2 : Berburu

"Arrrghhh!"

Mata panah itu bersarang pada kaki seorang pria tua yang sedang berjalan. Mereka semua melempar busur dan anak panah itu, lalu kabur menyisakan Jentaka seorang diri. Banyak saksi, tetapi mereka semua bungkam dan mengkambing hitamkan Jentaka.

Semua tatapan itu melempar semua kesalahan pada anak berusia lima tahun yang terlihat panik. Jentaka menoleh ke sekelilingnya. "Bu-bukan saya, bu-bukan saya yang memanah."

Seorang pria dengan persenjataan lengkap datang menghampiri Jentaka. Pria itu adalah seorang Sadawira. "Siapa yang melukai pria tua di sana?" tanya pria itu.

Semua tatap dan telunjuk mengarah pada Jentaka.

Sadawira itu menatap arah telunjuk orang-orang di sekitarnya hingga berujung pada sosok bocah tak jauh di depannya. Ia menatap tajam ke arah Jentaka. "Kau?"

Mengelak pun percuma. Ini bukan kali pertama terjadi. Jentaka dan ibunya dianggap sebagai pembawa sial. Hamil tanpa suami dan lahir tanpa ayah merupakan hal berat di tempat ini.

"Bukan dia. Mereka semua bohong."

Semua tatapan berpindah pada seorang anak laki-laki berpakaian hitam yang terbuat dari sutra. Rambutnya disanggul dengan kerincingan emas. Tak semua orang berhak mengenakan pakaian sejenis itu di era ini, bahkan untuk anak-anak bangsawan yang mengolok-ngolok Jentaka tadi. Ia mengenakan alas kaki berupa sepatu kulit.

Sadawira dan juga yang lainnya membungkukkan badan pada anak itu. Ia berjalan menghampiri Jentaka dan menatap bocah lusuh itu dari ujung rambut hingga ujung kepala.

"Bukan bocah tengik ini yang memanah kakek itu. Dia mana mungkin bisa memanah," lanjut bocah berpakaian hitam. "Mungkin siapa pun yang bisa mengatakan dengan jujur akan aku berikan uang emas."

Mendengar itu, semua orang mendadak jujur dengan apa yang mereka lihat. Kini pelaku utamanya sudah diketahui. Sadawira itu pamit untuk menangkap pelakunya. Sementara bocah berpakaian hitam itu tersenyum menatap Jentaka. "Lain kali hati-hati." Ia menepuk pundak Jentaka dan hendak pergi. Beberapa perkataannya tadi adalah sandiwara. Ia tak bermaksud untuk menyebut Jentaka bocah tengik.

"Tuan muda, sebaiknya tuan cuci tangan. Saya adalah anak pembawa sial," tutur Jentaka halus.

Anak itu terkekeh. "Ayo kita buktikan itu. Tidak ada manusia pembawa sial di dunia ini."

"Tuan Satria, anda sudah ditunggu oleh Prabu Arya Langit. Sebaiknya anda bergegas," ucap seorang penjaga kerajaan.

"Aku pamit dulu ...."

"Jentaka. Nama saya Jentaka."

Ia tersenyum. "Sampai berjumpa lagi, Jentaka."

Bocah bernama Satria itu naik ke atas kereta kencana dan melanjutkan perjalanan menuju kediaman Trimurti.

"Wah, wah, wah, kau beruntung bocah."

Jentaka menoleh ke arah anak laki-laki seusianya. Dari pakaiannya sepertinya dia juga anak bangsawan.

"Yang barusan itu adalah pangeran Satria. Jarang-jarang dia berbicara dengan orang lain, terutama rakyat jelata. Kelak dia akan menjadi Raja yang baik. Ia menjunjung tinggi keadilan tak pandang bulu."

Jentaka menundukkan kepala, ia harus hormat pada anak-anak bangsawan jika tak ingin diganggu. Bocah itu merangkul Jentaka dan berbisik. "Tak usah begitu padaku. Kau mau uang?"

Tentu saja kepala Jentaka akan mengangguk jika itu tentang uang.

Bocah itu tersenyum. "Ayo, ikut aku."

Jentaka pergi mengikuti bocah itu. Mereka menuju hutan.

"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Jentaka ketika memasuki wilayah hutan.

"Berburu," jawab anak itu.

"Berburu apa?"

"Kau tidak perlu tahu, nanti juga tahu sendiri," jawab anak itu.

"Aku harus tahu apa yang aku buru untuk mempersiapkan segalanya," sanggah Jentaka.

"Wanara."

Jawaban bocah itu membuat Jentaka berhenti melangkah. Wanara merupakan ras manusia kera yang tinggal jauh di dalam Hutan Angkara. Keberadaan mereka masih simpang siur, tetapi beberapa warga pernah bersaksi melihat Wanara di Hutan Angkara.

"Rangsaaaa!" panggil seorang gadis kecil. Sontak Jentaka dan anak bernama Rangsa itu menoleh.

"Gayatri." Bocah bernama Rangsa itu tersenyum sambil menunjuk Jentaka. "Ini anak yang kau bicarakan, bukan?"

Gayatri mengangguk. "Namanya Jentaka, dia lihai berburu." Selama ini Gayatri diam-diam selalu memperhatikan Jentaka. Ia tahu kemampuan Jentaka dalam berburu.

"Bagus, itu sudah lebih dari cukup."

"Hey, hey, tunggu!" ucap Jentaka. "Wanara adalah makhluk yang beringas. Sebaiknya kita tidak mencari masalah dengan makhluk buas itu."

Bocah yang menawarkan uang pada Jentaka merubah ekspresinya. "Kau mau uang tidak? Aku akan membayarmu sepuluh keping uang emas. Kau rakyat miskin yang hanya tau uang gobog, kan? Kali ini kau akan mendapatkan uang emas."

Jentaka meneguk ludah. Sepuluh keping uang gobog setara dengan satu keping uang emas. Jika ia memiliki sepuluh, berarti sama saja ia memperoleh seratus keping uang gobog.

"Bagaimana?" tanya Rangsa.

"Ba-baiklah, ayo kita berburu," jawab Jentaka.

Rangsa menatap Gayatri. "Lihatlah, aku akan membawa pulang kepala Wanara. Kau tunggu saja di tempat biasa."

Rupanya bocah itu hanya ingin menunjukkan kehebatannya pada gadis yang ia sukai.

"Oke. Hati-hati ya kalian berdua," ucap Gayatri.

Rangsa tersenyum. Ia dan Jentaka berjalan semakin dalam ke Hutan Angkara. Semakin mereka berjalan, hutan semakin gelap. Pohon-pohon di dalam terlalu lebat untuk ditembus oleh sinar mentari.

"Kau takut, bocah?" tanya Rangsa.

Jentaka menatap bocah itu. 'Jelas-jelas usia kita tidak berbeda jauh. Kenapa malah memanggilku bocah?'

"Berhenti ...," gumam Rangsa lirih. Ia menghentikan langkah Jentaka dengan tangannya. Matanya menatap ke samping kanan. Telinganya fokus mendengarkan.

"Ada apa?" tanya Jentaka heran.

Rangsa memasang wajah serius. "Bidik ke arah kanan."

"A-aku tidak melihat apa-apa ...."

"Ikuti perintahku. Bidik."

Jentaka tak ambil pusing, ia membidik ke arah yang dimaksud oleh Rangsa.

"Tahan. Jangan lepas sebelum aku bilang lepas."

Jentaka mulai berkeringat. Perasaannya sungguh tak enak. Dari arah kanan, angin kencang berhembus menerpa kulit mereka. "Lepas!"

Jentaka melepas anak panahnya. Sekelibat bayangan melesat ke arah mereka. Bayangan itu menghindari anak panah Jentaka yang akurat.

"Sial!" Rangsa menarik Jentaka.

Bayangan itu hampir menabrak Jentaka. Kini mereka berdua bergidik ngeri. Seekor Wanara berdiri membelakangi mereka sambil sedikit menoleh dengan wajah menyeringai.

"Wa-wanara!" pekik Jentaka.

"Jangan takut. Kita adalah pemangsanya!" Rangsa ikut menyeringai. Ia mengeluarkan sebuah buku berwarna hitam. Ketika ia menyentuh buku itu, sebelah matanya berubah menjadi hitam dengan iris berwarna biru.

"Buku apa itu?" Jentaka ketakutan menatap perubahan mata Rangsa.

"Oh, kau bisa melihat buku dan mata ini?" tanya Rangsa. "Jangan beritahu siapa pun tentang apa yang kau lihat setelah kita memasuki hutan. Anggap saja kau tidak pernah mengalami ini semua."

Rangsa mengambil belati dari balik jariknya. Ia melukai tangannya sendiri dan menumpahkan darah pada  buku hitam yang telah ia buka. Darah membasahi lembaran buku hitam tersebut.

Rangsa menyeringai. "Kau berhak takut dengan apa yang kau lihat, tapi jangan takut padaku." Raut wajahnya mendadak berubah. Ia terlihat seperti seorang anak yang sedang bersenang-senang dengan mainannya. Ia menatap tajam Wanara di depannya yang sudah bersiap untuk menyerang.

"Hati-hati, dia akan menyerang!" ucap Jentaka.

Wanara itu melesat ke arah Rangsa dengan sangat cepat. Wanara memang dikenal buas dengan kecepatan dan kelincahannya.

"Rangsa awas!" teriak Jentaka.

"Penuhi panggilanku, Ganda ...," gumam Rangsa lirih.

Jentaka menarik anak panah dan hendak membidik wanara yang akan menyerang Rangsa. Namun, waktu seakan melambat untuknya. 'Rangsa akan tewas. Berikutnya aku.'

Sebuah dentuman mengakhiri efek slow motion yang sempat dirasakan oleh Jentaka. Makhluk berbulu lebat setinggi pepohonan terlihat di depannya. Rangsa duduk di atas kepala makhluk itu. Wanara yang ia takutkan telah mati. Jasadnya menggantung di gigi tajam makhluk besar itu.

Jentaka terduduk lemas menatap makhluk itu. Ia gemetar dan terlalu takut untuk berlari.

"Jangan takut, Jentaka! Ini adalah temanku, Ganda." Rangsa terkekeh. Ia berseluncur turun dari tubuh raksasa berbulu itu. Ganda menurunkan mayat Wanara yang ia bunuh. Rangsa mengambil sejumlah bulu Wanara itu dan menatap Jentaka sambil tersenyum. "Aku sudah dapat apa yang aku butuhkan. Ayo kita pergi. Katakan pada Gayatri bahwa kita tidak menemukan apa pun."

"A-aku tidak melakukan apa-apa ...."

"Tak apa-apa. Kehadiranmu hanya untuk umpan. Aku punya banyak penjaga. Para Wanara tidak akan ada yang merasakan hawa kehadiranku. Kemungkinan besar aku tidak akan menemukan satu pun mereka. Maaf karena berbohong, tapi janjiku tentang sepuluh keping uang emas itu tidaklah bohong. Itu adalah harga kepalamu." Rangsa terkekeh. Ia berjalan pergi. Makhluk besar miliknya mendadak hilang tanpa disadari oleh Jentaka.

"Kau tidak membawa wanara itu?" tanya Jentaka.

"Biarkan keberadaan mereka menjadi misteri. Aku hanya butuh beberapa helai bulunya."

"Untuk apa? Kau tidak memakan bulu, kan?"

Rangsa menghentikan langkahnya. "Bodoh, kau pikir siapa aku? Aku butuh bahan untuk menyelesaikan sebuah Mantra."

"Mantra apa?"

"Pemanggilan setan," jawab Rangsa menyeringai. Jentaka merinding mendengar jawaban bocah itu. "Aku adalah keluarga Sagara. Hubungan Sagara dengan dunia roh begitu dekat, seperti halnya aku dan Ganda. Ahh--maaf. Perkenalkan kembali, namaku Rangsa Sagara."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top