04 | Hallstatt
Perjalanan dari kota Wina ke Hallstatt memakan waktu tempuh sekitar 3 jam 30 menit atau dapat dipukul rata menjadi sekitar 4 jam lebih karena mereka sempat berhenti untuk makan siang. Ini pengalaman pertama Nirmala pergi ke daerah countryside eropa. Terakhir kali dia ke Inggris, dia hanya bisa mengunjungi kota London saja, tidak sempat mengunjungi daerah-daerah gotik macam Scotland atau Wales.
Nirmala juga menyempatkan diri untuk bertukar mengemudi mobil dengan Nathan. Dia belum pernah mencoba setir kiri sebelumnya, apalagi saat melihat medan jalanan yang begitu mulus, sepi, dan disuguhi oleh padang rumput yang luas di antara pegunungan kapur. Nathan menyetujuinya. Toh, Nirmala bisa mengemudi dan biarkan saja cewek itu merasakan lalu lintas yang lenggang tanpa ada kata macet.
Hingga saat mereka sampai di pinggiran wilayah Salzkammergut, baru Nirmala memberikan kembali setir kemudi pada Nathan.
Desa Hallstatt sendiri berada di wilayah Salzkammergut yang merupakan sanggraloka yang membentang dari kota Salzburg hingga pegunungan Dachstein. Desa Hallstatt sendiri berada di pinggir danau Hallstattet yang langsung mengarah pada pegunungan Alpen. Desa itu juga terkenal dengan bentuk rumah-rumah kayu tradisional yang berdiri baik di pinggir danau hingga atas tebing, tak lupa sebuah bangunan gereja kuno yang menjadi iconic tempat tersebut. Mengingatkan Nirmala dengan kerajaan Arendelle di film Frozen.
“You’re right. It's look like Arendelle!”ucap Nirmala saat melihat dari kejauhan danau Hallstattet dan deretan pegunungan Alpen. Jendela mobil sengaja dibuka, membuat kepalanya sedikit menyembul keluar untuk menikmati udara mahal ini. Lagi pula cuaca di sana cukup hangat mengingat mereka berada di pertengahan musim panas.
“Fun fact, Hallstatt was once the center of the largest salt mines in the 20th century, and is still running today,” jelas Nathan.
Haduh Nathan ngomong apa lagi?
“Salt minus? What is it?” Nirmala mengernyit. Mohon maaf ini salah satu kendala dalam menjalani hubungan beda bahasa.
“M-I-N-E-S. Salt mines. It's like ...” Nathan juga bingung ngejelasinnya.
Mines? Milikku dalam arti jamak atau apa ini, bro?
Alhasil Nirmala mengetik kata tersebut di Google Translate. “Hoooh, tambang garam. New diction is unlock!” ucap Nirmala.
Jangan heran jika nanti saat mendengar Nathan ngomong, entah curhat, bercerita, atau menjelaskan sesuatu, 70% Nirmala paham apa yang dimaksud oleh cowok itu, 30% sisanya cuma nga-ngong-nga-ngong kagak paham. Apalagi perubahan aksen Nathan yang tadinya perpaduan Amerika dan Belanda, jadi full british perkara lama tinggal di Wales.
“What is the different between mined salt, tablet salt, and sea salt?” tanya Nathan random.
Table salt itu ternyata garam dapur rupanya, batin Nirmala. Kalau begini terus bukan skor TOEFL-nya saja yang makin naik. Skor IELTS-nya pun bisa beradu nih.
“Basicly, mined salt is table salt. They from mineral crystal or we called rock salt. So that's why there are salt mines,” jelas Nirmala pelan-pelan. Kepalanya kembali berputar menyusun kalimat selanjutnya. “And sea salt is from sea water—of course. I don't know what in english, but we called penyulingan to get the product. Wait—”
Nirmala kembali membuka Google Translate, mengetikkan kata yang dia maksud barusan. “Distillation. And it's distillatie in dutch.”
Nathan tersenyum. “Dis-til-lAa-tie,” koreksinya, yang langsung diikuti oleh Nirmala.
“Teach me another one, Yang! Anything, up to you!” pinta Nirmala secara random. Cewek itu telah berjanji pada dirinya sendiri, kalau nanti kupingnya sudah beradaptasi dengan logat Nathan, dia ingin mulai belajar bahasa Belanda.
“Okay, how about ‘Ik ben een slim persoon’.”
“Ikh ... Bénén slim ... pér-son. What does it mean?”
“It means I’m a stupid person.”
Nirmala langsung melotot dan refleks memukul lengan Nathan yang tengah memegang setir kemudi. Tawa cowok itu seketika lepas saat itu juga seraya mengaduh kesakitan.
“Wait, wait, wait! I’m just kidding, Mala. It means I'm a smart person!”
“Teuing! Sesat nanya kamu, mah!” ujar Nirmala seraya melengos menatap ke luar jendela.
“I’m just kidding, Babe.” Tangan Nathan terulur, mengusap kepala dan rambut Nirmala. “Je bent schattig, schat. dus daarom val ik voor jou.” (You’re cute, honey. so that’s why I’m falling for you)
“Apa itu artinya?!” tanya Nirmala galak.
Sayangnya Nathan hanya menggeleng seraya tersenyum.
* * *
Sepertinya, Nirmala jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat desa Hallstatt. Suasana dan lingkungannya sangat berbeda seakan-akan membawanya ke dunia lain. Udaranya begitu sejuk namun hangat di saat yang bersamaan, kawasan rumah penduduk di pinggir desa terlihat sangat sepi, cocok dijadikan destinasi wisata untuk orang yang penat dengan keramaian kota seperti Jabodetabek. Dari hasil googling singkat yang dilakukan oleh Nirmala, jumlah total penduduk di desa ini hanya sekitar 780 jiwa, bahkan tidak sampai seribu.
Mobil SUV milik Nathan telah terparkir manis di halaman depan rumah air bnb yang akan mereka sewa. Rumah tersebut terdiri dari 2 lantai dengan cat putih gading serta bingkai jendela bewarna toska. Teruntuk teras depan dan belakang rumah terbuat dari kayu, sehingga tidak meninggalkan ciri khas tradisional dari desa tersebut.
Nirmala memicingkan matanya saat melihat plang kecil bertuliskan 'Ferienwohnung bon wab'. Seketika lidah cewek itu terasa kaku membacanya. Selain tidak tahu menahu soal negara Austria, dia juga tidak punya basic apapun soal bahasa Jerman. Berbanding terbalik dengan Nathan yang sepertinya cukup fasih menggunakan bahasa tersebut, mengingat bahasa Belanda hampir serupa dengan Jerman.
Pemilik rumah tersebut adalah seorang laki-laki berusia 70 tahun. Masih sehat dan dapat berjalan dengan tegak. Dia menjelaskan singkat tentang ruangan dan fasilitas yang dapat mereka gunakan (walau yang mengerti hanya Nathan saja, Nirmala hanya mengangguk-angguk atau sesekali tersenyum jika pria tua itu melempar senyum padanya).
Sebelum pria itu benar-benar pergi meninggalkan mereka, dia sempat mengucapkan beberapa kalimat di samping telinga Nathan. “Deine Freundin ist sehr schön.” (Your girlfriend is very beautiful)
“Ja, ich weiß es.” (Yes, I know it) Nathan tersenyum dan pria tua itu juga ikut tersenyum tak kalah lebar.
Sekarang hanya tinggal tersisa mereka berdua. Mungkin ada beberapa orang yang menyewa kamar di lantai atas. Nirmala dan Nathan terpisah sejenak, masuk ke dalam kamar mereka masing-masing dan mengistirahatkan tubuh mereka yang lumayan terasa pegal.
Nirmala menaruh tas ranselnya di atas meja dan meneliti ke sekeliling kamar. Ukurannya tidak terlalu besar, namun cukup dan terasa nyaman. Tangannya tergerak membuka gorden, menampilkan kaca jendela yang mengarah pada halaman samping rumah. Terdapat bangku taman, trampolin dan juga ayunan yang tersedia di sana, tak lupa terdapat pemandangan gunung kapur yang menjulang mengapit desa ini.
Oke juga tempat yang dipilih Nathan.
Cewek itu tersenyum miring, mengambil ponselnya untuk memotret pemandangan di luar jendela. Setelah puas, dia merebahkan tubuhnya di kasur seraya menghela napas panjang. Pikirannya tiba-tiba melayang pada kejadian beberapa jam yang lalu. Sehabis mereka makan siang di Sankt Pölten, Nirmala emang iseng mau upload foto Nathan dari kaca spion atas di akun Instagram kedua miliknya yang memang isinya hanya orang-orang terdekatnya. Bahkan followers-nya hanya 30 orang termasuk Nathan, Amel, Sania, Bu Manda, Mama-Papa, dan teman-temannya yang non-seleb.
Entah Nirmala yang kurang fokus atau memang terlalu excited karena bisa nge-date kayak orang-orang, sampai lupa mengganti akun terlebih dahulu. Yah, intinya semuanya kacau. Story-nya cepat sekali dilihat banyak orang, apalagi muncul DM yang mengirim pertanyaan (sepertinya lebih cocok disebut pernyataan) yang kurang lebih isinya seperti ini;
‘Kak Nirmala ke Austria, nih. Mau ngapel mas pacar ya???’
Ingin banget Nirmala jawab; ‘Iya. Udah kangen nih wakuncar sama calon suami 💋’
Tapi nggak Nirmala balas. Dia memilih untuk menghapus story terakhirnya dan log out dulu dari akun Lazulibluee. Sementara dia gak akan update apapun sampai dia pulang ke Indonesia. Dia benar-benar mau menikmati liburannya yang tidak bisa dibilang murah ini. Uang tabungannya nyaris habis, jika saja Nathan tidak inisiatif mem-backup-nya. Jadi, lebih baik jauhkan saja dulu hal-hal yang membuatnya tidak tenang. Rugi kalau tidak bisa refreshing di tempat secantik Hallstatt.
15 menit berlalu. Nirmala nyaris tertidur jika saja tidak ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. “Iya? Kenapa?” tanya Nirmala. Jelas siapa lagi yang mengetuk pintunya kalau bukan Nathan.
“Wanna walk around?” tanyanya.
Mata Nirmala langsung melebar penuh binar. Siapa yang mau menolak? Jiwa photografer-nya meronta-ronta, ingin menangkap gambar pedesaan ala eropa yang dulu dia mengira hanya akan menjadi angan-angannya saja.
“Mau! Wait a minute!”
“I'll wait you on the porch.”
“Hah? Porch??”
“House terrace.”
“Oh, oke!”
Segera Nirmala mengambil tas selempangnya, memasukkan ponselnya, dompet dan juga kamera. Cewek itu juga menyempatkan diri untuk membetulkan sejenak rambutnya, touch-up dikit lipsticknya, dan tak lupa menyemprotkan parfum di tubuhnya. Setelahnya dia keluar menghampiri Nathan yang sudah menunggu di teras depan.
Cowok itu melepas kemeja biru dongkernya, hingga hanya menyisakan kaus putih yang melekat sangat sempurna di tubuhnya serta celana cargo pendek bewarna abu. Rambut cokelat gelapnya sedikit basah dan lepek, namun wajahnya terlihat segar. Sepertinya sehabis ibadah, sebab tadi di perjalanan tidak ada tempat yang pas untuk melakukannya.
“Kamu perut udah gak sakit?” tanya Nathan. Cowok itu membetulkan sejenak poni Nirmala yang menghalangi jidatnya.
Nirmala menggeleng. Lantaran di perjalanan tadi, dia kedapatan tamu bulanan dan tak lama nyeri haid pun mulai terasa. Membuat Nathan sedikit khawatir akan mempengaruhi liburan Nirmala ke depannya. “No, aku baik-baik saja. Udah gak sakit.”
Nathan tersenyum kecil, cowok itu makin mendekat dan mengecup singkat kening Nirmala.
“C’mon,” ucapnya, meraih tangan Nirmala dan menuntunnya pergi meninggalkan rumah.
* * *
Hampir 30 menit mereka sudah berjalan menyusuri rumah-rumah penduduk, membuat Nirmala berpikiran suatu saat ingin membangun rumah dengan model seperti yang ada di desa Hallstatt ini. Ciri khas rumah di sini adalah rumah dengan dua atau tiga tingkat yang di mana lantai dasar terbuat dari beton, sedangkan lantai berikutnya terbuat dari kayu. Satu kata yang ada di benak Nirmala adalah,
Aesthetic mampus.
Setiap detik dia berhenti hanya untuk memotret semua spot, bahkan tak jarang meminta (memaksa) Nathan untuk memotret dirinya sebagus mungkin. Entah mulai dari pose lucu dengan bunga semak yang tumbuh liar namun dirawat oleh warga, hingga pose candid saat dia melihat aliran sungai Waldbach yang jernihnya seperti memanggil Nirmala buat nyebur saat itu juga. Untung Nathan sebagai satu-satunya orang paling waras di antara mereka berhasil menarik Nirmala yang nyaris melepas sepatu untuk turun ke sungai.
“It’s 24 degree celcius, Mala! It's getting cold for you!” omel Nathan. Cowok itu tahu, Nirmala paling tidak tahan sama yang namanya suhu dingin. Anaknya memang gampang masuk angin, makanya dia pernah over thinking bagaimana nasibnya jika nanti setelah menikah dan ikut Nathan tinggal di Belanda?
Akhirnya Nirmala pasrah ditarik oleh Nathan untuk kembali berjalan menuju jalan utama. Mereka hendak mengunjungi restoran burger untuk makan malam, sebab waktu sudah menunjukkan pukul 19.23 pm, meskipun matahari masih berdiri tegak di atas langit.
Nirmala memperhatikan setiap sudut restoran. Cukup ramai, sepertinya mereka juga sama-sama pengunjung yang berlibur seperti mereka. Cewek itu tersenyum tipis nyaris tidak terlihat. Dia membayangkan bagaimana jika mereka berada di Indonesia. Pasti akan heboh detik itu juga. Selama Nathan ke Bogor, mereka hanya jalan-jalan ke tempat yang sepi, sejenis hidden gem yang tidak banyak orang-orang luar Bogor tahu.
“What are you thinking about?” Nathan bertanya beberapa detik setelah memberi tahu pesanan mereka pada pelayan. Cowok itu menatap Nirmala lekat-lekat. “You don’t want to eat burger?” tanyanya sekali lagi.
“No. I’m fine. I love burger and it’s halal too.”
Nathan mengangguk. Cowok itu mengecek ponselnya yang sedari tadi tidak dia gunakan selain membuka aplikasi map. Dia membalas beberapa pesan dari orang tua serta teman-temannya. Notif dari Instagram pun membludak seperti biasa. Tidak jauh dari orang-orang yang mengikutinya, berkomentar di postingannya, hingga orang-orang yang menyebut dirinya di berbagai macam postingan dan story.
Wah, banyak sekali yang menandai dirinya pada postingan screenshot yang orang-orang dapat dari status Nirmala. Cowok itu hanya tersenyum simpul, dan menutup aplikasi tersebut.
“I’m sorry.”
Atensi Nathan langsung teralihkan pada cewek yang kini duduk di hadapannya. Nirmala sedikit cemberut.
“Sorry for what?” tanyanya.
Nirmala menghembuskan napas kasar. “Now a lot of people know our relationship.”
“Yeah, and?”
“I’m afraid you feel uncomfortable.” Nirmala menunduk, memainkan tali kameranya, tanda dia tengah gugup. “I’m trying to hide it so they wouldn't give you a lot of criticism.”
“Mala, it’s okay.”
Cewek itu cepat-cepat menggeleng. “No. It’s really hard for me to accept everything. Especially when they tell that you better go with someone except Indonesian girl ...”
Kali ini, Nathan yang menghembuskan napas kasar. “Mala, Sayang. I choose you because you are the right person for me. You’re the one of million—”
“Jangan ngalus, please!” Nirmala berdecak. Dia belum terbiasa mendengar ucapan manis yang keluar dari bibir Nathan.
“No, I don’t. I’m just saying the truth. I choose you because I love you. I don't care what people said. It’s my life and I know what is the best for me.”
“So what is the best for you?” tanya Nirmala. Cewek itu memberanikan diri untuk menatap Nathan. Menatap mata tajamnya yang seakan-akan mengurungnya untuk tidak pernah lepas dari kurungannya.
“It’s you.” Nathan meraih kamera Nirmala dan meletakkannya di samping vas bunga. Setelahnya dia menggenggam kedua tangan Nirmala, mengelusnya pelan seraya melunakkan tatapannya dengan melemparkan senyum lembut padanya. “What is the best for me was asked to your parents to marry their daughter named Nirmala Lazuli. I asked them to make her be my wife, make her be my queen and make her be mother of my children.”
Nirmala mengigit bibir bawahnya. Nathan kalau sudah ngomong begini damage-nya bertambah berkali-kali lipat. Nirmala gak kuat. Alhasil dia mencoba untuk kembali menunduk.
“Sayang, look at me.” Nathan seketika langsung melarangnya. Membuat mata cokelat gelap Nirmala kembali jatuh pada mata hazel milik cowok itu. “I love you. You’re meaning so much for me. So please just ignore what people said. They didn’t know what actually happened.”
“...”
“Just let it flow. Let people know without telling.”
Nirmala tersenyum, disusul oleh Nathan yang juga ikutan tersenyum. Cowok itu menarik tangan kiri Nirmala dan mengecupnya dengan penuh perasaan.
“Thank you, love.”
“Anytime, love. Anytime.”
* * *
Note:
(Nathan right now)
(Nirmala right now)
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top