Part Bonus

Haaaiiii.... Sebagai bonus Papa Om yang pecah banget, Kak Sela Belibuku minta aku untuk update 1 part bonus dari bêberapa part yang ada di versi cetak. Semoga suka.

**

Pelita meraung-raung saat tahu dia tidak ikut ketika Hara dan Robby akan pergi berbulan madu di Bali sehari setelah resepsi pernikahan mereka yang sederhana. Hanya diadakan di rumah dengan mengundang keluarga besar seperti permintaan Hara dan Robby.

Hara sebenarnya tidak ingin pergi berdua Robby saja. Rasanya pasti canggung bersama laki-laki itu selama 24 jam selama 5 hari. Namun, dia tidak punya pilihan. Mika dan Kinan sudah mengatur bulan madu untuk Hara dan Robby, mungkin karena tahu kedua pengantin baru itu memang tidak berniat kemana-mana setelah menikah.

"Pelita mau ikut Mama sama Papa Om Robby!" Pelita mencoba melepaskan diri dari pelukan Inggrid. "Nggak mau tinggal sama Eyang. Kenapa Pelita nggak boleh ikut? Pelita kan nggak nakal!" teriaknya di antara deraian air mata.

"Mas...?" Hara menatap Robby tidak berdaya. Dia tidak tega melihat Pelita menangis seperti itu.

"Kita ajak saja...?" Robby balas melihat Hara. Dia juga kasihan melihat pipi montok Pelita yang putih jadi memerah dan bersimbah air mata.

"Ya nggak bisa dong," jawab Inggrid tegas, "namanya juga bulan madu. Jadi kalian berdua saja. Pelita biar Ibu, Mika, dan Kinan yang ngurusin."

"Tapi, Bu...."

Inggrid mengibas dan mengeratkan pelukannya kepada Pelita yang masih meronta. "Pelita nanti Eyang beliin boneka yang gede banget deh," bujuknya. "Sama jam tangan Elsa juga. Tempat Mama dan Papa Robby mau pergi itu nggak ada boneka gede dan jam Elsa-nya. Terus Pelita juga mau diajak nonton sama Tante Kinan dan Tante Mika. Nanti kita nonton rame-rame gitu."

"Nontonnya makan kentang goreng nggak?" tanya Pelita masih sambil menangis.

Hara hanya bisa mendesah mendengar kalimat anaknya.

Inggrid membuat gerakan mengusir kepada Hara dan Robby, menyuruh mereka pergi ke mobil yang sudah siap dengan Pak Mus di balik kemudi. "Iya dong, boleh makan kentang goreng yang banyak kok."

"Kalau udah nonton boleh makan pizza juga?" Pelita mengusap pipinya yang masih basah.

"Tentu aja boleh. Nanti Eyang pesenin pizza yang banyak."

"Tapi Pelita nggak boleh makan pizza banyak-banyak. Kata Papa Om Robby, pizza bikin gemuk kalau dimakan banyak-banyak."

"Kalau gitu, kita pesennya dikit aja." Inggrid menggendong tubuh Pelita yang gempal dan membawanya masuk ke dalam rumah setelah melambai kepada Robby dan Hara. "Sekarang kita telepon Tante Mika sama Tante Kinan ya. Biar mereka cepat datang biar kita jalan-jalan ke mal, terus nonton, dan makan pizza."

Hara terus mengawasi sampai tubuh mertuanya itu hilang dari pandangannya.

"Yuk, kita berangkat sekarang." Robby menyentuh lengan Hara. "Kalau macet, takutnya telat sampai di bandara."

Semalam mereka memang tidur sekamar di kamar Hara yang sudah disulap menjadi kamar pengantin, tetapi ada Pelita di sana. Saat terbangun tadi subuh, Hara melihat Robby sudah berbaring di lantai karena Pelita tidur dengan posisi melintang dengan kaki dan tangan terentang, memenuhi ranjang.

Bagaimana mereka akan tidur malam ini tanpa Pelita yang bisa digunakan sebagai tameng? Kalau tidak terkesan kekanakan, Hara ingin meminta Robby membatalkan bulan madu bohongan ini. Namun, dia tidak mungkin melakukannya. Hara tahu Kinan dan Mika mengeluarkan cukup banyak uang untuk hadiah ini.

"Pelita akan baik-baik saja," kata Robby. Dia rupanya salah mengartikan kegelisahan Hara. "Ibu, Mbak Mika, dan Mbak Kinan bisa gantian ngajak dia jalan-jalan sepulang sekolah kalau dia nggak capek. Kalau kamu nggak betah di Bali, kita bisa pulang meskipun belum waktunya. Nanti tiket pulangnya aku jadwal ulang."

"Iya, Mas," Hara tidak bisa memikirkan jawaban lain yang lebih panjang.

**

Vila yang disewa Kinan di Uluwatu sangat besar dan mewah, apalagi untuk ukuran dua orang. Hara bahkan tidak berani mengira-ngira harga sewanya. Tempat itu punya kolam renang sendiri. Bagian terbaiknya adalah letaknya yang berada di atas tebing. Pemandangannya menakjubkan. Biru langit dan lautan seperti menyatu di ujung horizon Samudra Hindia.

Pelita pasti menyukai tempat ini, Hara langsung ingat anaknya. Lain kali, entah kapan, dia akan mengajak Pelita ke sini. Ke Bali, maksudnya, bukan vila mahal ini.

"Ini kamar utamanya," suara Robby mengalihkan perhatian Hara dari pemandangan pantai. Robby rupanya sudah mengecek kamar yang ada. Laki-laki itu mendorong kopernya dan koper Hara masuk.

Hara mengawasi dengan perasaan canggung sebelum menyusul masuk. Apakah dia harus menanyakan kepada Robby kalau-kalau laki-laki itu menginginkan mereka tidur di kamar terpisah? Namun, bagaimana menanyakan pertanyaan seperti itu? Bukankah suasana akan lebih canggung kalau Robby tersinggung dengan pertanyaannya? Mereka toh sudah menikah, meskipun Robby tidak terlihat tertarik kepadanya.

"Biar aku saja, Mas." Hara tergesa menghampiri Robby yang sudah membuka koper dan mulai menggantung pakaian di lemari.

"Nggak apa-apa. Nggak banyak juga."

"Biar aku saja," ulang Hara sambil meraih baju dalam genggaman Robby. "Mas Robby bisa istirahat atau lihat-lihat di luar. Tempatnya bagus banget." Bodoh sekali, pikir Hara setelah kalimat itu terucap. Orang seperti Robby pasti sudah sering ke Bali. Pemandangan indah seperti di depan vila ini tentu bukan hal baru lagi.

"Nanti kita makan malam di luar, atau kamu lebih suka di sini saja?" Robby bertanya sambil mengutak-atik ponselnya.

Tangan Hara yang memegang baju mendadak tergantung di udara. Itu pertanyaan mudah yang sulit dijawab. Makan di tempat ini berarti mereka benar-benar akan terjebak berdua sepanjang malam hanya berdua. Itu sulit karena Hara tidak tahu apa yang akan mereka obrolkan. Tidak ada bagian dari hidupnya yang cukup menarik untuk dibicarakan. Kecuali Pelita. Namun, Robby sudah kenal anaknya seperti Hara sendiri. Namun, makan di luar juga sama tidak nyamannya. Kalau Robby membawanya ke fine dining restaurant, Hara harus berdandan dan berpakaian resmi. Table manner juga merepotkan. Dia masih ingat kekikukkannya saat makan malam di restoran Perancis ketika ulang tahun dokter Lukito beberapa waktu lalu.

"Terserah Mas Robby saja." Hara akhirnya mengambil jalan aman meskipun dia terdengar seperti orang yang tidak punya pendirian.

"Kalau gitu, aku pesan makanan biar kita makanan di sini saja. Meskipun acaranya kecil-kecilan aja, kamu pasti capek banget kemaren. Biar bisa langsung istirahat. Besok baru kita jalan-jalan."

"Baik, Mas." Itu berarti mereka akan tidur dalam arti harfiah. Hara tahu kalau mereka berdua memang perlu waktu untuk masuk dalam fase intim layaknya pasangan suami-istri sebenarnya, tetapi mau tidak mau dia berpikir, apakah dirinya memang tidak semenarik itu di mata Robby?

Hidup terkadang terasa tidak adil, renung Hara. Perasaannya mulai bercampuk-aduk setiap kali berinteraksi dengan Robby sejak mereka bertunangan, tetapi Robby jelas tidak merasakan hal yang sama. Sangat mudah jatuh cinta pada laki-laki seperti itu. Robby tampan, mapan, sudah terbukti setia, dan penyayang.

Hara sudah selesai mandi ketika makanan yang dipesan Robby datang. Mereka makan dalam diam. Suasana yang membuat Hara semakin gugup. Dia buru-buru menghabiskan makanannya lalu pamit masuk ke kamar lebih dulu setelah membuang wadah makanan.

Namun, Hara tidak bisa tidur. Matanya nyalang menatap tembok. Dia sengaja berbaring miring membelakangi pintu supaya lebih gampang pura-pura tidur saat Robby masuk kamar.

Apakah keputusannya menikah hanya untuk melindungi dirinya dan Pelita dengan Robby tidak salah? Bagaimana kalau Robby tidak pernah bisa mencintainya? Apakah dia sanggup hidup dalam kecanggungan seperti ini seumur hidup?

Hara sontak memejamkan mata saat mendengar suara pintu terbuka. Hanya mengetahui Robby masuk kamar saja, jantungnya sudah berdebar kencang. Suara pintu kamar mandi yang digeser menyusul. Beberapa menit kemudian selimut dikuak, dan kasur melesak saat Robby berbaring di sisinya.

Hening. Hara bisa mendengar jelas detak jantungnya yang memukul keras. Di antara itu hanya ada helaan napasnya dan Robby. Hara berusaha tidak bergerak meskipun sebelah lengannya yang sejak tadi tertindis karena dia konsisten berbaring di satu sisi mulai terasa kram.

"Hara, kamu sudah tidur?" suara Robby memecah keheningan yang nyaris terasa magis itu.

Apakah dia harus menjawab? Hara bertanya dalam hati.

"Maaf kalau aku bikin kamu nggak nyaman," Robby melanjutkan tanpa menunggu Hara merespons. "Aku bukan orang gampang berinteraksi dengan orang lain. Aku nggak pintar basa-basi. Kita mulai pelan-pelan ya? Setelah terbiasa bersama, semua pasti akan lebih mudah untuk kita. Aku janji akan menjadi ayah yang baik untuk Pelita. Juga suami yang bisa kamu percaya. Aku nggak akan membuat kalian kecewa. Jujur, aku nggak tahu gimana cara melakukannya, tapi aku akan berusaha."

Itu janji paling manis yang pernah didengar Hara. Air matanya jatuh membasahi bantal. Lama setelah keheningan yang kembali tercipta, dia akhirnya tertidur.

**

Untuk yang kepengin kekepin Papa Om Robby untuk baca versi lengkap after marriage, tapi lupa ikutan PO kemaren, bisa menghubungi Kak Sela @belibuku atau olshop yang kerja sama dengan dia ya....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top