2. Sumber Luka
Jellion membuang muka. Tangan mengepal erat menahan amarah yang berkobar. Harumi selalu bisa mempengaruhi pria paruh baya itu, bahkan bisa membuat sang papa melakukan tindakan kasar kepada anak kandung sendiri.
Benci dan muak, Jellion rasakan saat menatap wajah Harumi. Kepura-puraan bersikap baik serta menjadi pemeran penengah dalam masalah antara dia dan Kailos begitu kentara di penglihatan Jellion.
Kailos menepuk pipi Jellion dengan kasar. Lalu mencekal dagu pemuda itu begitu erat, sehingga wajah Jellion bersitatap langsung ke arah Kailos. "Jaga bicaramu! Kamu sudah lupa siapa yang membujuk saya supaya mengeluarkan kamu dari penjara, hah?"
Kailos melepaskan cekalan begitu kasar, membuat wajah Jellion terdorong ke samping. Seulas senyum buaya terbingkai di wajah. Menatap penuh berani ke arah Kailos.
"Saya tidak meminta Anda untuk mengeluarkan saya! Bahkan tanpa bantuan dari Anda, saya bisa keluar sendiri!"
Tamparan keras mendarat mulus di pipi kanan Jellion. Suaranya begitu keras sampai terdengar ke sudut ruang tamu. Harumi dan Rayjen membulatkan mata terkejut melihat Kailos menampar Jellion tanpa belas kasih. Tamparan itu bukan sekali, melainkan dua kali.
Kedua kali tamparan itu meninggalkan bekas lebam di sudut bibir Jellion akibat goresan cincin nikah milik Kailos.
Bukannya merasakan nyeri, justru Jellion malah merasa terhibur. Dia sudah terbiasa dengan berbagai luka di sekujur tubuh maupun wajah. Tidak di penjara, tidak di rumah, sama-sama seperti neraka. Meninggalkan banyak jejak luka.
"Sadarlah, Jellion!" Kailos menarik kerah kemeja Jellion. Sorot mata menajam penuh intimidasi.
"Kamu ini masih anggota keluarga saya! Tidak bisakah kamu menghormati istri saya, sekaligus ibumu sendiri?!"
Jellion mendorong tubuh Kailos, melepaskan cekalan di kerah kemejanya. Dia membalas tatapan tajam itu tak kalah sengit. "Ibu? Ibu saya sudah mati!"
"Jellion!"
Suara Jellion dan Kailos saling beradu. Sama-sama terpancing emosi. Kailos yang sudah kesal dengan sikap Jellion yang semakin hari seperti pemberontak, sedangkan pemuda itu; merasa sensitif bila ada yang membahas soal ibunya.
"Ibu saya cuma satu. Dan dia sudah mati, sedangkan si siluman ular ini—"
Kailos kembali menampar wajah Jellion begitu keras, lalu mengumpat, "Anak sialan!"
Rayjen yang sedari tadi diam, berjalan mendekat, ingin memisahkan pertengkaran antara ayah dan anak itu. Dia merangkul tubuh Jellion, tetapi Jellion malah menolak; mendorong tubuh laki-laki itu menjauh. Dia muak, melihat sang kakak yang hanya bertindak saat dia sudah benar-benar terluka.
"Lo enggak usah bersikap seolah-olah peduli! Lo terhibur 'kan sama pertengkaran ini?" Jellion mengulas senyum seringai, melontarkan kalimat itu di samping wajah Rayjen.
Kailos tersulut emosi melihat sikap kurang ajar Jellion terhadap Rayjen. Dengan gerakan cepat, dia menarik kasar kerah kemeja Jellion. Kemudian menyeret menaiki tangga menuju kamar yang menjadi tempat pelampiasan emosi Kailos.
Rayjen menelan ludah sendiri melihat sang papa begitu marah. Dia ingin membantu, tetapi Harumi menahan lengannya sembari menggeleng pelan memberikan isyarat; bahwa dia tidak boleh mengganggu.
"Aku harus membantunya. Dia pasti merasa kesakitan lagi," ucap Rayjen sembari melepaskan cekalan tangan Harumi.
Namun Harumi tetap menahan lengan Rayjen. Dia mensejajarkan posisi tubuhnya dengan laki-laki itu. "Jangan mencari masalah! Biarkan anak itu diberikan hukuman oleh papamu!"
"Lebih baik sekarang kamu fokus saja dengan proyek yang sedang kamu tangani. Jangan ikut campur dalam masalah Jellion," sambungnya.
Rayjen mengangguk mengiayakan. Berjalan ke arah kanan, melewati lorong mansion untuk sampai ke ruang kerjanya.
Sementara Harumi, dia mengulas senyum licik. Merasa menang karena mudah menaklukan Rayjen. Laki-laki itu begitu naif nan bodoh.
Tatapan Harumi tertuju ke arah lantai dua. Suara cambukan dari kamar sana terdengar sangat jelas. Bahkan tidak hanya suara cambukan, suara pecahan kaca pun terdengar dari kamar itu.
Jellion menggigit tangan saat Kailos melayangkan sabuk ke arah punggungnya. Sementara kemeja yang tadi dikenakan, sudah robek tak tersisa di atas lantai.
"Inilah hukuman yang pantas untuk anak pembangkang seperti kamu!"
Kailos mencambuk bertubi-tubi. Tidak memberi jeda untuk Jellion berteriak ataupun menahan rasa sakitnya. Dia seperti kesetanan, amarah sangat mendominasi benak pria paruh baya itu.
Jellion membalikkan tubuh menjadi telentang. Memejamkan mata merasakan cambukan Kailos mengenai tubuh bagian depannya. Mata Jellion menatap lekat wajah Kailos yang tampak emosi dengan berkaca-kaca. Tangannya berusaha mengambil sabuk yang siap melayang, satu kali gagal, ketiga kalinya ujung sabuk sudah berada dalam genggaman Jellion.
Dia menarik kasar sabuk itu, merebut dari tangan Kailos. Lalu membuang secara asal ke sembarang arah. Napas terengah-engah menahan jejak nyeri nan perih di sekujur tubuh.
Baru juga terduduk sembari memegangi perut, Kailos menjambak rambut Jellion. Membuat kepala Jellion tertarik ke belakang dengan posisi menengadah, kemudian tangan pemuda itu pun ikut menahan tangan kekar milik Kailos.
"Perbaikilah sikapmu! Jangan jadi anak yang tidak tahu diri!"
"Turuti semua perintah saya! Belajarlah di kampus tersebut sampai kamu mendapatkan gelar sarjana!"
"Kamu ini masih memiliki darah Edgarios! Bersikaplah layaknya keluarga kaya, bukan seperti berandalan yang memiliki latar belakang seperti narapidana!"
Jellion tertawa sumbang. Wajahnya benar-benar tak terselamatkan. Pipi lebam, sudut bibir berdarah, dan hidung pun sedikit tergores. Napas menderu begitu cepat karena emosi yang tertahan. "Anda lupa? Saya memang narapidana!"
Jellion masih tertawa, sampai tawa itu memudar terdengar pilu. Kailos masih dalam posisi menjambak, menatap tajam wajah Jellion.
"Dan anda-lah pelaku utama dari latar belakang yang saya dapatkan!" Jellion meludah di hadapan Kailos agar jambakan di rambut bisa terlepas.
Di detik itu juga, tubuh Jellion ambruk ke lantai akibat ditendang oleh Kailos. Pria paruh baya itu mengusap wajah basah yang terkena air liur Jellion dengan kaosnya sendiri.
"Berengsek! Anak sialan! Tidak berguna! Mati saja sana!"
Jellion mengepalkan tangan, wajahnya tertunduk dalam. Dia kembali tertawa, baginya ucapan Kailos seperti lelucon. Sangat lucu, sampai membuat perutnya sakit serta mata berair.
"Dasar gila!"
Tawa Jellion memudar. Wajahnya ditekuk masam. Tubuh berbalik agar leluasa menatap wajah Kailos yang tengah menahan amarahnya.
"Gila? Sepertinya Anda yang lebih gila di sini. Mana ada orang yang ngaku sebagai Papa, malah menganiayai anaknya sendiri," cibir Jellion intimidasi.
"Tanpa Anda menyumpahi saya mati. Saya juga ingin mati, kenapa tidak Anda saja yang membunuh saya?"
"Jelllion!" teriak Kailos.
Jellion menatap penuh permusuhan. Dia bersumpah akan mengingat semua perlakuan kasar dan rasa sakit ini seumur hidup. Hatinya patah, hidupnya hancur, dan perasaan yang menggelayuti benak hanya tersisa dendam juga kebenciaan.
"Demi harta Anda malah melupakan anak kandung sendiri. Bahkan demi posisi wali kota, Anda malah menjadikan anak sendiri sebagai samsak kemarahan hanya demi menjadikan saya seperti pemuda lain yang tidak memiliki latar belakang buruk."
"Jika kamu ingin diperlakukan selayaknya seorang anak, jadilah seperti kakakmu. Menurutlah, jangan keras kepala! Ini semua demi kebaikan kamu sendiri!"
***
Hai, bagaimana?
Apakah emosinya sampai di kalian?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top