1. Penghinaan

"Dasar tidak tahu malu! Mentang-mentang orang kaya, enak banget masih berkeliaran di kampus sini!"

"Lihat, wajahnya seram sekali! Benar-benar tampang pembunuh!"

"Seharusnya Pak Rektor tidak menerima dia sebagai mahasiswa di sini. Bikin malu nama kampus saja!"

"Kau benar! Apalagi dia membunuh adik kembarnya karena iri dan merebutkan warisan!"

"Dia beruntung, karena masih memiliki darah Edgarios! Kalau tidak, dia masih mendekam di dalam penjara!" 

"Hei, pelankan suaramu. Nanti dia dengar, kau bisa mati!"

Jellion Arumi Laksamana, pemuda berambut hitam dengan gaya Comma Hair menarik sudut bibirnya ke atas membentuk seringai tipis, kala mendengar suara gaduh di pinggir kantin. Tidak ada habisnya gosip dan gosip yang mereka bicarakan mengenai latar belakang Jellion.

Bukannya merasa senang karena terkenal di kampus. Justru dia malah merasa terhina di gosipkan bahkan dituduh berbuat kejahatan kepada saudaranya sendiri. Setiap kali berjalan dari koridor, lorong, dan area kampus, tatapan mereka sangat tak bersahabat; memandang sebelah mata dan meremehkan.

Percuma saja dia dilahirkan sebagai anak orang kaya. Kalau memiliki latar belakang yang sangat buruk. Tidak ada yang mau berteman atau sekadar menyapa. Jellion benar-benar diasingkan sekaligus dipojokkan oleh mereka.

"Percuma saya kuliah lagi. Toh, semua harta warisan Edgarios akan jatuh ke tangan Rayjen!"

Jellion selalu mengulang kalimat tersebut dalam hati. Tidak ada rasa percaya diri dalam benaknya. Dia sudah terlanjur kecewa dan pesimis menjalani hidup sebagai anak dari Kailos Edgarios. Sang konglomerat ibukota yang memiliki bisnis di bidang real estate, Industri Kimia,
dan perhotelan.

Alasan Jellion kembali mengenyam pendidikan perguruan tinggi ialah karena desakan para eksekutif Edgarios. Agar tidak terlalu malu mengakuinya sebagai anak yang memiliki darah Edgarios.

Sejujurnya, Jellion sangat malas kalau disuruh belajar, belajar, dan belajar. Hidupnya terlalu banyak derita, sehingga tidak ada semangat untuk menjalani kehidupan yang kata orang-orang menyenangkan itu. Hanya ada satu tujuan Jellion kembali ke mansion Edgarios, yakni pembalasan dendam.

Jellion menengadah ke langit hijau. Pikiran berkecamuk. Tangan bersedekap dada sembari bersandar di dinding pembatas rooftop gedung kampus yang tak terpakai. Lalu tanpa sadar mulutnya berbicara, "Katanya rumah itu merupakan tempat berpulang paling nyaman. Tapi kenapa rumah yang menjadi tempat gue berpulang, malah menjadi tempat paling asing serta terasa bagaikan neraka dunia?"

Pemuda berpenampilan casual dengan Long Black Hair menatap Jellion bingung. Dia mendengar kalimat yang penuh dengan tanda tanya itu. William Valinston, dia salah satu teman Jellion di kampus sekaligus teman berandalan yang dipunya.

William sudah tahu bagaimana latar belakang Jellion dan bagaimana laki-laki itu menjalani hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Membuat William merasa iba pada hidup Jellion.

"Kalo emang rumah tersebut kerasa sudah enggak nyaman, lebih baik pergi dari sana," sahut William. Entah mengapa dia ingin sekali menyahut pernyataan kalimat Jellion itu yang tak ada harapan itu.

Jellion tersentak, lalu menatap ke depan; dimana William berdiri sembari mengapit rokok di jemari. Sementara Jellion, dia cuma numpang ikut bersama William ke rooftop demi menghindari bisikan dan tatapan sebelah mata dari anak-anak lain.

"Percuma pergi juga, selalu dipaksa buat pulang. Apalagi di rumah itu ada mak lampir, yang mulutnya pedas banget," keluh Jellion dengan sorot mata menajam penuh emosi.

"Tapi, Li. Kayaknya sekarang lo enggak usah ikut nongkrong lagi sama kita, deh. 'Kan lo belum pulang ke mansion Edgarios, malah langsung ke kampus. Baju lo juga bau tuh, bau minuman alkohol." Tatapan William serius, dia menatap penampilan Jellion yang masih memakai pakaian kemarin.

Memang, Jellion belum pulang ke rumah. Dia lebih memilih menghabiskan malamnya di luar sembari menyesap rokok maupun minuman alkohol.

Jellion merasa muak dengan yang namanya rumah, sebab tempat tersebut merupakan sumber luka. Juga menjadi tempat segala kenangan buruk yang membuat batin tersiksa. Rasanya percuma kalau dia pulang, karena tidak akan ada sambutan hangat dari penghuninya.

"Males, Wil. Pengen minum lagi," ucap Jellion sembari menghela napas kasar.

William menyugarkan rambutnya ke belakang. Menatap intimidasi ke arah Jellion. "Hari ini enggak! Lebih baik lo pulang. Kalo sampai hari ini lo enggak ada di rumah, besok perusahaan bokap gue bakalan ada dalam bahaya," imbuhnya.

Jellion tertawa sumbang mengingat kejadian dua bulan lalu. Dimana dirinya memilih dugem sampai pagi bersama William dan Sagara. Besoknya, perusahaan dua temannya itu mengalami kerugian akibat pembatalan kontrak kerjasama serta harga saham anjlok dari perusahaan tersebut.

Jellion tahu ulah siapa di balik masalah temannya itu; papa, pria tua itu sangat licik. Beliau bisa menghancurkan siapa saja yang menghalangi jalan atau membuat putranya menjadi durhaka.

Padahal yang menjadikan Jellion durhaka itu Kailos, bukan orang lain. Muak rasanya, andaikan saja dia bisa memilih. Maka Jellion akan memilih; ingin mati, mati, mati. Namun, dia teringat akan tujuannya yang belum tercapai, pembalasan dendam itu harus tercapai.

"Lo enggak mau 'kan bikin perusahaan gue bangkrut? Tolong, jangan keras kepala sekarang ini!"

Jellion tak lagi membalas. Dia berjalan menuju pintu keluar rooftop.

"Jangan tersinggung, Li! Gue enggak mau bikin bokap gue susah. Apalagi gue belum ngerasain jadi pimpinan di sana!" teriak William.

Jellion mendengar teriakan itu. Dia hanya mengangkat tangannya membentuk huruf 'o' tanpa berbalik melihat William. Benar, lebih baik dia pulang. Daripada harus mengorbankan kedua temannya. Masih untung mereka masih mau berteman.

Pernah merasakan hidup sebagai narapidana membuat Jellion banyak sekali pengalaman. Bergelimangan harta ternyata tidak menjamin bisa mendapatkan bahagia dalam hidup. Serta kebersamaan bisa terbentuk dengan adanya waktu. Jellion pernah merasakan semua hal tersebut, sekaligus merasakan betapa menderitanya dia selama ini.

Rasa bersalah, kecewa, marah, dan benci membuat dia lebih menginginkan kematian daripada ingin hidup. Ya walaupun batinnya berulang kali teriak untuk bertahan demi bisa membalaskan dendam terlebih dulu.

"Eh, sang pangeran sudah pulang! Gimana bermalam di luar, enak?!"

Langkah Jellion terhenti di ruang tamu saat bertemu muka. Sorot mata tampak sinis nan membenci wanita glamor yang menghalangi jalan Jellion.

"Enak banget, ya! Bukannya fokus pendidikan, malah asik dugem, terus mabuk-mabukan!"

Jellion tak menggubriskan, dia menulikan telinga kala wanita ular itu marah-marah. Matanya melirik sekilas ke arah sofa, di sana Kailos dan Rayjen tengah duduk dengan raut wajah masam tak bersahabat.

"Setidaknya berterima kasihlah sedikit. Masih untung kamu dibebaskan dari penjara dan bisa menikmati semua fasilitas yang papa kamu berikan!"

"Berisik! Yang kasih saya fasilitas dan kebebasan itu papa saya, bukan Anda siluman ular!" Jellion membalas penuh intimidasi tanpa merasa takut sedikitpun.

Harumi mengepalkan tangan erat, emosi dalam benak berkobar. Mata menyalang tajam ke arah Jellion. Tangan mengudara menunjuk wajah pemuda itu. "Hei!"

"Kamu ini cuma numpang di sini! Jangan berlagak seperti yang memiliki segalanya! Minimal tahu dirilah!"

"Yang harus tahu diri itu Anda, Nyonya Harbert!"

"Jellion Arumi Laksamana!" teriak Kailos mengalihkan pertengkaran antara ibu dan anak itu. Bahkan suara teriakan itu sangat keras, hingga terdengar sampai sudut dapur mansion. Suasana pun berubah menjadi mencekam dan menegangkan saat sang empunya mansion marah besar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top