09 | Gala Dinner

Nathan memarkirkan mobilnya di pelataran parkir sebuah club malam yang dikatakan oleh salah satu teman dekatnya. Cowok itu mengunci mobil sebelum akhirnya masuk ke dalam. Dia mengernyit saat aroma alkohol bercampur ganja menusuk indra penciumannya. Rasanya dia ingin marah saat sesi video call bersama tunangannya harus terganggu saat Harold mengirimnya pesan untuk menjemputnya karena dia telah teler sejak beberapa jam yang lalu.

Dia ingin menolak, namun Harold tidak punya siapa-siapa selain dirinya di negara ini. Mengingat temannya itu juga berasal dari Belanda, membuatnya jadi merasa bertanggung jawab dengan cowok yang berusia dua tahun lebih tua darinya itu.

Selama 2 menit Nathan mencari keberadaan Harold. Hingga kemudian dia mendapati cowok itu tengah terduduk setengah sadar bersama seorang wanita berseragam pelayan. Buru-buru Nathan mendekat dan menepuk pundak temannya itu. Namun yang menoleh bukannya Harold tapi pelayan wanita itu.

“Kau orang yang bernama Nathan?” tanyanya.

Nathan hanya mengangguk singkat dan menepuk-nepuk pipi Harold yang benar-benar sudah jatuh pingsan.

“Syukurlah. Aku bisa tinggalkan dia padamu?”

Lagi-lagi Nathan hanya mengangguk, lalu mengucapkan kalimat singkat, “Terima kasih.” Sebelum akhirnya menarik tengkuk Harold agar cowok itu mau membuka matanya. “Bangun, sialan!” kesalnya.

Harold membuka matanya perlahan dan sedikit cegukan. “Hey, Noël! Kau ... Kau datang?”

Nathan memutar bola matanya jengah. Alhasil dia membopong tubuh Harold meninggalkan tempat tersebut. Nathan kembali mengumpat saat aroma ganja begitu menyeruak di hidungnya, atau orang-orang mabuk yang menghalangi jalannya. Beruntung tidak sampai 5 menit mereka berhasil sampai di parkiran.

“Kalau kau terus merepotkanku seperti ini, aku tidak akan membantumu untuk yang kelima kalinya!”

Harold terkekeh. Dia mengangkat salah satu tangannya untuk menunjukkan simbol peace. “Maaf, Noël. Aku tidak akan mabuk lagi.”

Mendengar janji Harold yang sedang kehilangan kesadarannya itu, membuat Nathan berdecak. “Yeah. Kau ulangi hal bodoh ini lagi, akan aku kulaporkan kau pada pelatih!” ucapnya yang memukul pelan kepala cowok itu.

“Hey, ampun, ampun! Aku minta maaf, okay! Wees niet zo boos!” (Don't be so angry!) ucap Harold.

Nathan akhirnya membuka pintu mobilnya dan membiarkan temannya itu duduk di kursi penumpang. Setelahnya Nathan pun ikut masuk dan duduk di kursi kemudi. Baru saja menyalahkan persneling, tiba-tiba Harold berceletuk. “Noël.”

“...”

“Kekasihmu orang Asia Tenggara, bukan?”

“Diamlah. Aku tidak mau mendengar ocehanmu!” balas Nathan yang akhirnya berhasil mengeluarkan mobil dari parkiran dan membawanya masuk ke jalan raya.

“Di sana banyak sekali wanita-wanita eksotis asal Asia Tenggara, jika kau ingin tahu.”

“...”

“Mereka menyenangkan. Kenapa kau tidak datang ke sana dan bersenang-senang bersama mereka?”

Nathan memicingkan matanya, merasa tidak suka dengan perkataan Harold barusan. “You gotta fucking kidding me, bro! I’m a loyal man.”

Harold terkekeh geli, meski pada ujungnya dia kembali cegukan. “Bullshit. Hidupmu terlalu strick, kawan! Bersenang-senanglah sekali-kali!”

“Dengan mabuk dan menjadi tidak waras sepertimu? Nee, bedank.”

Temannya itu mencurutkan bibirnya. “Di sana banyak wanita berambut hitam panjang, kulit sawo matang hingga kuning langsat, memiliki tubuh yang indah dan mereka memiliki wajah yang manis.” Harold menjeda sejenak kalimatnya saat dirinya kembali cegukan. “Mereka yang kusebutkan itu memiliki ciri-ciri yang sama dengan gadis yang ada di ponselmu. Dia kekasihmu, bukan?”

Nathan memutar bola matanya jengah. “Jangan samakan Nirmalaku dengan para jalang di sana, atau aku turunkan kau di pinggir jalan!”

Harold langsung terdiam. Dia menutup bibirnya rapat-rapat saat Nathan mengatakan kalimatnya barusan. Terkadang, pria yang berusia 2 tahun lebih muda darinya itu lebih galak darinya.

Oké, het spijt me.” (Okay, I’m sorry)

Akhirnya hening sejenak. Setidaknya itu membuat Nathan tenang dengan tidak mendengar ocehan Harold yang barusan cukup membuatnya kesal. Apa-apaan dia? Menyamakan Nirmala dengan wanita-wanita penghibur!

“Noël.”

Ya Tuhan, apa lagi sekarang?

“Kau tahu, hidup seperti itu membosankan! Bersenang-senanglah. Aku sedih melihatmu menderita seperti itu!”

“Jangan sok tahu. Aku bahagia dengan hidupku!” balas Nathan.

“LDR itu menyiksa. Cobalah mencari hiburan, Noël. Kekasihmu tidak akan tahu apa yang kau lakukan.”

Nathan terdiam. Dia mengeraskan rahangnya seraya mengeratkan genggaman tangannya pada setir kemudi. Pikirannya seketika melayang entah ke mana. Kejadian-kejadian di masa lalu tiba-tiba merayap, mencekik lehernya, membuat degup jantungnya berdetak tak beraturan.

Itu masa lalu, Nath. Itu masa lalu. Tuhan pasti mengerti.

“Kenapa kau diam saja? Tertarik dengan usulanku?” tanya Harold, sukses membuat Nathan kembali tersadar.

Shut up, don’t make a scene!”

* * *

Rasanya Nirmala seperti anak ilang. Dia gugup bukan main saat masuk ke dalam lobby hotel dan disambut oleh salah satu petugas yang memintanya untuk meng-scan bukti tamu undangan. Setelahnya dia dituntun untuk menaiki lift menuju lantai di mana acara gala dinner itu diadakan. Sebenarnya, di lobby barusan dia sempat melihat banyak orang berpakaian rapih (sepertinya) yang Nirmala tebak adalah tamu undangan juga. Namun cewek itu tidak punya keberanian untuk menyapa dan berkenalan. Lagi pula ini bukan tingkat levelnya. Tidak mungkin dia tiba-tiba mendekat dan bilang; “Halo, aku Nirmala. Ibu dan Bapak siapa namanya?”

Orang-orang barusan sepertinya adalah orang-orang penting yang berkaitan dengan yayasan terkait. Jadi, lebih baik Nirmala asik sendiri saja dan menikmati gala dinner pertamanya sebagai Nirmala Lazuli. Bukan sebagai delegasi BRGM.

Lift pun sampai di lantai yang dimaksud. Di sana sangat ramai. Banyak orang-orang berpakaian mewah dan elegan. Meskipun Nirmala pede dengan penampilannya, namun dia tetap merasa gugup saat mendekati ke pintu ballroom.

“Mala!”

Eh, ada yang manggil dia.

“Nirmala, sini!”

Nirmala melihat Jevais di sana. Dia bersama beberapa orang yang juga sama-sama melihatnya. Sial. Perasaannya tidak enak. Bukannya memasuki ballroom, alih-alih kaki Nirmala malah menghampiri mereka. Cewek itu tersenyum lalu berjabat tangan dengan Jevais dan 4 orang lainnya yang menyambutnya ramah.

“Kenalin, Pak. Ini Nirmala, dia salah satu tenaga koodinator BRGM di bidang konservasi mangrove,” ucap Jevais. Nirmala sebenarnya sedikit terkejut saat pria itu repot-repot memperkenalkan dirinya pada mereka.

Bagaikan air yang mengalir, mereka saling berkenalan dengan gaya elit. Maksudnya cepaka-cepiki ala karir. Setelah itu mereka berfoto sebentar, lalu masuk ke ballroom. Nirmala berpisah dari 4 orang kenalan Jevais barusan, sebab mereka mendapatkan kursi di meja lain. Cukup mengejutkan saat cewek itu melihat namanya berada satu meja dengan Jevais. Bahkan bersebelahan.

“Bestie banget nih, sebelahan,” ujar Jevais bercanda.

Nirmala hanya terkekeh dan duduk di kursinya. Sepanjang acara dia hanya memperhatikan orang-orang penting dalam penyelenggaraan ini berbicara di atas podium, pemberian penghargaan terhadap para investor maupun penggerak lingkungan yang disponsori oleh yayasan terkait. Atau sesekali dia tertawa bersama para tamu undangan kala pembawa acara melempar guyonan yang menggelitik perut. Nirmala sedikit merasa insecure saat orang-orang di sekitarnya tertawa mahal, ciri khas orang-orang yang menjadi prioritas bank BCA.

“Minggu depan kamu sibuk gak, Mala?”

Tiba-tiba Jevais bertanya. Kini acara berlanjut ke kegiatan inti, yaitu makan malam. Beberapa pelayan berdatangan menyediakan makanan pembuka. Sembari menunggu piringnya terisi, pria itu mengajaknya berbicara.

“Minggu depan? Emangnya ada apa?” tanya Nirmala. Cewek itu memberanikan diri menatap pria itu tepat pada matanya.

Jevais memiliki mata sedikit sipit, bola mata obsidian yang teduh, begitu sempurna berpadu dengan bentuk wajahnya yang kokoh. Nirmala sejenak dibuat meneguk ludahnya susah payah.

“Mami saya ulang tahun. Kita menggelar pesta di Villa pribadi yang ada di daerah Puncak, Bogor. Kalau kamu berkenan, saya mau ngajak kamu.”

Mata Nirmala terbelalak. Refleks dia membuang tatapannya ke arah lain seraya tertawa sumbang. Menutupi perasaan aneh yang tiba-tiba membuncah di dadanya. “Hahaha! Mas Jeva ada-ada aja. Itu kan acara pribadi keluarga Mas! Kenapa ngajak saya? Saya kan gak diundang sama ibunya Mas Jeva.”

Jevais tersenyum. Tiba-tiba dia menyentuh kepala Nirmala dan mengusapnya sebentar. Jujur Nirmala mendadak nge-freeze dengan tindakan pria itu. Dia dibuat terdiam dengan pikiran yang sulit untuk berputar.

Apa ini?

Ini normal kan?

“Saya kan bilang, saya ngajak kamu. Otomatis kamu juga diundang.”

“Ta—tapi kan, kita ...”

Lagi-lagi Jevais tersenyum. Beruntung pria itu tidak lagi mengusap kepalanya seperti tadi. “Apa? Kita temen kan?”

Sumpah ini ada yang gak beres!

Beberapa pelayan akhirnya datang ke meja mereka. Menghentikan pembicaraan di antara mereka berdua, yang sumpah Nirmala sangat mensyukuri itu. Suasana tiba-tiba menjadi canggung. Cewek itu tidak mau berinteraksi lagi dengan Jevais karena merasa tidak nyaman perkara tindakan dan perkataannya barusan.

Apa maksud pria itu?

Hingga acara makam malam selesai, dan acara gala dinner itu pun ditutup, Nirmala berserta tamu undangan lainnya melakukan beberapa sesi foto dan berpamitan secara formal. Meskipun Jevais masih setia di sampingnya, namun sebisa mungkin Nirmala untuk tidak menghiraukannya.

“Nirmala.”

Langkah Nirmala tertahan saat cewek itu berjalan menuju lift mengekori orang-orang. Rupanya Jevais meraih tangannya dan menariknya melipir menjauhi lift. Cewek itu mengernyit seraya menatap tangan pria itu yang masih memegang pergelangan tangannya, tanda jika dia kurang suka.

“Oh, maaf. Saya gak bermaksud!” ucap Jevais paham ke mana maksud arah pandang Nirmala.

“Iya. Gak apa-apa. Ada apa lagi ya, Mas?” tanya Nirmala.

“Soal ajakan saya.” Pria itu membasahi sejenak bibirnya dan tersenyum. “Saya gak bercanda. Saya serius. Saya mau ngajak kamu ke pesta ulang tahun Mami saya.”

Ya ampun, Bagaimana Nirmala menolaknya?

“Tapi Mas, saya atau Ibu Mas Jeva nggak saling kenal—”

Kalimat Nirmala terpotong saat Jevais terkekeh. “Siapa bilang?” katanya.

Hal tersebut sukses membuat Nirmala mengernyit. Sumpah dia bingung sekali memahami situasi ini. “Ma—maksudnya?”

“Mami saya suka nontonin konten kamu. Bahkan dia salah satu followers kamu, Mala!”

“...”

“Dia bilang, kamu ngingetin dia waktu masih muda. Kebetulan Mami semasa muda juga pencinta alam pesisir. Sama kayak kamu. Dia juga bilang, katanya mau banget meet up dan foto bareng sama kamu.”

“...”

“Jadi, mau ya? Dateng, ikut saya ke pestanya Mami?”

Mendadak, Nirmala merasa butuh koyo.

* * *

Hari Senin yang begitu sibuk, padat, dan pusing. Nirmala biasanya selalu menamainya Monday suck. Kalau tidak ditemani segelas kopi pait dan koyo di keningnya, dia akan ikut gila persis seperti namanya.

Nirmala melepas blazer dan sepatunya sejenak. Diangkat kedua kakinya ke atas kursi seraya menghirup inhaler di lubang hidungnya yang sebelah kanan. Kemarin malam, selepas pulang dari gala dinner, dia langsung demam. Nggak tahu kenapa? Kayaknya energi ekstrovert habis digantikan oleh energi introvert 65%-nya yang membuatnya kaget dan syok dengan acara kemarin malam. Apalagi saat mengingat-ingat momen di mana Jevais mengajaknya ke acara pesta ulang tahun Maminya. Terlebih saat pria itu memberi tahu alasannya yang berhasil membuat Nirmala tidak punya alasan untuk menolak.

Drrt drrt drrt!

Cewek itu berdecak kesal saat ponselnya lagi-lagi berdering. 2 menit yang lalu dia baru saja selesai menerima telepon dari salah satu sekretariat desa tempat di mana konservasi mangrove akan dibangun. Dia dimintai beberapa keterangan terkait prosedur pembangunan, yang jujur itu menguras energinya. Penyakit introvert miliknya rupanya kambuh di waktu yang tidak tepat.

Nathan Chu 🖤 is calling ...

Melihat sederet nama kontak tersebut di layar ponselnya, seketika mem-boost energinya. Dia menegakkan punggungnya dan mengangkat teleponnya kurang dari sedetik.

“Sayaaaangg!” Nirmala tanpa mukadimah langsung memanggil Nathan dengan panggilan kesayangannya. Kepalanya sudah pusing sejak pagi, tapi mendadak hilang saat Nathan meneleponnya.

“Where are you? Still working?” tanyanya tanpa basa-basi seperti menanyakan bagaimana kabarnya? Atau sudah makan siang atau belum?

Kebiasaan. Nathan tuh romantisnya pas lagi kangen doang. Gak konsisten kayak Nirmala.

“Lagi break. What’s wrong?” tanya Nirmala mencoba untuk paham jika Nathan memang begitu orangnya.

“Why you didn’t tell me that you come to gala with Jevais last night?” sembur Nathan tiba-tiba ke inti masalah.

Nirmala mengernyit. Cowok itu tahu dari mana? Memang sih, sengaja Nirmala tidak menceritakan tentang Jevais pada Nathan kemarin malam. Soalnya, cewek itu paham mood Nathan akan berubah setiap kali Nirmala membahas tentang Jevais.

Wait Naith, let me get this straight, okay!” Nirmala menjeda sejenak kalimatnya. Memutar otak untuk menjelaskan jawaban jujur apa yang pas untuk dia katakan pada tunangannya itu. “I didn’t come with him. I swear! I drove my own car. But I just met him at the event. That’s it!”

“But why you sitting next to him?” tanyanya.

Mulut Nirmala sukses menganga karena tidak percaya Nathan bisa tahu sedetail ini. Tunggu, apa jangan-jangan ada orang yang tidak sengaja memotretnya semalam? Atau jangan-jangan pihak dokumentasi tidak sengaja menyorot dirinya dan Jevais dan itu menjadi viral di media sosial?!

Sial, Nirmala belum sempat mengecek Instagram-nya sejak semalam.

Naith, as you know the seating has been arranged by the organizer. I have no idea that I sit by next to him,” jelas Nirmala selembut mungkin agar tidak memancing keributan.

Nathan terdengar berdecak. “I’ll call you later.”

Naith, please don’t do this to me ...” ucap Nirmala memelas. Dia tidak mau marahan sama Nathan saat sedang LDR seperti ini.

“What am I doing to you, Mala? I just want you to tell me what is happened last night.”

I’m sorry. I just don’t want you mad because of this,” cicit Nirmala. Jujur sekarang dia pasrah kalau memang nanti Nathan bakal marah sehabis ini.

Terdengar suara helaan napas panjang di seberang sana. “I’ll call you later.”

“Naith, wait—”

Sambungan telepon terputus.

Nirmala menaruh kembali ponselnya di meja. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu mengusapnya kasar. Selang beberapa detik, cewek itu memutuskan untuk meraih kembali ponselnya dan mengecek Instagram-nya. Mencari berita terbaru di laman explore. Tidak butuh waktu lama baginya untuk melihat sebuah foto dirinya sedang duduk berbincang dengan Jevais saat acara gala dinner kemarin malam. Bahkan foto itu menangkap momen di mana pria itu mengusap kepalanya.

Ah, kampret!

Rasanya Nirmala mau mengumpat.

Nathan Chu 🖤

|Naith, I’m sorry 😢
|I udin mean to do it.
|*Didn’t

|Do need to.
|I’ll call you later.

* * *

Note:

(Seharian gue ngetawain Patrick bugil awokwokwok)

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top