23 | Glimpse of Her

Juli, 2025

Nathan menatap pantulan dirinya di depan cermin kamar mandi. Sejenak dia terdiam menatap dirinya, menatap netra cokelat terangnya yang entah kenapa terlihat begitu gamang. Ini sudah lewat berminggu-minggu sejak Nathan memutuskan untuk memulai hubungan baru dengan cewek Philipina tersebut. Bukan tanpa alasan, tapi menurutnya, jika dia diam saja membiarkan dirinya larut dalam bayangan Nirmala, hidupnya tidak akan pernah damai. Mungkin siapa tahu, Trisha bisa menjadi pelipur laranya.

Yeah. Mereka akhirnya memutuskan untuk menjalani sebuah hubungan sepasang kekasih. Meski Nathan tidak yakin dapat memandang Trisha sebagai dirinya seutuhnya atau justru hanya sebagai pelampiasan rasa sakitnya akan kehilangan Nirmala.

Drrt drrt drrt!

Trisha Abalo
|Aku sudah ada di bawah.
|Kau masih lama?

Nathan menatap notifikasi di ponselnya, sebelum akhirnya menghela napas dan bergegas turun ke lobby di mana Trisha sudah menunggunya di sana. Tidak sampai 5 menit cowok itu sampai dan mendapati cewek itu sedang duduk di salah satu kursi sembari melipat kakinya. Kening Nathan mengernyit saat melihat Trisha dengan santainya menyesap lintingan rokok yang terapit di jemarinya.

I said no smoking! That’s not good for your health!” Bukannya menyapa, Nathan justru melancarkan protesnya pada cewek itu.

Respon Trisha hanya berdecak. Cewek itu berdiri dan menghadap cowok itu yang tubuhnya 20 cm lebih tinggi darinya. Beberapa detik mereka saling tatap. Mood Nathan entah kenapa seketika terasa berantakan, begitu pun Trisha. Namun pada akhirnya, cewek itu menghembuskan napasnya dengan kasar, membuat asap rokok tersebut mengenai wajah Nathan begitu telak.

Nathan yang tidak pernah terkontaminasi oleh asap rokok seketika terbatuk dan mundur dua langkah ke belakang untuk menghindar. Tadinya dia ingin kembali protes, namun batal saat melihat Trisha menjatuhkan rokoknya yang tersisa setengah batang itu dan menginjaknya agar padam.

“Sudah. Sekarang kau puas?” tanyanya.

Cowok itu berdecak, dan mendorong pelan tubuh Trisha agar mundur beberapa langkah. Setelahnya dia mengambil puntung rokok yang barusan cewek itu injak dan melemparkannya ke tempat sampah.

Come on.” Nathan menarik tangan Trisha untuk berjalan meninggalkan gedung apartemen menuju halte terdekat. Mereka berniat untuk makan siang di salah satu kafe yang bertema outdoor. Swansea saat ini sedang tidak mendung, justru sangat cerah. Seakan-akan mendukung mereka untuk berkencan.

Trisha tidak banyak bicara. Dia hanya akan bicara jika ada hal yang penting dan hal yang dia butuhkan saja. Dia juga orangnya sangat bebas, mungkin karena perbedaan budaya hidupnya yang hampir serupa dengan budaya orang barat. Nathan pun juga cukup terkejut saat mengetahui latar belakang Trisha. Dia dilahirkan tanpa seorang ayah. Ibunya menaruhnya di panti asuhan di usia 6 tahun dan tidak pernah bertemu dengan wanita itu lagi sejak saat itu. Setelahnya dia benar-benar berjuang seorang diri.

Jujur, Nathan sebenarnya cukup prihatin saat mendengar kisahnya. Berbeda jauh dengannya yang benar-benar berasal dari keluarga utuh dan mendukungnya dengan baik. Berbeda juga dengan Nirmala yang berasal dari keluarga harmonis dan menyayangi anak-anaknya tanpa ada pilih kasih. Dari situ Nathan bisa menilai jika Trisha adalah sosok yang keras dan mandiri. Buktinya, di usianya yang ke-18 dia sudah nekat pergi ke Singapura untuk bekerja. Tiap kontrak kerjanya selesai dia akan pergi ke negara lainnya hingga sampai saat ini di usianya yang ke-24.

“Jadi, akhirnya kau diterima bekerja di perusahaan itu? Yang kemarin kau ceritakan padaku?” tanya Nathan. Cowok itu merobek sedikit ujung croissant plain di piringnya, mencelupkannya pada kopinya, lalu memakannya dalam sekali suap.

Yes. I start to work in the next week!” jawanya antusias lalu kemudian kembali berkutat dengan ponselnya.

Nathan menghela napasnya. Entahlah, mungkin sudah kebiasaannya dari kecil di mana keluarganya selalu mengajarinya untuk menghargai makanan di meja makan dan juga orang yang sedang makan bersamanya. Cowok itu mungkin tidak akan protes selama di meja mereka kosong, namun tidak sebaliknya.

Tapi rupanya keras kepala Trisha cukup sulit untuk Nathan lunakkan. Cowok itu bahkan sudah mencoba selembut mungkin memberi tahu. Tapi tetap saja.

“Tris, jangan diamkan saja makanan—”

“Iya, Naith. Nanti akan aku makan! Aku sedang mencari pakaian yang cocok untuk hari pertamaku bekerja.”

See?

Bukannya Nathan sok ngatur. Tapi dia merasa tidak dihargai. Sebab ... Saat bersama Nirmala dulu, cewek itu selalu mencoba mengerti apa kebiasaannya, begitupun Nathan yang dengan senang hati mencoba paham tentang dunianya.

Oke, cukup. Jangan kembali mengingatnya. Kau sudah punya Trisha, Nathan!

“Oh shit! What the fuck is that?!” Trisha tiba-tiba memekik. Membuat meja mereka sedikit bergetar dan Nathan batal menyesap kopinya.

Atensi cowok itu beralih pada seekor kucing oren liar berukuran cukup besar datang ke arah kaki Trisha. Kucing itu mendongak menatap cewek itu dengan mata berbinar sebelum akhirnya mengeong dengan manis. Nathan tadinya ingin memanggilnya untuk mendekat ke arahnya saja, lantaran Trisha memang tidak suka hewan berbulu apalagi kucing liar. Namun, sayangnya cewek itu tanpa perasaan menendang kepala kucing itu hingga tersungkur setengah meter di dari posisinya.

Jelas Nathan terkejut, apa lagi barusan dia sempat mendengar suara pekikan kucing itu yang mungkin kaget atas perlakuan yang dia dapat.

“Trisha, wat ben je aan het doen?!” (What are you doing?!)

Trisha menatap Nathan bingung. Ekspresinya seakan-akan tidak merasa bersalah. “Apa? It just a cat, Naith. Jangan berlebihan!”

Dasar—

Nathan menghela napas kasar. Dia kembali melihat kucing oren tersebut yang berjalan menjauhi mereka. Kucing itu tidak kenapa-kenapa. Tapi tetap saja, rasanya aneh melihat seseorang menendangnya begitu saja tanpa ada rasa bersalah.

Seorang gadis yang dia kenal setiap kali melihat kucing di jalan pasti akan berhenti dan mengelus tubuhnya bahkan menggendongnya seperti hewan peliharaannya. Bahkan tak jarang dia menciuminya tanpa khawatir jika ada banyak bakteri di bulunya.

“Kenapa?”

Lamunan Nathan buyar. Dia menatap Trisha. “Apa?”

Cewek itu mendesis. “Kau mengingat gadis itu lagi?”

Nathan mendengkus. “Menurutmu? Aku terdiam karena tidak menyangka kau bisa sekasar itu dengan hewan yang tidak bersalah!”

“Aku refleks melakukannya!”

You—what?!” tanya

Untuk pertama kalinya cewek itu akhirnya menaruh ponselnya saat mereka sedang berbicara. “Aku punya trauma dengan kucing sejak kecil. Mereka pernah mengejarku dan mengigit serta mencakar diriku tanpa sebab. Aku hanya refleks melindungi diri!”

Sungguh, lagi-lagi Nathan yang harus mencoba memahami cewek itu.

*

Agustus, 2025

Mobil yang dikendarai Nathan tengah melaju menuju bandara internasional Cardiff. Bukan, cowok itu bukan ke sana untuk menjemput orang tuanya, melainkan Trisha yang baru saja kembali dari Philipina sejak 3 hari yang lalu. Kejadian cukup kompleks. Cewek itu bilang suster yang mengasuhnya waktu kecil jatuh sakit dan sekarat, dan ingin semua anak-anak yang dulu dia asuh datang menemaninya minimal di saat-saat terakhir dia hidup.

Anak-anak itu jelas termasuk Trisha. Beberapa teman-teman satu pantinya banyak yang menghubunginya untuk pulang ke Manila. Tapi cewek itu tolak karena dia tidak ada biaya. Lagipun untuk apa?—pikirnya. Hadir atau tidaknya dia tidak akan ada pengaruh apapun.

Tapi sayangnya Nathan berpendapat sebaliknya. Cowok itu sedikit kesal dengan sikap acuh tak acuhnya. Apalagi ini terkait suster yang sudah menjadi figur ibunya, di saat ibu kandungnya saja pergi entah ke mana meninggalkannya.

“Pulanglah! Temui suster dan teman-temanmu. Biar aku yang bayar tiket pesawatnya,” ucap Nathan saat itu.

“Apa? Tidak aku tidak mau bertemu dengan mereka!”

Jawaban macam apa itu? Nathan menatap cewek itu tidak mengerti. “Apa maksudmu? Mereka keluargamu, kan? Setidaknya datang dan temani Suster Matilda setidaknya sehari!”

Mereka cukup berdebat dengan sengit. Beruntung perdebatan itu dimenangkan oleh Nathan. Cewek itu pun pulang dibiayai oleh Nathan kembali ke Manila.

Maka dari itu, tiga hari kemudian dia menjemput cewek itu di bandara. Katanya Suster Matilda menghembuskan napas terakhirnya sehari sejak kedatangan Trisha ke Manila. Cewek itu meneleponnya dalam keadaan menangis seraya mengucapkan rasa terima kasih. Itu untuk pertama kalinya dia melihat sisi rapuh cewek itu.

“Naith, kau di mana? Apakah masih lama?” tanya Trisha di telepon. Kini Nathan tengah berjalan ke pintu kedatangan internasional. Tak jauh dari sana ada kafe kecil yang memang dijadikan tempat cewek itu menunggu.

I’m on my way, tunggu sebentar.” Nathan pun mematikan sambungan. Dia berjalan dengan langkah lebar dan tak lama dirinya menemukan keberadaan Trisha.

Cewek itu segera memeluknya. Nathan hanya membalasnya singkat dengan mengelus pundaknya sebentar. Entah kenapa, sampai sekarang, dia masih canggung untuk melakukan itu. Meskipun tidak dipungkiri cowok itu cukup dominan ketika mereka berhubungan di atas ranjang.

“Siapa dia?” sedetik setelah pelukan mereka terlepas, Nathan tidak sengaja melihat seorang anak kecil, perempuan dengan wajah sembab sedang terduduk di samping tempat Tirsha barusan duduk.

“Entahlah. Tadi dia menangis padaku dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Aku sudah menyuruhnya pergi dan bahkan membentaknya untuk berhenti menangis. Mungkin dia mengira aku ibunya! Merepotkan saja!”

Jujur, Nathan sedikit speechless dengan penuturannya tersebut. Ini anak kecil, loh!

“Apa? Kau—bagaimana bisa kau melakukan hal itu terhadap anak kecil?!” Nathan tiba-tiba tersulut emosi.

“Kenapa kau marah? Anak itu menangis bukan urusanku! Salahkan orang tuanya yang lalai dan meninggalkan anaknya di tempat umum seperti ini. Seharusnya jika memang orang tuanya tidak bisa mengurusnya, lebih baik tidak usah melahirkannya!”

Baiklah. Ini perdebatan yang tidak penting. Nathan memejamkan matanya sejenak, sebelum akhirnya dia mendekat ke arah anak kecil tersebut dan berjongkok di hadapannya.

Hey, little one. Are you alright?” tanya Nathan.

Anak itu perlahan mendongak. Memperlihatkan wajah sembabnya serta mata dan hidung yang memerah. “Aku ... Aku nggak bisa ngomong Inggris ... Hiks ... Hiks!”

Trisha yang mendengar tangisannya lagi memutar bola matanya jengah. “Sudahlah, Naith ... Kita pulang saja!”

Nathan tidak menggubris cewek itu. Dia justru sadar kalau anak kecil ini orang Indonesia. Barusan dia paham betul sama apa yang dia katakan.

“Aku orang Indonesia juga. Bisa sedikit ngomong indo,” balas Nathan.

Mata anak kecil itu seketika berbinar. “Om bisa ngerti aku?!”

“Bisa.” Cowok itu tersenyum. Tangannya tergerak untuk membetulkan rambutnya yang sedikit berantakan. “Di mana ... Mama-Papa?” tanya Nathan. Walau bahasa cowok itu sedikit tersendat, setidaknya anak itu paham.

“Nggak tau ... Hiks! Tiba-tiba nggak ada!”

baiklah, akhirnya Nathan berinisiatif untuk membawa anak itu pihak berwajib di Bandara. Beruntung 15 menit kemudian setelah pihak informasi memberikan pengumuman, orang tua anak itu segera datang. Mereka mengucapkan terima kasih kepada petugas juga kepada Nathan. Beruntung kedua orang tua anak itu tidak mengenali dirinya siapa, sepertinya bukan penggemar bola atau Timnas sepak bola.

“Senang menjadi pahlawan, hm?” komentar Trisha saat mereka sudah berada di dalam mobil.

“Senang karena bisa membantu sesama orang Indonesia.”

Trisha mencebik. “Seharusnya tadi kau omeli orang tuanya karena sudah lalai hingga sampai kehilangan anaknya! Bagaimana jika anaknya diculik dan dijual oleh orang tidak bertanggung jawab?”

“Kau tidak lihat jika mereka sudah sangat menyesal? Wajah ibunya saja terlihat sembab, mereka pun juga meminta maaf berkali-kali pada anaknya. Kurasa itu sudah cukup membuat mereka tersadar.”

“Ya, ya. Terserah.”

Nathan mengernyit dan menoleh sekilas ke arah cewek yang duduk di sampingnya ini. “Kenapa kau begitu benci dengan anak kecil, Trisha?” tanyanya, bukan tanpa alasan. Sebab cewek itu berasal dari panti asuhan, bukankah saling menjaga dan peduli terhadap anak kecil adalah hal yang wajar?

“Mereka terlalu berisik. Hanya bisa menangis dan mengganggu urusan orang dewasa!”

Jawaban cewek itu sukses membuat Nathan terdiam. Dia tiba-tiba teringat dengan sosok Nirmala dan segala rencana indah yang pernah dia bayangkan. Settle down. Living together forever ... Banda Neira.

Dia juga teringat bagaimana Nirmala mengasuh adiknya yang paling kecil, mulai dari membuatkannya sarapan, membantunya mengerjakan PR dan mengantarnya sekolah, hingga mengingat bagaimana anak-anak di Pulau Tunda begitu riang saat mengetahui kedatangan Nirmala ke kampungnya. Bahkan mereka tidak segan-segan untuk memeluk Nirmala.

Sial. Nirmala, bagaimana kabarmu hari ini?

* * *

Kembali ke masa sekarang.

Papabuy
|Kenapa Nathan?
|What happened? Aya naon?

|Pa, aku ketemu dia.

|Siapa? Bon jovi?
|Kevin Diks??
|Wuih! You met him, Nathan?

|No. I met her.
|My ex. Trisha.

|😶😶😶😶
|Berantem?
|Are you getting fight with Mala?

|No. She didn’t recognize her.
|I never expected that she’s in Rotterdam.

|Mala knows about her, right?

|Iya.
|But I didn’t tell more explicit.
|I’m afraid to let her down.

|Sulit nih, Bro.
|What happened with your ex? Is she say something?
|Or something else?

|No. She just go away after saw Mala face.
|Without saying anything.

|Next time. Coba ajak ngobrol Mala
|Tell her. Pelan-pelan. Pasti she will understand.

|What if she’ll not?

|Coba dulu anakku yang ganteng.
|Nanti kalo dia ngamuk, biar Papa bantu.
|But you really have done with Trisha, right?

|Obviously. Tentu saja.
|Kita udah selesai.
|Our relationship are toxic. We hurt each other.
|That’s why kita putus.

|Yaudah. Kalo emang udah jelas begitu.
|Why you have to worry?

|Iya sih.
|Oke, thanks for your advice, Pa.
|Mamaya gimana kabarnya? Devi? Shania?

|They all good. Allhamdulliah.
|Yang di sana? Keluarga kamu?

|Allhamdulliah. Mereka baik.
|Nirmala juga baik.
|She’s really happy to see the snow here.

Send a picture

|Hah?

|One day one meme. Simpen aja.
|Oh iya. Kamu nggak macem-macem sama Nirmala, kan??
|Hmmm?

|Nggak Pa.
|Aman.

|Nggak boleh lebih dari peluk, cium pipi sama kening!
|Takutnya malah you know!
|I’m watching you Noël!
Send a picture

|👍👍

*

“Hmm, rasanya pahit! Dingin lagi!” Nirmala membuang salju putih yang ada di tangannya setelah dia mencicipinya sedikit.

Nathan terkekeh. “Of course it’s cold, Liefje. It’s ice!” Nathan membetulkan kupluk jaket cewek itu dan meraih kamera yang ada di tangan Nirmala. Kalau mereka sedang jalan berdua seperti ini, maka mau tidak mau, Nathan harus merangkap menjadi photographer sekaligus model dadakan.

Mereka memutuskan untuk keluar sembari jalan-jalan melihat hasil hujan salju yang tidak berhenti turun sejak dua hari yang lalu. Sekalian sambil menunggu kepulangan orang-orang rumah yang sedang melaksanakan ibadah perayaan Natal di Gereja tempat biasa mereka kunjungi. Biasanya acaranya selesai di jam 10 atau jam 11.

Why you didn’t pose the picture when you was in Gosau?” tanya Nathan.

I did. I post a lot of the picture. Except the picture when I’m with you.”

No. The picture when I need to lay down on the grass to take a good angel.” Nathan mengaktifkan kamera dan mengarahkannya sedemikian rupa untuk menangkap foto Nirmala yang tengah berpose. “I think it’s cute. Cantik.”

“Oh yang itu! Ntar deh, aku posting.”

Tag me. Please. I was taking that picture.”

Nirmala mengernyit. Kemarin-kemarin cowok itu memang sempat protes, kenapa di postingan terakhirnya yang di-tag hanya Mamamel? Padahal di foto itu ada dia meskipun wajahnya tidak terlihat. Rasanya tidak adil. “Tch. Iya ntar aku tag—eh ada kucing!”

Atensi Nirmala tiba-tiba beralih pada seekor kucing gendut bewarna oren yang berjalan melewatinya. Karena merasa terpanggil, kucing itu tiba-tiba berbelok mendekat ke arah Nirmala.

“Kucing in Dutch apa, Yang?” tanya Nirmala kala tangannya menyentuh kepala kucing tersebut.

Nathan terdiam sejenak. Dia tiba-tiba merasa de javu. Senyumnya tiba-tiba terukir dan langkahnya secara otomatis mendekat dan berjongkok di samping Nirmala. “In Dutch we say Kat.”

“Kat,” ucap Nirmala, lalu tiba-tiba menggendong kucing tersebut ke dadanya dan menghadap Nathan. “Hai Kattie! Nathie and Kattie accidentally meet when snowy!” ucapnya dengan nada anak kecil.

Nathan hanya tersenyum kecil. Sekarang dia tidak marah lagi jika dipanggil Nathie oleh Nirmala. Sebab sekarang yang boleh memanggil nama kecilnya hanya Nirmala dan Mamanya saja.

“Mala.”

“Hm?” Cewek itu menoleh kala Nathan tiba-tiba memanggil namanya.

What do you think about having children?” tanyanya.

Hm, kumat. Nathan dan topik deeptalk-nya yang suka muncul tiba-tiba.

You mean being parents? I think we ever talk about this. I wanna be a mother who never ngomel-ngomel and cerewet just like my Mama. That’s annoying.”

No. I mean ... Did you ever think to decided being childfree?”

Si anjir! Ngasih topik yang susah begini! Udah tahu Nirmala o’on!

Tapi cewek itu tahu kok kontroversi tentang paham childfree itu apa. Ada tuh YouTubers yang berkoar-koar tentang dirinya yang memilih childfree, lalu dihujat oleh seluruh netizen se-Indonesia Raya. Meski ada sih, beberapa yang mendukungnya. Nirmala mah posisinya netral saja. Soalnya dia gak mempermasalahkan soal childfree-nya, tapi dia gak suka sama cara penyampaian si YouTubers itu yang kagak nyelow. Jadinya netizen yang udah panas jadi makin meledak.

Well ... Your body is your choice, right?” Nirmala malah melempar pertanyaan. “Before I answer your question. Let me ask you Meneer. Did you marry me just because you want to having children?”

No.”

Then what is your purpose for marry me?” tanya Nirmala lagi.

Nathan terdiam. Cowok itu menatap Nirmala lekat-lekat. Mata tajamnya menyelisik rasa curiga di mata cokelat gelap milik cewek tersebut. “I’ll marry you because I want to live with you. Forever. For life. I want you to be my partner, my best friend forever until we’re getting old and passed away.”

So you didn’t want have a child?”

No. I want it.” Nathan tiba-tiba mengelus lembut pipi Nirmala. “But if my wife doesn’t want it. Well ... I definitely would divorce her.”

“HAH?!!”

Nirmala kaget. Saking kagetnya kucing yang ada di gendongan melompat dan kabur. Nathan panik, apalagi melihat ekspresi Nirmala yang melotot, siap menghabiskannya dalam sekali kedip.

“A—aku cuma bercanda! I—I’m just kidding, Liefje!”

“Nggak lucu bercandanya, tau gak! Kamu mau cerein aku? Nggak usah nikah—”

Bahaya.

Nathan langsung memeluk Nirmala agar meredam emosinya yang sebentar lagi akan meledak. Nirmala memang sosok yang begitu penyayang, tapi kadang rasa sayangnya itu dia ekspresikan dengan marah-marah sekaligus meledak-ledak. “Sshhh! Liefje, I’m not seriously to say that. I would never divorce you. You’re gonna be my wife forever,” ucapnya, yang kemudian mengecup pucuk kepalanya yang terbuka dari kupluknya dengan lembut.

“Tapi—”

I never divorce you, Mala. Even you don’t wanna have children. It’s okay. Your body is your choice. I’m fine, if it’s only us in our marriage.”

Tindakan Nathan berhasil menyurutkan emosi Nirmala. Cewek itu menaruh dagunya di bahu Nathan. “Tapi aku kan tadi cuma bilang what if, Sayang.”

“Ya, I know.”

“Aku mau kok, punya anak. Asal nggak lebih dari dua,” ucap Nirmala seraya mengerucutkan bibirnya.

“Iya. Aku tahu. You have a mother soul in your personality. You would be a good mother in the future. I bet that.” Nathan mengecup pundak Nirmala seraya mengelus punggungnya.

But having children is not easy, Yang. We have to prepare everything to make sure their life is good enough.”

Nathan mengangguk. “I know. Let do our best together. You and me, being Mama and Papa.”

Nirmala menyembunyikan wajahnya di cerukan leher Nathan. Menikmati sejenak posisi berpelukan mereka.

Come on. It’s getting cold.” Nathan melepas pelukannya dan menarik Nirmala untuk kembali berdiri.

“Naith. I love you.”

Cowok itu tersenyum. Mengecup singkat keningnya, lalu membalas perkataannya. “Ik houd ook van jou.”

*

Disukai oleh jevaismalaka, dan 298.123 lainnya.

Lazulibluee Langitnya indah. Kayak senyum kamu. Eakk!

Late post ceunah by @ nathantjoeaon

Komentar dinonaktifkan

* * *


Note:

Ik houd ook van jou: I love you too.

Wkwkwk. Iya. Gue mikir-mikir Nirmala enaknya visualnya siapa yak? Ternyata klop banget sama Naura. Dia itu cakep banget. Wajahnya itu unik, cantik dan manis jadi satu. Kulitnya pun dibilang hitam nggak, putih pun nggak. Pas aja gitu. Belum lagi style dia Nirmala banget. Cantik ala minimalis bisa, cantik ala y2k bisa, cantik ala downtown girl bisa, dan cantik ala coquette girl juga bisa. Wkwkkw.

Tapi kalau kalian kurang sreg. It’s okay. Siapa tahu ada rekomendasi boleh kirim komentar, walau yaa ini cuma seru-seruan ajaa.

So gimana menurut kalian tentang Trisha?

Muehehehhehe.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top