5 : Menjauh
Terik mentari membangunkan Jentaka dari kegagalannya. Ia bangkit dan duduk menatap sekeliling. Sepuluh orang Sadawira baru sedang berbaris. Ada Kara di antara para perwira baru di sana, menambah luka di hati Jentaka.
Menanti kesadarannya utuh, Jentaka menatap tanah penuh getir. Kesombongannya membuat Jentaka gagal mewujudkan harapan ibu dan teman-temannya. Entah, akhir-akhir ini Jentaka mudah tersulut amarah. Untuk menjadi Sadawira, harus menunggu satu tahun lagi. Itu terlalu lama.
"Rangsa ... Gayatri ...." Jentaka memegangi kepalanya yang agak pusing sambil mencari keberadaan dua orang itu, tapi tak ia temukan. Tak ingin berlama-lama, Jentaka bangkit dan tertatih pulang seorang diri.
Langkahnya terhenti selaras dengan tangannya yang ragu membuka pintu reot rumahnya. Namun, Jentaka memberanikan diri. "Bu, aku pulang."
Tak ada siapa pun. Gubuk sepi, entah pergi ke mana sosok ibunya. Sri tak pernah keluar rumah jika itu bukan hal yang genting. Seandainya ia keluar pun, biasanya hanya sekitaran gubuk. Jentaka khawatir. Ia keluar dan mencari keberadaan Sri. Pemuda itu berpikir, mungkin ibunya ada di sumur. Ia pun berjalan ke sumur.
Perkiraannya salah. Sri tak ada di sana. Jentaka lalu masuk ke dalam hutan. Jangan-jangan ibunya pergi ke sungai atau mencari kayu bakar. Ia masuk semakin dalam ke hutan hingga mendengar percapakan.
"Kamu yakin?"
'Rangsa?' Suara itu adalah suara Rangsa.
"Aku sudah pikirkan matang-matang."
'Gayatri? Apa yang mereka lakukan di sini? Mereka tidak menungguku?'
Rangsa dan Gayatri berada di hutan. Tempat mereka biasa berkumpul bertiga.
Keadaan mendadak hening, tak ada percakapan lagi. Jentaka lebih mendekat dengan sembunyi-sembunyi. Ia mengintip dari balik pohon. Pemuda itu penasaran tentang apa yang dilakukan mereka berdua saat tidak ada dirinya. Matanya membulat utuh sambil menutup mulut. Ia terkejut dan mundur satu langkah. Jentaka menatap penyesalan.
Kreek ...
Rangsa dan Gayatri menghentikan ciumannya dan menoleh ke arah pohon yang sempat mengeluarkan suara. Mereka saling bertatapan. Rangsa melepas pelukannya, lalu berjalan pelan menghampiri pohon itu sambil menarik belati keluar dari sarung.
Pemuda Sagara itu tiba-tiba melesat dengan cepat sambil menodongkan belatinya ke balik pohon, tetapi tak ada siapa pun di sana.
"Siapa?" tanya Gayatri menatap Rangsa.
Rangsa menggeleng. "Tidak ada siapa-siapa. Mungkin hewan."
Di sisi lain Jentaka berjalan cepat dengan wajah lesu. Ia berharap tak melihat kejadian barusan. Saat ini ia hanya ingin pulang.
Ketika dunia ini terasa pahit. Percayalah, rumah adalah satu satunya tempat yag manis. Walau terkadang terasa pedas.
"Aku pulang."
Sri menoleh. Wanita itu sudah pulang dan duduk di meja makan. "Dari mana saja kau?"
"Mencari ibu," jawab Jentaka.
"Selamat, kau sudah menemukannya."
"Ibu dari mana?" tanya Jentaka.
"Bukan urusanmu."
"Bu ...."
Sri menatap Jentaka. "Apa?"
"Apa ibu sayang pada Jentaka?"
Sri yang sedang menyendok nasi tiba-tiba berhenti. Tubuhnya gemetar. "Menurutmu?" tanya Sri balik. Ia lanjut menyendok nasi.
"Jentaka ingin dengar jawaban, Bu."
Sri tak menjawab pertanyaan itu seolah memang tak keluar dari mulut anaknya.
Jentaka adalah orang yang kuat, tapi sayangnya ia sedang berada di titik terendah hidupnya. Ia berharap, setidaknya masih ada satu sosok yang menyayanginya. Namun, diamnya Sri hampir memecahkan warasnya. Kedua sahabatnya pergi, pangeran yang berharap padanya pun pasti kecewa lantaran Jentaka gagal dalam seleksi Sadawira, dan kini ibunya tak punya jawaban atas pertanyaan sesederhana itu.
"Ibu marah gara-gara Jentaka tidak lolos seleksi Sadawira?"
"Seharusnya kau bisa menang, tapi kau malah bertindak bodoh," jawab Sri. "Payah."
Jentaka tersenyum. Setidaknya, orang yang ia kira tak akan hadir, justru menontonnya walau tak memberi dukungan secara terang-terangan.
"Makan sana."
Jentaka mendekat ke meja makan. Ia mengerutkan kening menatap daging sapi yang tersaji di meja makan. "Bu ... ini daging sapi?"
"Menurutmu? Kau seperti orang bodoh. Apa kepalamu terbentur sekeras itu akibat pukulan pemuda di alun-alun?" tanya Sri. "Dari aroma dan bentuknya pun sudah jelas jika ini daging sapi."
Jentaka diam, ia tak banyak bicara. Pemuda itu duduk dan tersenyum sambil menikmati hidangan terlezat sepanjang hidupnya.
"Jentaka ...."
Jentaka menatap Sri. "Ya, Bu?"
"Jangan bergantung pada orang lain. Tidak ada yang akan peduli padamu. Jadilah kuat. Meskipun dunia ini membencimu, ingatlah ... kau tidak membutuhkan dunia, kelak dunia yang akan membutuhkan mu."
Jentaka tersenyum. Itu kali pertama selama lima belas tahun hidupnya, Sri memberikan sebuah nasihat sekaligus kalimat dukungan dengan suara lembut.
"Jentaka akan ingat pesan ibu."
***
Mentari telah dilumat gulita. Jentaka duduk di depan rumah sambil membaca buku milik Rangsa. Sebuah buku dasar-dasar atma. Pemuda itu merasa, ia harus jadi lebih tangguh untuk menjaga dirinya dan juga ibunya. Ia pergi ke hutan tanpa sepengetahuan ibunya. Entah, di hutan suasana begitu tenang dan terasa sangat kuat energi spiritualnya. Jentaka suka tempat itu.
'Bumi menyerap sisa-sisa energi dari makhluk yang telah mati. Manusia pun memiliki energi yang mengalir dalam dirinya. Secara garis besar, atma merupakan energi kehidupan.'
Jentaka bermeditasi di atas sebuah batu besar. Ia memfokuskan diri untuk merasakan aliran atma dalam dirinya. Ia merasa melewatkan sesuatu. Namun, perlahan fokusnya pudar ketika mengingat kejadian siang tadi di hutan. Api cemburu sangat mengganggunya dalam bermeditasi. Ia perlahan membuka mata, tatapannya penuh amarah.
"Sial!" Jentaka memukul batu tempatnya bertapa hingga tangannya berdarah.
Di tengah amarah itu, Jentaka mengingat kembali apa yang telah Rangsa dan Gayatri berikan selama ini. Dari seluruh rasa marahnya, ia mencari sebuah alasan untuk bersabar. Perlahan api itu padam bermandikan raut sendu. "Bodoh ...," gumamnya lirih. "Kenapa juga aku harus memikirkan itu semua? Aku tahu Rangsa menyukai Gayatri sedari dulu ...."
Matanya kembali tertutup perlahan sambil hidungnya menarik napas panjang. Ia tahan sejenak udara malam hingga membaur dengan raganya, lalu dikeluarkannya pelan-pelan lewat mulut. Ia lakukan itu secara terus menerus dengan ritme yang teratur.
Pada satu titik, Jentaka membuka matanya dan langsung berdiri. Ia melebarkan kakinya dan memukul angin. Pemuda itu melakukan gerakan bela diri. Setiap pukulannya disertai embusan angin sejuk. Tak ada yang mengajarinya, Jentaka membuat gerakannya sendiri.
"Yo, Jentaka."
Jentaka sontak menoleh. Ditatapnya Rangsa yang sedang duduk di atas ranting pohon. Ia sedang membaca buku.
Jentaka menghentikan aktivitasnya. Ia kembali teringat pada kejadian tadi siang. Ia pikir, mengalah itu adalah hal yang mudah. Mengingat hidupnya selalu diisi oleh itu semua, tapi merelakan Gayatri terlalu sulit.
"Sudah aku duga kau di sini. Tadi aku ke rumahmu, kau tidak ada," ucap Rangsa.
"Ada apa?" tanya Jentaka.
"Yang tadi siang itu ... kau, kan?"
Jentaka terdiam. "Apa maksudmu?"
"Meskipun aku tidak melihatmu, tapi para roh di hutan ini yang memberitahuku. Aku ingin memperjelas sesuatu. Apa kau mencintai Gayatri?"
Jentaka tersenyum sambil menggeleng. "Tentu saja tidak."
Rangsa menutup bukunya, ia turun dari ranting pohon dan duduk di samping Jentaka yang masih berdiri. "Aku tahu dari kecil kau juga suka dengan Gayatri, tapi kau mengalah padaku. Apa aku salah?"
Jentaka terdiam. Ia menatap memar di tangannya akibat memukul batu. Perlahan ia duduk dan menatap lurus ke depan. "Aku pikir Gayatri akan menjadi istri Pangeran Satria, tapi tiba-tiba apa yang aku lihat tadi siang bertolakbelakang dengan apa yang seharusnya aku tahu."
"Banyak hal terjadi di luar sepengetahuanmu," balas Rangsa.
"Aku kalah dari bajingan Wijayakusuma itu. Di saat aku butuh kalian, tak ada siapa pun di sisiku. Aku pulang memikul kecewa dengan tertatih, tapi rupanya ibuku tak ada di rumah. Ku putuskan untuk mencarinya."
"Dan langkahmu berakhir di sini?"
Jentaka mengangguk sambil tersenyum pilu. "Ya, tak ku sangka. Dua orang yang aku tunggu hadirnya, justru sedang bersenang-senang tanpaku. Bersenang-senang di saat aku kecewa ...."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang? Melaporkan hubunganku dan Gayatri pada Pangeran? Membunuhku di sini dan berusaha mengambil hati Gayatri?"
"Kau tahu, Rangsa? Jika aku bisa tertawa, mungkin aku akan menertawakan pertanyaanmu. Aku tidak bisa melakukan hal buruk padamu. Kita ini teman, bukan?"
"Ya, kita adalah teman," jawab Rangsa.
"Sebagai teman, boleh aku minta tolong?"
Rangsa menatap Jentaka. "Apa itu?"
"Jangan pernah muncul di depanku bersama Gayatri ...."
Rangsa menyentuh pundak Jentaka. "Hey, kawan ...."
Jentaka menggerakkan bahunya, menolak untuk disentuh. Ia menangis. "Seharusnya tak ada rahasia di antara kita, kan? Tapi apa?! Aku merasa ditikam dari belakang." Ia berusaha tersenyum. "Sudah, lupakan. Tak apa. Aku sadar siapa diriku, tapi tolong ... ini semua terlalu sakit. Aku lelah ... aku lelah dengan semua rencana semesta."
"Kawan, aku mencarimu untuk memberitahu sesuatu," ucap Rangsa.
"Simpan itu." Jentaka bangkit dari duduknya. "Aku sedang tidak ingin tahu apa pun. Terkadang, pengetahuan adalah hal yang menyakitkan. Dulu saat kita masih kecil ... tak tahu apa-apa tentang dunia ini. Kita bermain bersama dan itu terasa menyenangkan, tapi semakin kita beranjak dewasa, kita mulai banyak memahami dunia. Pengetahuan itu yang membuat hidup ini kehilangan rasa manisnya. Terlalu banyak batasan."
Rangsa terdiam sambil menghela napas. Ia berdiri dan menatap Jentaka yang berjalan pergi. Wajah pemuda itu tak kalah getir dari Jentaka.
***
Hari-hari berlalu. Jentaka tak pernah lagi terlihat bersama Rangsa. Hari ini pemuda tangguh itu sedang berburu di hutan. Ketika sedang membidik burung yang hinggap di ranting, sebuah tepukan di bahunya membuat Jentaka terkejut dan sontak menoleh.
"Gayatri?" Ditatapnya sosok Gayatri. Mengingatkan kembali ketika mereka pertama kali bertemu di hutan ini. Belum ada Rangsa kala itu.
Gadis itu tersenyum. "Kamu dan Rangsa ada masalah apa?" tanyanya.
Jentaka hanya bisa tersenyum. "Tidak ada apa-apa."
"Kalian tidak pernah saling bersua lagi? Padahal dulu kalian seperti kakak beradik."
"Kita bukan anak-anak lagi. Jalan hidupku dan Rangsa menemui persimpangan. Itu hal yang wajar," balas Jentaka.
"Belakangan ini Rangsa sering melamun. Biasanya ia selalu bercanda dan melakukan hal aneh, tapi semenjak beberapa hari lalu ia selalu melamun. Aku khawatir," ucap Gayatri. "Kalian bertengkar?"
Jentaka mendongak menatap langit. "Apa kau pernah khawatir padaku, Gayatri?" tanyanya.
"Tentu saja. Kita selalu bersama dari kecil," jawab Gayatri.
"Lantas, ke mana perginya kau dan Rangsa saat aku kalah oleh Kara Wijayakusuma? Kau tahu apa yang ia ucapkan untuk memancing amarahku? Ia bilang ibuku pelacur. Aku langsung terpancing untuk memukulnya, tapi ternyata aku hanyalah seorang pecundang yang tak bisa melindungi apa pun. Aku tak bisa membuktikan apa pun."
"Kara berkata seperti itu?" tanya Gayatri.
"Jawab saja. Ke mana kalian?"
Gayatri tertunduk. "Aku dan Rangsa menjagamu ketika tak sadarkan diri, tapi kau tak kunjung sadar dan kami memutuskan mengambil air untukmu. Kami khawatir kamu kehausan ketika sadar. Kau pasti lelah, kan? Tapi saat kami kembali, kau sudah tak ada di alun-alun."
"Aku pikir kau dan Rangsa sedang berada di hutan ini melakukan sesuatu," balas Jentaka memasang senyum meledek.
"Cukup Jentaka!"
Gayatri dan Jentaka menatap ke arah Rangsa yang tiba-tiba muncul dengan jubah hitam.
Jentaka tersenyum menatap Rangsa. "Cukup apanya?"
"Gayatri, tinggalkan kami berdua," ucap Rangsa.
Tercetak raut wajah khawatir di wajah Gayatri. "Tapi ...."
"Ada yang ingin aku sampaikan pada si kurang ajar ini." Rangsa menghampiri Jentaka.
"Jangan asal bicara, pengecut. Kau tidak ingin mengikuti seleksi Sadawira karena tahu dirimu lemah tanpa roh peliharaan mu, kan?"
Rangsa menatap tajam ke arah Jentaka. "Iblis mana yang membautmu berubah, Jentaka?"
Jentaka menyeringai. "Iblis itu ada di hadapanku sekarang."
"Bedebah. Sekarang si pembawa sial ini mulai melunjak."
Jentaka memicingkan matanya. "Kau juga menganggapku pembawa sial?" Ia memasang kuda-kuda menyerang.
"Jentaka! Rangsa! Hentikan ini semua!"
Rangsa pun mengambil sikap bertahan. Tak ada yang peduli pada Gayatri.
"Majulah, bedebah," ucap Rangsa.
Jentaka mengumpulkan atma di tangannya dan memukul Rangsa dari jaraknya, tanpa mendekat. Tiba-tiba Rangsa terpental hingga membentur pohon. Kepalanya berdarah.
"Jentaka!" Gayatri tiba-tiba berlari ke arah Jentaka dan mencengkeram bahunya. "Cukup! Rangsa adalah temanmu, bukan? Cukup!"
Jentaka menatap Rangsa yang tak berdaya. Ia mendadak gemetar. Rangsa adalah manusia yang mengajarkannya banyak hal, termasuk cara menggunakan atma. Dan kini ia menghajar Rangsa dengan apa yang telah diajarkannya. Miris.
Gayatri berjalan cepat ke arah Rangsa, ia membantu pemuda itu berdiri. Rangsa berkaca-kaca menatap Jentaka. Mulutnya ingin bergumam sesuatu, tapi tertahan oleh air mata yang perlahan luruh hingga menetes dari dagunya.
"Ayo Rangsa, kita harus mengobati lukamu." Gayatri membawa Rangsa pergi dari hadapan Jentaka.
"Aku bisa saja membalasnya, tapi aku tidak akan melakukannya. Kau tahu, Gayatri? Jentaka itu sudah ku anggap keluargaku sendiri," ucap Rangsa. Kini ia terisak-isak layaknya kejadian malam itu, di mana Jentaka tak ingin melihatnya lagi. Bedanya, kali ini ia tunjukkan air matanya di depan orang lain. Sambil tertatih, Rangsa menoleh kembali menatap Jentaka yang membisu seribu bahasa. "Selamat tinggal, Jentaka ...."
Jentaka terdiam, ia terduduk lemas. Entah apa yang merubah dirinya. Ia pun menangis dan menyesali perbuatannya. Bagaimana tidak? Ia baru saja melukai manusia baik yang mengulurkan tangannya ketika Jentaka tak punya siapa-siapa selain ibunya dulu.
Kisah persahabatan indah antara tiga sekawan itu kini di tutup oleh sebuah titik yang besar.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top