33 | Seashore Cafe

Pikiran Nirmala benar-benar kacau. Dia tidak tahu sejak kapan dia menangis dengan menyedihkan seperti ini, yang jelas dia benar-benar ingin menghilang dari tempat tersebut detik itu juga. Kalimat-kalimat Trisha dan Nathan barusan masih terus terbayang di kepalanya. Hatinya benar-benar remuk. Sumpah demi apapun dia tidak pernah sudi untuk merasakan sakit seperti ini lagi.

Dasar bajingan!

Sungguh Nirmala nyaris memberikan segalanya untuk cowok keturunan Belanda tersebut. Bahkan di saat dia bukan siapa-siapanya, hatinya tetap tertuju padanya. Lalu sekarang apa? Nirmala seakan-akan seperti menelan buah durian utuh-utuh!

Sakit banget, anjing!

Air mata Nirmala semakin deras. Langkahnya sudah sempoyongan. Tenggorokannya mulai terasa sakit sebab hampir 5 menit dia menangis mengeluarkan suara rintihan yang sangat menyedihkan. Kalau boleh dia menilai, cewek itu persis seperti anak hilang yang tidak tahu arah pulang. Dia tidak mau ke kembali lagi. Dia tidak mau bertemu Nathan.

Di antara semua hal yang berkecamuk di kepalanya, apapun itu, dia tidak ingin bertemu Nathan. Membayangkan kembali wajah cowok itu, dadanya seperti tertusuk.

Kenapa bisa Nirmala lagi-lagi jatuh di lubang yang sama? Kenapa lagi-lagi dia harus merasakan sakit seperti ini bahkan bisa dibilang lebih sakit dari luka yang pernah dia dapatkan sebelumnya? Kenapa harus Nathan yang membuatnya seperti ini? Kenapa?

Dia kira cowok itu berbeda.

Dia kira Nathan lebih baik dari Zayan atau pria lain yang pernah dia temui sebelumnya.

Dia tidak sudi kenapa harus Nathan yang melakukan ini padanya?

Bruk!

Sial. Karena terlalu bergelut dengan rasa sedihnya, Nirmala bahkan sampai beberapa kali menabrak bahu orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Barusan adalah yang paling kacau, dia sampai terjatuh ke tanah saat menabrak bahu seseorang.

I’m sorry ... I’m sorry.” Nirmala cepat-cepat kembali berdiri dan meminta maaf sembari membungkukkan tubuhnya berkali-kali. Kepalanya sudah terlalu pusing. Dia benar-benar butuh suasana tenang untuk berpikir jernih dan memutuskan langkah apa yang harus dia lakukan setelah ini.

Sialan.

Kenapa hal ini baru dia ketahui di waktu yang tidak tepat?!

“Nirmala?”

Sepersekian detik mendengar orang yang barusan dia tabrak menyebut namanya, tubuhnya langsung tersentak. Nirmala detik itu langsung mendongak, meski pandangannya sedikit buram lantaran menangis dan mengeluarkan air mata, namun dia bisa memastikan siapa pria yang berada di hadapannya ini.

“Mala kamu kenapa?!” Pria itu mendekat, menyentuh bahu Nirmala dan meneliti dirinya dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. “Kamu sendirian? Di mana Nathan?!” tanyanya, terlihat ikut panik.

Mendengar nama Nathan disebut, entah kenapa memberikan respon aneh pada dirinya. Alhasil tangisnya semakin kencang. Air matanya keluar lebih deras dengan suara rintihan yang terdengar memilukan.

“Mala—what the hell was wrong with you?!”

“To—tolong ... Hiks!” Nirmala kesulitan untuk berbicara dengan benar karena menangis, seluruh tubuhnya bergetar dan energinya terkuras entah kemana. “Tolong saya—hiks! Tolong saya Mas Jeva ...”

*

30 menit berlalu dalam diam. Nirmala akhirnya bisa berhenti menangis. Namun sekarang justru disulitkan oleh suasana yang amat canggung bukan main. Di antara jutaan orang yang datang mengunjungi pulau Ibiza, kenapa harus Jevais yang dia temui? Cewek itu seakan-akan dipaksa untuk menelan ludahnya sendiri setelah melontarkan kata-kata yang cukup nyelekit pada pria itu beberapa minggu yang lalu di basemen apartemennya.

Jika dipikir-pikir, Nirmala terlihat persis seperti cewek bodoh yang tidak tahu diri. Sekedar untuk menutupi rasa malunya pun dia tidak bisa. Di kepalanya selain memikirkan rasa malu, canggung dan segan, dia benar-benar ingin pulang. Dia ingin cepat-cepat meninggalkan pulau ini dan kembali ke Jakarta.

Walau berat untuk dia lakukan, dia perlu memberitahu kepada orang-orang (terutama keluarganya) kalau dia besar kemungkinan akan batal nikah.

Sial. Dia jadi kepikiran tentang kejadian setengah jam yang lalu. Tentang Nathan dan cewek bernama Trisha tersebut.

“Hiks ... Hiks!”

Kan? Nirmala malah jadi kembali menangis.

Jevais yang duduk di sampingnya tiba-tiba terkejut. Pria itu menoleh sembari terus tetap fokus mengemudi. Dari gesturnya, jelas dia bingung mampus harus bagaimana menghadapi situasi ini.

“Kamu gak apa-apa, Mala?” tanya pria itu pelan-pelan. Takut salah bicara sedikit, bisa jadi membuat keadaan cewek itu semakin memburuk.

Nirmala tidak bisa menjawab. Dia hanya menggeleng seraya menunduk dan menutup mulut serta menyeka air matanya. Jevais yang mendapati respon seperti itu, semakin khawatir. Alhasil dia menghentikan mobilnya ke sisi jalan untuk mengambil air mineral di kursi belakang.

“Ini, minum dulu. Biar kamu tenang.”

Lagi-lagi Nirmala menggeleng. Tangisnya semakin kencang bersamaan dengan air matanya yang semakin deras. Jevais jadi semakin bertanya-tanya, apa yang telah cewek ini hadapi? Apa yang telah dilakukan oleh Nathan padanya sampai membuatnya terlihat sehancur ini?

Pelan-pelan tangan Jevais terulur, menyentuh punggung Nirmala dan mengelusnya dengan lembut. “Sshh, it’s okay Mala. I’m here,” ucapnya tak kalah lembut.

“...”

“Kamu masih mau tetep ke hotel? Nggak mau ke tempat lain biar kamu bisa sedikit lebih tenang?” tanya Jevais.

Nirmala menggeleng, dengan suara yang parau dia pelan-pelan berkata. “Ke hotel, Mas... Saya mau ambil barang ...”

Mendengarnya Jevais dibuat lega. Setidaknya Nirmala masih mau berbicara. Pria itu mengangguk dan akhirnya kembali melajukan mobilnya.

Selama perjalanan terasa begitu hening. Nirmala sibuk mengumpulkan energi untuk berjaga-jaga jika nanti emosinya akan kembali meluap sesampainya nanti di hotel. Entah di mana keberadaan Nathan sekarang. Besar kemungkinan cowok itu tengah kalang kabut mencari dirinya sebab ponselnya sempat jatuh barusan. Cewek itu tidak sengaja menjatuhkannya saat melarikan diri dari Nathan. Layarnya retak, dan tidak bisa kembali menyala. Mungkin rusak. Tapi tidak apalah, pikirkan itu nanti saja.

Sekarang yang sedang Nirmala sibuk pikirkan adalah bagaimana caranya mengambil seluruh barang-barangnya dari hotel tanpa diketahui oleh Nathan dan teman-temannya? Sebab di kepalanya sekarang hanya ada kata pulang. Dia ingin pulang. Dia ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini dan apa yang akan dia lakukan sesampainya di tanah air itu biar nanti saja dia pikirkan.

10 menit telah berlalu. Mobil yang Jevais kendarai telah terparkir di basemen hotel. Nirmala meminta pria itu untuk menunggu di mobil saja selagi dia mengambil barang-barangnya. Tidak lama. Mungkin hanya 15-20 menit, mengingat Nirmala tidak terlalu banyak membawa barang dan isi kopernya pun belum semua dia keluarkan. Ditambah, cewek itu juga salah satu yang memegang akses keycard kamar hotel mereka.

Dan benar saja, kamar hotel mereka masih terkunci. Saat Nirmala hendak membuka pintu, tiba-tiba seseorang ada yang memanggilnya. Refleks kepalanya menoleh, mendapati sosok Nathan yang baru saja keluar dari lift. Mata cokelat gelap milik Nirmala seketika terbelalak, cewek itu cepat-cepat masuk ke dalam kamar dan menguncinya kembali sedetik sebelum akhirnya Nathan meraih gagang pintu.

LIEFJE! You are missunderstood! I will explain you what exactly was going on!” teriak Nathan dari balik pintu. Cowok itu mengetuk-ngetuk daun pintu seraya terus mengutak-atik gagangnya. Dari suaranya, Nirmala bisa tebak jika cowok itu panik bercampur khawatir. Napasnya juga terdengar pendek, mungkin dia berlari non-stop dari pusat kota tempat mereka datangi barusan sampai ke hotel.

Liefje!!” panggil Nathan sekali lagi. “Please, you have to listen!”

Nirmala memejamkan matanya. Air matanya kembali luruh. Lagi-lagi dia harus menangis untuk ketiga kalinya dalam satu hari ini. Karena tidak mau membuang banyak waktu dan tenaga, cewek itu memilih untuk mengabaikannya saja dan segera mengemasi barang-barangnya. Lima menit berlalu, tiba-tiba saja terdengar suara pintu terbuka. Dada Nirmala tiba-tiba berdebar, belum lagi terdengar suara Nathan yang entah bagaimana cowok itu bisa masuk.

Liefje, what the hell are you doing?!” katanya sembari masuk ke dalam kamar dengan langkah yang tergesa-gesa. Cowok itu langsung menahan tangan Nirmala dan mendorong kasar kopernya agar menjauh dari hadapannya. “Wat ben je aan het doen?!” (what are you doing?) tanya Nathan. Matanya menatap tajam cewek itu.

“Bacot! Lepasin!” Nirmala tidak mau kalah. Cewek itu membalas tatapannya tak kalah tajam, sembari menarik tangannya yang dicekal oleh cowok itu.

“Kamu mau ke mana?” tanya Nathan.

“Gue mau pulang!” Nirmala kembali memberontak. “Lepasin gue, anjing!” lanjutnya, melontarkan bahasa kasar untuk pertama kalinya pada Nathan.

Watch your language, Mala!” balas Nathan.

“Emangnya kenapa?! Terserah gue dong mau ngomong apa, yang penting gue kagak nge** sama cowok lain di luar sana!”

Kalimat barusan berhasil membuat Nathan terdiam. Cekalan di tangannya melonggar, membuat Nirmala berhasil melepaskan diri.

See? You even cannot avoid that!” ucap Nirmala seraya menunjuk dada Nathan dengan ujung kukunya. “You have slept with her! Nggak cuma sekali, tapi lebih! I know it!”

“...”

Melihat Nathan yang hanya terdiam. Entah kenapa justru malah membuat hati Nirmala semakin terasa sakit. “Kamu diem aja. Berarti yang aku bilang tadi itu benar, kan?!” tanyanya.

“Mala ... I can—”

“Nggak usah! Semuanya udah jelas. You’ve lied to me!” Nirmala meneguk ludahnya, mencoba untuk menahan air matanya. Setidaknya dia tidak boleh menangis di hadapannya. “You’ve lied to me, Naith.”

*

Lidah Nathan terasa kelu. Dia sulit untuk berbicara bahkan hanya untuk satu atau dua kata.

Melihat Nirmala yang memberikan tatapan seperti itu membuatnya takut. Dia takut kehilangan cewek itu lagi. Saking takutnya Nathan sampai tidak bisa bertindak cepat—seperti menahannya yang tiba-tiba kabur melarikan diri akibat kehadiran Trisha yang muncul bagaikan bom waktu. Di antara semua tempat dan kejadian, kenapa harus Trisha yang muncul di waktu yang amat tidak tepat seperti ini?

Nathan sudah persis seperti orang yang takut mati. Dia berlarian mengelilingi pusat kota tersebut untuk mencari keberadaan Nirmala yang tiba-tiba menghilang bagai ditelan bumi. Ponselnya tidak aktif, tidak mungkin dia menghubungi teman-temannya saat kejadian ini murni adalah urusan pribadinya. Satu-satunya tempat yang dia pikirkan akan menjadi lokasi tujuan tunangannya itu adalah hotel.

Entah ini hari sial atau memang dia sedang sial saja hari itu, sebab nyaris 10 menit Nathan tidak kunjung mendapatkan taxi, alhasil dia nekat berlari kencang (seperti saat di lapangan) sampai ke hotel. Tidak ada waktu baginya untuk mengatur napas, sebab sesampainya di lobby dia langsung masuk ke dalam lift dan naik ke lantai di mana kamarnya berada. Di sanalah dia akhirnya menemukan Nirmala.

Namun rupanya, cewek itu benar-benar mencoba untuk menghindar darinya. Nirmala menguncinya di luar. Namun Nathan tidak menyerah begitu saja, dia turun ke meja resepsionis dan meminta kunci cadangan, sebab kebetulan hotel itu di-booking dengan atas namanya. Sehingga saat cowok itu berhasil masuk ke kamar, dia dikejutkan oleh Nirmala yang tengah mengemasi barang-barangnya.

Mereka sempat cekcok, cewek itu bilang dia ingin pulang, bahkan beberapa kata kasar sempat dilontarkan kepadanya. Meski Nathan tidak pernah menggunakan jenis kalimat kasar seperti itu, namun cowok itu paham betul maksudnya. Nirmala jelas marah padanya.

Watch your language, Mala!” ucap Nathan mencoba untuk menegur Nirmala. Barangkali cewek itu mau untuk mendinginkan kepalanya. Karena sungguh ini semua salah paham!

“Emangnya kenapa?! Terserah gue dong mau ngomong apa, yang penting gue kagak nge** sama cowok lain di luar sana!”

Deg!

Demi Tuhan, ini adalah ketakutan lainnya yang selalu menghantui Nathan. Dia benar-benar tidak bisa berkutik. Dia tidak mengelak, namun jauh di lubuk hatinya dia ingin sekali menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

See? You even cannot avoid that!” ucap Nirmala. “You have slept with her! Nggak cuma sekali, tapi lebih! I know it!”

“...”

Mata Nirmala berkaca-kaca. “Kamu diem aja. Berarti yang aku katakan tadi itu bener, kan?!” tanyanya.

Tidak. Tunggu sebentar. Biarkan Nathan menjelaskan semuanya. “Mala ... I can—”

“Nggak usah! Semuanya udah jelas. You’ve lied to me!” Nirmala melengos. Dia berjalan untuk meraih kopernya dan berbalik badan untuk meninggalkan Natha. “You’ve lied to me, Naith.”

Tidak. Tidak. Tidak! Kenapa ini berakhir seperti ini?

Wait, Mala! Jangan pergi!” Nathan kembali panik, dia menyusul Nirmala dan mencoba untuk menahan pintu kamar dengan tubuhnya. “At least let me explain what the hell was going on with me and Trisha!”

Nirmala menghela napas lelah. “Mau jelasin apa lagi? Udah jelas, kan? Dia mantan kamu! Dia. Ibu. Dari. Anak. Kamu!” jawab Nirmala dengan penekanan di akhir kalimat.

Nathan dengan cepat menggeleng. “No! Kamu salah paham! Aku—”

“Naith, please!” potong Nirmala. Cewek itu terlihat sudah lelah dan muak. “Aku capek.”

“Mala ...”

“Minggir. Aku mau pulang.”

Nathan mengusap kepalanya frustasi. “Okay. We’re gonna go home.”

Nirmala terkekeh sarkas. “Kita? Aku. Mau. Pulang. Aku gak ngajak kamu!”

“Kamu boleh pulang tapi aku juga ikut sama kamu!”

“Sejak kapan kamu punya kuasa atas aku, hah?”

As long as you are going out with me. You are my responsibility! I have keep that promise to your Papa!” jawab Nathan. Cowok itu mengambil alih koper Nirmala dan membuka pintu kamar. Berniat untuk pergi bersama Nirmala yang katanya mau pulang.

Melihat Nathan yang bertindak seperti itu, membuat Nirmala naik pitam. “NATHAN!!” teriaknya. Hal tersebut berhasil membuat cowok itu menghentikan langkahnya di tengah lorong kamar hotel dan menoleh. “Do you think this is easy for me?!”

“...”

“Kamu pikir ini mudah buat aku menerima masa lalu kamu sama Trisha?! Kamu pikir aku bisa dengan mudah menerima fakta bahwa kamu dulu udah—shit!” Nirmala mengacak-acak rambutnya frustasi. “This is not easy for me, Naith! I’m not like the other girl that you have ever seen!”

But, Liefje—”

“Naith, tolong ... I wanna go home. I need time to understand, and choose the best decision.”

Nathan memijit pelipisnya, sebelum akhirnya dia mengatakan, “But please at least you have to going home with me! I don’t want something bad happen to you!”

Don’t need to.” Tiba-tiba—entah datang dari mana—Jevais muncul, menarik bahu Nathan dari arah belakang, membuat cowok itu berbalik dan menghadap dirinya. Belum sempat bagi Nathan untuk bereaksi, pria itu lebih dulu memotong. “She will safe with me.”

What the heck are you doing here?!” Persetan bahasa kasar. Emosi Nathan tiba-tiba mencuat karena kehadiran pria ini.

I don’t need to answer it, anyway. But it should be me to ask you, what the hell have you done to Nirmala?”

Nathan mengeraskan rahangnya, menahan amarah. Jevais menyeringai. Dia mengambil alih koper Nirmala dan memberikan tatapan isyarat pada cewek itu untuk mendekat dan pergi dari tempat tersebut sekarang juga. “Ayo Nirmala. Saya sudah pesan penerbangan dua jam lagi.”

Godverdomme.

She’s not going with you! Never!” ucap Nathan, cepat-cepat meraih tangan Nirmala. Cewek itu dengan cepat memberontak, membuat Jevais punya alasan baginya untuk kembali menarik tubuh Nathan agar menjauh dari Nirmala.

“Naith, cukup! Kamu mau berusaha apapun juga aku udah terlalu capek! Aku mau pulang. Gak sama kamu!”

Sesuatu seperti ada yang hancur di kepala Nathan.

“Kalau kamu paham sama apa yang aku rasakan, kamu gak akan maksa aku!”

“...”

Nirmala benar-benar pergi. Bersama Jevais. Meninggalkan Nathan yang terdiam mematung di tempat.

* * *

Selama setahun menjalani hubungan bersama, ini pertama kalinya mereka dilanda masalah besar.

Bukannya Nirmala alay atau berlebihan, tapi ini sulit untuk diproses dan diterima olehnya. Seperti yang dia bilang pada Nathan, dia butuh waktu untuk memikirkan segalanya.

“Mas, boleh turunin saya di hotel terdekat? Apa aja yang ada di pinggir jalan,” ucap Nirmala memecah keheningan di dalam mobil tersebut.

Jevais mengernyit. “Nggak jadi langsung ke bandara?”

Nirmala menggeleng pelan. “Saya mau cari angin dulu. Nggak baik kalau saya pulang dalam kondisi kacau kayak begini.”

“...”

“Itu Mas, di depan ada motel. Turunin saya di sana aja. Maaf ya Mas, saya jadi ngerepotin.”

Jevais menatap plang motel yang terdapat lampu LED di depan sana. Bukannya berhenti, pria itu malah terus tancap gas. Membuat Nirmala menoleh menatapnya kebingungan.

“Kamu bilang mau cari angin, kan?” tanya Jevais.

“Iya? Maksudnya saya mau cari tempat sehari dulu sebelum pulang besok,” jawab Nirmala.

“Mau cari angin buat nenangin diri kan?” Bukannya menjelaskan, Jevais malah bertanya sekali lagi.

Hal tersebut membuat Nirmala menghela napas pelan. Sosok seorang Jevais kembali terasa mengintimidasi, alhasil cewek itu mengangguk pelan. “Iya.”

“Saya tau tempat yang bagus. Tenang, ini bukan club malam. Cuma kafe kecil di pinggir pantai.”

Nirmala mengangguk kikuk. Akhirnya mengiyakan ajakan Jevais. Pria itu membawanya ke kafe yang dimaksud. Kafenya mungil, sepi, dengan tema bangunan ala Mediteranian. Mereka mengambil tempat di belakang bangunan, tepat di depan pesisir pantai yang langsung menyambut mereka dengan suara deburan ombak meski langit sudah gelap.

Tidak terlalu buruk. Meski Nirmala sedikit kurang nyaman, setidaknya dia bisa menikmati malam ini meski hati dan isi pikirannya berkecamuk. Lupakan saja dulu apa yang sedang terjadi. Dia ingin mencari suasana tenang terlebih dahulu sebelum akhirnya pulang dan menghadapi semua kenyataan.

Project baru di kantornya.

Masalahnya dengan Nathan.

Fakta tentang Nathan yang selama ini baru dia ketahui.

Nirmala harus bilang apa ke keluarganya?

Haruskah pernikahan ini berlanjut dan dia kembali menerima cowok itu?

“Saya boleh nanya sesuatu?” Jevais tiba-tiba berkata. Membuyarkan lamunan Nirmala.

“Nanya apa, Mas?”

Jevais membetulkan sejenak posisi duduknya. “Are you okay?” tanyanya.

Cewek itu menatap Jevais lekat-lekat. Mendengar pertanyaan tersebut, entah kenapa sesuatu seperti ada yang luruh di hatinya. Nirmala menggigit bibirnya. Menahan sesuatu agar tidak meledak saat itu juga.

It’s okay to be not okay, Nirmala.”

“...”

Did he hurt you?” tanyanya sekali lagi.

Nirmala menggeleng.

Did he betrayed your feelings?”

Nirmala terdiam. “He was lied to me. Saya gak pernah menyangka hal itu,” jawabnya. Memilih untuk membuang pandangannya ke segelas cokelat hangat di meja.

Is that really hurt?” ucapnya, kembali bertanya.

“Gak tau, Mas. Tapi kalau kecewa, saya kecewa banget.”

Jevais menghela napas panjang. “Waktu itu ... Waktu saya telepon kamu malam itu, sebenarnya saya gak sepenuhnya mabuk.”

Nirmala mendongak. “Hah?”

“Saya sekali lagi minta maaf jika waktu itu buat kamu gak nyaman. Tapi ... Yang saya bilang itu kenyataan.”

“...”

“Mala, tawaran saya masih berlaku. If he hurt you or betrayed your feelings. Just come to me.

Nirmala masih belum bisa merespon apa-apa.

“Saya ada rasa sama kamu. Bahkan sebelum kamu menjadi miliknya.” Jevais menyugar sejenak rambutnya. “Just come to me, Mala. I will treat you more better than him.

* * *

Note:

Godverdomme: sialan

Yah, ribut. Lanjutkan. Saya suka soalnya.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top