36 | 7 Minutes Before Death
Nathan benar-benar tidak habis pikir dengan Nirmala. Entah memang ini salah satu keburukannya yang baru cowok itu ketahui atau memang ini hukuman dari Tuhan karena perbuatan bejat Nathan di masa lalu. Tapi jika memang Nirmala jadi membencinya, setidaknya cewek itu jangan menjauh dari keluarganya.
Nathan merasa kasihan melihat Mamaya menangis tiap hari mengkhawatirkan putri sulungnya. Papabuy tidak pernah bisa berpikir tenang. Satu rumah dibuat khawatir karena masalah mereka. Nathan jadi merasa sangat bersalah.
“Stop saying that, Son!” Papabuy berkata saat Nathan (entah ini sudah yang ke berapa kali) meminta maaf. “This is not only your fault!” lanjutnya.
Nathan terdiam.
“Nirmala itu keras kepala! Persis kayak Mamanya! Kalau udah kesal tidak ada yang tahu kedepannya kayak gimana!”
“...”
“Dia gak akan mau denger penjelasan apapun sebelum pikirannya tenang.” Papabuy menepuk-nepuk pundak calon menantunya itu. “While we’re waiting for her getting better, mending kita ngopi lah!”
Nathan mengernyit. “Brew coffee?”
Papabuy tertawa. “Not to brew, lah. We’re going to warkop! Ambil kunci motor sana!”
Dan yah. Papabuy mengajak Nathan ke warkop Pak Haji Na’ong yang ada di RT sebelah. Warkop itu adalah langganan Papabuy kalau lagi berantem sama Mamaya sekaligus tempat favoritnya untuk nobar bola. Nathan sudah pernah ke warkop tersebut beberapa kali bersama Papabuy sebelumnya, bertemu teman-teman sesama bapak-bapak yang sudah bisa ditebak mengenal dirinya. Awal-awal memang kehadiran Nathan di kampung sempat jadi bulan-bulanan, cowok itu terkenal banget dari RT. 1 sampai RT. 10. Beruntung kabarnya cepat mereda, lantaran orang-orang sudah terbiasa dengan kehadiran Nathan yang tiba-tiba jogging di pagi dan sore hari, atau momen random saat cowok itu nganter dan jemput Devi sekolah naik motor.
Contohnya sekarang. Pak Haji Na’ong menyambut mereka sama seperti menyambut pelanggan yang lain. Nathan dan Papabuy memesan pesanan mereka dan menunggu sembari menonton TV yang menyiarkan acara berita.
“Hari-hari Bogor ujan mulu, euy!” ucap Pak Haji Na’ong membuka pembicaraan.
“Heuh geuning, cucian dari 3 hari lalu teu garing-garing!” ujar Papabuy.
Nathan hanya diam mengamati. Lebih tepatnya mempelajari kosa kata baru serta logat Sunda tersebut yang begitu kental. Nanti kapan-kapan dia mau minta Nirmala ajari dia bahasa Sunda. Biar nanti kalau gabung bersama anggota MACI se-Jawa Barat dia bisa nyambung berbicara.
Ah iya! Nirmala.
Cowok itu sampai lupa jika hubungannya dengan Nirmala sedang tidak baik-baik saja. Ngomong-ngomong bagaimana kabar cewek itu? Apakah dia sudah sampai di pulau Panjang? Nathan sedikit banyak tahu tentang pulau itu. Kalau tidak salah di sana juga terkenal akan wisata alam bawah lautnya.
Tapi cuaca akhir-akhir ini sedang tidak bagus. Mengingat musim kemarau yang tiba-tiba berlanjut menjadi penghujan secara mendadak, membuat hujan terus turun di berbagai tempat. Meskipun Nathan tidak tahu apakah di wilayah Banten juga mengalami hal yang sama atau tidak.
Ting!
Ada pesan masuk dari Nirmala. Tadinya Nathan mau senang karena mungkin isi pesannya adalah kabar jika cewek itu sudah sampai di pulau Panjang dengan selamat. Tapi ternyata itu jauh dari ekspektasinya.
Liefje 🐚 📷
|Naith, we have situation here.
|We’re stuck in the middle of the sea.
|We need some help!
Nathan terbelalak membaca pesan tersebut. Butuh beberapa detik baginya untuk memproses chat yang dikirim oleh tunangannya itu. Terjebak di tengah-tengah laut? Apa maksudnya? Jangan bilang ...
CTAR!!
Jantung Nathan nyaris lepas, saat guntur tiba-tiba muncul, disusul oleh hujan lebat yang turun merata. Pikiran-pikiran buruk langsung memenuhi kepalanya detik itu juga. Dengan segera cowok itu menekan ikon panggilan.
Panggilannya tidak berdering. Nathan mencoba untuk telepon via pulsa, namun panggilan di luar jangkauan.
“Kenapa Nathan? Muka kamu kayak abis liat pocong!” ucap Papabuy.
Nathan meneguk ludahnya dan menatap pria tersebut. “Nir—Nirmala! Dia ... Di—dia di tengah laut ...”
Papabuy yang melihat ekspresi cowok itu yang pucat pasi lantas merampas ponsel Nathan dan melihat chat terakhir yang dikirim oleh Nirmala.
“Astagfirullah!” Panik Papabuy.
“We have to go ... we have to help her!”
* * *
Ini buruk.
Seharusnya Nirmala tidak memilih destinasi pulau yang bisa saja berbahaya selama perjalanan mengingat cuaca sedang memasuki musim hujan. Seharusnya Nirmala pergi ke Lembang atau Ciwidey saja menikmati dinginnya udara sejuk di sana. Atau memang seharusnya dia tidak usah ke mana-mana, sehingga hal sial tidak menimpanya seperti ini.
Untuk pertama kalinya, Nirmala panik saat tenggelam. Padahal sejak kelas 5 SD (awal-awal dia belajar berenang), Papanya selalu mengatakan kunci utama agar selamat dari tenggelam adalah tenang. Tapi demi apapun, untuk kondisi seperti sekarang, mau tenang bagaimana? Saat cewek itu mencoba menarik napas di permukaan saja dia justru dihantam oleh ombak bertubi-tubi sehingga air laut tertelan olehnya.
Lima menit dia lalui pontang-panting melawan ombak. Tubuhnya sudah sangat jauh terseret dari kapal. Satu hal yang dia yakini, kalau dia optimis terpisah dari rombongan dan seorang diri berjuang di tengah-tengah laut yang sedang mengamuk.
CRAK!
“Argh!!” Nirmala tersentak, mengerang kesakitan dan refleks mengeluarkan sisa oksigen di mulutnya saat lengan kirinya terkena kayu runcing yang entah benda itu datang dari mana.
Napasnya tercekat, arus laut begitu kuat. Dia tidak kuat untuk tetap berenang ke permukaan.
Ya Tuhan ...
Pandangannya yang buram lama-lama semakin buram. Detak jantungnya sudah tak menentu karena serangan panik yang bertubi-tubi lantaran tidak dapat bernapas. Hidung dan tenggorokannya sakit akibat terlalu banyak menghirup dan menelan air laut. Tangannya sakit sekali, mungkin itu robek dan berdarah.
Mungkinkah ini akhirnya?
Ya ampun, dadanya sakit sekali.
Apakah seorang Nirmala akan berakhir seperti ini? Apakah dirinya akan hilang dan hanyut di laut?
Nathan ... Nirmala belum sempat meminta maaf dan membalas kalimat cintanya tadi.
Hiks.
Seharusnya Nirmala mau memberikannya kesempatan. Seharusnya Nirmala mau menyisihkan waktunya untuk mendengar penjelasannya. Seharusnya Nirmala tidak tersulut emosi yang bertindak kekanak-kanakan seperti ini.
Di tengah kondisinya yang sedang berada di ujung maut, Nirmala merindukan cowok itu. Merindukan calon suaminya yang pasti sudah menerima pesan SOS-nya. Ah, bodoh! Seharusnya Nirmala sekalian mengirimkan pesan terakhir seperti; ‘Maafin aku ya, Sayang. Aku juga cinta kamu.’
Deg!
Aduh, dadanya semakin terasa sakit. Tubuhnya mulai terasa dingin. Cewek itu yakin sekali jika ini memang sudah waktunya.
Deg!
Baiklah sekarang tubuhnya mati rasa. Air sudah memenuhi rongga dadanya. Sekarang, di sisa kesadarannya, dia berdoa. Jika memang ini akhirnya, izinkan jasadnya untuk ditemukan dan izinkan pula dirinya untuk muncul di mimpi orang-orang yang dia sayangi agar dia bisa menyampaikan maaf-nya. Namun jika memang masih ada keajaiban—walau itu hanya setitik—dia ingin sekali memeluk keluarganya satu-satu. Dia juga ingin memeluk sahabatnya. Dia juga ingin memeluk Nathan erat-erat dan meminta maaf atas sikapnya yang membuatnya frustasi.
“Sayang.”
Tiba-tiba saja kenangan itu muncul. Saat Nirmala dan Nathan mengunjungi GBK di sore hari untuk melihat orang-orang bermain bola kasti.
“Apa?” sahut Nathan.
“If the world would ending in the few minutes, what will you do?”
Nathan mengernyit. Tak lama dia terkekeh dan mengacak-acak rambut Nirmala yang sengaja dia gerai. “You and your weird question,” sindirnya.
“Ish! Jawab aja Naith!”
Nathan membetulkan sejenak posisi duduknya seraya menatap ke arah lapangan. “Apa ya?”
“Apa?”
“Well, I don’t know.” Cowok itu kini menoleh menatapnya. “Now I’m with you. Everything is okay for me. Even if in one minute the world would end, I think I'll be fine.”
“Kenapa? Kamu kan lagi gak sama keluarga kamu. It must be sad that you can’t spend your time with your Mama-Papa for the last time.”
Respon Nathan lagi-lagi terkekeh. Cowok itu tiba-tiba mencubit sebelah pipi Nirmala dengan gemas. Membuat cewek itu merengek kesakitan.
“Nathan kamu apaan sih?! Suka cubit-cubit begitu! Sakit ege!” kesalnya. Lalu membalas dengan mencubit balik pipi Nathan.
Cowok itu hanya tertawa melihat respon lucu tunangannya tersebut. “Iya, iya maaf.”
Nirmala mencebik. “Jawab dulu pertanyaan aku yang tadi!”
“Okay. That because you are my family too, Liefje. Even you’re not be my wife yet, you are the one I love the most.”
“The most? Am I?” tanya Nirmala sedikit tidak percaya dengan jawaban cowok itu.
“Hmm.”
“What about Mamamel? Paparo? And Joy?”
Nathan tersenyum. Tiba-tiba tangannya bergerak untuk menyingkirkan helaian rambut di wajahnya, lalu dilanjut mengelus belakang kepala Nirmala. “Now I have my priority, Mala. Dan kamu ada di nomor satu. My first priority.”
“...”
“If the world would end I will hold you tight, make sure you won’t feel hurt. Even if we’re gonna die together.” Nathan lagi-lagi tersenyum. Cowok itu meraih tangannya, menggenggamnya erat-erat kemudian mengecup punggung tangannya. “I love you.”
Deg!
Kenangan indah itu perlahan menghilang. Digantikan oleh abu-abu yang perlahan menggelap. Apakah ini yang disebut seven minutes before the death? Jika benar, Nirmala senang bisa mengenang sosok Nathan untuk terakhir kalinya.
‘Naith ... If you can feel what I feel right now, I just want you to know that I’m so blessed to having you. You are amazing person and I really proud to be loved and loving you. I’m sorry I can make it. I’m sorry if I’m hurt you for twice. I’m sorry for leaving you. You know how much I love with sea. Now I die with them. It’s hurt, but it’s totally fine. I hope that when my body is found, you won’t be really sad. Because I’m happy when I know this is the last my breath.
Liefje ... You always call me like that. Now let me call you with that. Liefje, Ik houd van jou.’
* * *
Katakan pada Nathan, kalau ini hanyalah mimpi belaka. Katakan pada Nathan jika kabar menghilangnya Nirmala di laut hanya sekedar bunga tidur di siang hari. Mungkin karena cowok itu terlalu banyak pikiran dan nyaris frustasi, bisa saja itu terjadi padanya. Benar, bukan?
Tapi harapan Nathan hilang saat tubuhnya benar-benar merasakan rintik hujan dan udara dingin ketika kapal Polairud* bergerak dengan kecepatan tinggi menuju lokasi yang diyakini adalah titik terakhir kapal yang ditumpangi Nirmala berada. Cowok itu mengepalkan tangannya. Di dalam hati dia tidak berhenti berdoa untuk keselamatan Nirmala.
“Tenang, Pak, Mas. Kalau dari laporan Mbak Amel, mesin kapalnya mati dan gak ada persediaan bensin. Selama mereka masih bertahan di kapal, insyaallah mereka akan selamat.”
Nathan memejamkan matanya. Mengaminkan hal tersebut. Semoga saja Nirmala dan penumpang lainnya masih bertahan.
Hampir 3 jam mereka terus menyusuri teluk Banten. Secercah harapan muncul saat mereka akhirnya menemukan sebuah kapal dari radius 500 meter.
“Itu kapalnya, Pak!” seru salah satu Polairud.
Saat mereka mendekat. Suara orang-orang penumpang kapal tersebut terdengar memanggil-manggil bersamaan dengan ucapan syukur yang mereka panjatkan berkali-kali. Nathan mencari Nirmala di antara mereka, bahkan bukannya ikut membantu, Nathan malah melompat ke kapal tersebut untuk mencari keberadaan tunangannya. Justru cowok itu hanya mendapati tas ransel kuning mustard-nya yang teronggok di sudut kapal.
“Where’s Nirmala?!” tanya Nathan. “Di mana Nirmala?! Di mana tunanganku?!” tanya Nathan sekali lagi seraya menarik tangan salah satu penumpang di dekatnya.
“A—ada satu penumpang yang hanyut, Mas ...”
Deg!
Tolong katakan ini tidak benar. Tolong katakan jika tas ransel itu bukan milik Nirmala! Papabuy ikut melompat ke kapal dan mengecek tas ransel tersebut. Ada pin berlogo klub sepak bola tempat Nathan berlaga di Austria, menandakan jika tas itu memang milik Nirmala. Penumpang yang hanyut adalah putrinya. Tunangan Nathan.
“Sejak kapan anak saya hanyut?!” tanya Papabuy. Selain Nathan, Papabuy juga terlihat hancur di sana.
“Sa—saya kurang tahu Pak, tapi kejadiannya pas jam 12.”
Lutut Nathan seketika terasa lemas. Ya Tuhan, Nirmala hanyut lebih dari 5 jam lamanya! Cowok itu tahu, sepintar-pintarnya cewek itu berenang, pasti dia tidak akan kuat menerjang badai. Bahkan ombak laut saat ini saja sangat besar.
“Pa, ma—masih ada kesempatan! I bet there is a miracle for us!” ucap Nathan meyakinkan Papabuy.
Alhasil, setelah bahan bakar kapal tersebut terisi, serta memastikan jika penumpang tersebut akan kembali dengan selamat, Nathan dan Papabuy kembali menyusuri laut sekitar bersama Polairud. Pencairan tersebut benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Nathan bahkan sampai tidak sengaja melukai bibir bagian bawahnya karena terlalu sering menggigitnya untuk menahan gugup. Tangannya terasa sangat dingin, mungkin karena faktor udara sekitar atau karena panik lantaran langit sudah semakin gelap dan mereka belum kunjung menemukan Nirmala.
“Anu Pak, ini sudah semakin malam. Bahaya takut ada badai susulan. Kita bisa lanjutkan pencarian besok pagi—”
“Terus anak saya gimana, Pak?!” potong Papabuy dengan nada yang tinggi. Nathan bahkan dibuat ikut kesal saat mendengar kalimat dari salah satu kepala tim pencarian Polairud tersebut. “Anak saya hanyut selama 5 jam! Dia pinter berenang! Dia pasti tidak jauh dari sekitaran sini!” lanjut Papabuy.
Nathan mengusap wajahnya frustasi. Dia benar-benar lelah. Dia ingin Nirmala sekarang juga. Dia ingin memeluknya. Di mana dia sekarang, Tuhan?
“Tapi Pak. Ombak semakin besar. Terlalu beresiko untuk melanjutkan pencarian!”
“TAPI ANAK SAYA BUTUH BANTUAN!! BAGAIMANA JIKA DIA NGGAK SELAMAT?!!” Emosi Papabuy meledak. Nathan sampai harus menahan pria tersebut untuk tetap tenang.
“Pak, tolong tenang! Insyaallah anak Bapak akan ketemu dalam keadaan terbaik.”
Papabuy terdiam. Rahangnya mengeras. Terlihat sekali sedang menahan sesuatu. “Anak saya belom mati! Jangan sembarang anda bicara!”
Mendengar tersebut, Nathan refleks mengepalkan tangannya. Itu adalah hal yang dia takuti sejak tadi. Dia takut tidak bisa menyelamatkan Nirmala. Dia takut tidak bisa bertemu lagi dengan Nirmala. Bagiamana jika Nathan benar-benar kehilangannya?
“No ... No, no, no, no! She’s not dead yet! I believe she still alive!” ucap Nathan dengan lantang. “Just give—beri lagi waktu setengah jam! Aku yakin kita akan menemukannya! Aku mohon!”
Entah, mungkin karena sosok Nathan yang cukup dikenal oleh kalangan masyarakat, membuatnya sedikit memberikan pengaruh. Kepala tim pencarian pun akhirnya mengalah. Memberikan izin untuk terus menyusuri laut hingga setengah jam kedepan. Tepat saat setengah jam berlalu, mereka belum mendapatkan apapun. Dengan berat hati, mereka mau tidak mau menghentikan pencarian.
Saat itu Nathan dan Papabuy benar-benar terpukul. Mereka terduduk dengan tubuh yang lemas dan perasaan yang benar-benar kosong. Jika pencarian diberhentikan, ada kemungkinan Nirmala tidak akan selamat.
Bahu Papabuy bergetar. Pria tua itu memeluk tas ransel Nirmala seraya menangis dalam diam. Nathan tidak bisa bereaksi apa-apa selain menarik napas untuk menerima kenyataan pahit ini. Dia menarik rambutnya ke belakang kepala. Mengurut kepalanya yang terasa berat. Dia ingin menangis, namun dia harus menjadi satu-satunya yang tegar untuk Papabuy.
Nirmala ... Liefje ... Tolong tunjukkan keberadaanmu.
Demi Papa. Demi Mama. Demi adik-adikmu. Demi sahabatmu. Bahkan demi aku ...
“PAK, PAK, PAK! ADA BONGKAHAN KAYU DI DEPAN SANA PAK?!” ucap salah satu Polairud yang berdiri di haluan kapal seraya mengarahkan cahaya senter ke permukaan laut.
Sontak semua kepala menoleh. Nathan seketika berdiri dan menghampiri haluan. Hal tersebut bersamaan dengan kapal yang memelankan kecepatan dan mengarah pada objek yang dimaksud. Saat kapal mendekat, semua terbelalak saat melihat sesuatu di atas bongkahan kayu tersebut.
Nirmala. Itu Nirmala. Demi Tuhan itu Nirmala!
“LIEFJE!!”
* * *
Note:
Polairud: Polisi air dan udara.
Konon katanya sebelum kita meninggal otak akan memberikan waktu selama 7 menit untuk mengenang hal2 indah selama hidup sebelum akhirnya merenggang nyawa
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top