Luka
Angin tidak berhembus untuk menggoyangkan pepohonan melainkan menguji kekuatan akarnya. -Ali bin Abi Thalib-
Tari masih mencuci piring saat Abiyyu pulang dari mengaji, hari ini ia tidak bekerja di rumah Bu Vina karena mereka sekeluarga tengah berkunjung ke rumah calon mempelai pria.
"Bu, tadi di mesjid Abi ditanya sama Ustadz Ahsan," tutur lelaki kecilnya itu seraya melepas peci.
"Ditanya apa?" Wanita itu menyerahkan segelas teh manis padanya.
"Ustadz Ahsan tanya ... apa ibu bisa membuatkan seratus biji kue?"
Keningnya mengerut menatap sang putra.
"Seratus biji kue?"
Abiyyu mengangguk.
"Ibu bisa?"
Mentari mengangguk seraya berkata, "besok ibu ketemu langsung sama Ustadz ya. Biar jelas."
Ustadz Ahsan adalah guru ngaji sekaligus pemilik kontrakan yang kini ditempati Mentari. Dia seorang pemuka agama yang disegani selain itu juga dikenal ramah.
Ustadz Ahsan dan sang istri mengelola rumah kontrakan yang baru saja ia tempati, dan mesjid di lingkungan mereka. Memiliki dua orang anak yang sudah dewasa dan telah bekerja, membuat mereka begitu dekat dengan Abiyyu. Tak jarang bocah lelaki itu dibelikan gula-gula kapas kesukaannya.
Tari memutuskan pindah dari kontrakan lama karena tak tahan dengan lingkungan sekitarnya yang banyak dihuni pekerja seks komersial. Ia tak ingin perkembangan anaknya menjadi terganggu.
"Ibu, kenapa kita nggak pernah ke rumah kakek?" Tari menghentikan aktivitasnya, ia menarik napas panjang.
"Kenapa, Nak?"
"Nggak apa-apa, Bu. Abi pingin ketemu." Mendadak mata Tari berkaca-kaca, hati wanita itu seolah diremas kuat. Namun, tak mungkin ia memperlihatkan hal itu pada sang anak. Angannya mendadak terbang ke kampung halamannya.
Wajah ibu dan bapaknya melintas jelas, kerinduan berkumpul dengan mereka semakin meraja. Bukan ia tak ingin pergi menemui kedua orang tuanya, tapi kondisi ekonomi yang tak memungkinkan untuk pergi menjadikan alasan kuat baginya untuk bertahan dalam rindu.
Belum lagi rasa malu pada keduanya juga menjadi satu dari alasan lainnya. Bapak dan ibunya tak mengetahui jika Raka telah lama meninggalkannya.
Kini ia pun tak tahu kemana orang tuanya berada, sebab ia sudah tak bisa lagi menghubungi keduanya.
Sementara hasil berjualan dan menjadi pembantu di rumah Bu Vina hanya cukup untuk bayar kontrakan, sekolah dan biaya hidup sehari-hari.
"Bu?"
Tari tersentak saat menyadari Abiyyu berada di sampingnya.
"I_ya, Sayang? Sudah selesai makannya?"
Seperti biasa, anak kecil itu tahu jika sang ibu tengah sedih, ia tak lagi mengulang pertanyaan.
Anak kecil itu meminta ibunya membantu untuk mengerjakan tugas sekolah. Tari mengangguk tersenyum.
"Abi ke depan dulu ya. Ibu mau beresin dapur sebentar, " perintahnya pada Abiyyu.
***
Hati Tari berbunga mendengar penjelasan Ustadz Ahsan. Pemilik kontrakan itu memintanya membuat seratus biji risoles untuk suguhan tamu di acara syukuran putrinya yang baru saja melahirkan. Faizah- nama putri pertamanya tinggal di luar kota. Menurut rencana, mereka akan berkunjung ke rumah Faizah dua hari lagi.
Hal itu disambut Tari antusias, bayangan sepatu baru untuk Abiyyu menari di kepala.
"Kamu bisa, Tari?"
"Bisa, Ustaz. Insya Allah saya bisa."
Bu Aminah istri Ustadz Ahsan tersenyum.
"Abiyyu mau ikut besok sama ustadz?" tanya lelaki berjenggot putih itu ramah.
"Terima kasih, Ustadz. Abi di rumah aja. Eum ... Abi boleh numpang nonton televisi, Ustadz?"
Pertanyaan Abiyyu membuat pasangan paruh baya itu tersenyum. Seperti biasa, setiap Minggu, anak kecil itu selalu betah di rumah Ustaz Ahsan. Di sana ia bisa menonton acara televisi favoritnya.
"Abi, hari Minggu besok, Ustaz nggak ada di rumah. Sementara libur dulu nontonnya, Nak." Tari mengusap kepala putranya.
"Biarkan, Tari. Kalian sudah kami anggap keluarga, dan Abi ... dia sudah seperti cucu kami. Jadi itu bukan masalah." Bu Aminah tersenyum ramah. Sudah seringkali keluarga ini membantunya, hal itu membuat Tari serba salah.
"Kamu tidak perlu sungkan, Tari," sambung Ustadz Ahsan.
"Terima kasih, Ustaz, Bu Aminah. Saya hanya bisa berkata terima kasih saja," tuturnya seraya mengangguk sopan.
***
Seorang pria bertubuh tegap dengan stetoskop bergantung di lehernya tampak tengah serius bercakap-cakap dengan seseorang melalui telepon. Sesekali ia tertawa hingga terlihat deret gigi berbaris rapi menambah pesona wajah yang ia miliki.
" Iya, Ibu. Kita ketemuan di rumah Mbak Faizah minggu besok deh. Janji!" tuturnya meyakinkan.
"____"
"Oke, Ibu ... sampai ketemu." Ia menutup pembicaraan lalu kembali meneruskan langkah keluar dari rumah sakit.
"Dokter sudah mau pulang?" tanya satpam ramah menyapanya. Lelaki berkulit putih itu tersenyum mengangguk.
"Oh iya, kabar istri bapak gimana? Sudah sehat?" Ia menepuk pelan bahu lelaki kurus di depannya. Seraya berucap syukur, pria itu menceritakan kondisi sang istri.
"Kalau begitu, lanjutkan diminum obatnya ya. Jangan sungkan hubungi saya jika diperlukan," pesannya kemudian meninggalkan Marzuki-demikian tertulis di seragam satpam yang dikenakan lelaki itu.
Sri, istri Marzuki baru saja melahirkan putra keempat. Usia wanita itu telah berada di usia rawan melahirkan. Terlebih riwayat kesehatan Sri yang mengidap hipertensi.
Berkat pengawasan dari Fatih yang selalu berkonsultasi dengan rekan sejawatnya dokter kandungan, istri Marzuki bisa melewati masa rawan pasca melahirkan.
Fatih Hafizh Athalla adalah putra kedua dari Ustadz Ahsan. Bekerja sebagai dokter di salah satu rumah sakit di kota yang sama dengan kediaman Faizah sang kakak.
Meski satu kota, tapi jarak tempuh lumayan jauh. Itu sebabnya ia memilih tinggal di rumah kontrakan. Pribadi sederhana, serta murah senyum membuat ia mudah bergaul dengan siapapun.
Pria penyuka olahraga itu sudah hampir tiga bulan tidak pulang karena kesibukan. Sebab selain bekerja, dirinya juga aktif berkegiatan di yayasan sosial. Tak jarang ia menggelar bakti sosial bersama beberapa yayasan untuk mengadakan penyuluhan kesehatan. Kesibukan itulah yang membuat ia belum memiliki pasangan.
"Nanti aja lah. Fatih hanya khawatir kalau pasangan Fatih nanti tidak siap dengan kegiatan seabreg itu." Demikian alasan yang selalu ia ucapkan saat dicecar pertanyaan tentang jodoh.
Adzan Maghrib berkumandang, pria itu membelokkan mobilnya ke mesjid untuk melaksanakan kewajiban.
***
Seratus biji risoles sudah rapi dan siap diantar ke rumah Ustadz Ahsan. Mata Abiyyu yang tengah membaca, berbinar melihat deretan kue hasil buatan ibunya. Seperti yang telah dijanjikan Mentari, ia bisa membeli sepatu dengan hasil penjualan ini.
"Ibu, jadi hari Senin, Abi bisa pakai sepatu baru ya, Bu!" serunya sembari bertepuk tangan.
"InsyaAllah, Sayang. Sekarang Abiyyu ikut ibu. Kita antar kue ini ke Ustadz," ajaknya tersenyum. Lelaki kecil itu bergegas merapikan buku, kemudian berjalan mengikuti sang ibu. Rumah kontrakan Mentari tak jauh dengan rumah pemiliknya, hanya selisih tiga rumah.
Bu Aminah gembira menyambut keduanya, wanita berwajah ramah itu sudah siap berangkat. Setelah bertransaksi, keduanya menyerahkan kunci rumah pada Mentari.
"Kami kembali besok sore. Jangan larang Abiyyu untuk menonton televisi ya, Tari."
Mentari mengangguk menanggapi ucapan Ustadz Ahsan. Mereka berdua menaiki mobil.
"Pak Pono, hati-hati bawa mobilnya," pesan Tari pada paruh baya yang telah duduk di balik kemudi. Pria itu tersenyum mengangguk seraya berkata, "Beres, Mbak Tari. Insya Allah! Assalamualaikum."
Mobil meluncur meninggalkan Tari. Wanita itu merogoh kantong bajunya mengambil uang yang baru saja diterima.
"Alhamdulillah," gumamnya lirih. Matanya membidik sang putra yang rupanya sejak tadi mengamati dirinya.
"Selepas Maghrib, kita ke toko beli sepatu untuk Abiyyu!"
Sontak anak kecil berhidung mancung itu melonjak gembira.
"Terima kasih, Ibu!" Ia mendekat memeluk Mentari erat. Mata perempuan itu terlihat berkaca-kaca.
"Ibu juga berterima kasih pada Abiyyu. karena sudah sabar menunggu sampai ibu membelikan sepatu baru," balasnya menciumi puncak kepala putranya.
***
Seperti yang direncanakan, Tari mengajak putranya ke toko sepatu. Mengenakan gamis berwarna biru senada dengan jilbab, Mentari terlihat berbeda. Sementara sang putra tampak tampan memakai kaus setelan bergambar salah satu super hero.
Mata Abiyyu seolah enggan berkedip melihat deretan sepatu yang rapi di toko itu. Berbagai warna dan model membuat pria kecil itu bingung menentukan pilihan.
"Abi mau sepatu yang mana, Nak?"
Mentari melirik harga sepatu yang dipegang putranya. Tertera harga yang jauh melebihi uang yang ia punya. Pikirannya menjadi tak menentu. Sebagai ibu, ia tak ingin mengecewakan anak semata wayangnya itu, tapi tentu saja ia juga tak mungkin membeli sepatu dengan harga yang bisa dibuat bayar kontrakan selama sebulan.
Anak lelaki itu mendongak ke arah ibunya, seolah tahu kegalauan sang ibu.
"Ibu pilihkan saja mana yang bagus buat Abi," jawabnya tersenyum.
"Ibu? Yang mau pakai sepatu kan Abi? Kenapa ibu yang pilihkan, Nak?"
Bocah kecil berambut tebal itu menggeleng, kembali ia meminta agar sang ibu memilihkan sepatu untuknya.
"Kalau ibu yang pilihkan, pasti bagus!"
Tak sanggup berkata-kata, Mentari mengangguk mengusap puncak kepala Abiyyu. Ia mengambil sepatu berwarna hitam berikut dengan kaus kakinya.
"Ini cocok buat anak ibu yang ganteng!"
Lelaki kecil itu mengangguk gembira.
"Abi suka?"
"Suka, Bu!"
"Baik, kita beli yang ini ya, Nak?"
Setelah membayar keduanya keluar meninggalkan toko sepatu tersebut. Namun, tepat di pintu saat mereka hendak keluar, mereka hampir saja bertabrakan dengan seorang pria berkaus biru gelap dengan celana denim senada.
"Maaf!" ucap pria berkacamata hitam itu. Mentari hanya mengangguk tanpa menatap, segera ia mengeratkan genggaman tangannya ke Abiyyu mengajak sang putra pulang.
***
TBC
Bagaimana, kurang sedih? Aku emang dasarnya cengeng sih ya. Jadi kek gini aja udah bikin aku mewek 🙈
Btw Jan lupa vote and komentar jika teman-teman suka. Typo colek aja yaa.
Open PO yaa, siapa yang ngikutin kisah ini? Yuk lah, kepoin perjalanan cinta Aryo Bella. Akan puas baca novelnya Insya Allah.
Btw terima kasih buat yg udah ikutan PO. Buat yang belum, kuy wa ke no 081349460451 yaa. Aku tunggu 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top