“Udah clear berarti nih ya? Besok per-kelompok bawa bekel masing-masing, kita ketemuan di parkiran motor jam 6 pagi. Lewat dari itu, kita tinggal! Persediaan per-kelompok jangan lupa. Life jacket-nya jangan lupa dibawa, air galon per-kelompok juga jangan lupa. Kita seharian bakal di kapal dan gak akan ketemu daratan dari pagi hingga pagi lagi!”

Suara Haidar, selaku ketua kelas B prodi kelautan angkatan 19 memberikan kesimpulan hasil runding di joglo depan mushola selepas bada Isya. Mereka tengah membahas tentang praktikum mata kuliah teknik penangkapan ikan yang akan dilakukan bersama nelayan-nelayan di pelabuhan Karangantu. Terdapat 6 kelompok masing-masing terdiri dari 5 orang. Nirmala kedapatan kelompok dengan Gerald, Ucok, Raden dan Tisya.

Selesai diskusi, kelompok Nirmala dan 3 kelompok lainnya tidak langsung pulang. Mereka sedang membahas soal akomodasi. Mereka kekurangan motor. Ada beberapa anggota kelompok yang tidak ke-angkut.

“Ya udah, besok gue bawa motor! Gue bisa pinjem motor punya bapak kos, beres! Tisya gue angkut. Raden lu bawa Endah!” ucap Nirmala membuat keputusan.

Raden terdiam sejenak seraya menatap Nirmala. Karena tidak ada respon dari temennya, cewek itu menjentikkan jarinya di depan wajahnya. “Malah bengong! Denger gak, tadi?”

“Siap, Neng Jago! Apa sih yang nggak buat lu?” kata Raden.

Diskusi mereka pun berlanjut alot hingga 30 menit ke depan. Tanpa mereka duga hujan pun turun begitu deras. Membuat mereka segera pindah ke teras masjid dan meneduh di sana. Pasalnya di antara mereka semua tidak ada yang membawa payung atau jas hujan. Amel duduk di samping Nirmala. Seraya menyenderkan kepala di bahunya.

“Mana malem Jum’at lagi ges,” celetuk salah satu dari mereka.

Amel terkekeh. “Bukannya yasinan malah rapat perkara cosplay jadi nelayan!” ujarnya. Yang lain pun tertawa, menimpali setiap lelucon dari masalah tentang susahnya mata kuliah renang ilmiah, hingga masalah percintaan.

Kalau masalah percintaan. Nirmala mending diem. Soalnya dia gak punya pengalaman dalam hal tersebut. Alhasil yang sibuk koar-koar adalah Amel, Gerald, Jessi, Tisya, Raden dan Ucok. Lainnya hanya menimpali saja.

“Kalau lu gimana Nir? Siapa first kiss lu?”

Jujur Nirmala kaget. Pacaran aja gak pernah, udah ditanya pertanyaan kayak begitu.

Amel tertawa sebagai jawaban, yang langsung Nirmala geplak pundaknya. “Lu mah jangan nanya dia! Belom pernah pacaran anaknya!”

Nirmala sih tidak membantah, orang kenyataan.

Cowok-cowok langsung pada kaget. “Hah? Serius lu? Waktu SMP-SMA gak pernah pacaran?” tanya Raden.

Nirmala menggeleng.

“Mau pacaran, gak?” tanya Raden.

“GAK YA! Gue gibeng lu!” kesal Nirmala. Pasalnya Raden kalau bercanda suka ngajak pacaran mulu.

Gerald berdecak. “Ini emang lu-nya yang nolak apa emang gak ada yang lu interest?”

“Lebih tepatnya kagak ada yang mau!” jawab Nirmala telak. Pasalnya memang dari dulu kagak ada tuh cowok yang ngedeketin dia, apalagi menyatakan perasaannya. “Lagian gue gak mau pacaran ah, males!”

“Allhamdulliah, anak soleeeeh!” ucap Ucok.

“Bukan gitu, Cok! Gue udah pusing kuliah, ngurus proker ini itu, kalo pacaran entar malah nambah beban!”

“Yeee, sapa tau malah ngurangin beban!” kata Raden. “Emang tipe lu yang kayak gimana sih?” lanjutnya. Bertanya tiba-tiba.

Nirmala kesal. Kini semua perhatian jadi tertuju padanya. “Tch! Tipe gue bule yang gajinya 3 digit!” katanya asal.

“Kata lu mas-mas Jawa—Adaww!” Amel mengaduh kesakitan kala pahanya Nirmala cubit.

“Oalah ... Gue orang Jawa nih, Nir!” ucap Raden. Nirmala hanya balas dengan mengacungkan jari tengah. Raden ini dari semester 1 terkenal sama kelakuannya yang fuck boy. Semua cewek disikat sama dia. Makanya jangan pernah percaya sama rayuan yang keluar dari mulutnya.

Semua orang tertawa detik itu juga.

“Berarti untuk sekarang udah gak ada harapan dong ya?” tanya Gerald.

“Harapan apa?”

“Harapan buat cowok-cowok.”

“Siapa? Emangnya ada yang demen sama gue?”

Gerald, Raden dan Ucok hanya tersenyum miring. “Ada, Nir. Banyak.”

“Anjrit. Siapa?! Jangan bercanda!”

“Ada. Pokonya ada.”

* * *

Nirmala dibuat terdiam selama 5 menit saat tubuhnya direndam di dalam bathtub. Dia sempat membawa beberapa bath bomb yang terakhir kali dia beli di Hallstatt. Selama di Jakarta, dia tidak punya kesempatan untuk berendam seperti ini, atau mungkin dia merasa malas berlama-lama di kamar mandi dan lebih baik rebahan di ranjang untuk menikmati sisa harinya sambil video call sama Nathan.

Ah, cowok itu. Ingatkan dia, jika dia masih kesal dengannya. Nggak kesal yang alay gimana gitu, tapi mengetahui fakta kalau dia membelikan minum untuk Safeera (which is, Nirmala gak suka sama tingkahnya yang tidak sopan), ditambah pake adegan minumannya yang tertukar, menjadi alasan utama Nirmala sebel sama selebgram cantik tersebut.

Belum lagi tak lama setelah itu, beberapa fanpage Nathan ramai perkara Nathan yang tidak sengaja muncul selama 3 detik di live Instagram-nya Safeera, lalu disusul oleh Nirmala yang terang-terangan hadir menyapa para followers-nya dengan wajah bare face yang sedang ada jerawat hormon di dagu.

Ah, double kesel Nirmala dibuatnya. Memang sih, tidak ada komentar yang buruk. Ada beberapa (sedikit) netizen yang bilang dia auranya Magrib karena pencahayaan dan mungkin juga efek dirinya yang bekerja di daerah pesisir selama sebulan penuh. Kulitnya jadi sedikit gelap.

“Jadi begitu ceritanya Nir.”

Suara Amel dari ponselnya yang dia taruh di meja samping bathub menyadarkan lamunannya sejenak. “Maaf ya, Mel.”

“Gue kan, udah bilang ini bukan salah lu!”

Nirmala menghela napasnya kasar. Dia memejamkan matanya sejenak, dan menetralisir pikiran-pikiran aneh saat mendengar penjelasan dari sahabatnya itu. Cewek itu merutuki sikapnya saat masih remaja dulu. Kok, bisa dia segoblok itu dan gak sepeka itu?!

“Lagian salah mereka juga sih, kenapa gak berani nembak lu!” lanjut Amel. Di Indonesia bagian barat sekarang pukul 4 sore, Sedangkan di Arab baru pukul 12 siang.

“Emangnya mereka gak berani, kenapa dah? Gue emang dulu seserem itu, ya?” tanya Nirmala.

“Lu tuh bukan serem. Tapi kharisma lu kuat. Mereka yang ngedeketin lu keburu jiper duluan! Apa lagi pas ultimatum lu yang bilang gak mau pacaran. Udah abis nyali mereka!”

“Mereka itu siapa??” tanya Nirmala penasaran. “Raden?”

“Salah satunya. Untung doi dah merit.”

“Udah move on kan dia? Ntar gue kena masalah lagi, dikira pelakor!”

Amel tertawa. “Ya udah lah, gila. Dia emang ketikannya aja suka bercanda!”

“Terus siapa lagi? Duh gue jadi nggak enak.”

“Banyak. Chandra, Raden. Ucok aja pernah ngaku demen sama lu. Tapi dia tahan soalnya dah punya pacar di Medan,” jelas Amel. “Makanya pas lu ngilang di semester 5 dan 6 perkara ikut kampus mengajar sama magang, lama-lama mereka udah lupa kok. Apa lagi pas tau lu akhirnya punya pacar for the first time!”

“Plis. Tolong jangan ingetin gue bagian itu.”

“Hahaha! Reaksi gue saat tau lu akhirnya punya pacar, itu cuma satu! Pelet apa yang dia pake?? Sampe seorang Nirmala mau pacaran?”

“Gue stress perkara skripsi! Kagak ada support system!”

“Pret!” ledek Amel.

Nirmala lagi-lagi menghela napas. “Tapi gue masih heran loh. Gue jelek begini, kok banyak yang demen?”

“Lu tuh cakep Nir. Emang, gak secakep Tisya waktu itu. Tapi aura lu kadang suka aur-auran! Apalagi sekarang! Lu kalo misalnya dapat tawaran iklan kosmetik atau pakaian trendi, jangan nolak Nir. Muka lu estetik!”

Cewek itu berdecak “Gue jadi modelnya nanti yang ada produknya kagak laku. Udah lah, paling bener gue blusukan di lahan mangrove aja, temenan sama ikan gelodok.”

Amel tertawa. “Serah lu deh, mau percaya atau nggak. Tapi yang lalu udah lah biar berlalu. Meskipun gue cuma dapet hikmahnya aja, seenggaknya hubungan gue sama lu masih bertahan. Makasih ya udah mau jadi sahabat gue, dengerin bacotan sampis gue.”

“Aaaah, gue jadi lebih pengen ketemu sama lu dibanding sama Nathan!” Jujur Nirmala sampai menitikkan air mata.

“Ya elah malah nangis. Udah jangan nangis! Sana pacaran!”

“Mau pacaran sama lu!”

Amel mengucap istighfar. “Heh, nyet! Gue masih waras ya!!”

Nirmala terkekeh. Dia hanya bercanda, kok. Cewek itu terdiam sejenak. Entah kenapa pikirannya terlintas kejadian tidak mengenakkan saat Chandra mencium bibirnya malam itu. “Mel.”

“Apa?”

“Gue takut.”

“Kenapa? Tekdung lu ya?!”

“Monyet! Gue mau istighfar tapi lagi di kamar mandi!” kesal Nirmala. “Amit-amit jabang bayi. Biar dikata gue udah dibawa sampe ke eropa, Meneer belum nyentuh gue!”

“Terus apa yang lu takutin?”

“Soal mantan lu yang nyipok gue waktu itu!”

Terjadi hening sejenak.

“Gue gak sempet liat dengan jelas apakah ada kamera yang nangkep momen itu atau nggak.”

“Nir ...”

“Gue takut kalau ada foto atau video kejadian itu muncul di media. Gue gak peduli sama komentar negatifnya. Tapi gue takut kalau Nathan liat.”

“Ya mulai sekarang lu harus jelasin pelan-pelan apa yang terjadi waktu itu. Jadi kalau misal—amit-amit—ada postingan kejadian itu menyebar, minimal ada Nathan yang percaya sama lu.”

“Gue gak berani ngasih taunya.”

“Kenapa, anjir? Kan, yang jadi korban lu!”

Nirmala menggeleng. “Bukan itu Mel. Gue takut Nathan ngelabrak Chandra. Jevais aja dilabrak sama dia.”

Amel tertawa lagi. “Bagus lah. Labrak aja! Kalo udah dilabrak, kabarin gue.”

Ah sial. Ini sama sekali tidak membantu.

* * *

Nirmala dibuat terus kepikiran dengan perkataan Amel. Cewek itu bahkan sampai melamun terus saat sedang makan siang bersama keluarganya Nathan. Paparo bahkan berkali-kali memanggilnya kala dia kembali melamun menatap isi piringnya.

“Mala, My Dear. Is there something wrong with you?” tanya Paparo.

Hal tersebut sukses membuat Nirmala mengerjapkan matanya dan menoleh mendapati Mamamel, Paparo dan Nathan menatapnya khawatir. Buru-buru cewek itu menggeleng. “No. I’m fine. Everything’s fine!” ucapnya.

“You sure, Liefje?” tanya Nathan. Cowok itu menyentuh lutut Nirmala dan mengusap-usapnya.

Rasa kesalnya pada Nathan sementara hilang, sejak percakapannya dengan Amel beberapa jam yang lalu. Dia mantap, habis ini ingin menceritakan kejadian di malam itu pada Nathan. Apapun yang terjadi, biarlah. Cowok itu mau marah atau kecewa, yang penting dia sudah berusaha untuk jujur.

“Naith, aku mau curhat. Berdua aja tapi,” katanya pelan, nyaris berbisik saat mereka keluar dari restoran. Rencananya, mereka ingin ke bar untuk bermain billiard. Iseng-iseng untuk menghabiskan waktu sore mereka.

“Right now?” tanya Nathan.

“Up to you.”

Jelas lah. Nathan maunya sekarang. Alhasil dia memanggil Mama-Papanya dan mengatakan jika dia ingin pergi ke suatu tempat bersama Nirmala.

“Ja, natuurlijk! Take your time, Honey. Have fun!” Mamamel tersenyum mengiyakan.

Senyum Nathan langsung mengembang, dia berbalik dan meraih tangan Nirmala untuk segera pergi ke sisi lain hotel.

“Oy! I’m watching you, Noël!” ujar Paparo. Tapi tidak dihiraukan olehnya.

Mereka masuk ke dalam lift dan menekan tombol salah satu lantai yang terdapat kolam renang dan kursi-kursi santai untuk mereka duduki di bawah payung lebar. Di sana cukup sepi hanya ada dua orang yang duduk santai di sana.

Mereka memutuskan untuk duduk di salah satu kursi dengan posisi berhadap-hadapan. Selama mereka menjalani hubungan, bagian favorit Nathan adalah saat mereka sedang melakukan deeptalk. Entah membahas tentang komitmen, kehidupan, ekonomi, bahkan sampai konspirasi kalau Hitler mati di Garut, atau bahas tentang sejarah kolonialisme Belanda yang berbeda jauh dengan sejarah yang diajarkan pada Nathan saat masih sekolah.

“So, what do you want to talk about?”

Nirmala menekuk kakinya dan duduk bersila seraya mengigit bibir bawahnya. Nathan membetulkan ujung roknya agar menutupi kakinya dengan sempurna lalu mengelus kepalanya. “It’s okay. I’m all ear.”

“Promise me, you will not getting mad?” Nirmala mengacungkan jari kelingkingnya.

Nathan tersenyum, dan mengaitkan jari kelingkingnya dengan miliknya. “I’m promise, Liefje.”

Nirmala menarik napas sejenak. “Actually, it’s about the reunion event ...” Nirmala menjelaskannya. Semua kejadian di acara reunian angkatan 19 FPIK malam itu dari A-Z. Bahkan dia menceritakan tentang hubungan Amel dan Chandra, juga bagaimana hubungan Chandra dengannya yang hanya sebatas rekan organisasi BEM fakultas, meski tidak sebaliknya.

Bagaimana reaksi Nathan? Cowok itu terdiam. Tapi dari ekspresinya, yang mengeraskan rahang dan menajamkan tatapannya, berhasil membuat Nirmala mati kutu. Dia tahu, pasti respon cowok itu akan tidak mengenakkan. Mengetahui Jevais mengusap kepalanya saja dia marah, apalagi sampai ada orang yang mencium bibirnya?

“A—aku udah usaha—I’ve tried to pushed him and slap him so hard! I even yelled him a bastard. I want to yelled it more like; bajingan, bangsat, anjing, monyet, babi, kon—” Nirmala terdiam. Itu bahasa terlalu kasar. Masalahnya,nNathan paham artinya. “Aku marah saat itu!” lanjutnya, seraya mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Karena terbawa suasana, dan kembali mengingat kejadian buruk itu, mata Nirmala sampai berkaca-kaca. Dia memang marah, jijik, bingung. Kenapa semua ini terjadi padanya. Salah dia apa?

“Aku minta maaf, Naith,” cicit Nirmala, menunduk. Tidak lagi berani menatap wajah Nathan yang sedari tadi terus menusuknya dengan tatapan tajamnya. “I’m sorry. Aku gak bermaksud—”

Kalimat Nirmala terpotong saat Nathan lebih dulu menariknya dalam pelukannya. Pelukannya begitu erat, sampai-sampai Nirmala harus mengubah posisi duduknya hingga berada di pangkuan cowok itu.

Jelas Nirmala terkejut dengan respon Nathan yang tiba-tiba seperti ini. Padahal dia berpikir akan berdebat dan berujung perang dingin.

“Naith?”

“Shhh. Just let me hold you more longer.” Dia berucap di samping telinganya. Lalu menjatuhkan kecupan singkat di keningnya dengan penuh perasaan. “Why you have to apologize, when you are the victim?” tanyanya, lalu kembali mengecup kening Nirmala.

“I thought you’re gonna mad of this.”

Nathan menggeleng. “No, I’m not. But I hate when knowing someone touch my girl.” Cowok itu menangkup kedua sisi wajahnya. Memaksanya sedikit mendongak agar iris cokelat gelapnya saling bertatapan dengan iris coklat hazelnya. “Did he touched you more than kiss?” tanya Nathan.

Nirmala menggeleng.

Cowok itu meneguk ludahnya. “So give me your consent ... to clean up his traces.”

Mata Nirmala terbelalak, saat Nathan mendekatkan wajahnya dan mengecup bibirnya. Awalnya hanya sekedar kecupan. Namun lama-lama kecupannya menjadi semakin intens, semakin dalam, membuat Nirmala mabuk kepayang. Kepalanya terasa ringan, sesuatu seperti ada yang menggelitik perutnya. Yang bisa dia dengar hanyalah suara detak jantungnya dan suara kecupan nakal dari Nathan.

Ah, sial! Nirmala bisa gila!

Mereka di Arab Saudi, loh?!?!?

Akhirnya hampir semenit, ciuman itu pun terlepas. Wajah Nirmala sudah memerah hingga ke kuping-kuping. Dia ingin menjauh namun tangan Nathan sudah lebih dulu menahan pinggangnya dan belakang punggungnya hingga tetap berada di atas pangkuannya.

“You—you said no kiss! No—no kiss on the lips?!”

Nathan tersenyum. “Well, that one is an exception.”

* * *

Note:

Mala, lu waktu itu berani nyium Nathan. Sekarang pas dicium balik, lu panik. Mau lu apa?

Meanwhile ...

Papa Irfan di Bogor: “Hm, macam tak betul nih. Telpon Nathan, ah!”

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.