapnya. Rajendra memiliki makna Raja dari segala Raja.

Arya Langit, Arya Bumi, Arya Samudera. Tiga keturunan Nawasena Trimurti tersebut menjadi kandidat dari pemilik singgasana kosong di Bhartavia kelak. Konon katanya, Ki Nawasena telah membuat kesepakatan dengan makhluk dari alam sebrang untuk membantu manusia bertahan hidup dari beringasnya tiga ras lain. Yakni Garuda, Denawa, dan Wanara. Siapa pun yang terpilih sebagai Raja dalam kurun waktu seratus tahun ini akan memperoleh kekuatan dan tanggung jawab yang sangat besar.

***

Hutan Angkara

Di sebuah hutan hujan tropis yang lebat, terdapat rumah kayu berukuran kecil. Seorang pria dan wanita berpelukan penuh keringat. Menghangatkan tubuh dari tajamnya dingin malam yang menusuk kulit.

"Kita enggak bisa gini terus, Bram," ucap si wanita.

Pria yang berada di sampingnya tersenyum menatap sepasang mata getir wanita tersebut. "Kenapa? Aku sayang kamu."

"Sudah satu minggu ini aku telat datang bulan. Aku hamil, Bram ... nikahi aku."

Ekspresi pria yang dipanggil Bram itu mendadak berubah. "Ada konflik di keluarga Trimurti. Aku tidak bisa mempersungtingmu sebagai istri kedua untuk saat ini."

Mata wanita itu berkaca-kaca. "Kamu sayang aku, kan?"

"Ya, aku menyayangimu, Sri." Pria itu sontak bangun dan mengenakan pakaiannya. "Kau benar. Kita tidak bisa begini terus ... hubungan ini harus berakhir. Jika mereka semua tahu bahwa aku memiliki keturunan dari mu, ini akan menjadi sangat rumit."

Sri bangkit dan menarik tangan pria itu. "Bramasakti, bagaimana dengan anak di dalam perutku?"

"Gugurkan saja. Jika kau ingin membesarkannya, jangan beritahu siapa ayahnya. Ini semua demi kebaikanmu. Jika kau ingin terus hidup, patuhi perkataanku." Bramasakti berjalan menuju pintu.

"Semudah itu kau bicara, Bramasakti? Lantas, apa yang akan terjadi jika aku memberitahu pada semua orang bahwa anak di dalam kandungan ini adalah anakmu? Darah daging Arya Langit. Keturunan Trimurti."

"Sri. Keadaan di antara aku dan kedua saudaraku sedang tidak baik. Aku tidak bisa mempersuntingmu menjadi istri kedua untuk saat ini. Sebentar lagi Beringin Rajendra akan memilih siapa pemilik singgasana kosong di Bhartavia. Setelah itu, aku akan menemuimu lagi."

"Kapan? Bukankah itu masih beberapa tahun lagi? Aku tidak bisa menunggu."

"Gugurkan saja kandunganmu, Sri. Jika ia lahir dan kau membeberkan siapa ayahnya, tidak akan ada orang yang percaya. Kau akan dianggap gila." Bramasakti berjalan keluar rumah.

"Bagaimana jika mereka semua percaya?"

Bramasakti menghentikan langkahnya. "Sebelum itu terjadi, aku terpaksa harus membunuhmu." Ia melanjutkan kembali langkahnya.

Sri mengejar pria itu. "Arya Langit! Kembali!"

Bramasakti lagi-lagi menghentikan langkahnya, ia menoleh ke belakang dengan mata melotot. "Jangan panggil aku dengan gelarku, Sri Darmawati. Paham?"

"Aku akan mengugurkan kandungan ini, tapi jangan tinggalkan aku."

Bramasakti tersenyum. "Keputusan yang tepat. Beritahu aku jika kandunganmu sudah gugur. Semua akan kembali seperti sediakala." Ia berjalan pergi menyusuri hutan, meninggalkan Sri di sana seorang diri.

***

Satu bulan kemudian ...

Bangunan megah berbata merah dengan atap limasan yang dibentuk dengan genteng terakota itu adalah rumah inti Trimurti. Di tempat seluas itu masing-masing Arya memiliki rumah kecil. Bramasakti menatap seorang wanita yang baru saja keluar dari kamar mandi. Entah sudah berapa kali wanita itu mondar-mandir kamar mandi selama tiga hari ini.

"Kamu muntah lagi?" tanyanya.

Wanita itu mengangguk sambil memegangi perutnya. "Sudah satu minggu lebih aku tidak datang bulan, Mas Bram."

Bramasakti tersenyum tipis. Ia berjalan cepat ke arah wanita itu, lalu menyentuh pundaknya antusias sembari menatap kedua matanya penuh binar. "Kamu hamil, Wulan?"

Nawang Wulan, wanita itu ikut tersenyum. Senyum di wajah Bramasakti semakin mekar. Ia memeluk istrinya dengan bahagia. Ramalan Ki Nawasena menyebutkan bahwa dari ketiga Arya, hanya ada satu yang akan memiliki keturunan. Dan dialah manusia yang akan dipilih oleh Beringin Rajendra .

"Mas, ketika Beringin Rajendra berusia seratus tahun, kamu akan menjadi Raja, Mas," ucap Wulan. "Kelak anak ini akan menjadi seorang pangeran dan menjadi penerusmu untuk memimpin Bhartavia."

Tak pernah hadir rasa bahagia seperti ini dalam hidup Bramasakti dan Nawang Wulan. Kabar kehamilan Nawang Wulan pun tersebar dan disambut baik oleh warga Bhartavia dan para bangsawan. Arya Langit perlahan mulai mendominasi berbagai keputusan terkait banyak hal di Bhartavia.

Kabar ini juga sampai di telinga Sri Darmawati. Sudah satu bulan ia dan Bramasakti tidak bertemu. Kabarnya, Sri berusaha menggugurkan kandungannya, tetapi sepertinya anak di dalam rahimnya itu masih hidup. Entah, ia seperti diberkahi dan dilindungi oleh sesuatu tak kasat mata. Lambat laun, Sri mengalami depresi berat. Ia mengasingkan diri di dalam Hutan Angkara sendirian.

Berbeda dengan Nawang Wulan yang bahagia dan mendapat nutrisi bagus untuk kandungannya. Sri justru terlihat sering melamun. Pinggiran matanya agak menghitam, dan rambutnya terlihat acak-acakan. Kehamilan yang ia alami seolah merengut separuh warasnya. Semenjak Nawang Wulan hamil, Bramasakti benar-benar lupa akan kehadiran kekasih bayangannya tersebut.

Berharap anak itu mati di dalam kandungan, tapi nyatanya ia tak pernah mati. Sri menganggap hal itu adalah sebuah kesialan. Kelak, ketika anak itu lahir, tentunya beban hidup Sri akan bertambah. Dengan Arya Langit yang kini membuangnya, dengan apa ia akan memberikan makan anaknya? Sementara untuk dirinya sendiri saja Sri kesulitan.

Kehamilan di luar nikahnya pun membuat ia terpaksa mengungsi di kabin tengah Hutan Angkara. Akan menjadi sebuah aib jika ia terlihat hamil tanpa diketahui siapa ayahnya. Dilema. Ia pun tak bisa jujur tentang siapa ayah dari anak di dalam kandungannya. Entah Sri akan dianggap gila, atau justru Bramasakti akan membunuhnya. Tentu saja pria itu tak mau jika di tengah kebahagianya ada isu yang membuat Nawang Wulan menjadi banyak pikiran. Mungkin karena sudah lelah berusaha menggugurkan kandungan dan selalu berujung gagal. Sri mulai berpasrah diri dengan takdirnya.

***

Delapan bulan berlalu ... 

"Aaaaaaaarghh!"

Sri mencengkeram tepi kasur sambil terus menahan sakit. Bayi di dalam perutnya sudah memberontak. Ia menangis dan terus berusaha mengeluarkan bayi itu perlahan. Ia dorong bayi itu tanpa bantuan siapa-siapa. Sri terus menjerit, tapi tak seorang pun yang mendengarnya.

Pucuk kepala bayi mulai terlihat. Sri bernapas dengan cepat. Wanita itu berusaha mendorong bayinya hingga kepalanya keluar secara perlahan. Ia pegang kepala bayi itu dan menekannya sedikit ke bawah. Pada waktu yang sama, ia juga terus mendorong bayinya hingga bahu depannya keluar. Ia berusaha mati-matian untuk mengeluarkan bayi itu dari perutnya.

Setelah beberapa saat yang menyakitkan, Sri memeluk bayi yang kini sudah keluar utuh dan langsung menyelimutinya dengan selimut. Ia berbaring lemas. Tak ada siapa pun yang akan datang. Ia berharap Bramasakti datang hanya untuk sekadar membantu persalinannya, tapi itu adalah hal yang mustahil. Jangankan membantunya. Selama Sri hamil, sekadar menengok pun tidak.

Malam itu anak yang tak pernah diharapkan kelahirannya telah lahir. Tak seperti bayi pada umumnya, ia terdiam tanpa tangisan.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top