Tiga

Typo mungkin masih betebaran karena minim editan. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Ingatan bukanlah hal yang bisa dikendalikan. Robby tahu persis itu. Kalau dia bisa mengontrol apa yang boleh dan tidak boleh diingatnya, dia tentu sudah memilih kenangan yang membuat hatinya kerap berdarah, mengemasnya rapi dalam kotak memori untuk kemudian ditempatkan di sudut benak yang lantas terlupa. Dan hidupnya akan baik-baik saja.

Sayangnya, dia tidak bisa melakukan itu. Sebenarnya mungkin bukan tidak bisa, tetapi dia menolak melakukannya. Alam bawah sadarnya ingin dia terus mengingat betapa mengerikannya dia sebagai manusia.

Dan kembali ke tempat ini seperti mengupas lembar-lembar luka, membuatnya berdarah lagi. Seharusnya dia tidak perlu merasa seperti itu, karena dia menghabiskan dua puluh tahun pertama hidupnya di sini. Rumah kedua orangtuanya. Rasanya aneh bagaimana orang yang mendidiknya supaya menjadi laki-laki teladan berbalik menjadikannya seorang monster tidak berperasaan. Ibunya.

Robby masih ingat ibunya selalu mengatakan bahwa laki-laki dinilai dari kemampuannya menjaga janji, tetapi perempuan yang melahirkannya itu jugalah orang pertama yang membuatnya mengingkari satu-satunya janji yang sangat ingin dia tepati.

"Dia pasti bukan gadis baik-baik," Ibunya meradang saat Robby mengatakan bahwa Dhesa, pacarnya hamil. "Gadis baik-baik bisa menjaga diri dan kehormatannya, nggak akan melemparkan diri kepada setiap laki-laki yang jadi pacarnya."

Robby bisa saja mengatakan kalau ibunya salah. Dhesa hanya menyerahkan diri kepadanya, tetapi dia juga tahu lebih baik membiarkan ibunya menumpahkan kemarahan lebih dulu. Membela Dhesa saat itu bukan pilihan bagus. Dia bisa melakukannya nanti, saat kemarahan ibunya surut, dan sudah bisa berpikir dengan kepala dingin.

"Dan Ibu kecewa sama kamu, Robby, karena Ibu beneran berharap banyak sama kamu. Ibu sama sekali nggak menyangka kamu akan mengecewakan kepercayaan Ibu dengan bergaul begitu bebas."

Kali ini Robby membenarkan kekecewaan ibunya. Dia juga tidak bangga dengan apa yang sudah dia lakukan. Dia dan Dhesa tidak pernah merencanakan melakukan hal itu. Semuanya hanya kekhilafan saat mereka jalan-jalan dan menginap di puncak bersama teman-teman Dhesa.

Robby tidak pernah nyaman bepergian dengan orang-orang yang tidak terlalu akrab dengannya, tetapi siapa yang bisa membantah permintaan Dhesa yang menatapnya dengan sorot memohon?

"Ibu akan bertemu gadis itu dan akan menyelesaikan masalah ini," putus ibunya kemudian.

Hanya saja, Robby tidak pernah mengira bahwa menyelesaikan masalah yang dimaksud ibunya adalah menyingkirkan Dhesa. Dia menyangka ibunya ingin bertemu Dhesa untuk membicarakan pernikahan.

Mereka memang masih sangat muda untuk menikah, tapi tidak ada pilihan lain karena kondisi Dhesa. Lagi pula, Robby tidak keberatan. Dia mencintai Dhesa. Gadis periang yang selalu bisa membuatnya tertawa dengan tingkah konyolnya, padahal Robby bukan tipe orang supel yang gampang bergaul. Dhesa adalah orang pertama yang bisa membuat Robby ikut norak karena setuju memakai kaus couple saat jalan berdua, tanpa merasa risi, padahal dia selalu menganggap hal-hal seperti itu bodoh. Hanya laki-laki tolol yang mau memakai baju berpasangan. Namun ketika dia bergabung dengan laki-laki tolol lain yang melakukan hal itu, dia malah merasa senang karena melihat Dhesa begitu gembira saat bergayut di lengannya.

Dhesa kemudian menghilang setelah bertemu ibunya. Robby tidak mendapatkan informasi apa pun saat berkunjung ke rumah gadis itu. Dia tidak putus asa, dan terus kembali ke rumah itu, berharap ibu Dhesa luluh dan akan mengatakan di mana dia bisa menemui kekasihnya itu. Namun usaha Robby tetap tak membuahkan hasil. Suatu hari saat dia kembali ke sana lagi untuk kesekian kalinya, ibu Dhesa sudah tidak ada. Kata tetangganya, mereka sudah pindah.

Robby sudah membayangkan kalau kehidupan Dhesa akan sulit, tetapi dia yakin gadis itu akan mempertahankan kehamilannya, anak mereka. Dia hanya perlu menunggu sampai kemarahan dan kekecewaan Dhesa kepadanya surut, kemudian akan kembali. Dan mereka akan hidup bahagia bersama anak mereka. Robby yakin sekali akan hal itu. Jadi dia setia menunggu sampai Dhesa pulang. Cinta dalam hidupnya itu akan datang. Pasti, hanya masalah waktu. Namun ternyata Robby salah. Dhesa dan anak mereka tidak akan kembali kepadanya. Dia sendiri yang menjadi penyebab kepergian mereka untuk selamanya.

Lamunan Robby terhenti saat mobilnya sudah berada di dalam garasi. Inilah mengapa dia tidak terlalu suka pulang ke rumah. Rumah mengingatkan tentang pertentangannya dengan Ibu, dan ingatannya lantas terbang kepada Dhesa. Robby sudah memaafkan ibunya, karena tahu dia tidak bermaksud buruk. Hanya saja, pengandaian yang dia buat tidak lantas berhenti. Andai ibunya berhati besar dan menerima Dhesa. Andai ibunya tidak mengucapkan kata-kata yang menyakiti perasaan Dhesa. Andai...

Dan pengandaian itu akan berlanjut. Andai dia tetap bertahan membela Dhesa dan tidak membiarkan gadis itu bertemu dengan ibunya. Andai dia bertindak sebagai laki-laki dan tidak mencoba mencari perlindungan ibunya untuk memecahkan masalah. Andai....

Namun, pengandaian tidak akan membawa Dhesa kembali. Dan Robby tetap saja akan teringat Dhesa setiap kali melihat ibunya. Meskipun berusaha tidak menyalahkan, dia akan selalu berpikir bahwa dia tidak akan kehilangan Dhesa seandainya ibunya sedikit lebih bijak.

Robby melihat mobil orangtua juga kakak-kakaknya ada di garasi. Dia memang sengaja datang terlambat. Seandainya ini bukan perayaan ulangtahun pernikahan Dewa, kakaknya, Robby enggan datang. Namun mustahil melewatkan hal sepenting itu. Robby tidak ingin Dewa menganggapnya tidak menghargai hari bahagianya. Apalagi kakaknya itulah yang menampungnya setelah keluar dari rumah setelah peristiwa Dhesa.

Ayunan langkah Robby tertahan saat melihat seorang anak kecil yang bermain sendiri di taman, di depan rumahnya. Mungkin ada keluarga mereka yang datang berkunjung, meskipun hal seperti itu jarang terjadi.

Robby memilih mengabaikan anak itu dan melanjutkan langkah. Dia hanya perlu makan, bercakap-cakap sebentar, sebelum pamit. Tempat ini sudah lama tidak terasa seperti rumah untuknya.

"Aduh!" suara itu membuat Robby berhenti sekali lagi. Saat berbalik, dia melihat anak kecil tadi bertumpu dengan kedua tangan dan lutut di atas rumput. Dia sepertinya terjatuh.

"Kamu nggak apa-apa?" Robby memutuskan mendekat untuk melihat keadaan anak itu. Mungkin saja tangan dan lututnya terluka, meskipun rumput taman cukup tebal.

Anak itu berdiri cepat. Dia menepuk-nepuk kedua telapak tangannya untuk membersihkan kotoran yang menempel di situ. Lalu mengusap lututnya, sebelum mengambil boneka monyet dari atas rumput. Dia lantas menggeleng-geleng saat menatap Robby.

"Kamu nggak apa-apa?" Robby mengulangi pertanyaannya.

Anak itu kembali menggeleng.

Robby mengernyit. Anak ini tidak mungkin bisu, karena dia tadi mengaduh saat terjatuh. Robby lantas mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, sekadar meyakinkan kalau anak itu memang baik-baik saja.

Anak itu spontan mundur. "Pelita nggak boleh ngomong sama orang asing," katanya kemudian, masih terus menatap Robby.

Robby mengusap keningnya. Baru kali ini dia disebut orang asing di rumah orangtuanya sendiri. Kalau ada orang asing di antara mereka berdua, anak kecil inilah yang pantas menyandang gelar itu.

"Aku bukan orang asing."

Anak kecil itu menatap Robby tidak percaya. Bibirnya mengerucut. "Kata Mama, orang yang baru pertama kali ketemuan itu orang asing. Nggak boleh diajak ngomong. Mungkin aja dia orang jahat." Dia sepertinya sudah lupa perintah ibunya yang melarang bicara, karena sekarang kalimatnya sudah panjang. "Om orang asing jahat?"

"Aku bukan orang asing," Robby merasa bodoh saat mengulang kalimat itu. "Juga bukan orang jahat. Kamu nggak apa-apa?"

Anak kecil itu menggeleng-geleng. Dia mengangkat boneka monyetnya ke depan Robby. "Tapi Missy ketindis. Kasian. Jadi, Om orang asing baik?"

Sekarang Robby menggaruk dagunya yang tidak gatal. Masa dia harus menjawab pertanyaan soal orang asing itu sampai tiga kali?

"Aku... aku masuk dulu, ya." Robby merasa dia harus menyebut dirinya dengan panggilan "Om" sebagaimana anak kecil itu memanggilnya, tetapi rasanya aneh dan sok akrab. Dan, dia hampir tidak pernah berinteraksi dengan anak-anak. Rasanya canggung.

"Om tamunya Eyang juga?" Anak kecil itu lantas mengiringi langkah Robby yang panjang dengan melompat-lompat, setengah berlari.

Robby hanya memberinya senyum tipis. Jadi benar gadis kecil ini anak dari kerabatnya yang datang berkunjung. Dia menyebut ibunya dengan panggilan Eyang.

"Om laper, ya? Di dalam banyaaaak banget makanan. Tadi Pelita sudah makan. Nambah juga. Nggak apa-apa kok nambah. Kata Eyang biar Pelita cepet besar. Om juga harus makan yang banyak kalau mau cepet besar." Anak itu lantas terdiam sejenak. "Eh, tapi Om, kan, udah besar, ya? Pokoknya, boleh makan banyak. Tapi Eyang Broto jadi gendut banget karena makannya banyak. Perutnya gede. Jadi lucu gitu. Om kenal Eyang Broto?"

Kali ini Robby menatap anak kecil itu lebih lama. Dia terlihat lucu dengan gaun dan bando merah muda. Ibu anak ini harus berusah lebih keras lagi untuk memperingatkan anaknya supaya menjauhi orang asing, karena hanya butuh beberapa menit dari menganggap Robby orang asing untuk kemudian berbalik mengajak ngobrol.

"Eyang Broto?" Robby balik bertanya. Itu nama yang asing. Dia tidak ingat ada keluarganya yang bernama Broto.

"Iya, Eyang Broto." Nada anak kecil itu seolah menyalahkan karena Robby seharusnya mengenal Eyang Broto. "Itu, yang rumahnya sebelahan dengan rumah Pelita dulu. Eyang Broto makan indomie lho, Om. Padahal itu, kan, bekas tikus. Pelita kadang nggak suka sama Eyang Broto. Baunya nggak enak. Mama bilang Pelita nggak boleh menghina orang, tapi itu, kan, bukan menghina. Emang baunya nggak enak kalau udah sore." Dia lantas mengendus lengan Robby. "Tapi Om baunya enak kok, padahal sudah sore. Om pasti nggak makan indomie yang bekas tikus, kan?"

Anak siapa sih yang secerewet ini? Apakah semua anak-anak seribut ini? Robby termangu melihatnya.

"Rob, lo udah datang?" Suara Rajata, kakaknya, membuat perhatian Robby segera teralihkan. Dia bergegas masuk rumah, diiringi lompatan penuh semangat gadis kecil di sampingnya.

**

Follow Instagram @titisanaria untuk informasi novel yang sudah terbit, dan coming soon, ya. Tengkiuuuu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top