Delapan

Maaf banget slow update, ya. Ngerjain cerita ini lebih sulit daripada ngerjain romcom. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....

**

Hara baru hendak melepas jas saat seorang perawat melongok sambil meringis. "Ada pasien yang baru masuk, Dok. Dokter jaga yang sif sekarang belum datang. Dokter Yus ada, tapi sedang menangani pasien lain."

Hara mengeluarkan ponsel untuk melihat jam. Dia seharusnya sudah bebas jaga sepuluh menit yang lalu. Namun, kalau dokter jaga yang seharusnya bertugas sekarang belum datang, dia harus mengambil alih. Tidak mungkin membiarkan pasien gawat darurat menunggu. Padahal satu jam lalu dia sudah menyetujui ajakan Mika untuk nonton bersama Pelita. Rencana awalnya, Mika dan Rajata lah yang akan nonton bersama Pelita. Mika sudah izin untuk mengajak Pelita keluar tadi pagi saat mereka bertemu di rumah dokter Inggrid. Hanya saja , Rajata punya operasi cito sehingga tertahan di rumah sakit di akhir pekan ini. Rencana itu berubah dan Mika mengajaknya pergi bersama seusai jaga. Katanya, Pelita sedang menuju rumah sakit bersama adik Rajata setelah tadi ditinggal di rumah ibu Mika karena tertidur.

"Saya akan lihat." Hara mengikuti perawat itu. Semoga bukan pasien gawat yang butuh waktu lama untuk ditindaki, karena dia tidak mungkin meninggalkan pasien itu begitu saja saat dokter jaga yang bertugas datang.

Sebelum mencuci tangan, dia mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Mika. "Mbak, kayaknya saya bakal tertahan di IGD kalau pasiennya butuh tindakan besar. Dokter yang harusnya gantiin jaga belum datang. Maaf ngerepotin, tapi Mbak Mika kayaknya bakal nonton bareng Pelita aja."

"Kita tunggu sampai setengah jam, ya," jawab Mika. Hara bisa merasakan keriangannya. "Pelita udah di sini. Barusan diantar Robby. Oh ya, Robby langsung ke IGD juga. Katanya ada pekerjanya yang tertimpa balok di—"

"Mbak, saya harus masuk sekarang," Hara buru-buru memotong saat melihat perawat memberi isyarat. "Kalau saya nggak datang ke ruangan dokter Rajata dalam setengah jam, Mbak pergi sama Pelita aja. Maaf banget ya, Mbak." Dia menutup telepon.

Hara sebenarnya tidak enak karena kesannya seperti memerintah. Mika memang yang meminta izin untuk mengajak Pelita jalan, tetapi kalau begini, kesannya seperti melempar tanggung jawab. Kecerewetan anaknya mengambil hati banyak orang, meskipun awalnya Hara merasa khawatir tentang hal itu, takut mengganggu. Namun, ternyata tidak ada yang terganggu. Dokter Inggrid dan beberapa asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya malah menganggap anak yang nyaris tidak berhenti bicara itu adalah hiburan tersendiri.

Hara bergegas menuju pasien yang baru masuk itu setelah memakai handscoon dan masker. Sepertinya itu bukan pasien kecelakaan lalu lintas atau kekerasan, karena tidak ada tanda-tanda trauma pada tubuhnya.

"Sepertinya stroke, Dok," kata Perawat yang lebih dulu berada di situ dan sudah memasang alat untuk memonitor keadaan umum pasien. Hara sebenarnya sudah bisa menduga saat melihat bibir pasien yang terlihat tidak simetris. Dugaan itu dipertegas monitor yang menunjukan tekanan darah 210/120 mmHg. Pasien itu tampak belum sadar. "Kata yang mengantar, mendadak pingsan di rumah. Tapi memang ada riwayat hipertensi."

"Tinggikan bagian kepala, supaya jalan napasnya nggak terganggu. Pasang oksigen." Hara melanjutkan dengan prosedur penanganan pasien stroke. Perawat yang bersamanya sangat cekatan dan tahu persis apa yang dilakukan sesuai asuhan keperawatan.

"Maaf, terlambat." Suara itu muncul dari samping Hara. Dokter jaga yang seharusnya menggantikannya sudah datang. "Tadi ada kecelakaan, jadi lumayan macet."

"Pasien stroke," jawab Hara. "Sudah masuk cairan. Baru mau diambil darah untuk pemeriksaan lab. Bisa dikonsul sama dokter penyakit dalam untuk pemeriksaan lanjutan. Mungkin harus masuk ICU."

"Oke."

Sesaat, Hara kembali mengawasi wajah pasien itu. Ada sesuatu yang familier dengan wanita paruh baya itu. Dia seperti pernah melihatnya di suatu tempat, entah di mana. Hara menggeleng. Mungkin dia salah. Dia bekerja di rumah sakit, tempat banyak orang lalu-lalang. Mereka mungkin pernah berpapasan di koridor. Pasien dengan hipertensi berat sering bolak-balik rumah sakit untuk kontrol.

Hara sedang berdiri di depan meja perawat, tidak jauh dari pintu saat seseorang menerobos masuk lewat pintu kaca yang otomatis terbuka. Tangan Hara yang hendak melepas masker menggantung di udara. Sesaat, setelah menguasai diri, dia malah memastikan maskernya tetap terpasang. Ini mungkin bukan penyamaran sempurna, tetapi cukup untuk menyembunyikan diri.

Dia bisa melihat arah yang dituju laki-laki yang baru masuk tadi, dan sekarang Hara mengerti kenapa wajah pasien tadi terasa familier. Karena dia pernah melihatnya. Tadi dia tidak lantas mengenalinya, karena saat bertemu dengannya dulu, wanita itu berada dalam kondisi terbaiknya. Dengan pakaian dan make-up sempurna. Hara lantas berbalik dan meninggalkan IGD. Jemarinya bergetar hebat.

Dia tidak boleh bertemu orang-orang itu lagi. Tidak setelah sekian lama menata hidup dan melupakan luka-luka yang tidak pernah benar-benar sembuh karena penghinaan yang dia terima. Dia memang pribadi yang berbeda sekarang, tetapi tetap saja dia harus menghindar demi ketenangan hidupnya. Dia sudah melanjutkan hidup, sama seperti orang-orang itu yang sudah menganggapnya mati dan bukan gangguan lagi. Jadi, mereka sebaiknya mereka memang tidak perlu berpapadan di jalan hidup yang sekarang.

Meskipun sudah membulatkan tekad dan yakin dengan apa yang dipikirkannyaa, Hara masih merasa linglung. Langkahnya tak tentu. Dia seperti sedang menyusuri setapak di hutan belantara saat malam hari. Sendiri. Sunyi. Gelap. Dia tidak mendengar raungan ambulance yang membawa pasien di belakangnya. Tidak melihat orang-orang yang duduk atau berdiri gelisah sambil menunggu kabar tentang keluarga mereka di IGD. Tidak ada. Benaknya kosong.

Mendadak Hara merasa terpental. Dia jatuh terduduk di lantai. Blusnya kuyup, leher dan dadanya terasa panas. Aroma kopi yang kental mengembalikan kesadarannya. Hara menatap pakaiannya tidak berdaya. Seharusnya rasa panas itu menganggunya, tetapi tidak. Fokusnya tidak ke situ. Air matanya nyaris tumpah saat melihat blusnya ternoda kopi.

Itu seperti dirinya. Perempuan murahan. Kotor. Sampah. Persis seperti yang dikatakan perempuan yang ditanganinya di IGD tadi. Sekali sampah tetap saja sampah. Itu benar. Apalagi sebutan yang cocok untuk perempuan yang tidak punya harga diri dan tidak menjaga kehormatannya dengan baik? Memang sampah!

"Maaf... maaf, saya tidak sengaja," suara yang terdengar khawatir itu membuat Hara mengangkat wajah. Dari balik air mata yang membandel, dia melihat seorang laki-laki berdiri di depannya, memegang gelas kertas yang sudah kosong. "Kulit Mbak terbakar? Sakit banget? Ayo ke IGD." Dia menunjuk di belakang Hara. Tampang Hara yang bersimbah air mata pasti mengirimkan pesan yang salah.

Tumpahan kopi itu memang terasa panas, tapi bukan jenis panas yang akan membuat kulit langsung melepuh. Hara bisa menahannya. Dia hanya ingin segera pergi. Dengan susah payah, dia mencoba berdiri. Entah mengapa, gerakan sekecil itu terasa sangat sulit.

"Maaf...." Tangan laki-laki yang menabraknya terulur menggapai lengannya, membantu Hara kembali tegak di atas kakinya.

"Saya... saya nggak apa-apa." Hara mengusap mata. Dia benci terlihat rapuh seperti ini, kepada orang asing sekali pun. Dia bukan menangis karena terjatuh dan sakit, itu tumpahan emosi lain yang tidak ada hubungannya dengan kopi. Hanya saja, tidak mungkin menjelaskan hal-hal seperti itu.

"Saya... saya tadi jalan sambil melamun." Laki-laki itu bicara lagi. Suaranya terdengar canggung. "Saya beneran minta maaf. Ayo, kita ke IGD sekarang."

Itu tempat yang dihindari Hara sekarang. "Saya nggak apa-apa. Saya harus segera pergi!"

"Sebaiknya diperiksa dulu, Mbak. Lihat reaksi Mbak, itu pasti sakit."

Air mata sialan. "Saya baik-baik saja."

"Tapi...."

Hara menunjuk jas putih yang masih dikenakannya. "Saya dokter. Saya tahu kalau saya baik-baik saja." Laki-laki itu pasti sedang panik, atau sama linglungnya dengan Hara, sampai melewatkan detail itu.

"Ooh...." Jeda sejenak. Laki-laki itu mengepit gelas kertas dan mengeluarkan dompet. "Noda kopinya mungkin susah hilang. Ini kartu nama saya. Hubungi saya kalau ada sesuatu yang mungkin bisa saya lakukan untuk mengganti kerugian."

Hara mengambil kartu itu, bukan karena dia butuh ganti rugi, melainkan supaya bisa segera pergi. "Oke. Permisi." Dia berbalik dan mengambil langkah panjang-panjang.

Kartu nama itu dilemparnya ke dalam tempat sampah yang pertama dia temukan.

**

Buat pembaca yang kemarin-kemarin nungguin pertemuan Hara dan Robby, itu udah ketemu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top