3 : Suka dan Duka

Jentaka anak yang cerdas. Ia tak langsung memberikan ibunya sepuluh keping uang emas hasil perburuan Wanara. Ia tukarkan uang emas itu menjadi uang gobog dan memberikannya empat keping sampai delapan keping per hari. Sampai tabungannya habis, Jentaka bisa bersantai dan menikmati waktu bersama Gayatri. Mereka sering bertemu di Hutan Angkara, persis seperti Bramasakti dan Sri dulu.

"Kamu pernah makan daging sapi?" tanya Jentaka.

Gayatri mengangguk. "Kamu belum pernah?" Mereka berdua duduk di sebuah patahan batang pohon besar.

Jentaka menggeleng. "Aku dan ibu lebih sering memakan serangga dan hewan-hewan kecil. Kami makan enak jika aku mendapatkan buruan atau habis memancing di sungai."

"Apa buruan terbesarmu, Jentaka?"

Matanya melirik kosong ke arah atas kanan. Jentaka tampak sedang berpikir. "Mungkin jika menyangkut yang paling berbahaya adalah babi hutan dan harimau, tapi buruan terlezat adalah kijang."

"Biasanya orang dewasa berburu babi hutan membawa beberapa anjing mereka. Kau memburunya sendirian?" tanya Gayatri.

"Aku tidak pernah mencari hewan buas, tapi aku terpaksa berburu jika mereka mengancamku," jawab Jentaka.

"Kau hebat," puji Gayatri. Wajah Jentaka memerah, ia terlihat salah tingkah. "Aku juga punya sesuatu yang menarik, mau dengar?"

Jentaka membalas pertanyaan itu dengan anggukan kepala.

"Sekarang tutup telingamu rapat-rapat, Jentaka. Tatap aku."

Jentaka menatap Gayatri sambil menutup telinganya. Laki-laki itu terpana, wajah gadis di depannya amat sangat cantik. Mulut gadis kecil itu terkunci, tetapi ada hal yang aneh.

'Kau dengar aku?'

Kini bocah pembawa sial itu memicingkan matanya. Ia seperti mendengar suara Gayatri di dalam kepalanya.

'Aku bisa memberikan pesan spiritual.'

"Apakah itu suaramu? Yang ada di dalam sini?" tanya Jentaka sambil menunjuk kepalanya sendiri.

Gayatri tertawa kecil. "Iya, itu suaraku. Telepati namanya."

"Hebat! Bagaimana kau melakukannya?"

"Setiap keluarga di Bhartavia memiliki tradisi tersendiri dalam mendidik anak-anak mereka, khususnya di kalangan bangsawan. Seperti Rangsa yang bisa melihat roh, aku bisa melakukan telepati. Kami memiliki keunikan masing-masing."

"Ternyata bangsawan memang sehebat itu. Aku baru tahu," ucap Jentaka.

"Bukan hanya para bangsawan. Setiap manusia punya kehebatan masing-masing. Tidak semua bangsawan bisa berburu sepertimu."

Jentaka melihat sekuntum bunga yang cantik. Ia memetik bunga itu dan menyelipkannya di atas telinga Gayatri. "Sekali lagi, terimakasih pujiannya. Jika aku boleh memuji ... kau cantik, Gayatri. Gadis tercantik yang pernah aku temui."

Kini giliran wajah Gayatri yang memerah.

"Bukan hanya parasmu. Yang menjadikanmu gadis tercantik adalah hatimu. Terimakasih karena telah sudi memberikan waktumu untuk berbincang dengan orang sepertiku," lanjut Jentaka.

Gayatri tertawa kecil. "Terimakasih untuk pujiannya." Gadis itu tak menyangka bahwa Jentaka memiliki tutur kata yang lembut dan indah.

"Sedang apa kalian berduaan?"

Gayatri dan Jentaka sontak menoleh. Dilihatnya Rangsa yang sedang bersandar pada pohon tak jauh di belakang mereka.

"Berbincang," jawab Gayatri.

Rangsa mendekat dan ikut duduk di batang pohon yang tumbang. Pohon itu tumbang karena hujan lebat beberapa hari lalu. Entah karena angin, atau tersambar petir.

Jentaka menatap buku yang dibawa oleh Rangsa. Buku itu berbeda dari yang kemarin ia tunjukkan di dalam hutan. Kali ini warnanya kuning agak lusuh.

"Buku apa itu?" tanya Jentaka penasaran.

"Buku pelajaran. Mau baca?" Rangsa memberikan buku tersebut.

Jentaka mengambilnya dan membukanya. Ada banyak tulisan di sana, tetapi ia tak bisa membacanya.

"Kau tidak bisa membaca?" tanya Rangsa.

Jentaka menatapnya sembari menggeleng. Gayatri menunjuk baris pertama dari halaman yang dibuka oleh Jentaka.

"Aktivitas ghaib dimulai ketika matahari terbenam. Roh lebih aktif di malam hari," ucap Gayatri. "Itu yang tertulis pada baris pertama."

Jentaka menatap mereka berdua. "Kalian hebat."

"Tentu saja, kami belajar di rumah inti Trimurti. Di sana para bangsawan diajarkan menulis dan membaca," balas Rangsa. "Mau ku ajarkan secuil kehebatanku ini?"

Jentaka tersenyum. Ia mengangguk. Tentu saja ia senang jika diajari membaca dan menulis. Bocah itu merasa derajatnya naik. Tak semua orang di Bhartavia bisa membaca dan menulis.

"Ini tidak gratis, kau harus bayar," celetuk Rangsa.

Raut wajah Jentaka sontak berubah. Senyumnya memudar. "Aku tidak punya uang," balas Jentaka.

Sementara Jentaka terlihat murung. Seringai itu justru tercetak di wajah Rangsa. "Kau hanya perlu jadi anak buahku. Hanya itu bayarannya."

"Baiklah, tidak buruk, tapi aku harus bekerja di siang hari. Jadi waktuku untuk belajar tidak banyak."

"Begini saja. Setiap hari aku akan memberikanmu lima keping gobog. Kau hanya perlu pura-pura bekerja. Sepanjang hari kau harus jadi anak buahku. Membantuku banyak hal. Jika kerjamu bagus, aku akan memberikanmu satu koin emas sehari."

"Itu merepotkan. Sebaiknya kau tolak ajakan dia, Jentaka. Rangsa adalah anak yang haus akan ilmu pengetahuan dan penelitian seputar roh. Bisa-bisa ia berniat menjadikanmu bahan eksperimennya," celetuk Gayatri.

"Ya, bukan eksperimen yang berbahaya. Kau tidak akan mati," balas Rangsa.

Jentaka menatap Gayatri. "Tak apa. Aku mau," ucap Jentaka.

Gayatri menghela napas. "Ya sudah. Itu pilihanmu." Ia memasang wajah datar.

"Sejak kecil aku tidak pernah punya teman. Semua menghina dan melempariku batu. Katanya aku anak pembawa sial, anak terkutuk, anak haram ... terkadang aku iri melihat mereka semua yang bermain di luar. Aku bukan orang jahat, tapi kenapa aku diperlakukan jahat? Dunia ini sungguh tak adil. Tak apa jadi bahan percobaan, asalkan aku bisa berada di sisi kalian. Itu sudah cukup."

Rangsa dan Gayatri menaruh tatapan iba pada Jentaka yang perlahan terbuka dan menceritakan kisah lalunya. Mereka saling rangkul dan menempelkan kening. "Kami adalah temanmu, Jentaka," ucap Gayatri.

"Hmm ... sebenarnya kau cuma bawahanku mulai sekarang, tapi jika kau mau menganggapku sebagai teman tak mengapa. Aku tidak masalah dengan hal itu," timpal Rangsa.

"Terimakasih teman-teman." Jentaka terlihat senang hari ini. Gayatri dan Rangsa tertawa, tetapi Jentaka tidak.

Banyak pembicaraan lucu ketika Rangsa hadir. Anak itu memang memberikan warna yang berbeda dengan segala celotehnya. Namun, Jentaka tak pernah sedikit pun tertawa.

Pada satu titik, Rangsa menatap Jentaka. "Hey, tertawalah, cecunguk! Apa kau pikir semua guyonanku membosankan?" ucap Rangsa.

Jentaka hanya tersenyum. "Bagaimana caranya?"

Gayatri dan Rangsa saling bersitatap, kemudian bersamaan menatap Jentaka. "Ya--tertawa. Ha-ha-ha-ha. Begitu."

"Ha-ha-ha-ha." Jentaka mengikuti logat Rangsa, tetapi dengan ekspresi datar.

"Bukan, bukan ...." Rangsa menggaruk kepala.

"Ibu tidak pernah mengajarkannya. Lain kali akan ku coba," celetuk Jentaka.

"Jentaka. Ketika ada hal yang lucu, menyenangkan, dan membuatmu bahagia. Terkadang senyum tidak akan cukup untuk menampung itu semua dan pecah menjadi gelak tawa. Itu bukan hal yang bisa diajarkan. Hanya kau sendiri yang berhak menentukan kebahagiaanmu. Tertawa, menangis, dan marah adalah cara manusia mengekspresikan dirinya dalam merespons sesuatu perihal perasaannya," ucap Gayatri.

Jentaka hanya bisa tersenyum. Ia bahagia, tapi belum cukup untuk membuatnya tertawa. Entah, sejak kecil bocah itu sama sekali belum pernah tertawa.

"Terimakasih penjelasannya, Gayatri. Akan aku ingat. Lain kali aku akan menunjukkan tawaku pada kalian."

Rangsa memasang wajah datar. "Dasar aneh."

Tak terasa hari mulai sore. Seperginya Gayatri dan Rangsa, Jentaka berlari untuk mencari keringat. Ia harus terlihat lelah di hadapan ibu. Setelah itu ia pulang dan memberikan beberapa keping uang gobog pada ibunya.

***

Jentaka berjalan pulang. Ia baru saja selesai membersihkan diri di sumur. Semakin dekat dengan rumahnya, suara bentakkan itu makin keras. Suara itu berasal dari rumahnya.

"Ibu!" Anak berusia lima tahun itu berlari secepat yang ia bisa.

"Besok saya akan usahakan ...," gumam Sri lirih.

"Kau itu hidup di Bhartavia! Kau aman dari serangan Wanara, Garuda, dan Denawa karena perlindungan dari tiga keturunan Trimurti yang sakti! Sudah kewajiban penduduk untuk membayar upeti untuk keamanan dan ketertiban, dasar jalang!" Pria berkumis itu mendorong Sri hingga terjatuh.

"Beraninya melukai ibuku!" Jentaka membidik penagih upeti itu dengan panah miliknya. Ibunya memang kejam, tetapi Jentaka sayang ibunya.

Pria itu menatap Jentaka dengan sorot mata yang tajam. "Buah tak jauh dari pohonnya."

"Jentaka!" bentak Sri.

Tangan Jentaka gemetar. Tak ada yang membuatnya takut selain suara lantang ibunya.

"Turunkan busurmu!"

Dengan berat hati ia menurunkan busurnya. "Baik, Bu."

Pria penagih upeti menggerakkan sedikit kepalanya. "Beri pelajaran pada bocah itu."

Dua orang Sadawira yang mendampinginya menghajar Jentaka. Memukuli perut bocah itu hingga memuntahkan makan malamnya beberapa waktu lalu.

"Aku tidak bisa menunggu lama. Kau harus membayar upeti seperti yang lainnya."

Lima uang koin emas berserakan di kaki si penagih upeti. Jentaka melemparnya. "Ambil itu dan pergi dari rumah kami," ucap Jentaka dengan tatapan kosong. Sorot matanya membuat pria penagih upeti dan Sadawira yang mengawalnya merinding.

Pria itu berjalan ke arah Jentaka dan menghajar wajah anak itu hingga terkapar di tanah rumahnya.

"Ambil uang itu. Kita pergi." Pria berkumis berjalan keluar.

Seorang Sadawira memungut uang koin emas yang dilempar Jentaka dan pergi dari gubuk reot milik Sri.

"Dari mana uang koin emas itu? Kau mencuri?"

Jentaka tak berani menatap mata ibunya. "Tidak, Bu."

"Jujur! Dari mana?!" bentak Sri.

"Be-berburu, Bu. Jentaka membantu seorang bangsawan berburu Wanara di dalam hutan."

Sri memicingkan matanya. "Wanara?" Ia mendekat pada Jentaka.

"Ma-maafkan Jentaka, Bu. Jentaka melanggar perintah ibu untuk tidak masuk terlalu jauh ke Hutan Angkara."

Sebuah tamparan mendarat di wajah bocah itu. Dari sekian banyak lukanya malam ini, tamparan ibunya adalah yang paling menyakitkan. Sri menatapnya penuh murka.

"Jangan pernah lakukan itu lagi. Jika kau mati, aku jadi repot mencari uang sendirian."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top