4 : Seleksi Sadawira
Waktu cepat berlalu. Persahabatan Jentaka, Rangsa dan juga Gayatri semakin erat. Mungkin Bhartavia membenci Jentaka, tapi tidak dengan dua orang temannya. Kini bocah itu telah menjadi remaja. Ia pandai membaca dan menulis. Kemampuan berburunya juga semakin membaik dari segi kecepatan dan kekuatan.
Jentaka cukup senang bermain dengan Rangsa karena mendapatkan banyak uang, tetapi derajat Rangsa menurun karena terus bersama Jentaka. Rangsa tak peduli, meskipun ayahnya kerap memarahinya. Rangsa adalah pemuda yang haus akan ilmu dan terus membutuhkan Jentaka. Jika Rangsa kuat dalam spiritual, maka Jentaka adalah tipe yang kuat secara fisik. Mereka saling melengkapi.
Rangsa memiliki tuyul yang cukup beruntung. Pasalnya, ketika Rangsa berusia lima tahun, tuyul itu tidak sengaja mencuri sebuah pusaka sakti bernama Penjara Jiwa. Buku Penjara Jiwa bukanlah hal yang asing di era ini. Hampir seluruh petinggi Sagara memilikinya. Tuyul itu pikir bahwa yang ia curi adalah uang, mengingat buku itu sangat dijaga oleh pemiliknya, tapi ternyata hanya sebuah buku tak berguna. Ya, siapa yang sangka ternyata buku itu memiliki kualitas roh yang tinggi. Secara diam-diam, Rangsa menyimpan buku itu meskipun ia belum memenuhi standar untuk memiliki Penjara Jiwa.
Jentaka bukan lagi anak kecil. Diam-diam ia jatuh hati pada Gayatri, tetapi Jentaka sadar diri. Ia hanyalah rakyat jelata. Selain itu, masalah utamanya adalah Rangsa juga menyukai Gayatri. Jadi Jentaka mengalah. Ya, seperti itulah Jentaka. Ia selalu mengalah untuk orang lain. Apa lagi sahabatnya sendiri.
Pada suatu hari, ketika mereka bertiga sedang berkumpul. Pangeran Satria datang dengan para pengawalnya. Sontak ketiga orang itu membungkuk sebagai tanda penghormatan. Satria tersenyum. Ia ikut berkumpul dengan mereka bertiga.
"Tuan muda, anak itu ...." Seorang penjaga melirik ke arah Jentaka.
"Tak apa. Pergilah."
"Tapi, Tuan muda ...."
"Aku ingin bermain bersama Rangsa dan teman-temannya," ucap Satria.
Pada akhirnya para pengawal pergi mengikuti perintah Satria. Kini mereka berempat saling bersitatap, tapi tak ada ucapan yang terlontar. Satria terkekeh. "Santai saja, pengawalku sudah pergi."
"Selalu saja begitu. Pasti berat menjadi pangeran, kan?" tanya Rangsa.
Satria kerap ikut bermain bersama tiga sekawan ini. Ia selalu mengusir pengawalnya agar teman-temannya tidak merasa canggung.
"Ya, berat hidup dengan aturan yang ketat," jawab Satria.
"Seandainya saya adalah seorang putra Arya Langit juga, mungkin kehidupan yang anda sebut berat dan ketat itu akan sedikit jadi lebih menarik," ucap Jentaka. "Sebab setidaknya, kita akan selalu bersama." Jentaka paham, Satria sebenarnya ingin memiliki banyak waktu bermain, tapi statusnya memaksa pemuda itu untuk terus belajar memimpin peradaban.
Satria tersenyum. Ia mendekat pada Jentaka dan berbisik. "Sandainya kau adalah putra Arya Langit sepertiku, kau tidak akan memanggilku Satria atau pun Tuan Muda ...."
"Maaf, Tuan muda. Saya hanya bercanda," balas Jentaka.
Pangeran muda itu terkekeh. "Ya, aku tahu. Namun, seandainya begitu, aku yakin di dalam istana akan terasa jauh lebih menyenangkan. Setidaknya ada yang bisa aku ajak bercanda di dalam sana."
Tiba-tiba, Satria menatap Gayatri. "Gayatri, datanglah nanti malam. Ada acara di kediaman Trimurti." Ia memberikan undangan makan malam pada gadis cantik itu.
Gayatri dengan ragu mengambil undangan tersebut. "Sa-saya ...."
"Tak apa. Aku ingin mengenalkanmu dengan ayah dan paman-pamanku," celetuk Satria.
Jentaka mengalah pada Rangsa, dan Rangsa mengalah pada Satria. Putra Arya Langit itu menginginkan Gayatri. Siapa wanita yang tak ingin bersanding dengan pangeran? Meskipun Gayatri tak suka, apa yang bisa ia lakukan? Itu kabar buruk bagi Rangsa dan Jentaka.
Rangsa adalah salah satu bangsawan kelas atas. Tentu saja ia diundang dalam acara makan-makan nanti malam. Gayatri juga bangsawan, tetapi keluarganya tidak setinggi itu untuk mendapatkan undangan dari Trimurti. Mendapat undangan langsung dari Satria adalah suatu kehormatan. Bagaimana dengan Jentaka?
"Jentaka ...." Satria menatap pilu pada sosok pria dengan rambut gondrong itu.
Jentaka memberikan sepenggal senyum pada Satia. "Tak apa. Aku bukanlah seseorang yang diharapkan kehadirannya."
Gayatri ikut murung. "Jentaka ...."
"Meskipun Tuan Muda Satria mengundangku, aku pikir keluarga Trimurti dan para bangsawan akan menolakku. Pada akhirnya, pasukan Sadawira akan menendangku keluar atas titah Prabu Arya Langit," ucap Jentaka.
"Tahun ini usiamu menginjak lima belas, kan? Bergabunglah dengan Pasukan Sadawira. Aku bisa mengangkatmu menjadi pengawal pribadiku," tutur Satria. "Tunjukkan pada mereka bahwa kau layak. Tentu saja buktikan padaku juga tentang perkataanmu barusan. Aku butuh teman di dalam istana. Setidaknya, jika kau menjadi pengawalku, aku akan lebih bebas, Jentaka."
Jentaka terlihat senang mendapat dukungan dari Pangeran Satria Langit. "Aku akan berusaha!"
"Semoga beruntung," balas Satria.
Gayatri dan juga Rangsa memberikan dukungan penuh pada Jentaka. Mereka berharap Jentaka mampu lolos menjadi Sadawira.
***
Malam kian gulita. Jentaka duduk di kursi ayaman bambu depan gubuk ditemani nyanyian jangkrik. Ia melamun ke arah langit sembari menghela napas pasrah.
Sebuah gumpalan kertas melayang mengenai kepala Jentaka. Membuyarkan segala lamunan yang menari dalam benaknya. Jentak menoleh ke arah datangnya gumpalan tersebut. Matanya memicing ketika mendapati sosok Rangsa berada di samping rumahnya.
"Rangsa?" ucapnya lirih sambil menatap ke arah dalam gubuk dengan was-was.
"Ayo, kita pergi," balas Rangsa.
"Ke mana?"
Rangsa tak menjawab. Ia memberikan kode kepala untuk mengikutinya. Jentaka menatap ke dalam gubuk. Ditatapnya Sri yang sudah tertidur. Ia perlahan pergi mengikuti Rangsa masuk ke dalam Hutan Angkara.
"Rangsa. Sedang apa kau? Bukannya kau dan kelurga Sagara diundang jamuan oleh Trimurti?"
"Acara bodoh, aku tidak tertarik," jawab Rangsa. Ia berhenti pada sebuah batu besar tempatnya biasa bermeditasi. Tatapnya tajam ke arah Jentaka. "Kau serius ingin ikut seleksi Sadawira?"
"Ada masalah? Kau juga tertarik?"
Rangsa menggeleng. Ia terlihat agak aneh. "Aku tidak tertarik menjadi anjing kerajaan. Aku adalah orang yang butuh banyak waktu untuk belajar dan memahami apa yang belum aku pahami. Jika aku menjadi Sadawira, aku akan kehilangan itu semua. Namun, jika kau ingin menjadi perwira Sadawira maka ikutlah, tak apa. Hanya saja, apakah itu keinginanmu sendiri?"
"Ya, itu keinginanku sendiri. Bukan karena ucapan Pangeran Satria siang tadi. Aku ingin naik derajat. Kasian ibu, selalu dipandang buruk oleh orang-orang. Aku juga ingin memiliki penghasilan yang cukup untuk kehidupan sehari-hari kami."
"Kau butuh dari sekadar otot dan kemampuan berburumu. Beberapa bangsawan, bahkan dari keluarga petinggi juga akan mengikti seleksi Sadawira. Kau akan benar-benar habis menjadi bahan candaan mereka semua, Jentaka."
"Aku cukup percaya diri. Selama ini aku hanya menahan diri," balas Jentaka penuh keangkuhan.
"Tingkatkan kemampuan spiritualmu. Minimal, kau harus bisa bertahan dari serangan spiritual. Malam ini kita akan bermeditasi. Aku akan ajarkan Rogo Sukmo padamu."
"Rogo sukmo?" tanya Jentaka yang tak mengerti.
"Keadaan di mana raga dan sukmamu terpisah. Kau akan berkeliaran dengan roh dan bergentayangan seperti hantu. Dengan begitu kau bisa mengintai kandidat lawanmu dan mempelajari kekuatannya."
Pemuda gondrong itu meneguk ludah. "Apa kau serius? Jangan-jangan kau ingin membunuhku karena aku berniat mengikuti seleksi Sadawira dan berhenti jadi bawahanmu? Lalu menangkap rohku ke dalam Penjara Jiwa?"
"Dasar bodoh! Aku tidak butuh prajurit lemah. Aku tidak bisa membantu banyak, tapi aku harap ini bisa sedikit membantu. Duduklah, kita akan mulai dari bermeditasi." Malam ini mereka berdua sibuk bermeditasi.
Hari berganti. Rangsa mengajarkannya cara untuk melakukan rogo sukmo setiap malam. Pada pagi harinya, Jentaka diberikan buku dasar-dasar atma dan cara menggunakan atma. Rangsa benar-benar melatihnya secara spiritual sekarang.
"Lohia, Martawangsa, Maheswara, Gardamewa, mereka tergolong lihai menggunakan atma. Jika mereka lawanmu, itu akan jadi mimpi buruk. Namun, jika lawanmu adalah Saksana, Wijayakusuma, atau orang lain. Mungkin kau masih punya harapan menang. Setidaknya mereka bertempur secara fisik," ucap Rangsa.
"Aku akan berusaha."
Hari demi hari berlalu. Jentaka perlahan mampu menggunakan atma meskipun hanya sebatas untuk pertahanan diri. Ia juga mampu melakukan rogo sukmo dan tak jarang berkeliaran di malam hari untuk melihat keadaan Bhartavia di malam hari. Hanya saja, Rangsa bilang agar tidak terlalu jauh berkliaran dengan wujud roh, karena Jentaka baru menguasai ilmu itu. takutnya, ada eksistensi lain yang diam-diam mengambil raganya.
***
Esok malam akan ada pesta dalam rangka menyambut malam satu suro. Selama siangnya, seleksi Sadawira akan berlangsung. Jentaka sudah mempersiapkan fisik dan mentalnya.
"Bu. Jentaka pergi dulu. Doakan Jentaka."
"Ya, semoga beruntung. Ibu berharap kau lolos menjadi pasukan Sadawira," balas Sri.
Jentaka melanjutkan langkahnya. Di tengah jalan, Rangsa tiba-tiba muncul. Ia menepuk pundak Jentaka. "Semoga berhasil, kawan."
Jentaka tersenyum. "Ya, terimakasih, kawan." Pemuda itu sibuk menoleh, berharap Gayatri hadir untuk mendukungnya, tapi sayangnya tak ia temukan keberadaan gadis itu.
"Bergegaslah."
Jentaka mengangguk. Ia berjalan ke tengah alun-alun dan mendaftar sebagai Sadawira. Beberapa ujian fisik dilakukan dan Jentaka berhasil lolos dari semua itu. Ujian baca tulis pun ia lalui tanpa hambatan. Begitu juga dengan ujian spiritualnya. Jentaka lolos hingga babak bertarung.
Satu per satu peserta yang lolos pun di adu untuk mencari sepuluh petarung terkuat. Siapa pun yang kalah, akan gugur dari ujian ini.
Jumlah peserta masih banyak. Perjalanan Jentaka masih panjang. Ia kalahkan setiap orang yang menajdi lawannya. Tak ada yang menduga bahwa anak pembawa sial ini memiliki potensi yang tinggi. Rangsa pun menyadari hal itu sejak dulu. Jentaka adalah manusia yang mudah mempelajari sesuatu. Ia lihai melakukan apa pun yang dilihatnya.
"Rangsa, gimana Jentaka?" tanya Gayatri yang tiba-tiba muncul di alun-alun. Ia menatap para peserta seleksi ujian masuk Sadawira yang berjalan keluar alun-alun dengan wajah murung. Mereka adalah orang-orang yang gagal dalam tahap seleksi pertarungan.
"Belum dipanggil di babak ini. Paling sebentar lagi," jawab Rangsa.
"Jentaka melawan Kara," tutur seorang pria yang menjadi wasit pertarungan satu lawan satu tersebut.
Gayatri dan Rangsa saling beradu tatap. "Kara Wijayakusuma?" tanya Gayatri.
"Ya, orang itu. Hanya ada satu manusia yang bernama Kara di sini," balas Rangsa. "Wijayakusuma memang cukup berbahaya, mengingat mereka adalah pembunuh bayaran kelas atas, tapi dalam pertarungan terang-terangan seperti ini, tentu akan menjadi keunggulan bagi Jentaka. Peluang Jentaka untuk menang lebih tinggi. Hanya saja, Kara itu ...."
Di sisi lain, Jentaka maju bersamaan dengan pemuda bernama Kara. Sorot mata pemuda itu terlihat dingin dengan rambut dikuncir kuda. Tubuhnya kurus dan tinggi. Mungkin Jentaka hanya setinggi bahunya. Ia tersenyum dengan wajah malas.
"Wah, wah ... bisa ketular sial deh."
Jentaka tak menghiraukannya. Ia tetap fokus pada apa yang akan ia hadapi.
Wasit pun mengangkat bendera dan berjalan mundur. "Mulai!"
Tanpa basa-basi Jentaka langsung maju menerjang. Ia melesatkan pukulan pertama, tetapi dengan mudah dihindari oleh Kara. Pemuda dari Wijayakusuma itu memiliki tubuh yang lentur. Gerakannya sungguh aneh dan tak biasa. Ia melesatkan tangan panjangnya sebagai balasan. Jentaka mundur, tetapi rupanya masih masuk jangkauan serangnya. Si rakyat jelata itu mendapat sorakan cemooh dari para penonton. Sementara Kara sedang ikut menertawakannya dengan senyum meremehkan.
"Tangannya itu seperti cambuk," ucap Rangsa. "Jentaka harus terbiasa."
Kara menyerang bertubi-tubi. Jentaka tak bisa menghindarinya dan berusaha menangkis. Sayangnya serangan Kara rupanya kuat dan cepat. Tubuhnya yang lentur mampu membuat Kara menyerang dari berbagai arah seperti sebuah pecutan cambuk.
Jentaka memiliki pondasi yang kuat. Meskipun ia dihajar, pemuda itu tak pernah jatuh. Ia sering bermeditasi dan lihai berburu. Kesabarannya membaut Jentaka patut disegani. Ketika ada celah untuk memburu mangsanya, maka ... ia akan menyerang.
Semua mata membulat utuh ketika pukulan telapak tangan Jentaka berhasil menyerang tenggorokan Kara hingga membuatnya kesulitan bernapas. Tak memberi ampun, Jentaka perlahan mendaratkan pukulan telapak tangan lagi ke dada Kara hingga membuat pemuda Wijayakusuma itu terpental dan jatuh.
"Hajar dia, Jentaka!" teriak Rangsa.
"Semangat, Jentaka!" Gayatri pun tak mau kalah. Ia ikut memberikan dukungan.
Beberapa rakyat jelata pun jadi ikut mendukung. Mereka benci pada Jentaka, tetapi melihat seorang bangsawan kalah dari pemuda itu tentu saja merupakan sebuah hiburan.
"Kurang ajar!" Kara bangkit dengan tatapan marah. Ia menatap ke arah para penonton. "Diam kalian, bajingan!"
Pada satu titik, Kara terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Ia menyeringai, lalu menatap ke arah Jentaka. Perlahan ia berjalan ke arah lawannya tersebut. Mulutnya bergumam tanpa suara, tetapi Jentaka mampu membaca gerak bibirnya.
Raut wajah Jentaka berubah. "Bajingan!" Pemuda yang baru saja mendominasi itu tiba-tiba kehilangan kesabarannya. Ia berlari ke arah Kara dengan ceroboh.
"Dasar bodoh! Jangan termakan provokasinya!" teriak Rangsa. "Kara berbahaya bukan karena postur tubuhnya, tapi mulutnya yang kotor! Sebagai seorang pembunuh, ia melakukan cara apa pun untuk membunuh!"
Ketika menyadari dirinya ditelan murka, Jentaka terbelalak. Namun, sudah terlambat. Ia sudah masuk ke dalam area serang Kara dengan suka rela, tanpa pertahanan. Kara menyerang Jentaka bertubi-tubi hingga ia tumbang kehilangan sadar.
Jika Kara menghinanya, mungkin Jentaka tak peduli. Masalahnya, ketika pemuda itu menemukan ibu dari lawannya. Ia sontak bergumam. "Pelacur."
Hari itu, Jentaka gagal melindungi harga diri ibunya dari mulut kotor Kara, dan juga gagal lolos sebagai Sadawira.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top