21 | The Moon Is Beautiful Isn't It?
Nirmala akui dia paling tidak tahan sama panasnya Jakarta. Waktu dia masih tinggal di kosan yang ada di kawasan Pasar Minggu, cewek itu pernah tidur hanya memakai bra dan celana pendek saking dia merasa kepanasan meskipun kipas angin menyala non-stop. Namun di sisi lain, dia juga tidak tahan cuaca dingin. Di saat Bogor dilanda hujan berkepanjangan, dia jadi jarang mandi dan selalu menggunakan jaketnya ke mana-mana. Dia pun kapok jika diajak tracking naik gunung karena nyaris (menurutnya) terkena serangan hipotermia.
Sebelum akhirnya dia tersadar, jika di bulan Desember, cuaca di negara sub tropis seperti Belanda tidaklah sama seperti terkahir kali dia mengunjungi Austria. Dia direkomendasikan membawa banyak pakaian tebal, bahkan dia inisiatif membawa Tolak Angin 2 kardus untuk mewanti-wanti agar tidak sakit dan menyusahkan keluarga Nathan.
Iya. Mamamel ataupun Paparo menyuruhnya untuk menginap di rumah mereka saja. Nirmala bisa menggunakan kamar tamu.
Nathan sudah seminggu lebih awal sampai di Belanda. Cowok itu bawel setiap saat bertanya terus—kapan dia berangkat? Kapan ke Rotterdam?—Sampai-sampai Nirmala gedek menanggapinya. Bahkan Nathan berniat untuk menyusulnya ke Jakarta, agar bisa ke Belanda bareng-bareng. Namun sama Nirmala dilarang, cewek itu bilang;
“Sayang! 22 juta di Indonesia itu banyak! We can used that money for make up artist for our wedding! Remember! We have to saving from now! Married is expensive. Settle down is expensive too! We’re not sultan, Sayang!”
Yes. Tiket paling murah itu sekitar 20 jutaan, paling mahal bisa 30 juta. Makanya setelah pulang dari Austria kemarin Nirmala harus balik kerja bagai kuda. Dengar-dengar dari Bu Manda, katanya bonus project nanti besar banget. Mayan buat nambah-nambah biaya pernikahan.
Meskipun Nathan dengan pede bisa nge-cover semua biaya, namun Nirmala menolaknya mentah-mentah. Yang namanya sebuah acara apalagi pernikahan itu melibatkan dua orang. Dua-duanya harus punya andil. Tidak boleh saling mengandal-andalkan. Dikarenakan Nirmala anak pertama yang terlatih untuk berpikir visioner dia perlu menuntun Nathan untuk paham kalau perlu ada yang namanya dana darurat. Beruntung kalau soal itu, Nathan mau menurunkan egonya dan mendengar nasihat Nirmala dengan baik.
Nathan Chu 🖤
|Kamu di mana, Sayang?
|Aku udah di depan restoran shawarma near gate 5.
|Okay wait.
Nirmala mendongak sejenak untuk melihat ke sekeliling. Sebenarnya dia sudah landing di bandara sejak setengah jam yang lalu. Namun karena mengurus kopernya yang lama sekali datang dan juga mengecek perizinan di imigrasi, akhirnya dia baru bisa menghirup udara Amsterdam dengan bebas.
Setelah melalui banyak drama perkara ngurus sisa cuti-nya tahun ini, akhirnya dia bisa cabut ke Belanda. Kalau bisa didefinisikan rasa rindunya pada Nathan seperti apa, maka dia akan menjawab sudah seperti soda yang dikocok-kocok—sampe tumpeh-tumpeh.
Ingatkan Nirmala buat menahan dirinya untuk tidak lompat-lompat karena sebentar lagi akhirnya dia dapat kembali memeluk Nathan. Kalau bisa sampai guling-guling biar dramatis dikit.
Drrt drrt drrt!
Nathan Chu 🖤
|I see you.
Senyum di bibir Nirmala semakin merekah. Cewek itu tidak bisa diam menoleh kanan-kiri untuk mencari keberadaan Nathan. Hingga akhirnya dia berhasil melihatnya tengah berjalan dengan langkah lebar ke arahnya. Cowok itu mengenakan jaket parka berwarna hijau pucat. Rambutnya sedikit lebih pendek dari terakhir kali dia bertemu. Wajahnya terlihat berseri, dan sumpah—JODOH GUE GANTENG BANGET, GILA!!
Nirmala menyeret kopernya dan berlarian menghampiri Nathan. Dari kejauhan cowok itu terkekeh melihat tingkah tunangannya yang begitu antusias, saking antusiasnya dia tidak sengaja menabrak—atau mungkin tertabrak—seseorang hingga jatuh terduduk di lantai. Melihatnya, Nathan terkejut lantas berlari mendekat.
Di sisi lain Nirmala mengaduh kesakitan saat pantatnya terasa sakit telah berciuman dengan lantai bandara. Umpatan bahasa binantang refleks keluar dari mulutnya. “Monyet! Punya mata gak sih lu, anjing!”
“Sorry, ik heb je niet eerder gezien. Ik heb haast. I’m sorry!” (Sorry, I didn’t see you before. I’m in a hurry)
“Nirmala!” Nathan akhirnya sampai. Dia membantu cewek itu berdiri dan kemudian menoleh ke arah orang yang barusan menabrak tunangannya hingga jatuh.
“Nathan?”
“Seth?”
Ah, kebetulan apa ini?
Cowok yang bernama Seth itu tertawa riang kala bertemu dengan sahabatnya. Mereka seketika berpelukan. “Bro! Wat doe je hier?!” (what are you doing here?) tanya temannya itu.
Nirmala yang tiba-tiba dicuekin langsung kesal. “Wat doe je hier! Wat doe je hier! Iyey ngapain tiba-tiba nabrak eike sampe jatuh begindang! Merekah nih, eike!” kesal Nirmala.
Fyi, beberapa minggu terakhir dia bertemu dan berkenalan dengan seorang artis kondang yang suka berbicara bahasa bencong. Beberapa hari hang out bersamanya, membuat Nirmala jadi tahu beberapa kosa kata bahasa bencong.
Mereka langsung menoleh. Nathan yang sadar dengan ekspresi kesal Nirmala, langsung merangkulnya dan mengecup singkat pelipisnya. Seth yang melihatnya cukup terkejut, rupanya cewek yang barusan dia tabrak adalah tunangan sahabatnya.
“Seth, dit is Nirmala. Tunanganku yang pernah kuceritakan waktu itu.” Nathan berbicara dengan bahasa Belanda. Kemudian menatap Nirmala. “Ini Seth, temen aku,” lanjutnya memperkenalkan Seth padanya.
Rasa kesal Nirmala langsung lenyap. Bukannya cemberut, alih-alih dia tersenyum manis pada Seth. Formalitas saja untuk kesan pertama, nanti kalau dia pasang muka galak bisa jadi bahan gosip di circle-nya Nathan.
Cowok yang bernama Seth itu terdiam, tiba-tiba terpaku menatap wajah cewek di hadapannya ini. Sesaat dia ikut tersenyum dan menoleh sejenak ke arah Nathan.
“I need to hurry. Kylie’s waiting me,” ucap Seth.
“Oke. Stuur haar mijn groeten.” (Send my greetings to her). Nathan mengangguk dan Seth pun pamit.
Kini tersisa mereka berdua. Nirmala dan Nathan saling pandang selama beberapa detik. Hingga kemudian cewek itu berdecak. “Diem aja nih? Gak mau peluk aku, cium aku, or anything?” tanyanya.
Nathan tertawa kecil, lantas mendekat dan menarik pinggang Nirmala ke dalam dekapannya. Cewek itu tersenyum dan balas melingkarkan tangannya di leher cowok itu, menenggelamkan wajahnya di cerukan leher Nathan untuk menghirup aroma musk di tubuhnya.
“I miss you soo much, Sayang!” kata Nirmala.
“So am I.” Nathan melepas pelukannya dan beralih untuk mengusap rambutnya dengan kedua tangannya. Tak lupa menjatuhkan kecupan manis di keningnya. “I’m happy to see you again, Liefje.”
* * *
Rumah keluarga Tjoe A On tidak terlalu besar, kurang lebih sama seperti rumahnya. Terdiri dari dua lantai, terdapat halaman belakang rumah yang terkadang di acara-acara tertentu dapat disulap sebagai tempat barbeque-an keluarga. Sama seperti Nathan yang disambut ramah tiap kali berkunjung ke rumahnya di Bogor, Nirmala pun disambut ramah oleh Mama-Papanya Nathan. Joy dan Charlie tinggal di Leiden, mereka bilang akan datang di tanggal 22 bertepatan dengan ulang tahun Nathan.
“Come here, Liefje.”
Nathan menarik pelan tangannya yang sedang membetulkan rambutnya, sebab barusan cowok itu uyel-uyel hingga jabrik perkara Nirmala yang 24/7 menggodanya dengan memanggil nama kecilnya; Nathie.
Selama ini, Nathan selalu menampilkan dirinya yang merupakan seorang pria berusia 26 tahun yang mapan dan dewasa. Memang sisi family man-nya tidak bisa luntur begitu saja mengingat dirinya yang selalu mengutamakan keluarga, namun saat melihat seisi rumah Nathan yang banyak sekali foto dan kenangan dirinya saat masih kecil, rasanya Nirmala mau Nathan versi 7 tahun saja boleh, gak? Dari dulu dia pengen banget punya adek cowok. Sayang banget dikasihnya Sania sama Devi.
“Apa sih, Yang?” tanya Nirmala. Belum sempat cewek itu menepis tangan Nathan, cowok itu lebih dulu memasang bandana putih di kepalanya. Menarik poni serta anak-anak rambut di keningnya ke belakang dan menampilkan jidatnya yang lebar. Tadinya Nirmala mau langsung protes karena wajahnya kelihatan lebar banget, tapi mulutnya keburu terkunci saat Nathan lebih dulu mengecup keningnya seraya menyelipkan kedua jemari tangannya di kulit kepalanya, memijit pelan kepalanya seakan-akan menyihir Nirmala untuk diam dan tidak protes.
Gebrakan apa lagi ini, Meneer?!
“Wanna walk around? There’s a little garden near here,” ajak Nathan.
Yang pada akhirnya Nirmala setujui. Sebab dari pada dia bosan, lebih baik dia jalan-jalan lihat sekeliling. Meskipun hanya di sekitar komplek rumah saja.
15 menit kemudian akhirnya mereka berdua sudah berjalan di trotoar seraya bergandeng tangan. Tangan Nirmala yang dipegang Nathan dimasukkan ke dalam saku sweaternya. Memberikan cewek itu kehangatan di tengah-tengah cuaca menjelang musim dingin ini.
“Liefje, aku jatuh dulu di situ saat kecil,” ucap Nathan menunjuk depan pohon ek berukuran besar yang tumbuh di pinggir jalan.
“Uttu uttu ... Nathie jatoh, kaciaann!”
Nathan mendengkus seraya memutar bola mata jengah. “Mala, please stop it!”
Nirmala tertawa terbahak-bahak. Muka Nathan langsung tertekuk, mungkin kesal sebab tunangannya itu tidak habis-habisnya untuk meledeknya dengan nama kecilnya dulu. Karena tidak mau menghancurkan mood Nathan, akhirnya cewek itu pun berhenti menggodanya.
Sesampainya mereka di taman, Nirmala duduk di ayunan dan menggerakkannya. Nathan juga ikut duduk di ayunan sebelahnya. Cewek itu mendongak, melihat pohon ek yang menguning dan sebagian besar daun-daun di tangkainya telah berguguran memenuhi tanah di sekitarnya. Nirmala rupanya datang di penghujung musim gugur. Meski salju belum turun, namun udara sudah sangat dingin. Cewek itu saja bahkan memakai pakaian berlapis-lapis.
“Sayang, where’s your friends? I mean your childhood friends.” Nirmala bertanya. Memelankan laju pergerakan ayunannya seraya menoleh menatap cowok itu.
“Ada. But most of them had moved to another town. So, maybe it just only me,” jawab Nathan.
“Kalo Harold dia orang mana? Where did he come from?” tanya Nirmala.
“From Utrecht.”
“Jauh?”
“Not really. Why?” tanya Nathan.
Nirmala mengerucutkan bibirnya. “You know, I don’t know much about Netherlands—I’m sorry.” Cewek itu sedikit cemberut, merasa tidak enak dengan Nathan.
“It’s okay, Liefje. It’s okay.” Cowok itu tersenyum paham.
“And then I start to googling about Amsterdam because it’s capital city, and then Den Haag because that was the place where conference of Meja Bundar—you know that?” tanya Nirmala. Nathan mengangguk. “Then I searched about Rotterdam.”
“What do you got?”
“Hmm, a lot. Like cube house, Museum of Maritime, Blaak Market, Erasmusburg. Can we go there?”
“Sure,” jawab Nathan. “But that’s not for free.”
“Idih!” Nirmala langsung ngegas. Merasa de javu pernah ngomong begitu sama Nathan 3 tahun yang lalu. “Do you want me to buy you guava juice?”
Nathan terkekeh. “No, just kidding, Sayang.”
Nirmala berdecak dan kembali menggerakkan ayunannya. Sejenak dia menikmati kegiatannya dan membiarkan di antara mereka hening beberapa saat.
“Mala.” Nathan memanggilnya. Dia berdiri dari duduknya di ayunan, membuat Nirmala menghentikan pergerakan ayunannya.
“Apa?” tanya Nirmala. Tadinya cewek itu ingin ikutan berdiri, namun Nathan keburu berlutut di hadapannya, mensejajarkan tinggi tubuhnya dengannya.
“I have something for you.” Cowok itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak beludru bewarna hitam.
Entah ini perasaan Nirmala saja atau bukan, tapi dia lagi-lagi merasa de javu. Adegan ini mengingatkannya dengan momen saat pertama kali Nathan menyatakan perasaannya setelah memberikannya hadiah berupa kalung berliontin huruf N. Kalung itu terakhir kali rusak saat Nirmala tarik paksa di pertemuan terakhir mereka di London, yang berakhir hanya menyisakan liontinnya saja yang kini digunakan oleh cowok itu.
Nathan membuka kotak beludru tersebut dan menampilkan isinya berupa gelang emas berantai tipis dengan bandul berbentuk bulan sabit bewarna biru tua. Cewek itu terbelalak dan menatap Nathan terkejut. “It’s beautiful, Naith!”
Cowok itu tersenyum, lalu memasangkan gelang tersebut di tangan kanannya. “Yeah, beautiful as like you,” katanya seraya menaruh kembali kotak beludrunya ke saku celananya. Lalu setelahnya dia mengecup punggung tangan Nirmala.
“Thank you,” ujar Nirmala.
“No, thank you.” Nathan menggeleng. “Thank you for coming. Thank you for give me a chance. Thank you for waiting me, accepted me, forgive me, and loving me.” Nathan kembali mengecup punggung tangannya. “Thanks for everything, Love.”
Nirmala tersenyum. Bohong kalau Nirmala kagak baper, cuma sayangnya cewek itu tahan-tahan. Gengsi soalnya.
Tangan Nirmala yang satunya lagi dia angkat dan mengelus kepala Nathan. Merasakan rambut cokelat gelapnya yang lebat dan lembut tersebut mengenai telapak tangannya. “The moon is beautiful, isn’t it?” tanyanya seraya memperlihatkan bandul bulan sabit tersebut.
Nathan terdiam. Kini cowok itu yang merasa de javu.
The moon is beautiful isn’t it?
That idiom have meaning’s ‘I love you’.
Belum sempat Nathan membalas perkataannya, Nirmala lebih dulu mencondongkan tubuhnya dan mencuri kecupan singkat di kening cowok itu. “Abdi bogoh ka anjeun*,” bisiknya dan berakhir memeluk cowok itu dengan posisinya yang masih duduk di atas ayunan.
* * *
Juni, 2025
Namanya Trisha Abalo. Katanya dia berasal dari Manila, Filipina. Pindah ke Wales untuk mempertaruhkan nasib dan bekerja di sebuah bar cukup terkenal di pusat kota. Nathan akhir-akhir ini sering datang ke sana bersama teman-temannya. Mereka bilang di sana ada pertunjukan penari perut dan striptis. Siapa yang tidak tertarik datang ke sana?
Persetan dengan Nirmala! Dia akhirnya sudah mulai sedikit-sedikit melupakan gadis cantik itu, dan kembali menikmati hidupnya yang bebas. Mantannya itu di luar sana bisa menikmati hidupnya dengan bersenang-senang, lalu kenapa Nathan tidak? Dia bukan orang yang semenyedihkan itu!
“Tertarik untuk mengajak salah satu dari mereka ke ranjangmu?” tanya Kevin berbisik di samping telinganya sebab bar tersebut semakin malam semakin terdengar bising. “Lihat, salah satu di antara mereka ada yang berasal dari Asia. Mantanmu orang Asia, bukan?”
Nathan mendengkus. Dia menghabiskan isi gelasnya dalam sekali teguk sebelum akhirnya berdiri dan mengatakan, “Aku tidak suka ada gadis murahan menyentuh tubuhku!” ucapnya, lalu pergi menuju meja bartender.
Kevin tersenyum kuda. “Bilang saja kau masih merindukannya, Bung!” ucapnya. Sayangnya tidak Nathan respon.
Cowok bermata hazel itu menghampiri salah satu bartender dan duduk di hadapannya.
“Aku bukan Nirmala.”
Trisha tiba-tiba berkata seperti itu saat melihat Nathan duduk di kursi samping meja bar.
“Aku tidak mabuk.” Nathan mengeluarkan dompetnya dan menarik beberapa lembar Poundsterling, lalu memberikannya pada cewek itu. “Whiskey Sour, please.”
Trisha mendengkus, dan menerima uang tersebut. “Sebentar lagi juga kau akan mabuk!”
Nathan tersenyum miring. “So you wanna be my Nirmala for tonight?” tawar Nathan. Meskipun kepalanya sedikit pusing, namun dia masih sepenuhnya sadar. Cowok itu hanya sekedar bercanda.
“What?”
“No. Aku bercanda.” Nathan membuang muka. Tidak ingin membuat kontak mata dengan cewek itu. Sebab jika dilihat lama-lama, mata cokelat teduh miliknya justru membuat Nathan tenggelam dalam kenangan menyakitkan itu lagi.
“Aku tidak keberatan, Nath.” Trisha kembali mendekat dengan membawa segelas pesanannya. “Kau ingin tidur denganku?”
Mendengar penuturannya barusan, refleks membuat Nathan terbatuk. “Apa?! Yang benar saja!”
Trisha terkekeh. “Aku serius. Aku bisa menjadi Nirmala untukmu. Selama kau membayarku, tentu saja.”
Nathan menyesap minumannya sejenak. “Jadi kau juga bekerja sebagai wanita panggilan? Apa pacarmu tahu soal ini?”
“Well, he’s not my boyfriend actually.”
“Great. You’re such a naughty girl.” Nathan berdecak. Tidak menyangka Trisha ternyata adalah cewek macam itu.
“Men’s like that one. I bet you like it too.” Cewek itu mengangkat bahunya tak acuh.
“No. Thank you.”
Trisha memutar bola matanya. “Kalau begitu jangan mendekat dan memanggilku nama gadis itu lagi ketika kau mabuk. Aku bukan Nirmala.”
“...”
“Tapi jika kau ingin aku menjadi Nirmala selama semalam. Aku tidak keberatan.”
Nathan terdiam. Dia memilih untuk menikmati minumannya dan Trisha pun menjauh untuk menyiapkan minuman pelanggan yang lain.
Being my Nirmala for one night?
How it be like when the girl I love was under my body, scratch my back and moan my name when I’m inside her.
How it be like when I see her face for begging more with sweat dripping down her face and her body.
Shit. I need holy water right now!
“Ada apa? Tertarik dengan tawaranku?” ucapan Trisha berhasil membuatnya kembali tersadar.
Buru-buru cowok itu menggeleng. “Nirmala bukan gadis nakal sepertimu, Trisha!” katanya.
Ya Tuhan, maafkan dirinya yang telah membayangkan Nirmala yang tidak-tidak.
* * *
Note:
Abdi bogoh ka anjeun*: I falling in love with you.
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top