Tujuh (2)

Part lalu harusnya baru 6. Oh ya, ini beneran baru kelar tulis, dan belum sempat diedit. semoga nggak terlalu banyak typo. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaeesss....

**

Robby memastikan seat belt sudah terpasang dengan baik di tubuh Pelita sebelum mulai mengemudikan mobil meninggalkan rumah Gita. Perempuan itu melambai dan dibalas penuh semangat oleh Pelita.

"Pelita dong, mau diajakin nonton sama Tante Mika," kata Pelita tidak lama setelah mobil membelah jalan raya. Robby meliriknya sekejap. Dia sudah menduga anak ini tidak akan duduk diam saja sampai di tujuan. "Maunya sih nonton sama Mama, tapi Mama sibuk kerja. Nggak apa-apa sih, yang penting nonton. Om suka nonton?"

"Kadang-kadang," Robby menjawab juga.

"Waktu masih tinggal di rumah lama yang deket sama Eyang Broto, Pelita juga pernah nonton sama Mama. Kita nonton film binatang gitu. Binatangnya hebat lho, Om. Bisa ngomong semua. Sayangnya Pelita nggak ngerti mereka bilang apa. Ada tulisannya sih, tapi Pelita bacanya belum lancar. Baru lihat hurufnya dikit, udah ganti lagi tulisannya. Cepet banget. Itu lho, Om, cerita sapi. Mama bilang itu banteng, tapi kelihatannya sapi kok. Mama aja yang nggak percaya. Sapinya kecil, trus nanti jadi gede banget. Temenan sama anjing, trus sama manusia juga. Seru banget kan, Om?"

"Ehmm... Om belum nonton." Robby menyesuaikan dengan Pelita yang memanggilnya 'Om'.

"Kok nggak nonton?" tanya Pelita dengan nada protes. "Filmnya kan seru. Trus sapinya dipenjara gitu, trus lari sama temen-temennya, trus dikejar-kejar orang. Trus sapinya berkelahi sama orang. Pokoknya filemnya asyik. Om payah deh."

Robby tidak tahu harus menjawab bagaimana.

"Kalau Princess Sofia, Om Robby nonton dong?"

"Princess Sofia?"

"Iya, di tivi, Om. Tinggalnya di kerajaan gitu. Ayahnya Raja, trus baju Princess Sofia bagus-bagus gitu."

"Ehm... Om juga nggak nonton yang itu."

"Kok nggak nonton juga sih? Kan diputernya tiap hari. Om nggak asyik banget deh."

Robby mendesah. Berurusan dengan anak-anak ternyata menyulitkan seperti ini. Orangtua anak ini pasti sama cerewetnya. "Om nggak nonton film kartun lagi." Dia dulu nonton Naruto, tapi itu pasti bukan jenis kartun untuk anak ini.

"Kenapa nggak?"

"Om sudah besar."

"Mama Pelita juga sudah gede, tapi masih nonton kartun kok sama Pelita."

"Ehm..." Robby memikirkan alasan lebih masuk akal untuk anak sekecil Pelita. "Om sudah kerja sih, jadi nggak punya waktu untuk nonton." Kenapa anak ini tidak diam saja?

"Mama Pelita juga udah kerja, tapi kalau libur tetap nonton kok."

"Kan, nemenin kamu." Robby benar-benar berharap terbebas dari keharusan menjawab.

Pelita tampak berpikir. Untuk sesaat, Robby mengira anak itu sudah bosan bicara. Ternyata dia salah, "Emang Om nggak punya anak gitu?"

Robby tahu kalau dia seharusnya tidak boleh tersinggung karena dia sedang bicara dengan anak yang tidak tahu apa-apa, tetapi entahlah, emosinya seperti tersulut. "Kamu bisa diam nggak sih?" Dia segera menyesali nadanya yang meningkat saat menoleh dan melihat anak di sebelahnya membelalak kaget. Sesaat kemudian, tubuhnya bergerak menjauh ke jendela. Anak itu bersedekap cemberut. Robby mengembuskan napas kuat-kuat. "Maaf, Om nggak bermaksud bentak kamu kayak gitu. Hanya saja... hanya saja, anak Om sudah nggak ada. Om... Om sedih setiap kali ingat dia."

"Anak Om sudah di surga?"

"Iya, sudah di surga."

"Eyang Pelita yang di rumah lama juga sudah di surga." Sekarang Pelita bergerak mendekat lagi kepada Robby. "Tapi Pelita nggak sedih kok ngingatnya. Kata Mama, surga itu tempatnya enak banget. Eyang pasti senang tinggal di sana, jadi Pelita nggak usah sedih. Om juga nggak usah sedih. Kata Mama, semua orang yang sudah di surga itu seneng banget. Semuanya ada. Mudah-mudahan ada es krim juga, biar nanti kalau Pelita ke surga juga akan betah."

"Kamu sudah sekolah?" Robby sengaja mengalihkan perhatian anak itu. Dia tahu Dhesa dan anak mereka sekarang sudah berada di tempat yang lebih baik karena tidak perlu lagi berhadapan dengan pecundang seperti dirinya, tetapi mengingat mereka tetap saja membuat hatinya remuk redam. Sakit.

"Sudah dong. Pelita udah pinter tulis nama Pelita sama nama Mama."

"Bagus itu."

"Iya, Mama senang banget, Om. Pelita sampai dipeluk gitu. Kalau Om nggak percaya Pelita sudah bisa nulis nama, nanti Om tanya deh sama Mama Pelita."

Robby hanya bisa menggeleng. Ibu Pelita yang mana saja dia tidak tahu. Dan dia juga tidak tertarik untuk tahu, meskipun baru sekali ini ada keluarga mereka yang tinggal di rumah orangtuanya. Hubungan kekeluargaan mereka mungkin cukup dekat. Mungkin saja Ibu anak ini adalah salah seorang sepupunya.

"Om percaya kok."

Pelita bertepuk tangan. "Kata Mama, Pelita anak pintar."

"Om juga percaya." Robby kembali mendesah. Anak ini benar-benar tidak berniat diam. "Kamu nggak ngantuk? Kalau ngantuk, tidur aja dulu. Kalau sudah sampai di tempat Tante Mika, akan Om bangunin."

"Kan, tadi sudah tidur, Om. Masa sekarang tidur lagi?"

"Mungkin ngantuk lagi."

Pelita menggeleng cepat. "Sudah nggak ngantuk lagi. Eh, di deket rumah lama Pelita dong, ada temen Pelita yang punya adek bayi. Keciiilll banget lho, Om. Kerjaannya tidur melulu. Lucu sih, tapi bosenin. Nggak bisa diajak main. Kalau udah bangun, pasti nangis. Trus, dia pakai popok dong. Kalau eek, bau banget. Kayak Eyang Broto yang baunya nggak enak."

"Kamu sudah lama pindah ke rumah Eyang yang sekarang?" Robby sebenarnya tidak benar-benar kepengin tahu, dia hanya ingin mengembalikan fokus anak kecil di sebelahnya yang tidak tentu arah ini.

"Sudah dong. Sebelum Pelita masuk di sekolah baru."

"Oh... sudah berapa bulan?"

"Sebulan itu 30 hari, Om. Kata Bu Guru di sekolah sih gitu. Seminggu baru 7 hari."

"Iya, Om tahu sebulan itu 30 hari. Maksud Om, kamu tinggal di sana sudah berapa bulan?"

Pelita mengedik. "Nggak tahu. Udah lama aja. Di sana enak lho, Om. Ada kolamnya. Om bisa berenang?"

Robby kembali menggeleng-geleng. Susah sekali bicara dengan anak ini, tapi mungkin dia memang terlalu kecil untuk mengerti konsep waktu. "Iya, Om bisa berenang."

"Nanti kita berenang bareng ya, Om? Pelita dong udah punya baju renang sama ban, sama pelampung."

Kali ini Robby sengaja tidak menanggapi. Dia tidak akan menjanjikan sesuatu yang belum tentu akan dia tepati. Sekarang janji terasa mengerikan. Dia pernah menjanjikan banyak hal kepada orang yang sangat dia cintai. Janji yang akhirnya tidak dia tepati. Karena dia hanya pecundang pengecut yang melarikan diri ketika tertimpa masalah yang dia ciptakan sendiri.

"Wah... wah... udah dekat kantor Mama...!" Pelita sudah melupakan pertanyaannya. Dia melihat keluar jendela dengan gembira.

"Mama kamu kantornya dekat sini?" Robby mengernyit. Tadi Mika memang sempat menyinggung soal Ibu Pelita, tapi dia tidak begitu memperhatikan.

"Iya dong. Kan, Mama sama kantornya dengan Tante Mika sama Eyang. Pelita dulu ketemu Tante Mika di kantor Mama juga."

"Oh ya?"

"Iya, Tante Mika itu kan temen Mama. Sama-sama dokter gitu, Om. Nanti kalau udah gede, Pelita juga mau jadi dokter kayak Mama sama Tante Mika."

"Jadi dokter juga bagus. Om Rajata juga dokter."

"Om Robby juga?"

"Bukan. Om arsitek."

"Arsitek kerjaannya apa?"

"Bikin rumah." Robby mencari jawaban yang paling gampang dimengerti.

"Kalau gitu, Pelita mau jadi dokter arsitek aja. Biar bisa bikin rumah untuk Mama."

Kali ini Robby tersenyum. Dia membelok, masuk ke area rumah sakit. "Nah, kita sudah sampai. Yuk, turun. Om antar ke tempat Tante Mika. Dia pasti sudah nungguin kamu."

**

Agak sulit mengerjakan 2 cerita ongoing sekaligus. Jadi mungkin aku harus memilih salah satu untuk dikerjakan lebih dulu. Tapi belum mutusin yang mana. silakan vote aja...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top