Epilog : Pembawa Lentera Murka
Sudah tiga puluh tahun berlalu sejak peristiwa berdarah di Bahrtavia. Kini Bhartavia menjadi kerajaan terbesar di tanah Kartanesia di pimpin Yudistira pertama, Satria Yudistira.
Siang ini sorak-sorai penonton memeriahkan pertandingan ajang seleksi Sadawira. Sembilan Sadawira sudah terpilih, menyisakan satu tempat kosong dalam barisan. Pertandingan terakhir ini menentukan siapa yang berhak mengisi barisan yang kosong itu.
"Lohia! Lohia! Lohia!" Para penonton meneriaki seorang pemuda dengan rambut belah tengah dari keluarga Lohia. Ken namanya. Pemuda tinggi, putih, tampan, dan bertubuh ideal. Ia menjadi salah satu kandidat terkuat pada seleksi kali ini.
Ken tersenyum remeh menatap pemuda yang berdiri di hadapannya. Pemuda itu sedikit lebih kekar dibandingkannya. Kulitnya agak gelap jika dibandingkan dengan Ken. Ia memiliki banyak hadiah pertempuran yang menghiasi tubuhnya. Bekas luka itu ia dapatkan dari pertarungan panjang. "Sebaiknya kau menyerah, rakyat jelata," ucap Ken.
Pria gondrong sepanjang pundak itu menyorot tajam sepasang mata yang memandangnya remeh. Ia tak banyak bicara dan sudah sangat siap untuk bertarung. Mulutnya memang diam, tapi hawa di sekitarnya yang beringas.
Wasit di tengah-tengah mereka menatap kedua petarung. "Ken Lohia melawan Koso Sakageni. Mulai!" Ia mundur dan membiarkan dua orang ini saling bertarung memperebutkan satu barisan kosong di pasukan Sadawira.
Koso langsung menerjang ke depan dan memberikan pukulan lurus mengarah pada wajah lawannya, tetapi Ken mampu menghindarinya dengan gerakan yang singkat dan efektif.
"Kita lihat, siapa pemenang antara kekuatan dan kecepatan," Ken mundur dua langkah untuk menjaga jarak dari Koso yang lebih kuat secara fisik darinya.
Lawannya itu tak membalas bicara. Koso berfokus melakukan serangan susulan, tetapi tiba-tiba sosok Ken sudah berpindah ke samping dengan langkah petir dan menendang kepala Koso hingga pemuda itu sempyongan.
Koso membenahi kuda-kudanya menatap Ken semakin tajam. Hawa di sekitar area memanas. Bukan karena terik mentari, tetapi tekanan atma yang diberikan seorang Sakageni.
"Majulah, pemarah!" Ken terus memprovokasi Koso. Membuat Koso berlari dan menerjangnya. Ken tersenyum, ia lihai menghindar dan berpindah-pindah tempat dengan kecepatannya.
Sebuah tinju bersarang di ulu hati Koso hingga sosok kekar itu agak terhentak ke belakang sambil memegangi bagian yang terpukul.
Tak ada yang mendukung Koso selain kedua orang tuanya. Semua bertaruh pada Ken. Ya, bukan taruhan namanya jika semua bertaruh pada satu sisi. Hanya saja, tak ada yang mau rugi. Untungnya seseorang membayar cukup banyak untuk kemenangan Koso, sehingga taruhan tetap diselenggarakan. Entah bodoh, entah mempertaruhkan sesuatu yang berbeda.
Kecepatan Ken membuat Koso kewalahan. Napasnya semakin berat tak beraturan. Keringatnya juga semakin deras bercucuran. Ken memojokkan Koso dengan serangan-serangan kecil, tetapi cukup berkala. Sementara Koso belum mendaratkan satu pukulan pun pada Ken.
Ken berhenti di depan Koso, masih dengan senyumnya. "Ayolah, jangan buat aku kecewa, Sakageni. Tunjukkan kemampuan terbaikmu. Atau kau mulai paham letak perbandingan kekuatan kita?"
Sepasang mata orang tuanya saling bertatapan. Ibunya mencengkeram lengan ayahnya. Mereka ingin Koso berada dalam barisan Sadawira, tetapi di sisi lain mereka tahu kemampuan Ken yang melanglang buana. Ken adalah keluarga Lohia yang menjadi salah satu dari sepuluh Keluarga Agung. Sudah pasti secara teknik ia lebih unggul dari Koso.
"Tak apa, masih ada kesempatan lain, Koso," ucap ibunya dari area penonton.
Koso memasang wajah lemas. Rasanya ia ingin tertawa saja. Dari semua yang ia harapkan mendukungnya, sosok itu kini malah menyuruhnya menyerah. Perlahan kepalan tangan itu melunak seiring dengan pudarnya cahaya semangat di mata pemuda itu. Suasana mendadak hening bagi Koso.
"JANGAN MENYERAH, KOSO!"
Semua mata menatap pada seorang pemuda tampan berambut agak ikal yang terkekeh dengan mata tertutup. Koso tiba-tiba tertawa di tengah pertarungan. "Aku pikir siapa, ternyata kau datang langsung untuk melihat pertandinganku meskipun kau tidak bisa melihat, NGARAI?!"
Pemuda bernama Ngarai itu memasang senyum. "Tentu saja. Kau berjanji untuk menjadi pengawalku, kan?"
"Ngarai Yudistira, tunggulah sebentar. Akan ku akhiri ini dengan satu pukulan telak." Koso merendahkan posisinya dengan kedua kaki melebar. Kaki kiri di depan, sementara yang kanan agak ke belakang. Tangan kirinya memegangi pergelangan tangan kanan yang terkepal di samping pinggang.
"Apa kau berpikir sudah menang dariku, Sakageni?" Ken tampak marah ketika merasa diremehkan oleh seorang rakyat jelata.
"Majulah, Lohia! Itu jika kau punya nyali. Apa kau bangga menang dengan teknik kabur-kaburan?"
"Kabur-kaburan?" Ken mengerutkan kening. "Dasar berengsek. Aku akan membunuhmu." Ia menggunakan wujud braja dan memusatkan seluruh listrik di area paha dan pergelangan kaki.
"Ya, seperti itu. Kita selesaikan secara jantan." Sakageni mengolah amarahnya menjadi energi api. Ia mengalirkan energi panas lewat peredaran darah. Kini jantungnya memompa dengan cepat, mengalirkan atma panas ke genggaman tangan kanannya. "AAARRGGGHH!" Koso berteriak keras seiring area yang semakin panas. Teriakannya membuat seluruh orang di alun-alun berkeringat dan merinding.
"HENTIKAN PERTANDINGAN INI!" teriak ayah Koso. "KOSO! JANGAN GUNAKAN JURUS ITU, KAU BELUM SIAP!"
Tatapan Koso semakin tajam menatap Ken. Tubuhnya mengeluarkan asap panas hingga kulitnya melepuh karena tak sanggup menahan panas suhunya sendiri. "Aku yang paling tahu siap tidak siapnya jurus ini untuk diriku sendiri. Maafkan aku, ayah."
"Matilah, Sakageni!" Ken menghilang dari pandangan Koso dengan langkah petir dan muncul di depannya dengan gestur memukul.
Koso menyeringai penuh gairah. Ken termakan provokasinya dan menyerang terang-terangan. "Kau yang mati, Lohia!" Ia melesatkan kepalan tangan kanannya. "LEBUR SAKETI!"
Sebuah ledakan membuat satu pohon yang berada tak jauh dari area pertarungan terbakar api. Pohon itu berada lurus tepat di depan Koso. Mata pemuda itu membulat utuh.
Mendadak waktu melambat untuk Koso. Refleksnya membuat Koso melirik ke arah atas. Ken berada di sana menutupi matahari. Ia menyeringai menatap Koso yang berada tepat di bawahnya. "Jangan salahkan aku. Seharusnya kau menyerah sebelum pertarungan ini dimulai."
Koso tak bisa menghindar. Lebur Saketi membebankan penggunanya. Teknik itu bagai pisau bermata dua.
"BRAJAMUSTI!" Ken melesatkan tinju petirnya ke arah Koso. Sebuah lesatan petir yang tercipta dari atma listrik Ken menghantam area tempat Koso berpijak dan membuat sebuah ledakan yang tak kalah dahsyat dari Lebur Saketi. Ken mendarat dan menatap kepulan asap yang menyelimuti Koso. Tak ada pergerakan.
Kepulan asap terkikis angin. Koso duduk berlutut tak bergerak dengan kedua bola mata memutih utuh. Ia tak sadarkan diri. Wasit berlari untuk melihat keadaan Koso. Tubuh pemuda itu berasap dan sangat panas hingga butuh penanganan ekstra dari orang yang lebih tinggi ilmunya. Ketika seorang relawan dari Sepuluh Keluarga Agung datang dan mampu menyentuh kulit Koso, ia terbelalak, lalu menggeleng ke arah wasit. Ayah dan ibu koso mengeluarkan air mata.
"Peserta meninggal di tempat," tutur relawan itu.
***
Di sisi lain Koso sedang berdiri di arena menatap raganya sendiri. Tali perak yang menghubungkan rohnya ke raga sudah terputus. Melihat kedua orang tuanya menangis, Koso kecewa pada dirinya sendiri. Terlebih, ia gagal menepati janjinya pada Ngarai. Bukan hanya kalah dan gagal, ia juga mati.
"Khekhekhe ...."
Koso sontak menatap ke belakang. Tak ada siapa pun. Ia menoleh sembarang arah mencari suara kekehan itu, tapi tak ia temukan siapa pun. Waktu berhenti. Koso memicing menatap keanehan ini.
"Apa yang terjadi?" gumam Koso bingung.
"Aku bisa membuatmu hidup kembali dengan kekuatan yang jauh lebih kuat."
"Siapa itu?!" Koso menoleh ke arah kiri. Dilihatnya seorang pemuda mirip dengannya, tetapi kulitnya berwarna merah darah. Sosok itu tak memiliki wajah, tetapi ia memiliki mulut yang sedang menyeringai.
"Aku adalah kau, dan kau adalah aku. Kita satu."
"Aku tahu siapa kau." Koso menatapnya tajam. "Iblis!"
"Khekhekhe mari kita buat kesepakatan."
"Tidak ada kesepakatan. Lebih baik aku mati daripada membuat kesepakatan dengan iblis!"
"Benarkah begitu?" Sosok itu muncul di belakang Koso sambil dagunya menempel di bahu pemuda itu.
Koso menjaga jarak dan berusaha melawan, ia menoleh dan hendak menyerang, tetapi jari makhluk itu menusuk ke dalam kening Koso hingga berdarah. Rasanya Koso ingin muntah, waktu berjalan begitu cepat hingga ia melihat sosok ayahnya yang sedang membalas dendam pada Ken.
"Ayah?" Koso melihat ayahnya membunuh Ken.
"Kebencian hanya akan melahirkan kebencian lainnya, dendam hanya akan menyalakan api peperangan, kesedihan hanya akan memperkuat rantai kedengkian. Hidup sejatinya adalah roda angkara."
"Apa yang terjadi?" tanya Koso.
"Kelak, Ayahmu akan membalaskan dendam atas kematianmu," jawab makhluk merah itu.
Waktu kembali maju hingga menampilkan tiga orang anggota keluarga Lohia mengeroyok ayah Koso. Makhluk merah menunjuk tiga orang itu. "Dan mereka membalaskan dendam atas kematian Ken. Sakageni dan Lohia akan bertempur. Lohia memiliki Yudistira dan sembilan keluarga lainnya. Apa yang dimiliki Sakageni? Khekhekhe."
Koso terdiam seribu bahasa.
Makhluk itu menatap Koso tepat di depan wajahnya. "Hanya karena si anak lemah ini. Keluarga Sakageni akan dibantai dan dihapus keberadaannya dari dunia karena dianggap memberontak khekhekhe."
"Hey ...." Koso penuh tatapan kosong menatap pada jasad ayahnya. Ia membara penuh api murka. "Mari buat kesepakatan." Ia menyodorkan tangan untuk bersalaman.
Sosok merah itu menyeringai lebar menjabat tangan Koso. "Itu baru keputusan yang tepat. Aku kembalikan nyawamu. Gunakanlah kekuatanku sepuasmu khekhekhe."
***
Hay Gayung! Gimana, gimana? Lanjut enggak?
BTW, ada yang expect enggak sih kalo ternyata Jentaka itu adalah asal muasal Jiwasakti? Buat yang belum tau siapa itu Jiwasakti. Yaaaa, baca Mantra Universe deh. Nama Jiwasakti ini pertama kali muncul di series Mantra Coffee Next Generation.
Selain Universe Mantra. Aku mau buat Heptalogi. Eh--kayaknya sih enggak ada istilah Heptalogi ya? Eh apa ada ya? Bodolah. Ya intinya 7 cerita bersambung. Jiwasakti dan 7 Keluarga Terkutuk.
Sebenernya cerita ini tuh Prekuelnya Prajurit Sangkumang yang tak kunjung berlanjut. Prekuel ini bakal ngelahirin 6 sekuel nyahaha. Pertama Angkhara, terus kedua ada Sakageni ....
Aku mau nerbitin series-series ini dengan versi cetak yang agak berbeda dengan versi wattpadnya. Sebetulnya buat koleksi aja, tapi kalo ada yang mau beli bisa juga kok. Insyaallah harganya murah karena halamannya enggak sebanyak novel. Wajar, ini short novel jatohnya.
Bingung mau bilang apa lagi, enggak biasa buat author note's gini. Ya udah lah ya, ditunggu aja series kedua Jiwasakti dengan judul 'Sakageni : Pembawa Lentera Murka"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top