10 : Perang di Tanah Bhartavia(End)

Jiwasakti dan pasukan setannya berdiri menatap Yudistira beserta pasukan Bhartavia. Kerto menatap tajam ke arah putranya yang dirasuki.

"Rupanya selama ini kau yang mencuri buku itu, Rangsa?" tanya Kerto. "Jentaka memang memberikan pengaruh buruk bagimu. Apa anak itu memanfaatkanmu? Aku tahu kau masih di sana. Jawab aku!"

"Khekhekhe." Seringai itu kembali terpampang lebar. "Satu-satunya yang menyadari pergerakkanku untuk meruntuhkan negeri ini hanyalah Rangsa. Jika bukan karena dia, Bhartavia sudah hancur sejak dulu. Rangsa selalu mengawasi gerak-gerikku dan menggagalkan banyak rencana yang telah ku susun rapi. Harusnya kalian berterimakasih padanya dan membuat patungnya di tengah alun-alun. Satu-satunya yang layak disebut pahlawan di tempat ini hanyalah Rangsa. Namun, pada akhirnya ia mati di tanganku ketika berusaha mencuri buku ini dariku khekhekhe."

Kerto berkaca-kaca. "Seharusnya anak ini memberitahuku. Dia terlalu membebankan dirinya sendiri seolah semuanya bisa ia tangani tanpa bantuan orang lain ...."

"Apa yang dilakukan Rangsa sudah benar. Sebab ia tahu, ada benalu di antara kalian." Seringai Jiwasakti membuat para pasukan Bhartavia saling bertukar tatap. "Jika ia salah memberikan informasi, bisa-bisa dirinya kehilangan kesempatan. Ya, walaupun pada akhirnya kesempatan itu memang tak ada sih khekhekhe."

'Ada pengkhianat di antara kita?' Pertanyaan itu serempak muncul dalam benak pasukan Sadawaira dan juga para bangsawan.

Melihat Jiwasakti yang tengah terkekeh sambil menikmati adegan panas ini, Satria menunjuk ke arahnya. "Jangan percaya kata-kata iblis. Mereka penuh tipu muslihat."

Jiwasakti merubah raut wajahnya. Sorot matanya tajam menatap Satria. "Rangsa bisa menghentikan pergerakanku selama beberapa tahun belakangan. Kita lihat, apa kau bisa bertahan satu malam ini? Buktikan kau lebih baik darinya, pahlawan!" Jiwasakti mengarahkan tangan kirinya ke arah Yudistira dan pasukan Bhartavia.

"Lahap segala cahaya yang ada di muka bumi." Pasukan setan yang tengah haus darah melesat ke arah pasukan kerajaan. Jiwasakti kembali memasang seringai. "Bunuh cahaya harapan. Jangan sisakan sepeser pun." Ia ikut berlari di belakang pasukannya.

Yudistira menarik napas panjang dan menahannya sejenak. Urat-urat di lehernya mencuat. "JANGAN GEMETAR, WAHAI PASUKAN! JANGAN BIARKAN KEGELAPAN MEMBUAT KEBERANIAN KALIAN PUDAR! MALAM MEMANG GELAP. KITA YANG BERCAHAYA! TERANGI DADA KALIAN DENGAN KEBERANIAN!" Ia memukul dadanya lantang dengan sorot mata tajam menatap para setan yang menerjang. Yudistira mengambil ancang-ancang berlari. "SERAAANG!" Ia melesat paling depan memimpin pasukannya.

"Mereka kuat dengan memakan rasa takut kita! Jangan biarkan mereka semakin kuat!" timpal Kerto. Ia dan para anggota keluarga Sagara beralari di belakang Yudistira.

Bukan hanya Sagara. Para Martawangsa pun mengenakan topeng-topeng mereka dan menerjang lawannya. Pertempuran di tanah Bhartavia tak bisa dihindari.

Yudistira menebas setan-setan itu dengan tombak Panatagama. Merobek, membelah, memotong mereka semua hingga menjadi kepulan asap hitam.

Di sisi lain Jiwasakti mencabik, mengoyak, dan membunuh para Sadawira dan bangsawan kerajaan. Pada satu momen, ia dihadapkan dengan Kara. Jiwasakti menatap Kara sambil mengucapkan sesuatu dengan bibirnya, tanpa suara.

"Pelacur."

Kalimat itu membuat Kara terkejut dan merinding. "Rupanya kau ...."

Jiwasakti melesat ke arah Kara. Kara memegang sebilah pedang. Ia mengayunkan pedang itu ke arah Jiwasakti, tetapi ketika pedang itu menyentuh leher lawannya, bukan kepala Rangsa yang putus. Melainkan pedang Kara yang hancur.

"Seharusnya kau menggunakan atma," ucap Jiwasakti.

"Apa?!" Kara terkejut dengan hal itu.

"Selamat tidur, Wijayakusuma." Jiwasakti menusuk dada Kara dengan tangan kanannya. Kara tewas di tangan Jiwasakti.

"Sepertinya kau baru saja bersenang-senang dengan salah satu keluarga kami." Seorang pria berkumis dengan tubuh kekar berjalan ke arah Jiwasakti. Ia mengenakan jubah yang terbuat dari kulit serigala. Ada tiga orang yang mengikutinya.

"Kurang satu." Jiwasakti menyeringai sambil menatap mereka bergantian. "Apa pria bertubuh kekar dengan gada dan pisau berantai juga salah satu dari kalian?"

Pria dengan jubah serigala itu menyipitkan matanya. "Suryatama ...."

"Ia sudah ku bereskan duluan khekhekhe."

Pria itu melotot menatap Jiwasakti. "Aditama, Widyatama, Chandratama, bunuh orang ini!" teriaknya.

Kepala keluarga Wijayakusuma beserta tiga Ashura mengepung Jiwasakti. Seringai di wajah Rangsa mendadak hilang. Tatapannya kosong memancarkan aura membunuh. "Majulah. Akan ku ajari caranya memohon pengampunan ketika nyawa sudah di ujung tanduk."

Ketiga Ashura maju dan menyerang Jiwasakti secara bersamaan. Seorang pria dengan dua keris, seorang lagi dengan sebuah pisau, dan yang terakhir membawa celurit.

Widyatama menghujam lurus pisaunya mengincar dada kiri Jiwasakti, tetapi Jiwasakti mampu menghindarinya dengan mundur beberapa langkah. Widyatama malah menyeringai. "Memanjanglah, Badik!" Pisau itu tiba-tiba memanjang dengan sendirinya dengan amat sangat cepat.

Jiwasakti menangkap dan menggenggam pisau Badik dengan tangannya. Darah segar mengalir membasahi tanah.

Aditama melempar sebilah keris ke arah Jiwasakti, tetapi Jiwasakti masih bisa menghindarinya. Sosok Aditama menghilang dari pandangan Jiwasakti. Ashura itu muncul di belakang Jiwasakti dan langsung menggenggam kerisnya yang baru saja melewati Jiwasakti. "Matilah!" Ia melesatkan serangan mengincar leher.

Jiwasakti memutar tubuhnya dan menggigit keris itu masih menggenggam pisau Badik. Namun, tiba-tiba sebuah sabetan celurit melukai tubuhnya. Chandratama menyabet Jiwasakti dari jarak yang cukup jauh. Pasalnya, ketiga Ashura memiliki pusaka sakti yang mematikan. Pisau Badik yang bisa memanjang dan membesar, keris kembar Kaladite dan Kalanadah yang bisa bertukar posisi, juga celurit Jatayu yang mampu melesatkan pisau angin dari atma.

Jiwasakti melepaskan tangannya yang terluka dari pisau badik dan mencipratkan darahnya ke mata Widyatama dan juga Aditama, lalu ia berlari ke arah Chandratama dan memukulnya.

"Kematianmu adalah hal yang akan terjadi malam ini," ucap kepala keluarga Wijayakusuma.

Jiwasakti mundur dan merapalkan mantra kuno. Ia bergumam tanpa bisa dimengerti artinya. Namun, ada seseorang yang memahami mantra itu. Ia berlari tertatih membawa tongkatnya menuju para Ashura. "Mundur!" teriak pak tua Samidjo.

Ketiga Ashura ini mendadak diam, lalu memegangi dada masing-masing. Mereka tak bisa bernapas. Jiwasakti mengarahkan tangannya ke depan, menghadap ketiga Ashura di depannya. Ia meremuk tangan kosongnya yang terluka akibat pisau Badik. Sontak ketiga Ashura itu memuntahkan darah dari mulutnya dan terkapar tanpa nyawa. Jantung mereka hancur dari dalam.

"Apa yang terjadi?!" teriak kepala keluarga Wijayakusuma yang tak percaya jika tiga Ashura baru saja mati dalam waktu bersamaan tanpa pergerakkan berarti dari Jiwasakti.

"Jangan tersentuh darahnya!" teriak Sang Tabib. Pak tua itu menatap sosok Rangsa yang sedang menatapnya balik. Samidjo mengingat kembali wajah Arya Langit. "Seharusnya kau membunuh wanita itu Bramasakti. Bukan menidurinya. Dia adalah salah satu dari keluarga penghuni Hutan Angkara. Tak seharusnya kau merebutnya dari Hutan itu ...," gumam Samidjo lirih.

Sesosok ular putih besar hendak menerkam Samidjo dari samping, tapi Yudistira datang dan membelah ular itu, lalu berdiri di samping Samidjo. Ia menatap Samidjo seolah mencari penjelasan. "Keluarga itu?"

"Ini adalah sebuah aib Bramasakti Arya Langit. Ia meniduri seorang wanita yang ia temukan di Hutan Angkara. Tak seharusnya wanita itu berada di sini. Wanita dari keluarga Angkhara. Sialnya, wanita itu melahirkan keturunan Arya Langit."

"Apa maksudnya itu, Ki? Apa berarti Jentaka atau Jiwasakti itu memang adalah saudara kandungku?!" tanya Satria.

"Ya, benar. Dia adalah anak yang tak diakui oleh Arya Langit dan juga Bhartavia. Putra dari Sri Darmawati Angkhara."

Satria terdiam sejenak berusaha mencerna ucapan yang dilontarkan Ki Samidjo. Warasnya menolak kebenaran.

"Hutan di samping Bhartavia bernama Angkara bukan tanpa sebab. Ada keluarga yang menghuni hutan itu di pedalaman. Tidak seharusnya mereka keluar dari hutan itu. Kau lihat, Bramasakti ... kelak satu orang pun akan membawa celaka."

"Keluarga apa, Ki?!" tanya Satria haus penjelasan.

"Angkhara. Mereka adalah keluarga kecil penghuni pedalaman Hutan Angkara. Manusia yang dicintai iblis. Darah mereka terkutuk. Setiap Angkhara memiliki ilmu yang berbeda. Mereka adalah satu-satunya keluarga yang bisa melakukan perjanjian tabu dengan memberikan darah terkutuknya pada Sang Iblis. Kau lihat, Yudistira? Musuh yang kita hadapi ini bisa membunuh hanya dengan cipratan darahnya. Berhati-hatilah," ucap Samidjo.

"Pantas saja setan-setan ini menurut padanya. Rupanya ia adalah titisan iblis!" timpal Kerto yang berada tak jauh dari sana dan bisa mendengar percakapan Samidjo. Ia sedang berhadapan dengan pocong bertangan empat. Makhluk itu sangat tangguh.

"Aku tidak peduli ...." Hawa membunuh yang sangat pekat mencuat dari tubuh kepala keluarga Wijayakusuma. Sorot matanya redup tanpa cahaya menatap Jiwasakti. "Orang ini harus mati. Darah dibayar darah, nyawa dibayar nyawa."

"Jangan gegabah, Asoka!" teriak Kerto.

Asoka Wijayakusuma, pria itu melesat cepat ke arah Jiwasakti. Hawa membunuhnya begitu mengerikan. Ia lebih haus darah ketimbang para setan. Asoka memiliki dua pedang kecil. Ia memutar pedang-pedang itu dan hendak menyerang Jiwasakti.

"Khekhekhe ...."

Asoka terbelalak. Ia terdiam di udara. Sulur-sulur kain kafan menjeratnya seperti serangga yang terperangkap di jaring laba-laba. Sekilas, Asoka menatap semua pergerakan dalam tayangan lambat.

'Ada apa ini?'

Kepala serigala raksasa melesat cepat dan menggigit tubuh Asoka yang terjerat dalam sulur-sulur kafan pocong rombeng. Kejadian itu membuat mental para pasukan semakin ciut. Seorang kepala keluarga baru saja tewas menjadi makanan lelembut. Dan orang itu adalah kepala keluarga Wijayakusuma. Pria yang paling disegani di antara kepala keluarga lain.

"Akan kami buatkan patung untukmu, Asoka!" Seorang pria dengan wujud braja muncul di belakang Jiwasakti. Ia melesatkan pedang mengincar kepala Jiwasakti dengan cepat. Rupanya ia sudah menunggu momen di mana Jiwasakti lengah untuk membunuhnya.

Dari luka yang didapatkan tubuh Rangsa. Darah-darah mengeras dengan ujung runcing dan melesat dengan cepat ke belakang, menembus tubuh pria Lohia yang hendak menghabisinya.

"Kalian pikir kenapa aku berdiri di sini seorang diri melawan kalian semua tanpa bantuan siapa pun?" tanya Jiwasakti mendongakkan kepala. Kepala keluarga Lohia masih melayang akibat tergantung pada darah-darah Jiwasakti. "Sudah jelas, kan? Karena aku terlalu percaya diri menghancurkan Bhartavia seorang diri. Jangan remehkan aku, manusia!"

Sebuah tombak melesat ke arah Jiwasakti. Ia melepaskan kepala keluarga Lohia yang ia jerat untuk menghindari serangan tersebut. Namun, sebuah tumit menghantam keras perutnya hingga terpental.

Jiwasakti yang sempat terjatuh, langsung bangkit dan menatap tajam pada Yudistira yang baru saja menyelamatkan kepala keluarga Lohia. "Enyahlah, iblis," tutur Yudistira.

Keluar darah dari pinggir mulutnya akibat serangan barusan. "Ragasakti ...."

"Keluarga Trimurti sudah berakhir. Aku bukan lagi Ragasakti. Mulai sekarang, aku dan keturunanku adalah Yudistira. Namaku Satria Yudistira!"

"Kau tak bisa sembarang membuang namamu seperti sampah, dan menggantinya seenak jidat," balas Jiwasakti.

"Jangan mengajariku, Jentaka."

"Khekhekhe ... Jentaka? Namaku Jiwasakti! Itu satu-satunya pemberian ibu yang masih tersisa. Jangan pernah panggil aku dengan nama lain, bedebah."

"Persiapkan dirimu, iblis ...." Satria menatap Rangsa dari balik topeng Barong. Hawa di sekitarnya memanas. Satria melesat dengan cepat ke arah lawannya. Setiap tanah yang ia langkahi meninggalkan jejak api.

Jiwasakti menyeringai. Dari luka-lukanya, darah bergerak menuju genggaman tangannya yang terluka. Ia membuat sebilah sabit dari darahnya sendiri dan berlari menerjang Yudistira. Benturan Panatagama dan sabit darah membuat sebuah gelombang angin kencang yang menghempaskan orang-orang di sekitar mereka.

"JIWASAKTI!"
"YUDISTIRA!"

Sambil beradu kekuatan, mereka saling menatap tajam penuh kebencian dan meneriaki nama musuhnya.

"Menjauh dari mereka berdua!" teriak Kerto pada pasukan Bhartavia, sekaligus memancing para lelembut ke tempat lain. Semua merasakan perbedaan level yang sangat jauh. Mereka hanya bisa berharap pada Yudistira untuk mengalahkan Jiwasakti.

Yudistira mundur satu langkah melepaskan diri dari adu kekuatan, lalu maju kembali menusuk lurus ke depan tujuh kali secara beruntun, tetapi sebanyak tujuh kali juga Jiwasakti menghindarinya dengan gerakan yang efektif. Jiwasakti menyerang balik dengan mengayunkan sabitnya, Yudistira menahan sabit tersebut dengan Panatagama yang digenggam dua tangannya.

"Sudah terlambat untuk mundur, Jiwasakti. Aku akan membunuhmu."

"Khekhekhe kau harus berusaha keras untuk itu. Seandainya kau benar-benar membunuhku ... aku akan datang lagi dan lagi entah bagaimana caranya. Membalas semua perbuatanmu dan orang-orang di sini. Mungkin kau pikir kau adalah orang baik, tapi dari sudut pandangku. Kalian yang jahat!"

"Lantas, bukan berarti kau bisa melakukan ini semua dan membunuh orang-orang! Banyak orang tak bersalah di sini!"

"Kebencian hanya akan melahirkan kebencian lainnya, dendam hanya akan menyalakan api peperangan, kesedihan hanya akan memperkuat rantai kedengkian. Hidup sejatinya adalah roda angkara." Jiwasakti mundur sejenak dan lompat ke depan sambil berputar mengayunkan sabitnya dari atas ke bawah.

Satria menangkis sabit itu dengan tombak di atas kepalanya, lalu mencondongkan tubuh kedepan, menendang Jiwasakti hingga terpental.

Jiwasakti yang terpental langsung membenahi posisinya. Ia melayang di udara dan melesat cepat ke arah Satria, menghantam Yudistira itu dengan tinjunya. Yudistira terhempas beberapa meter menabrak dinding sebuah rumah hingga hancur. Dengan cepat ia bangkit dan memasang wujud braja. Listrik menyelimuti dirinya.

"Langkah petir!"

Yudistira menghilang dari pandangan Jiwasakti. Ia muncul dari depan dan menghujam tombak lurus ke depan. Sayangnya yang ia tusuk hanyalah angin. Jiwasakti kini berada di belakangnya, ia juga memiliki kecepatan yang setimpal. Atma hitam yang mengerubunginya membuat ia mampu membaur dengan kelam malam.

Semua yang menyaksikan pertarungan itu takjub sekaligus ngeri. Kedua orang ini bertarung dengan tempo yang sangat cepat. Berpindah dari satu titik ke titik lain membawa gelombang kejut ketika senjata mereka saling beradu.

Jiwasakti menyeringai, ia memutar sabitnya hingga berada di atas kepala Yudistira. "Khekhekhe matilah!"

"Kau yang mati." Yudistira menggerakkan tangannya ke arah kanan seolah sedang memukul. Sebuah tangan raksasa tak kasat mata menghantam Jiwasakti. Sesaat sebelum Jiwasakti terhempas, tangan kiri Yudistira bergerak ke kanan. Kini kedua tangan yang terbentuk dari atma itu menjepit Jiwasakti di antara telapak tangannya.

Jiwasakti sekuat tenaga berusaha melebarkan jepitan telapak tangan atma itu untuk bisa keluar dan mencari posisi untuk kembali menyerang, tetapi rupanya teknik keluarga Gardamewa yang digunakan Yudistira amat sangat kuat hingga meremuknya dalam atma bertekanan tinggi.

Yudistira yang melayang di udara memutar tombaknya dan menghentikan putaran ketika mata tombaknya menatap Jiwasakti lurus ke depan selagi ia disibukkan dengan tangan atma. Ia menghunus tombak itu secara cepat tanpa bergeser mengincar jantung. Jiwasakti bergumam lirih. Ia terlihat tenang dan terus merapal mantra.

"Gething mung badhe bayen gething liya ...."

Yudistira mendadak menghentikan serangannya seolah tubuhnya diberhentikan paksa oleh sesuatu dari dalam dirinya. Ia menatap lemas bercak darah hitam yang menempel pada bagian tubuhnya. Bercak darah itu adalah cipratan dari sabit darah.

"Dhendham mung badhe obong geni paprangan ...."

Jiwasakti mengarahkan tangannya secara terbuka ke arah Yudistira.

"Nelongso mung badhe ngiyataken rante kedhengkian ...."

Yudistira memegangi dadanya yang terasa sesak, tombak panatagama terjatuh dan menancap di tanah. Perlahan seringai itu kembali menghiasi wajah Rangsa. Ia hendak meremuk tangannya untuk mengakhiri Yudistira. Matanya dan mata Yudistira saling beradu tatap.

"Gesang sejatine inggih punika roda anghkara."

"HENTIKAN!" teriak Yudistira menatap tajam ke arah Jiwasakti dari celah topengnya. "Aku bilang berhenti!"

Jiwasakti terdiam menatap mata biru milik Satria. Seketika, pria di hadapannya itu memiliki mata putih dengan iris biru muda. Jiwasakti hendak meremuk tangannya, tetapi seluruh tubuhnya kaku tak mau mengikuti perintahnya seolah takut dan tunduk dengan perkataan Yudistira. Ia kehilangan kendali atas dirinya. Kedua orang ini saling terdiam karena kemampuan lawannya masing-masing.

'Apa-apaan ini?' batinnya.

"Jangan remehkan manusia, wahai iblis terkutuk!" tutur Yudistira yang masih mematung. Dari mulut topeng Barong muncul sebuah bola cahaya. Atma di sekitarnya terhisap dan membuat cahaya itu semakin besar. "LENYAPLAH!" Yudistira menembakan cahaya itu ke arah Jiwasakti. Ledakan dahsyat terjadi. Menghancurkan beberapa rumah warga. Ungtungnya para Sadawira sudah mengungsikan para penduduk. Yudistira menghela napas, ia sudah sanggup bergerak kembali.

Dari asap yang mengepul tebal itu muncul siluet manusia berjalan. Jiwasakti keluar menembus asap tersebut dengan tubuh Rangsa yang penuh luka. Sebagian kulitnya terkelupas menampilkan daging merah segar. Serangan dari Yudistira barusan memberikan kerusakan yang cukup parah. Yudistira sudah dalam ancang-ancang melempar tombak Panatagama untuk mengakhiri hidup Rangsa dan penghuni tubuhnya. Ia sudah mendapatkan kembali hak atas kendali dirinya.

"Seandainya ... kalian memperlakukanku dan ibuku dengan baik. Seandainya ... kalian tidak menyebut ibuku pelacur. Seandainya ... kalian mau menolong ibuku saat ia sakit. Seandainya ... kalian tidak mengirim pria besar itu untuk membunuhku ...." gumam Jiwasakti lirih.

Satria bergetar. Ia terbelalak menatap Jiwasakti yang menangis seperti anak kecil. Sejenak ia ragu untuk menghabisi makhluk itu.

"Kalian menyebutku iblis, tapi kalianlah yang membuatku seperti ini! Kalianlah yang iblis! Dasar jahanam! Kembalikan ibu! Kembalikan semua yang kalian rebut dariku!" Jiwasakti tak melakukan pergerakan berbahaya. Ia hanya diam menunduk di tempat sambil mengusap air matanya yang berguguran.

"Jangan ragu, Yudistira!" ucap Kerto tegas. "Itu hanya bagian dari tipu muslihatnya untuk membuatmu ragu!"

"Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh!" teriak para pasukan Bhartavia.

"Bunuh saja aku! Bunuh aku agar berjumpa ibu kembali. Harusnya kalian membunuhku dari dulu!" balas Jiwasakti. "Silakan salahkan pria yang menanam benih pada ibu sehingga melahirkanku! Kemudian membuangku dan ibu selayaknya sampah!"

Satria semakin ragu. Ia merasakan sebuah ketulusan dari air mata Jiwasakti. Yudistira itu berpikir, seandainya Jentaka dan ibunya tak dijauhi. Apa mungkin semua ini akan terjadi? Semua penduduk berlaku jahat pada mereka. Apakah salah jika mereka menuntut balas? Bukankah itu adalah tindakan melindungi diri?

Perlahan Yudistira menurunkan tombaknya. Ia melangkah mendekat pada Jiwasakti dan mengulurkan tangan diiringi senyuman penuh getir. "Maafkan kami ... ayo kita mulai semua dari awal, Kakak."

Jiwasakti yang menunduk sambil mengusap kedua mata, tiba-tiba merubah raut wajahnya. Ia menyeringai membuat Satria merinding. Kepulan asap yang sedari tadi mengerubunginya pudar terkikis angin. Jiwasakti hanya mengulur waktu agar pergerakan darahnya tak terendus. Sejak serangan terakhir, darah-darahnya bergerak sendiri membuat sebuah lingkaran raksasa dengan tulisan aksara di bagian pinggir. Aksara-aksara itu sepertinya adalah sebuah mantra. Kepura-puraannya yang tulus berhasil meluluhkan hati Yudistira.

"Ana kidung rumekso ing wengi, tirta atemahan geni, aku lagi bang wingo wingo, ojo tangi nggomu guling, utowo sliramu tumeking sirno ...."

Sebuah gerbang raksasa berwarna merah muncul secara misterius diiringi kepulan kabut misterius beraroma anyir. Jiwasakti menempelkan kedua telapak tangannya yang berlumuran darah. Kedua mata Rangsa kini berwarna hitam pekat dengan iris merah. Mengalir darah hitam dari kedua matanya.

 "Suratma rawuh lelayu sebet!"

Gerbang itu terbuka. Tangan-tangan panjang berwarna merah tak kasat mata bermunculan keluar dari pintu dan menarik roh mereka yang masih hidup.

"AAARGHH!" Satu per satu manusia di Bhartavia tumbang ketika roh mereka tercabut paksa dari raganya dan ditarik masuk ke pintu merah raksasa itu.

Udara seakan enggan untuk dihirup. Yudistira dan para tentaranya memegangi dada karena sesak. Sebuah keputusan yang salah dari seorang Yudistira. Kini Bhartavia dipenuhi keputusasaan.

"Hentikan semua ini, Jentaka!"

Tubuh Rangsa bergetar mendengar suara itu. Ia perlahan menoleh ke belakang. Dilihatnya gadis yang basah kuyup karena deras hujan "Gayatri ...."

Gayatri muncul dengan raut wajah bersedih. Air matanya berlinang menatap Bhartavia yang hancur berantakan. "Hentikan semua ini, Jentaka ... bukan ini yang Rangsa dan ibumu inginkan ...."

Jiwasakti ikut murung. Ia menunduk dan melepaskan telapak tangannya. Perlahan warna matanya kembali normal. Pintu merah raksasa itu hilang tertelan kabut misterius yang menyelubunginya. Ia tersenyum penuh getir menatap Gayatri. "Apa kamu takut padaku?"

Gayatri menggeleng. "Tidak. Aku tidak pernah takut padamu. Aku tahu tentangmu lebih dari siapa pun. Jentaka yang baik dan kuat. Pria yang tetap hidup meski seisi bumi menjauhinya. Ayo kita pergi ... aku lelah menunggu."

Getir di wajah Rangsa mendadak berubah menjadi kekehan konyol sambil menggaruk kepalanya. "Baiklah ... ini sudah berakhir. Mari kita pergi ke tempat yang jauh."

Kedua pasang mata itu tiba-tiba membulat utuh. Sebuah tombak menembus dada Rangsa dari belakang.

"Sial ...." Jiwasakti melirik pelan ke arah Yudistira yang baru saja melemparkan Panatagama padanya. Refleks ia mengarahkan tangan kirinya ke arah Satria, tetapi mengingat Gayatri berada di sana, tangan itu bergetar. Jiwasakti ragu. Ia mengurungkan niatnya membunuh Satria meskipun ia bisa dan memilih menurunkan tangan kirinya. Tubuh Rangsa berlutut hilang keseimbangan. Pandangannya mendadak kabur dan pudar.

"Jentaka!" Gayatri berlari dan memangku sosok Rangsa yang tumbang di tanah lumpur. Ia mendekap tubuh itu diiringi isak.

"Hey ... maafkan aku. Gara-gara aku ... Rangsa tewas terbunuh ...," gumam Jiwasakti lirih.

"Jangan salahkan dirimu, Jentaka ... Rangsa selalu melakukan yang terbaik. Ini adalah pilihan yang ia ambil ...."

"Namaku bukan jentaka. Perkenalkan kembali ... aku ... adalah Jiwasakti. Senang bisa mengenal ... dan diberikan kesempatan mencintaimu ... Gayatri. Tetaplah hidup ...." Jiwasakti menyentuh pipi Gayatri dengan tangannya yang berlumuran darah. Pria itu menangis. "Terimakasih telah mengajariku bahagia. Sampai berjumpa dikehidupan selanjutnya ...." Tangan pria itu perlahan jatuh hingga menyentuh tanah. Tubuh Rangsa sudah tak kuat lagi menahan segala luka dan kini menjadi seonggok mayat ketika Jiwasakti keluar dari raganya.

Makhluk-makhluk dari Penjara Jiwa milik Rangsa sirna ketika mentari pagi menyinari bumi. Fajar telah menjemput jiwa-jiwa yang lelah. Yudistira dan pasukannya terduduk lemas akibat pertempuran satu malam melawan Jiwasakti. Jika bukan karena Gayatri, mungkin mereka semua sudah mati akibat tertarik paksa ke dalam Gerbang Suratma yang dibuka oleh Jiwasakti.

Gayatri dianggap menjadi pahlawan, tetapi juga sekutu Jiwasakti. Ia tak dihukum, tetapi diusir dari Bhartavia.

Pagi itu juga Gayatri pergi dari Bhartavia melalui gerbang utama. Ia menatap langit dari delman yang ia tumpangi. Terlihat awan di langit biru membentuk dua orang pria yang sedang tertawa. Ia ikut tersenyum sambil menitihkan air mata ketika suara gelak tawa Rangsa dan Jiwasakti terdengar dalam pikirannya. Kedua pelindungnya kini telah pergi jauh. Ia harus bertahan hidup seorang diri di tempat yang antah berantah merawat buah hati di dalam perutnya.

.

.

.

Tamat.





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top