8 : Pertumpahan Darah di Hutan Angkara
Napasnya memburu seiring derap langkah yang terpontang-panting. Rangsa berlari dipecut waktu, hingga pada satu kesempatan ia berhenti di depan batu besar tempatnya dan Jentaka sering bertemu.
"Jentaka, ke mana kau pergi?" gumamnya lirih dengan napas tersengal-sengal. Tak ada sosok Jentaka di sana.
Rangsa bersandar sejenak pada batang pohon dengan kaki gemetar. Entah lelah, entah ketakutan. Wajar, temannya dalam bahaya yang sangat serius. Salah satu dari empat Ashura menargetkannya untuk dibunuh. Manakala Ashura itu adalah penyandang gelar Suryatama, pembunuh yang paling brutal membantai korbannya.
"Kenapa harus Suryatama?! Sial!"
Rangsa menutup mata. Ia mencoba rileks dalam mengatur napas. "Ayo kaki ... bergerak!" Pemuda itu memukul kedua lututnya yang menolak untuk terus berlari. Tanah lumpur di tengah badai ini juga menjadi salah satu alasan kenapa kakinya berat untuk melangkah. Perlahan sepasang kaki itu tenang seiringan dengan napas yang sudah menemukan ritmenya. Ia segera melanjutkan pencarian Jentaka kembali.
Namun, ketika baru beberapa langkah berlari, tiba-tiba Rangsa merasakan panas di tengah hujan badai ini. Langkahnya mendadak terasa semakin berat. Sesak, seperti jantungnya sedang diremuk. Ia meneguk ludah sambil diam membeku di antara rintik hujan seakan di depan lehernya ada sabit dewa kematian yang menempel dan menunggu untuk diayunkan. Rangsa menoleh ke atas batu besar. Siluet seorang pria kekar dengan dua senjata besar, membuat bulu kuduk Rangsa berdiri.
"Apa yang kau lakukan di sini, Rangsa?" ucap Suryatama dengan suara berat penuh tekanan.
Rangsa tersenyum. Berusaha tak menampilkan raut wajah terintimidasi dengan tekanan yang diberikan Suryatama. "Aku butuh beberapa bahan untuk penelitianku," jawab Rangsa.
"Sampai harus berlari?"
"Ya, lebih cepat lebih baik," jawab Rangsa lagi. "Kau sendiri sedang apa di sini?"
Suryatama melompat ke bawah. Alasnya berpijak tak mampu menahan beratnya sehingga bagian mata kaki pria itu tenggelam di tanah.
"Aku dengar kau adalah teman bocah itu?" tanya Suryatama. Ia mengatur ulang posisinya berdiri dengan lebih sempurna.
Rangsa mengerutkan dahinya berpura-pura tak mengerti maksud perkataan Suryatama. "Bocah siapa?"
"Yang dipanggil Jentaka," jawab Suryatama.
"Mungkin kau salah dengar. Terkadang rumor itu tidak selamanya benar."
"Aku diperintahkan untuk membunuhnya," ucap Suryatama. "Kau tahu, Rangsa? Aku akan melakukan segala hal untuk menuntaskan pekerjaanku. Meskipun itu artinya aku harus membunuh anak seorang Sagara."
"Jaga bicaramu, Suryatama," ucap Rangsa mencoba mengintimidasi balik.
"Aku pandai membaca ketakutan seseorang. Saat ini kau sedang takut, Rangsa. Apa yang kau takutkan? Kematian temanmu, atau kematianmu?"
Rangsa meneguk ludah. Namun, ia tetap berusaha menunjukkan bahwa ia bukan buruan. "Aku takut membuat Prabu Arya Langit marah karena melihat jasadmu, Ashura."
"Maaf, aku hanya bercanda." Suryatama tersenyum. Ia menghela napas dan menghentikan tekanannya pada Rangsa. "Baiklah, jika kau memang tak kenal siapa dia dan tak tahu di mana dia. Aku akan pergi." Pria kekar itu memutar tubuhnya membelakangi Rangsa. Ia sepertinya enggan bertarung dengan seorang Sagara.
"Semoga berun ...." Rangsa terbelalak sambil merendahkan posisi tubuhnya. Dalam tayangan lambat, sebuah pisau besar melesat secara vertikal hingga berjarak hanya beberapa inci saja di depan matanya.
Hal gila baru saja terjadi. Suryatama tiba-tiba berbalik dan memutar rantainya di udara, lalu mengayunkannya ke arah Rangsa dengan cepat dan kuat secara menyamping. Rangsa berhasil mengelak dengan menjatuhkan diri ke tanah, tetapi pohon di belakangnya tumbang karena sabetan pisau besar barusan. Kini pelindung Jentaka itu berkeringat dingin. Ketakutannya menjadi nyata. Monster di hadapannya mengincar nyawanya.
'Menebang pohon dengan senjata seperti itu?! Dan lagi ... sekali sabetan?! Orang ini gila!' batin Rangsa.
Suryatama merubah eksperi wajahnya menjadi penuh amarah. "Dari mana kau tahu bahwa Prabu Arya Langit yang memerintahku?" tanya Suryatama.
Rangsa menyeringai dengan sebelah mata berwarna hitam dan iris biru. Di tangannya ada sebuah buku hitam. "Akan ku beritahu satu hal, Suryatama. Kau tidak akan pernah menemukan Jentaka. Dia sudah pergi dari Bhartavia. Perihal dari mana aku tau, itu bukan urusanmu."
"Yah, kita lihat saja. Akan ku pastikan kau belum mati malam ini. Aku akan membawa kepala bocah itu setelah membuatmu sekarat dan menunggu! Setelah bocah itu mati, berikutnya giliranmu pengkhianat." Suryatama menarik kembali pisaunya dan memutar rantainya di atas kepala kembali. Ia melesatkan pisau itu sekuat tenaga secara vertikal sambil berlari maju.
Rangsa lagi-lagi menunduk dan berhasil menghidar, tetapi kali ini sebuah gada besar berada tepat di atas tubuhnya seolah ingin menumbuknya.
"Akan ku buat remuk tulangmu!" teriak Suryatama sambil terkekeh. "Berdiamlah di tempat ini sampai aku berhasil membunuh rekanmu!"
Sebuah tangan menahan serangan Suryatama. Tangan besar dan berbulu hitam lebat. Rangsa tersenyum. "Habisi dia, Ganda!"
Genderuwo raksasa yang keluar dari buku hitam Rangsa kini mengayunkan gadanya dengan satu tangan secara vertikal ke arah Suryatama.
Suryatama tersentak dan bergeser beberapa inci dari posisinya, tetapi dengan satu tangan juga ia menahan gada tersebut. Ashura itu menyeringai penuh aura membunuh, membuat Rangsa merinding.
"Aku tarik kata-kataku, Rangsa. Kau akan ku bunuh duluan!"
Menghadapi Ashura bukanlah hal yang mudah. Rangsa memikirkan seribu satu cara untuk mengalahkannya, dan membuat simulasi serangan dalam kepalanya. Sementara itu makhluk-makhluk astralnya mengeroyok Suryatama untuk memberikan waktu pada Rangsa.
Keringat dingin makin membasahi tubuh Rangsa. Pasalnya, ia tak menemukan skema apa pun untuk bisa kembali hidup-hidup dari Ashura di depannya.
'Berbeda dengan ketiga Ashura lainnya, Suryatama mampu mendeteksi ketakutan seseorang. Untuk kabur darinya agak sulit, karena harus menghilangkan rasa takut itu sendiri. Sial!' batin Rangsa.
"RANGSA!" teriak Suryatama. Roh-roh milik Rangsa mendadak lenyap dilumat aura membunuh pria itu. Hanya Ganda yang tersisa.
'Aku bisa saja mengeluarkan beberapa roh kuat, tapi itu beresiko. Arwah-arwah ini tidak bisa diatur. Bahkan oleh Ki Nawasena.'
Suryatama menyeringai sambil membungkukkan badan. Ia mengambil ancang-ancang untuk melesat. Seperti biasa, ia ayunkan pisau besar miliknya di udara.
"Bersiap, Ganda!" Rangsa ikut merendahkan posisi tubuhnya. Ia memusatkan atma pada kepalan tangan untuk menyerang Suryatama. Di depan pemuda itu ada Ganda yang akan menjadi tamengnya jika Suryatama menyerang dengan pisau besarnya. Rangsa mencoba membuang rasa takutnya dan terus mengumpulkan atma sebanyak-banyaknya.
Suryatama menyeringai. Ia lemparkan rantai berujung pisau besar itu secara horizontal. Kali ini ia berniat memotong Rangsa menjadi dua bagian dari atas.
Ganda menahan serangan itu dengan gadanya. "Terimakasih, Ganda." Rangsa dengan cepat melesat ke arah Suryatama sebelum ia menarik pisaunya kembali. Pada satu titik Rangsa menghentikan langkahnya dan bertumpu pada kaki kirinya sambil melesatkan sebuah pukulan jarak jauh menggunakan tangan kanannya.
"Tapak Niskala."
Pukulan tak terlihat.
Sebuah lesatan atma menghantam perut Suryatama hingga terpental dan memuntahkan darah dari mulutnya.
Rangsa duduk berlutut karena letih. Ia menatap lawannya yang berbaring. Sorot mata Rangsa tegas dan tajam mengarah pada Suryatama. "Jangan remehkan anak dari keluarga Sagara ini."
Suara kekehan itu membuat Rangsa merinding. Suryatama terbahak-bahak sambil berbaring menatap langit. "Bocah ini sekarang sudah bisa mengendalikan atma rupanya." Pria itu bangkit dan memutuskan rantai berpisau dari gagang gada besinya. Ia berjalan ke arah Rangsa hanya membawa gada besi raksasa.
Rangsa berusaha bangkit dan mengumpulkan atma lagi. "Ganda!"
Genderuwonya tak kunjung datang. Rangsa menoleh. Dilihatnya sosok besar itu sudah terbelah dua bersamaan dengan gada yang digunakannya untuk menahan serangan Suryatama sebelumnya. Serangan Suryatama membantai roh itu dengan tragis.
"Apa hanya segitu?" tanya Suryatama.
Rangsa mengangkat tangan kanannya secara terbuka. Cahaya biru agak pudar muncul dari berbagai penjuru hutan dan membaur dengan tangannya. Pemuda itu menutup matanya. "Pinjamkan aku kekuatan kalian, wahai penghuni Hutan Angkara," tutur Rangsa.
Suryatama kembali memasang kuda-kuda untuk menerjang. Ia menyeringai dan kemudain berlari melesat ke arah Rangsa.
Di sisi lain Rangsa memusatkan atma di tangan kanannya yang berlapis roh dan membaur bersama energi Hutan Angkara. Ia memasang kuda-kuda bertahan dengan posisi rendah.
"Perluasan atma ...," tutur Rangsa lirih.
Atma yang menyelimuti tubuhnya seketika itu meluas menjadi sebuah area bundar tak kasat mata. Apa pun yang menunjukkan pergerakan di dalam area itu, atau apa pun yang memasukinya akan terdeteksi oleh Rangsa. Namun, Rangsa jadi kehilangan pertahanan sipiritualnya. Sebuah konsep pertukaran. Daripada pertahanan, ia lebih memfokuskan untuk mempertajam deteksinya untuk melakukan serangan balik. Sangat beresiko mengingat Suryatama begitu kuat. Satu serangan bisa menyebabkan kematian.
Ketika Suryatama masuk ke dalam jangkauan serangnya, Rangsa langsung melesatkan serangan terkuat miliknya ke arah di mana Suryatama memasuki area perluasan atma tersebut.
"Waringin Sungsang." Sebuah teknik yang ia buat untuk melawan kekuatan hitam.
Suryatama terbelalak. Ia menahan napas dan menghantam Rangsa dengan gadanya tepat di bagian dada. Rangsa terkejut, pria kekar itu melumat atma dan pukulannya dengan gada yang ia pegang.
Rangsa memuntahkan darah dari mulutnya dan terlempar jauh. Tubuhnya menabrak pohon besar dan terkulai lemas di tanah. Ingin bernapas, tapi rasanya tak bisa. Rusuknya remuk dan beberapa tulangnya patah. Pemuda itu tak bisa bergerak. Ia hanya bisa terdiam sambil mengalirkan darah secara berlahan dari mulutnya. Pandangannya perlahan pudar.
Suryatama berjalan ke arah Rangsa sambil mengambil kembali pisau besarnya di tanah. Ia menyeret pisau yang tergantung pada rantai itu dan berhenti tepat di depan Rangsa. Pria kekar itu menatap Rangsa penuh rasa iba.
"Seandainya kau tidak berusaha menyembunyikan orang itu, mungkin besok kau masih bisa bangun dari tidurmu." Suryatama mengangkat pisaunya. "Akan ku akhiri ini dengan cepat, tanpa rasa sakit."
"RANGSAAAA!" Dari atas pohon. Jentaka melompat dan mendarat di antara Suryatama dan Rangsa. Ia menenadang pria kekar di hadapannya hingga agak menjauh dari Rangsa. Belatinya ia cabut dari sarung dan memasang kuda-kuda memburu.
"Bodoh ... sedang apa kau di sini ... lari ...," gumam Rangsa lirih.
Jentaka terdiam tak membalas ucapan Rangsa.
"Lari ... Jentaka ...."
"Diam, jangan banyak bicara Rangsa. Nanti kita bicarakan sehabis mengalahkan orang itu." Jentaka menatap tajam ke arah Suryatama. Sejenak ia menoleh ke arah Rangsa. "Jangan khawatir."
Tiba-tiba Jentaka terjatuh. Ia berusaha bangkit tapi tak bisa. Perlahan pahanya terasa perih. Ia tak tahan dengan rasa perih itu dan berteriak sekeras mungkin.
"Kau tidak punya waktu berpaling di hadapanku, Bocah," ucap Suryatama yang baru saja melemparkan pisau berantainya dan memotong paha kiri Jentaka.
"AAAAARGH!" Jentaka memegangi pahanya yang terus mengeluarkan darah.
"Bodoh ... sudah aku bilang lari ...," ucap Rangsa. Ia tak bisa bergerak. Pandangannya semakin kabur.
Suryatama menarik kembali pisaunya dan menyeretnya seiring langkahnya menuju dua sahabat itu. Jentaka menatapnya penuh amarah.
"Orang itu ... adalah Ashura ...dari keluarga ... Wijayakusuma. Dia ... diperintah oleh ... Arya Langit ... untuk ... membunuhmu ...."
Mendengar kata Arya Langit membuat Jentak terkekeh. Semakin lama kekehannya semakin beringas kesetanan.
"Apa yang lucu?" tanya Suryatama mendengar kekehan aneh dari pemdua itu. Suryatama sudah berdiri di depan Jentaka dengan tangan kanan mengangkat pisau besarnya.
Jentaka perlahan menghentikan tawanya dan menatap tajam ke arah Suryatama. Ia mengarahkan tangannya pada pria itu sambil bergumam tak jelas.
"Matilah!" Suryatama mengayunkan pisaunya dari atas untuk membelah Jentaka.
Jentaka menyeringai. Tiba-tiba Suryatama menghentikan gerakkannya. Ia mematung entah karena apa. Pemuda itu terus bergumam dengan bahasa yang tidak dimengerti baik oleh Suryatama, maupun Rangsa. Perlahan Suryatama memuntahkan darah dari mulutnya. Jentaka pun mengeluarkan darah dari matanya. Ketika mulutnya berhenti bergumam, ia cengkeram sekeras mungkin kepalan tangannya.
Mata Ashura itu membulat utuh hingga pecah. Ia juga mengeluarkan darah mulutnya dan terkapar di tanah tanpa nyawa.
Rangsa bingung melihat hal itu. "Apa yang ... kau lakukan?"
"Entah, aku pun merasa asing dengan diriku sendiri."
"Ilmu apa yang ... barusan kau pelajari ... Jentaka?!" tanya Rangsa lirih, tetapi penuh tekanan pada kata terakhirnya. "Kau ... mempelajari ilmu hitam?"
Jentaka menyeret dirinya yang tak bisa melangkah, hingga bersebelahan dengan Rangsa. "Apa yang kau lakukan di sini, Rangsa?" Ia mengabaikan pertanyaan Rangsa.
"Tentu saja untuk memperingatkanmu. Prabu Arya Langit memerintahkan seorang Ashura dari keluarga Wijayakusuma untuk membunuhmu ... Jentaka ... apa kau tahu siapa dirimu yang sebenarnya?"
Jentaka terdiam sambil mengangguk perlahan.
"Dasar sial! Kau sendiri menyembunyikan sesuatu yang penting seperti itu pada kami! Kau memang pengkhianat!"
"Aku baru mengtahuinya beberapa saat lalu," ucap Jentaka membela diri.
"Hey ... dengar aku, Jentaka ... kau ingat, tentang malam di mana kita bertengkar? Kala itu ... aku ingin memberitahukan mu sesuatu ...."
"Nanti saja, kita harus mengobati lukamu dulu," balas Jentaka. Ia berusaha bangkit.
Rangsa menarik Jentaka hingga terjatuh lagi. "Dengar ... ini sangat penting ...."
Jentaka menghela napas. Ia duduk sambil menahan perih pada pendarahannya. "Apa?"
Rangsa tersenyum. "Gayatri telah mengandung anakku ...."
Jentaka terbelalak dengan penyataan Rangsa. "A-apa?!"
"Sejak malam itu, ia sudah mengandung kurang lebih dua minggu. Aku ingin memberitahumu, tapi ternyata kau tahu hubungan kami lebih cepat sebelum aku bisa menjelaskan semuanya ... semuanya berantakan ...."
"Gayatri itu tunangan Pangeran. Kau tahu apa yang akan terjadi padamu, seandainya Satria tahu bahwa calon istrinya kau hamili?" tanya Jentaka.
"Bukan hanya aku, mungkin Gayatri juga ... akan diberikan hukuman. Oleh karena itu ... malam itu ... aku ingin mengajakmu pergi ... dari tempat ini. Tempat yang melukaimu dan ibumu! Aku ingin membawamu pergi ... dan hidup di tempat lain ... di mana tidak ada yang mengenal kita ... aku membayangkan kita bisa hidup bersama tanpa ada perbedaan kasta ... Rangsa, Jentaka, Gayatri dan Bu Sri ...." Rangsa meneteskan air mata. "Tapi aku malah ikut melukai perasaanmu ... terkadang aku lupa ... bahwa aku juga merupakan ... bagian dari penduduk di sini. Di tempat yang mungkin kau kutuk setiap hari dengan doamu ...."
"Bodoh! Kenapa kau tidak pergi saja kala itu?! Bagaimana dengan Gayatri? Sudah berapa bulan berlalu sejak malam itu? Bagaimana jika penduduk, atau para Trimurti mengetahui isi perut Gayatri yang membesar itu?!"
"Kau pernah bilang ... bahwa kau kecewa pada kami ... karena meninggalkanmu di alun-alun seorang diri ... ketika gagal dalam seleksi Sadariwa. Kami tak ada ... ketika kau butuh tempat bersandar. Kami ... tidak ingin ... membuatmu kecewa lagi ... dengan pergi tanpa memberitahumu. Kami ... tidak ingin ... membuatmu kecewa lagi ... kami menunggumu, Jentaka."
"Harusnya kau pergi tanpa mempedulikan aku, dasar bodoh!" balas Jentaka.
"Hutan Angkara terlalu luas ... untuk dihadapi berdua dengan Gayatri. Aku butuh keterampilan berburu ... dan juga navigasimu ... untuk bisa menembus hutan ini. Hutan ini adalah satu-satunya akses ... untuk keluar. Kita tidak bisa pergi lewat gerbang depan ... karena para Sadawira akan curiga jika kita pergi ... membawa Gayatri ...."
Rangsa memberikan sebuah robekan kertas pada Jentaka. Robekan itu berlumuran darah dan basah, tapi tidak merusak benda itu karena bahannya. "Ini adalah peta Bumi Kartanesia ... Bhartavia, hanyalah sebagian kecil ... dari wilayah di negeri ini. Hutan ini bernama Angkara bukan tanpa sebab ... jauh di dalam hutan ini, ada sebuah desa kecil ... yang dihuni oleh keluarga besar ... keluarga itu ... bernama ... Angkhara ... uhuk! Uhuk! Uhuk!" Rangsa memuntahkan darah dari mulutnya. "Bawa Gayatri ke sana. Kalian harus pergi ...."
"Rangsa! Bertahan! Aku akan membawamu." Jentaka berusaha sekuat mungkin menyeret Rangsa dengan satu kaki tersisa.
"Hentikan, bodoh ... ambil peta ini dan pergilah. Aku punya satu permohonan ... dengarkan baik-baik ... aku hanya akan mengucapkannya sekali ... jadi pasang telingamu dengan benar ...." Rangsa kembali memuntahkan darah dari mulutnya.
"Aku mohon ... jadilah sosok ayah untuk anak di dalam kandungan Gayatri ... aku yang paling tahu ... kita berdua adalah pria yang paling mencintai Gayatri lebih dari siapa pun ... aku titipkan wanita itu ... padamu ... saudaraku ...."
Jentaka menitihkan air mata. "Bodoh! Aku tidak akan sudi mengabulkan permohonanmu!"
Rangsa tak bersuara. Ia diam dalam dekapan Jentaka yang sedang menyeretnya sambil mengesot di tanah lumpur. Jentaka paham sensasi ini. Sensasi kematian.
"Bangun, Bodoh! Jadilah ayah untuk anakmu sendiri! Mana sudi aku menggantikanmu"
Jentaka terdiam sambil mendekap Rangsa. "Hey ... Rangsa ... bangun ... jangan tinggalkan aku sendirian ...." Ia menangis di atas tubuh Rangsa. "Kau bilang tidak akan meninggalkanku lagi, kan? Ayo bangun ...."
Sayangnya kedua mata itu tak lagi berkedip. Satu hantaman Suryatama membunuh pemuda itu. Rusuknya hancur berpeking-keping hingga menusuk, serta melukai bagian organ dalamnya.
Jentaka melepaskan Rangsa, ia menempelkan telapan tangannya ke bagian pahanya yang putus. Perlahan kesadaran Jentaka pun pudar. Ia kehabisan banyak darah. Sebelum ia tak sadarkan diri, Jentaka membuat sebuah lingkaran dengan ukiran aksara di pinggirnya menggunakan darahnya sendiri.
Ia tarik Rangsa ke tengah lingkaran itu dan memminumkannya darah dari lukanya. Jentaka pun ikut meminum darahnya sendiri. "Aku tak bisa menemukan makhluk hidup, tapi aku bisa mempersembahkan diriku sebelum aku mati!" Ia menutup mata sambil mengumpulkan sisa warasnya demi sebuah fokus. "Rogo sukmo." Jentaka membuka mata, ia kembali ke tempat gelap di mana dirinya bertemu dengan iblis perjanjian tabu.
"JIKA KAU TIDAK BISA MENGEMBALIKAN IBUKU, MAKA KAU BISA MENGEMBALIKAN ORANG INI, KAN? DIA TIDAK PERNAH MALUKAN PERJANJIAN TABU!"
Suara kekehan terdengar dari kegelapan diiringi suara rantai yang diseret perlahan. Sesosok makhluk berwarna merah muncul dan mendekat pada Jentaka.
"Aku ingin membuat perjanjian!" ucap Jentaka. "Hidupkan Rangsa kembali!"
"Apa bayarannya?" tanya iblis itu.
"Terserah padamu. Akan ku berikan apa pun!"
Iblis itu menyeringai. Ia mencengkeram kepalanya sendiri dan menariknya hingga putus. Darah bercucuran dari lehernya. Meskipun begitu, ia masih bisa bergerak. Iblis itu merobek kulit kepalanya hingga menyisakan tengkoraknya. Lalu ia tusuk dadanya sendiri dengan tangannya dan mengambil jantungnya. Ia remas jantungnya di atas tengkoraknya yang ia balik. Kini darah bercucuran memenuhi tengkorak itu bagaikan sebuah cawan.
"Minumlah," ucap Iblis itu.
Jentaka meneguk ludah.
"Jika kau siap menjual jiwamu, maka minumlah. Tak perlu kau minum, jika kau belum siap. Tak masalah."
Jentaka merebut tengkorak itu. Ia menatap ragu, tapi tak ada jalan kembali. Ia teguk darah dari cawan tengkorak itu dan meminumnya.
Tiba-tiba Jentaka tersadar di tempatnya tak sadarkan diri. Hujan masih deras mengguyur bumi. Hanya saja, sosok Rangsa tak ada di lingkaran darah yang Jentaka buat. Anehnya, kedua kaki Jentaka mendadak utuh. Ia mencium aroma hangus di tengah badai ini.
"Rangsa?" Jentaka bangun dan berjalan mencari Rangsa.
Langkahnya menuntun Jentaka ke gubuknya. Ia masuk ke dalam dan mengambil busurnya. "Rangsa?" Ia berpikir bahwa Rangsa ada di tempat ini.
Jentaka tersenyum ketika mendapati Rangsa sedang menatapnya dengan senyuman yang tak kalah bahagia. "Kau kembali!" Jentaka menghampiri Rangsa. Namun, mendadak ia hentikan langkahnya dan menatap Rangsa penuh kekecewaan.
"Apa yang terjadi?" Ia menyentuh wajahnya sendiri. Sosok Rangsa juga menyentuh wajahnya selayaknya yang Jentaka lakukan. "APA YANG TERJADI?!" Jentaka menitihkan air mata.
Sosok Rangsa yang ia lihat adalah pantulan dirinya sendiri di cermin. Sosok Rangsa menangis. Bukan ini yang Jentaka harapkan!
Perlahan tangisannya pudar. Ia menatap dirinya yang terjebak dalam tubuh Rangsa sambil mengingat kisah-kisah lalu mereka.
Rangsa menatap Jentaka. "Hey, tertawalah, cecunguk! Apa kau pikir semua guyonanku membosankan?" ucap Rangsa.
Jentaka hanya tersenyum. "Bagaimana caranya?"
Gayatri dan Rangsa saling bersitatap, kemudian bersamaan menatap Jentaka. "Ya--tertawa. Ha-ha-ha-ha. Begitu."
"Ha-ha-ha-ha." Jentaka mengikuti logat Rangsa, tetapi dengan ekspresi datar.
"Bukan, bukan ...." Rangsa menggaruk kepala.
"Ibu tidak pernah mengajarkannya. Lain kali akan ku coba," celetuk Jentaka.
"Jentaka. Ketika ada hal yang lucu, menyenangkan, dan membuatmu bahagia. Terkadang senyum tidak akan cukup untuk menampung itu semua dan pecah menjadi gelak tawa. Itu bukan hal yang bisa diajarkan. Hanya kau sendiri yang berhak menentukan kebahagiaanmu. Tertawa, menangis, dan marah adalah cara manusia mengekspresikan dirinya dalam merespons sesuatu perihal perasaannya," ucap Gayatri.
"Terimakasih penjelasannya, Gayatri. Akan aku ingat. Lain kali aku akan menunjukkan tawaku pada kalian."
Mengingat itu semua makin membuat perihnya semakin dalam. Jentaka tersenyum menatap cermin. Setidaknya, ia masih bisa melihat Rangsa dalam dirinya sendiri. Jentaka berusaha tersenyum di tengah dukanya. Air mata bukan penghalang untuknya.
"Aku berhutang banyak hal padamu, Rangsa ...," gumam Jentaka. "Aku ingin menunjukkan padamu bahwa hari-hari yang pernah kita lewati adalah hari-hari paling bahagia dalam hidupku." Jentaka tersenyum lebar hingga terlihat menyeringai. Air matanya semakin berguguran. "Aku akan tertawa untukmu ...."
"Kh-kh-kh-khe-khe ... khekhekhe."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top