9 : Sang Jentaka

"Ssstt ...."

Gayatri menoleh ke arah jendela. Ia menatap Rangsa yang sedang mengintip. "Rangsa?" Gayatri berjalan ke arah jendela dan membukanya.

"Kita harus pegi malam ini juga," ucap Rangsa.

"Bagaimana dengan Jentaka? Kita tidak bisa meninggalkannya," jawab Gayatri.

Mendengar jawaban Gayatri, Rangsa tersenyum. "Tenang, aku sudah berbaikan dengannya. Ia akan ikut pergi."

Gayatri tersenyum. "Benarkah?"

"Ya. Ayo bergegas."

Gayatri tak membawa banyak barang. Ia berjalan berpayungkan pelepah pisang. Rangsa membawa beberapa barang gayatri yang sudah terbungkus kain. Mereka menyusuri Hutan Angkara dan berteduh di kabin tua yang terlihat rapi. Ada satu tempat tidur besar di sana.

"Kamu tunggu sini dulu. Aku akan menjemput si bodoh itu," tutur Rangsa.

"Aku ikut."

Rangsa memegang pundak Gayatri. "Kamu tunggu di sini." Ia menyerahkan robekan kertas berisi peta pada Gayatri. "Aku akan menjemput Jentaka. Dia ada urusan sebentar. Sebelum fajar terbit, kami sudah berada di sini."

"Berjanjilah untuk kembali dengan selamat. Perasaanku tidak enak," ucap Gayatri.

Rangsa tersenyum. "Ya, kami akan kembali dengan selamat." Pemuda itu berlari keluar. Sementara Gayatri menyentuh pundaknya. Ia merasa bahwa yang barusan ada di hadapannya adalah Jentaka. Rangsa dan Jentaka jelas berbeda, dan Gayatri paham semua perbedaan itu. Ia menatap hujan dari balik jendela dengan murung. Perasaannya sungguh tak enak malam ini.

***

Di sisi lain Rangsa berdiri dengan tatapan kosong. Ia merendahkan posisi tubuhnya serendah mungkin dan berfokus menguatkan otot kedua pahanya. Ia merasakan sebuah letupan energi yang menggebu-gebu dalam dirinya.

"Kalian menyebutku Jentaka ... maka berbahagialah. Malam ini aku akan memberikan jentaka itu pada kalian ...."

Sosok Rangsa melompat tinggi hingga tak terlihat lagi dari posisinya berpijak. Ia mendarat di tengah kota dan membuat sedikit guncangan hingga beberapa warga keluar karena berpikir bahwa yang barusan itu adalah gempa bumi. Mereka semua menatap sosok berjubah hitam itu yang sedang membungkuk dengan kedua kaki dilebarkan. Angin seakan berpusat pada pria itu. Ia menjadi sorotan warga yang keluar rumah untuk berlindung.

"Apa yang kau lakukan di tengah hujan seperti ini?" tanya salah satu penduduk Bhartavia.

Seketika itu keadaan hening. Mereka seolah tak bisa mendengar apa pun selain dengungan lirih di telinga mereka. Angin seakan sirna dari dunia. Tak mereka rasakan hembusannya, padahal sedang badai.

Jubah pria itu tersingkap angin hingga menampilkan sosoknya. Rangsa bergumam sesuatu.

"Apa yang dia bilang?" tanya seorang penduduk pada orang di sampingnya.

"Akulah sang pembawa jentaka ...." Rangsa menyeringai. Sebuah gelombang atma menghancurkan sebagian rumah dan juga menghempaskan warga yang berada di sekitarnya. Pusat gelombang itu adalah tempat Rangsa berpijak. "Selamat malam, selamat bermimpi indah khekhekhe."

Para Sadawira berbondong-bondong muncul dan menolong penduduk yang terluka. Sebagian mengepung Rangsa.

"Rangsa! Apa yang kau lakukan?!" tanya seorang pria berewok dengan rambut disanggul. Sosok itu adalah ayah dari Rangsa. Kepala keluarga Sagara, Kerto Sagara. Pria itu mendekat, tetapi sebuah tangan menariknya.

"Jangan mendekat, itu bukan anakmu!"

Kerto menatap Arya Langit yang datang bersama Arya Bumi dan Arya Samudera. Melihat ketiga Arya ini datang, penduduk Bhartavia merasa tenang.

"Khekhekhe ... menarik." Rangsa menatap Arya Langit sambil menyeringai. Ia menarik napas, lalu menahannya.

Semua mata terbelalak. Sosok Rangsa menghilang dari pandangan.

"Aku adalah putra dari Sri Darmawati. Wanita yang kau buang. Aku adalah putramu, AYAH!"

Arya Langit mencengkeram lengan Rangsa yang baru saja menembus perutnya dari belakang. Kuku-kukunya panjang seperti bukan milik manusia.

"Arya Langit!" Arya Samudera menebas sosok Rangsa dengan sebilah tombak, tetapi sosok itu menghilang kembali dan muncul di salah satu atap rumah yang setengahnya hancur. Rangsa menyeringai sambil melempar-lempar sesuatu di tangannya.

"Selamat tidur, Ayah. Berlutut dan memohon maaflah pada Ibu," tutur Rangsa.

Bramasakti terjatuh dengan dada kiri berlubang. Rangsa baru saja mengambil jantungnya. Di tengah kegaduhan itu, sebuah cahaya bersinar dari arah rumah inti Trimurti. Cahaya itu menembus langit kelam sampai entah ke mana.

"Maheswara, Sagara, Wijayakusuma, Martawangsa, Saksana, Gardamewa, Lohia, Kusnendar, Kuncoro, Antakesuma, dengarkan aku! Para kepala keluarga abdi Trimurti. Lindungi Satria Langit dan bawa dia ke Beringin Rajendra!" teriak Arya Samudera.

"Kami berdua akan menahan bedebah ini!" timpal Arya Bumi.

Kesepuluh kepala keluarga berlari menuju rumah inti Trimurti mengikuti arahan dari Arya Samudera.

"Jangan lengah, yang satu ini kuat!" ucap Arya Samudera.

"Tentu saja. Ia membunuh Arya Langit dengan sangat mudah," balas Arya Bumi.

"Jangan lari!" Rangsa melesat mengejar para kepala keluarga.

"Lawanmu ada di sini!" Arya Bumi menghentakkan tombaknya ke tanah. Seketika itu sebuah batu muncul dari bawah tanah dan membentuk sebuah kubah. Ia mengurung Rangsa dan juga dirinya sendiri, beserta Arya Samudera di dalam benteng batu.

"Kita bunuh dia secepatnya," timpal Arya Samudera.

Keadaan mendadak gelap. Tak ada cahaya yang dapat menembus benteng batu milik Arya Bumi. "Cih! Kalian membuang waktuku," ucap Rangsa.

Mau tak mau ia harus berhadapan dengan dua Arya itu. Rangsa menyeringai. Ia dapat melihat dengan jelas di tengah kegelapan.

***

Di sisi lain, Satria dibawa menuju Beringin Rajendra.

"Tuan muda, Prabu Arya Langit gugur dalam pertempuran," ucap salah satu kepala keluarga.

"Ayah ...." Satria tampak terkejut dengan itu semua.

"Lanjutkanlah harapan negeri ini. Prabu memang sudah tiada, tapi ia gugur dengan membawa harapan. Terimalah kekuatan ini sebagai warisan darinya. Dudukilah tahta Raja dari segala Raja." Kesepuluh kepala keluarga duduk mengelilingi Beringin Rajendra. Keris-keris mereka melayang dengan sendirinya dan menusuk beringin itu. Mereka tak henti-henti merapalkan mantra. Keris-keris itu berputar seperti sebuah kunci. Beringin Rajendra tiba-tiba terbuka, seolah ada sebuah portal di dalamnya.

"Cepat! Kami tidak bisa menahannya terlalu lama, Tuan."

Satria mengangguk. Ia bertapa di depan Beringin Rajendra dan melakukan rogo sukmo. Rohnya masuk ke dalam Beringin Rajendra. Ketika memasuki pohon tersebut. Satria berada di tempat yang serba putih. Ada dua orang yang sedang duduk menunggunya. Satu orang ia kenali, Kakeknya sendiri, Ki Nawasena. Satunya lagi asing.

"Duduklah," ucap Nawasena.

"Ada pertempuran di luar. Aku tidak bisa bersantai di sini, Kek," ucap Satria.

"Ya, kami tahu. Ini merupakan sebuah aliran takdir yang tak terduga," lanjut Nawasena. Ia menatap ke arah pria di sampingnya. Pria berpakaian Raja itu itu mengangguk. Ia berjalan ke arah Satria.

"Semua yang ada di dunia ini memiliki makna. Satu untuk semua, dan semua untuk satu. Kelak, negri ini akan berharap padamu, maka penuhilah harapan mereka. Di balik kekuatan besar, ada tanggung jawab yang besar. Sepuluh abdi yang membuka gerbang ke tempat ini dengan suka rela membagikan kemampuan mereka padamu. Gunakanlah sebijak mungkin." Pria itu tersenyum dan memasangkan mahkota pada Satria.

"Siapa anda sebenarnya, Tuan?" tanya Satria.

"Aku adalah roh pelindung yang memerangi para roh jahat. Namaku Barong. Kau yang akan mendapatkan kekuatanku disebut Sang Yudistira. Mulai sekarang, nama belakangmu adalah Yudistira. Satria Yudistira." Barong dan Nawasena berjalan pergi meninggalkan Satria seorang diri.

Satria membuka matanya. Ia sedang duduk bertapa di kelilingi sepuluh abdi Trimurti yang tampak letih. Cahaya di pohon itu memudar dan padam.

"Istirahatlah. Biar aku urus sisanya," tutur Satria. "Mulai sekarang, namaku adalah Satria Yudistira."

"Yang mulia." Seorang kepala keluarga berlutut sambil memberikan sebilah tombak. "Terimalah hadiah dari keluarga Maheswara. Tombak ini bernama Panatagama. Tombak penghubung tiga dunia."

Satria menggenggam tombak itu. "Terimakasih. Akan ku gunakan tombak ini sebijak mungkin." Setelah mengambil tombak Panatagama, Satria menghilang dari pandangan sepuluh abdi.

***

Di sisi lain, benteng batu tiba-tiba hancur. Dari area batu yang hancur, Rangsa keluar menenteng dua kepala Arya. Ia menyeringai menatap seluruh warga yang ketakutan dan lemas. Para anggota keluarga Trimurti dilumat habis dengan mudah oleh sosok menyeramkan itu.

"Cukup, keluarlah dari tubuh Rangsa!" tutur Satria yang tiba-tiba muncul di hadapan Rangsa.

Rangsa semakin menyeringai. "Khekhekhe ... akhirnya kau datang juga, adikku."

Satria mengerutkan keningnya. "Apa kau bilang?"

"Jika aku adalah adikmu, maka aku takkan memanggilmu Satria Langit, atau pun Tuan Muda. Sebab namamu adalah Ragasakti."

Satria terbelalak mendengar itu. Hanya ada satu orang yang ada dalam kepalanya mendengar ucapannya barusan. "Jentaka?"

"Khekhekhe ... ya, ya, ya Jentaka. Seperti halnya Jentaka, Satria hanyalah sebuah simbolis dari seorang yang akan melindungi negeri ini. Si pembawa sial, Jentaka, dan si pelindung, Satria."

"Apa yang kau inginkan, Jentaka? Balas dendam pada Bhartavia?"

"Biar aku luruskan satu hal padamu. Aku punya nama. Namaku adalah Jiwasakti."

"Apa yang kau harapkan dengan membunuh orang-orang, Jiwasakti?!"

Jiwasakti menatap Yudistira dengan penuh amarah. "Aku datang untuk merebut apa yang kalian miliki, seperti halnya yang kalian rebut dariku!" Ia melesat ke arah Yudistira.

"Dwi hasta antargata."

Satria menempelkan kedua tangannya. Dua buah tangan raksasa tak kasat mata muncul dari tubuhnya. Ia menggerakkan tangan kanannya, seketika itu Jiwasakti terhempas karena tamparan tangan kanan raksasa milik Satria. Yudistira itu menggunakan kemampuan keluarga Gardamewa.

"Rogo Braja."

Kini ia menggunakan tektik milik keluarga Lohia yang mampu memanipulasi listrik dalam tubuh dengan atma. Wujud Satria agak bercahaya dengan kilatan putih kebiruan, listrik menyelimuti raganya. Rambutnya agak tertarik ke atas.

"Langkah petir!" Sosoknya menghilang dari pandangan Jiwasakti.

"Maafkan aku, Jentaka ... kau harus pergi." Satria muncul di belakang Jiwasakti dan menghujam tombak Panatagama ke arah pemuda dengan sosok Rangsa itu.

Jiwasakti berbalik dan menangkap tombak Panatagama. "Masih saja memanggilku begitu setelah ku beritahu namaku. Dasar kurang ajar." Jiwasakti mengumpulkan atma. Namun, perlahan atma yang ia serap berbubah warna menjadi hitam. Atma yang pekat dengan kebencian. Atma hitam itu berkumpul ke tinjunya dan menghantam perut Yudistira hingga terpental jauh, membentur salah satu dinding rumah.

"Akan ku hancurkan harapan mereka semua dengan membunuhmu, SANG YUDISTIRA!" Jiwasakti melesat dan mengincar dada lawannya dengan kuku panjang untuk mencabut jantung Yudistira, tetapi kuku-kuku itu patah ketika menghantam kulit Satria.

"Bertekad baja, berjiwa kokoh. Itulah yang membuat keluarga Kuncoro kuat. Darani Saketi!" Satria membalas tinju Jiwasakti dengan pukulan sekeras batu. Kini sosok Rangsa yang terpental hingga bermuara pada dinding Bhartavia.

Berbondnog-bondong para kepala keluarga datang bersama anggota keluarga untuk membantu Yudistira.

"Satu untuk semua, semua untuk satu," tutur Satria yang memojokkan Jiwasakti.

"Khekhekhe ... kalian semua benar-benar bedebah!" Mata kanan Rangsa berwarna hitam dengan dengan iris biru. Penjara Jiwa hadir di tangan kiri Rangsa.

Kerto memicing menatap buku itu. Buku Penjara Jiwa yang satu ini adalah pemberian keluarga Sagara untuk Ki Nawasena. Di dalam buku itu terdapat roh-roh jahat yang sangat kuat dan tak bisa dikendalikan. Roh tersebut ada bukan sebagai peliharaan, tetapi sebagai tahanan Penjara Jiwa.

"Jangan biarkan dia memanggil para lelembut!" teriak Kerto.

Terlambat. Sosok Rangsa mengoyak tangannya sendiri dan membanjiri buku itu dengan darahnya. Dari setiap sudut bayangan di Bhartavia muncul sosok-sosok mengerikan yang tak bisa dilihat sembarangan orang.

Sesosok pocong bertangan empat yang membawa dua payung pengantin berdiri menatap mereka semua. Ada juga pocong yang kain kafannya sudah terkoyak, melayang seperti sulur-sulur dan menampilkan kaki serta tangannya. Geraman yang berasal dari kepala serigala raksasa tanpa tubuh juga membuat orang yang bisa melihatnya merinding. Liur makhluk itu menetes dan mengikis tanah. Masih banyak makhluk mengerikan yang berdiri menghuni Bhartavia.

"Ini bencana ...," gumam Kerto melihat setan-setan itu. "Ada hal yang aneh. Roh-roh jahat itu tak bergerak seolah menunggu komando. Jika makhluk yang menghuni tubuh Rangsa bisa mengendalikan mereka semua, ini benar-benar bencana."

Yudistira maju hingga berada di depan para abdi Trimurti. Ia memutar tombak Panatagama dan menebasnya secara horizontal. Sebuah retakkan muncul dan pecah. Dari retakkan itu keluar banyak makhluk tak kasat mata dengan pakaian-pakaian khas kerajaan.

"Jangan takut! Aku, Sang Yudisitra ada di pihak kalian! Raja dari segala Raja! Aku juga punya pasukan dari alam sebrang!" Sebuah topeng singa Bali muncul di tangan kanan Satria. Ia mengenakan topeng itu seperti para Martawangsa. "Perang baru saja dimulai. Temani aku sampai akhir, Barong."

.

.

.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top