06 | Gosau

“What have you done is really impolite, Nirmala!”

Itu kalimat terakhir yang dikatakan Nathan dari sejak mereka meninggalkan pusat desa hingga akhirnya mereka check out dari air bnb di keesokan harinya. Cowok itu dari kemarin juga tidak banyak bicara, mungkin masih kesal dengan sikap impulsif Nirmala yang tiba-tiba menciumnya hanya untuk sebuah miniatur seharga 28 Euro. Bisa dibilang cukup mahal sih, tapi masih bisa kebeli olehnya. Bahkan Nathan saja sudah menawarkan akan membelikannya dari pada harus berciuman di tengah-tengah keramaian.

Katanya, “Yeah, aku tahu it just a kiss. But I’ve promise to your Papa to not touching you more than kiss on your head!”

Entah apa saja yang Papanya bicarakan dengan Nathan. Yang jelas, cowok itu jadi sedikit strict soal skinship. Padahal kalau cium doang mah, Nirmala gapapa banget (selama yang nyium cowok itu, ya!).

Alhasil sejak kejadian tersebut, Nathan mendiamkannya. Dia hanya berbicara seperlunya saja dan itu berhasil membuat Nirmala kesal. Apalagi saat mereka tengah berada di mobil yang melaju meninggalkan desa Hallstatt. Suasana yang yang sudah canggung jadi semakin terasa. Apalagi Nirmala yang terbiasa bawel jika sedang bersama Nathan jadi merasa tidak nyaman.

“Loh? We’re not going to Gosau?” tanya Nirmala saat melihat layar tab di mobil menampilkan Google Maps yang mengarah ke kota Wina.

No.”

But you promised to take me there!” senggah Nirmala, sebab sebelum merencanakan ini semua, cowok itu bilang ada kota kecil di tengah-tengah padang rumput dan pegunungan Dachstein. Nama kotanya Gosau. Bahkan Nathan sempat berjanji setelah dari Hallstatt akan mengajaknya ke sana.

I’m tired. I wanna go home.”

Nirmala yang sedari tadi sudah menahan kesal, langsung meledak. “Apaan sih?! Sini! Let me drive if you feel tired!”

Nathan menoleh dengan ujung matanya. Wajahnya yang sudah tertekuk semakin ditekuk, apalagi saat dia berdecak kesal dan memelankan kecepatan mobilnya untuk memutar arah. Akhirnya mereka batal kembali ke kota Wina detik itu juga.

Mendapati respon Nathan yang niat gak niat, membuat Nirmala semakin kesal. “If you displeased like this, just turn around! Gak usah ke Gosau!” katanya, memantik sumbu keributan.

You said you want to go to Gosau. Then now, you want to go home? What do you want, Mala?” tanya Nathan. Meski nada bicaranya rendah, namun ekspresinya terlihat jelas sedang menahan kesal.

What can I say? You treat me like this! You didn’t enjoy the vibes!” Nirmala cemberut dan meremas lututnya seraya menatap lurus ke jalanan. “Aku kan udah bilang ... Aku minta maaf.”

Kalimat terakhir Nirmala berhasil membuat Nathan berpikir sejenak. Cowok itu menghembuskan napas kasar, sebelum akhirnya menepikan mobilnya di pinggir jalan dan menyalakan lampu hazard.

Let’s get this over with. I can’t be mad at you for so long. I just try to keep my promise to your Papa. That’s it,” jelas Nathan.

What did Papa say to you?” tanya Nirmala.

Nathan terdiam sejenak. Sebenarnya ini bukan gayanya. Nathan 3 tahun yang lalu pasti akan menggebu-gebu jika sedang jatuh cinta. Namun kali ini, dengan Nirmala dia harus membatasi dirinya. Itu salah satu syarat yang harus dia lakukan untuk bisa bersamanya selain menunggu 1 tahun agar bisa menikahinya.

To protect you.”

From what?! I’m already mature to protect my—”

From me! To protect you from me!”

Nirmala terdiam. Begitupun Nathan. Selama 10 detik mereka saling bertatapan dalam gamang. Beberapa kali cewek itu mencoba untuk menelan ludahnya dan memutar otaknya untuk membalas perkataannya barusan. Namun gagal saat pikiran feminisnya melintas di kepalanya. Alhasil, Nirmala dengan susah payah membuang muka dan mencoba untuk menetralisir perasaan aneh di dadanya.

I hope you get it why I’m trying to do it,” ucap Nathan. “Will you forgive me?” tanyanya.

“Gak tahu. Kamu yang marah sama aku, kan?” balas Nirmala.

Butuh 3 detik bagi Nathan untuk paham apa arti dari kalimatnya barusan. “No, I’not mad at you—well, you right!” Nathan langsung mengubah kalimatnya saat melihat lirikan tajam dari Nirmala. “I mean, I was mad at you, but now I’m not.”

“Ye.”

Nathan kembali menghembuskan napas kasar seraya mengacak-acak rambutnya yang sebelumnya sudah berantakan karena tidak sempat menyisir. Cowok itu akhirnya mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan memberikan sebungkus wafer serta susu strawberry. Aksinya tersebut rupanya berhasil membuat Nirmala menoleh dan memekik kegirangan.

Where do you get this??” tanyanya. Melupakan suasana tak mengenakkan di antara mereka.

Minimarket at the gas station.”

Nirmala tersenyum lebar dan menerima pemberian cowok itu. “Thank you, Sayang!”

Baiklah, cewek itu sudah kembali memanggilnya Sayang.

Case closed.

“Hm, my pleasure.”

* * *

Gosau itu terletak 15 kilometer dari Hallstatt. Butuh waktu sekitar 17-20 menit untuk bisa sampai di sana.

Kalau di Hallstatt menyuguhkan pemandangan danau, rumah-rumah otentik dan tebing kapur yang mengelilinginya. Maka Gosau memberikan pemandangan hamparan rumput hijau yang luas tak berujung, langit biru yang cerah, serta pegunungan Dachstein yang dapat dinikmati begitu indah di depan mata.

Sesampainya mereka di kawasan Gosau, sengaja Nathan melambatkan laju mobilnya dan membuka jendela kanan-kiri agar gadis kesayangannya itu bisa mengambil beberapa video perjalanan mereka di kameranya. Melihat Nirmala yang terus menerus tersenyum dan berdecak kagum, membuatnya ikut bahagia. Rasa kesalnya hilang seketika saat mendengar suara cewek itu yang mencerocos dengan bahasa yang tidak sepenuhnya dia paham. Tapi dia yakin artinya pasti tidak jauh dari kata-kata kagum dengan apa yang sedang dia lihat.

Ya Tuhan, rasanya Nathan ingin cepat-cepat membawa Nirmala ke Banda Neira! Satu tahun kenapa rasanya lama sekali, sih?!

10 menit mereka berjalan menyusuri jalan di tengah padang rumput yang tak jarang terdapat hewan-hewan ternak seperti sapi, domba, dan kambing yang dilepas liarkan. Akhirnya mereka sampai di salah satu restoran di dekat padang rumput. Nathan memarkirkan mobilnya di pelataran parkir, menggandeng tangan Nirmala masuk ke dalam restoran dengan memilih meja di bagian outdoor.

It would be nice if we come when it’s winter,” ucap Nirmala, membayangkan bagaimana rupa kota kecil ini ketika salju turun. Cewek itu tengah mengatur tata letak meja sedemikian rupa untuk memotret produk sunscreen dan cushion dari brand lokal asal Indonesia. Rupanya cewek itu mendapatkan beberapa tawaran endorsement, salah satunya membuat konten tentang dua produk tersebut. Sejak kemarin Nirmala sudah nge-take beberapa video, bahkan Nathan sampai menjadi cameraman dadakan untuknya.

“Yeah. But your first winter should be in my hometown.”

Why?”

Well, I don’t have a reason. Winter is my favorite season. I want you be there, especially for my birthday.”

Ho, iya! Ulang tahun Nathan kan di musim dingin.

Nirmala tersenyum. “Okay, I’ll try to saving my money, so I could come to Rotterdam in Desember.”

Satu hal yang disukai Nathan dari Nirmala. Cewek itu tidak pernah mau dibelikan sesuatu kecuali memang sudah dipaksa. Nathan tahu gaji Nirmala tidak ada apa-apanya dibandingkan miliknya, namun cewek itu selalu mengusahakan untuk menggunakan uangnya selagi dia punya dan selagi dia bisa. Jadi Nathan sebisa mungkin menghargai perjuangan Nirmala dengan membiarkan dia berusaha terlebih dahulu. Sisanya akan Nathan bantu diam-diam.

My family would be so happy if you come to our home.”

Cewek itu hanya tersenyum. “Glad to hear that,” katanya. Lalu kemudian dia teringat sesuatu. “Well, anyway. You never talk about your friends.”

Nathan mengernyit. “I ever tell you before. Ahmed, Kevin, Jace, Harold and—”

Not your friends from Swansea or from football club. But your friends from Holland.”

Kali ini Nathan terdiam. Sepertinya dia memang belum banyak cerita tentang teman-temannya. Cowok itu lebih sering cerita tentang keluarganya dan kesehariannya yang tidak pernah jauh-jauh dari bola. “There are Seath, Rachael, Max, Collin, Gina—”

“Gina.” Nirmala langsung memotong kalimatnya, menyebutkan salah satu nama temannya. “She’s so gorgeous, anyway.

Not gorgeous as you are.”

Nirmala berdecak. “Tch, ngalus!”

I’m saying the truth, Mala.”

So, who is she?” tanyanya, melanjutkan topik pembicaraan.

“Teman.”

“Teman apa cemceman?” goda Nirmala.

What is cem—ceman?”

Sudah ditebak, pasti Nathan akan bertanya. Biasanya, jika ada kosa kata baru yang belum cowok itu dengar, dia akan bertanya. Jadi jangan heran kalau terkadang kalimat Nirmala campur-campur jika berbicara dengannya. Next time kalau Nathan sudah mulai terbiasa dengan bahasa Indonesia, gantian cowok itu yang akan mengajarinya bahasa Belanda. Walau kayaknya Nirmala gak yakin, soalnya cowok itu suka gak serius ngajarinnya.

Cemceman is kinda like a crush.”

Nathan terdiam seraya mengangguk-angguk. “Well, you right. I once had a crush on her.”

Nah loh! Bener, kan? Insting Nirmala gak pernah salah! Soalnya tipe Nathan tuh yang rambut blonde, kulit eksotis dan kutilang—kurus tinggi langsing.

Ha! I’m not surprised at all!” sarkasnya.

It was, Mala. It was done so long time ago, even we’re not dating, though.”

“Ye.”

Oh, come on! Don’t start again,” ucap Nathan lelah menghadapi sikap Nirmala yang akhir-akhir ini mood-nya naik turun. Apakah cewek yang sedang datang bulan selalu bertingkah seperti ini?

“Iya Nathan. Santai aja, chill! You see the view? It’s too beautiful for us to argument each other!”

Oke. Baiklah.

“Gak usah cemberut!” sindir Nirmala.

No, I’m not!” Nathan mengernyit. Lalu tiba-tiba Nirmala membalikkan layar ponselnya yang sedang mengaktifkan kamera depan. Terpampanglah wajah cowok itu yang alisnya menukik dan bibirnya manyun sesenti.

“Senyum, Sayang.”

Nathan menghela napas, lalu tersenyum, tak lama terkekeh dan berujung tertawa karena Nirmala juga tertawa melihat reaksi cowok itu.

* * *

Waktu Nirmala di Austria hanya tersisa sebentar lagi, sebelum akhirnya lusa harus kembali terbang ke Jakarta. Sepulangnya mereka dari Gosau, seharian mereka habiskan waktu untuk istirahat di apartemen. Sekalian cewek itu nyicil packing dan menyusun beberapa oleh-oleh dari desa Hallstatt.

Keesokan harinya, baru Nathan mengajaknya kembali jalan-jalan mengunjungi tempat yang belum sempat mereka kunjungi. Sebisa mungkin mereka menikmati dan menghargai waktu yang ada sebelum akhirnya kembali menjalani hubungan LDR. Belum lagi Nathan bilang jika ada kemungkinan dia tidak bisa hadir di agenda Timnas bulan September. Itu sangat disayangkan.

Nirmala membuka pintu bagasi mobil dan membiarkan Nathan memasukkan tas belanjaan yang berisi box-box wafer merek Manner varian neapolitaner, karena menurutnya varian itu yang paling enak di antara semua varian.

Setelah menaruh barang belanjaan di mobil, mereka kembali meninggalkan parkiran untuk mengunjungi salah satu museum seni yang terkenal di sana. Karena tidak diperbolehkan membawa kamera, jadinya Nirmala hanya mengabadikan momen dengan kamera ponselnya saja. Kayaknya tempat favorit mereka buat nge-date gak jauh dari museum atau mengunjungi pariwisata alam. Beruntung di kota ini tidak ada yang mengenali mereka. Mungkin ada beberapa yang menyapa Nathan karena dia dikenal sebagai pemain sepak bola di kota itu atau security di basemen apartemen yang kerap kali menyapa mereka karena memang sudah akrab dengan cowok itu.

Yeah, semoga aja tidak ada orang iseng yang paparazi dan menyebarluaskan hasil jepretannya di media sosial.

“Kak Mala?”

Baik Nirmala maupun Nathan refleks menoleh saat mendengar seseorang memanggil nama cewek itu. Nirmala terkejut, sedangkan Nathan mengernyit.

“Tante Shinta?!” Nirmala nyaris menutup mulutnya agar tidak berteriak dan mengganggu para pengunjung museum. Sekejap cewek itu langsung ditarik ke dalam pelukan seorang wanita berusia 45 tahun tersebut.

Sekitar satu menit pelukan mereka akhirnya terlepas. Nirmala menatap Tantenya tersebut lekat-lekat. “Udah lama banget gak ketemu! Gimana kabarnya, Tan?” katanya.

“Sehat, allhamdulliah!” jawabnya. Lalu kemudian bertanya balik, “Kamu gimana kabarnya? Masyaallah, cantik banget sih, Kak!” kata Tante Shinta seraya mencubit pipinya. Tak lama, muncul seorang pria kaukasian berusia paruh baya datang mendekat dan menyadari keberadaan Nirmala.

“Oh, Nirmala?” sapanya. Nirmala langsung salim pada Om Gilbert, disusul oleh Nathan namun cowok itu hanya sekedar bersalaman saja.

Jujur, dia sudah hampir seminggu di negara ini, namun dia baru ingat jika Om Gilbert asli Austria. Tapi setahunya mereka tinggal dan menetap di Berlin, Jerman.

“Tante liburan apa emang udah pindah dari Jerman?” tanya Nirmala.

“Anak-anak liburan musim panas, mau main ke rumah neneknya di Mödling, sebelahan sama kota Wina!” jawab Tante Shinta.

“Loh? Terus mana si kembar?” tanya Nirmala sebab tidak melihat mereka di mana-mana.

“Nggak diajak. Ini Mama-Papanya doang yang ke sini mau pacaran!”

Mereka tertawa kecil, hingga akhirnya wanita itu menoleh menatap Nathan yang sedari tadi tersenyum. “Oh, ini tunangan kamu? Heboh loh di grup keluarga besar!”

Iya heboh banget, soalnya Nathan seterkenal itu dari kalangan usia dari yang muda sampai yang tua.

Nirmala hanya menyunggingkan senyum. “Iya, Tan.” Cewek itu menarik tangan Nathan. “Naith, ini Tante aku—My Tante who I ever told you.”

Nathan mengangguk-angguk dan salim padanya. Kali ini dia sudah paham bagaimana budaya salim, pemirsa.

Mereka berbincang-bincang sebentar, hingga akhirnya memutuskan untuk minum kopi di kafe terdekat. Kembali bercengkerama seraya membahas hal-hal simpel seperti; sudah berapa lama di Austria, nginep di mana (meski Nirmala harus bohong kalau dia nginep di hotel dekat apartemen Nathan, soalnya dia paham betul dengan watak Tantenya ini), udah ke mana aja, kapan pulang, kerja di mana, nanya kabar orang-orang rumah, dan lain-lain.

Hingga ke pertanyaan yang agak mengerucut mengenai hubungannya dengan Nathan. Mulai dari; sudah kenal sejak kapan, Nathan main di klub sepak bola mana, hingga akhirnya bertanya kapan nikahnya.

“Ekhm, Papa bilang untuk nunggu setahun buat lebih mengenal satu sama lain dulu, Tan.”

“Loh? Kalian ta’aruf?”

Nirmala tersedak, cepat-cepat menggeleng. “Nggak, kok!”

Tante Shinta mengernyit. “Tapi langsung dilamar?” tanyanya memastikan.

Kali ini Nathan yang menjawab. Dia rada paham apa yang ditanyakan oleh wanita itu. “Yeah. I proposed her, because I don't want let another man take her from me.

So you just already know her?”

No. I know her since 2023. I met her for the first time when PSSI team pick me up in the airport to take the nationality vow.” Nathan menoleh sejenak ke arah Nirmala yang juga menatapnya. “That’s when I realize that I fall for her at the first sight.”

Nirmala tertawa sumbang. Lebih tepatnya mencoba untuk menutupi rasa malunya akibat salah tingkah. Nathan ngomong apa sih? Sejak kapan dia jatuh cinta sama dia saat pandangan pertama? Lama-lama cowok itu jadi jago ngalus.

“Apasih, Nathan! Don’t ngalus, please.”

It’s true.” Nathan masih menatapnya. “Aku baru sadar, I like you because you wear some little patch on your forehead and then when you put the tie on me.”

Anjir, bisa gak ngomongnya jangan pas ada Tante Shinta sama Om Gilbert?! Mukanya udah panas ini, mau ngumpet tapi malu!

“Naith, stop it!” gumam Nirmala seraya mencubit kecil pahanya.

Om Gilbert tertawa. “I feel like see me when I was young! Hahaha!”

Tauk ah.

* * *

Dibuang Sayang.

(By pinterest)

Tjoe_daily happy holiday Mas Tejo, Teh Mala. #Nathantjoe

Lihat semua 567 komentar ...

(Silahkan berkomentar)

Note:

(By pinterest)

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top