Luka
Meski berat, tetapi Mentari tidak punya pilihan lain. Melihat binar mata sang putra saat tahu dia akan diantar ayahnya membuat hati Mentari menghangat.
Saat sarapan antara Ayah dan anak itu terlihat sangat bahagia. Sesekali Abi manja meminta Raka menyuapinya. Dengan sabar, pria itu menuruti apa yang diinginkan putranya.
"Abi kan berangkat sama Ayah ke sekolah nanti. Ibu berangkat ke rumah Bu Vina ya. Nanti kalau pulang ...."
"Biar aku yang jemput, Abi," ucap Raka memotong ucapan Mentari.
"Benar, Yah? Ayah mau jemput Abi pulang sekolah nanti?" tanya putranya antusias.
"Benar dong! Nanti Abi mau Ayah ajak ke Time Zone, mau?"
"Time Zone itu apa, Yah?" tanya Abiyyu polos.
"Time Zone itu tempat berbagai macam permainan. Abi pasti suka!"
"Abi pulang sekolah harus pulang. Aku tidak mengizinkan dia ke tempat seperti itu!" potong Tari tegas.
"Tari ... hanya hari ini saja. Lagipula aku ingin ...."
"Ibu, boleh ya. Hari ini saja, biar Abi bisa merasakan kayak cerita teman-teman Abi," mohonnya seraya meneguk air putih.
Tari bergeming, ekor matanya menangkap tatapan mata memohon dari Raka.
"Iya. Ibu izinkan."
Abiyyu bersorak gembira seraya mengucapkan terima kasih kepada ibunya.
"Baik, Ibu berangkat dulu ya. Eum ... semua buku jadwal pelajaran hari ini sudah dimasukkan ke tas, kan?"
"Sudah, Bu."
Seperti biasa, Abi selalu mencium punggung tangan Mentari ketika ia hendak berangkat bekerja. Pemandangan kehangatan yang tersaji di depan Raka membuat hati pria itu kembali seolah disayat. Betapa Abiyyu sangat menghormati dan sayang pada ibunya.
"Ibu."
"Ya, Abi?" Tari menoleh saat hendak meninggalkan ruang makan.
"Ibu nggak salaman sama Ayah? Kata Ibu kalau kita hendak pergi ke mana saja, kalau ada orang yang lebih tua maka harus berpamitan dan bersalaman," tutur Abi.
"Oh iya. Ibu lupa." Tari beralasan.
Dengan sedikit meninggalkan ego, Mentari mengulurkan tangannya ke Raka. Pria itu tersenyum menyambut. Tak ingin berlama-lama, segera Tari mencium punggung tangan Raka kemudian berkata lirih, "Jaga Abi. Assalamualaikum."
**
Tari baru saja selesai membersihkannya seluruh ruangan. Suasana rumah Bu Vina sepi siang itu. Menurut tukang kebun, mereka semua ke villa untuk mempersiapkan pesta setelah di hotel nanti.
"Enak ya jadi Mbak Sonia. Sudah cantik, baik punya karir bagus ... punya calon suami ganteng dan kaya pula!" celetuk salah satu rekannya yang biasa mengurus keperluan Sonia.
"Ya jelas, nggak usah mimpi kamu, Mila!" sergah Pak Dul pengurus taman disambut tawa oleh mereka bertiga.
"Mimpi bolehlah, Pak. Cuma mimpi aja loh," balasnya nyengir.
"Eh, Tari! Kamu tahu nggak calon suami Mbak Sonia?"
Mentari menggeleng seraya tersenyum.
"Kemarin aku lihat fotonya! Foto mereka berdua yang lagi apa itu namanya, Pak Dul? Yang mau menikah terus foto-foto itu?"
"Foto prewedding, Sari," jelas Mentari.
"Nah iya! Prewedding! Aku lihat fotonya. Haduh, jadi pingin nanti aku begitu juga sama Mas Rahmat!" ungkapnya dengan mata menerawang.
Melihat itu, Mentari tertawa kecil. Tiba-tiba dia teringat nama calon suami Sonia yang sama dengan Raka.
"Sari, kamu tahu siapa nama calon suami Mbak Sonia?"
Perempuan berpipi chubby itu mengangguk lalu menyebutkan sebuah nama yang membuat mata Mentari panas dan dadanya terasa sesak.
"Raka Samudera?" ulang Mentari mencoba meyakinkan pendengarannya.
"Iya, Tari. Namanya bagus ya?"
Mentari tak menyahut, angannya melayang mengingat putranya yang kini tengah bersama pria itu. Pria yang akan menikahi anak majikannya. Pria itu adalah suaminya.
"Tari kamu kenapa? Kok malah nangis? Ada apa, Tari?" tanya Mila kebingungan.
Sama halnya dengan Pak Dul, pria berperawakan kurus berkulit hitam yang telah memiliki dua anak beranjak dewasa itu juga tak kalah herannya.
"Kenapa, Tari?"
Seraya mengusap air mata, Tari menggeleng dan berkata, "Nggak apa-apa, kok."
"Nggak apa-apa, tapi kenapa kamu nangis?" Mila menyelidik.
"Kamu sakit?" Pak Dul terlihat khawatir.
Mentari membisu. Dia mencoba memahami keadaan yang bertubi-tubi menimpa. Mungkin Allah masih ingin mendengar rintihan pilunya setiap malam.
"Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
Demikian terngiang arti dari surah di Al-Qur'an yang seringkali menjadi obat saat dirinya merasa terpuruk.
Suara mobil berhenti diiringi dengan klakson menandakan bos mereka tiba. Segera ketiganya menyudahi obrolan siang itu.
**
Mentari menarik napas ketika melihat mobil Raka terparkir di depan rumahnya. Baru saja dia hendak masuk rumah, panggilan dari istri Ustaz Ahsan membuatnya mengurungkan diri dan segera menghampiri perempuan bijaksana itu.
"Iya, Bu?" tanyanya setelah dia dekat.
"Abiyyu bersama ayahnya?"
"Iya, Bu," sahutnya dengan wajah murung.
Bu Aminah adalah orang yang tahu kisah hidupnya. Tidak heran jika perempuan bisa ikut merasakan bagaimana perasaan Mentari.
"Ya sudah, kamu tetap bersikap baik ya, Tari. Walau bagaimanapun dia adalah Ayah dari anakmu."
"Iya, Bu," balasnya mencoba tersenyum.
Air mata Tari luruh begitu saja. Jika dia boleh memilih saat ini justru dia tak menginginkan pertemuan itu.
"Kamu kenapa, Tari?"
"Nggak, Bu. Saya pulang dulu ya, Bu."
"Tunggu, Ibu ada sedikit oleh-oleh untuk kalian!"
Bu Aminah masuk kemudian tak lama keluar membawa kantong plastik untuk diberikan kepada Mentari.
"Kamu sabar ya, Tari. Ibu lihat Abi sangat bahagia tadi."
Mentari mengangguk lalu berpamitan setelah mengucapkan terima kasih.
Langkah Mentari terhenti saat mendengar obrolan Abinsan Raka dari dalam rumah.
"Ayah, kapan bisa tinggal di sini bersama ibu dan Abi?"
"Secepatnya Ayah akan tinggal bersama kalian. Abi berdoa ya, Nak!"
Lagi-lagi air mata Mentari jatuh. Ingin rasanya dia berteriak mengatakan bahwa pada Abiyyu bahwa ayahnya tidak akan pernah tinggal serumah dengan mereka. Ingin rasanya dia mengatakan bahwa dirinya telah sangat lelah dengan semua sikap yang dia tunjukkan.
"Iya, Ayah. Abi akan berdoa supaya kita bisa tinggal sama-sama," sahut Abi. Ada nada riang dalam ucapannya.
Mentari mengetuk pintu seraya mengucap salam yang dijawab oleh mereka berdua. Kedatangannya disambut oleh cerita Abiyyu. Bocah kecil itu terlihat sangat bahagia. Semua pengalamannya hari ini meluncur lancar dari mulutnya. Sesekali dia menoleh ke Raka meminta persetujuan atas semua yang dia ucapkan.
Mendengar semuanya, Tari mengulas senyum.
"Sudah hampir Maghrib, Abi. Mandi dan bersiap ke masjid dulu sana!" titah Tari.
"Iya, Bu. Ayah, Abi mandi dulu ya. Terima kasih sudah bikin Abi senang hari ini."
Raka mengusap puncak kepala putranya seraya mengangguk. Bocah itu lalu berlari ke dalam untuk mandi.
"Mas, sebaiknya Mas jangan sering-sering memanjakan Abi. Aku takut nanti dia terbiasa dengan kondisi itu."
Raka tersenyum.
"Sudah sewajarnya seorang Ayah memberikan kebahagiaan kepada anaknya, kan?"
"Aku tahu, tapi Mas akan segera menikah. Tentu bukan hal yang menyenangkan jika istri Mas nanti mengerti soal ini," tegas Tari.
Wajah Raka berubah muram.
"Mbak Sonia perempuan baik dari keluarga baik-baik yang setara dengan keluargamu, Mas. Jangan buat dia bersedih karena ini semua. Aku mohon, segera sudahi pernikahan kita. Ceraikan aku!"
Raka menatap Mentari lalu bertanya, "Kamu ...."
"Pulanglah, Mas! Terima kasih atas semua yang Mas beri. Percayalah, aku cukup kuat untuk melangkah berdua bersama Abi!"
Seolah tak ingin lagi mendengar penuturan Raka, perempuan berjilbab abu-abu itu bangkit menuju pintu.
"Pulang, Mas. Jangan ragu untuk melangkah meninggalkan masa lalumu. Masa depan yang baik sudah menanti. Selamat menempuh hidup baru." Suara Tari terdengar bergetar.
Raka bangkit mendekat masih menatap istrinya.
"Aku bekerja di rumah keluarga Mbak Sonia," jelasnya tanpa diminta.
"Sudah jelas, kan, Mas? Sekarang aku mohon Mas pulang. Jaga perasaan keluarga mereka terlebih perasaan Mbak Sonia. Karena mereka tentu tidak tinggal diam jika tahu siapa sebenarnya aku," ujarnya lagi dengan mata berkaca-kaca.
"Mentari!"
Raka meraih tubuh perempuan itu lalu mendekapnya, tetapi cepat Tari mengurai.
"Aku serius dengan permintaanku, Mas. Percayalah, aku ikhlas!"
**
Bu Aminah tersenyum saat Fatih memaksanya untuk mengonsumsi vitamin. Menurut putranya itu, dia harus sudah membiasakan minum vitamin juga susu untuk menguatkan tulang.
"Ibu tahu, Nak. Nanti Ibu pasti konsumsi nanti."
"Ibu ... jangan bandel!" tutur pria bermata teduh itu seraya mengulum senyum.
"Kamu dulu waktu masih kecil juga bandel," canda Bu Aminah diikuti tawa oleh Ustaz Ahsan.
"Jadi balas dendam nih?" Fatih duduk di samping ibunya.
Perempuan bergamis hitam itu mengusap puncak kepala putranya. Selepas Maghrib kemarin pria itu datang karena ada seminar di kota ini. Selain itu dia bersama beberapa rekannya bekerja sama dengan yayasan sosial di sini untuk mengadakan bakti sosial berupa sunatan massal.
"Bu."
"Iya?"
"Kalau ada anak-anak kecil laki-laki yang belum sunat, bisa diajak ikutan di acara Fatih, Bu. Ibu data aja, nanti Fatih dan tim akan tindaklanjuti," tuturnya seraya meneguk jahe hangat buatan ibunya.
Sejenak Bu Aminah berpikir kemudian berkata, "Ibu ada beberapa, Nak. Nanti Ibu tanya ke orang tua mereka. Termasuk Abiyyu, kan Bah? Bu Aminah menatap suaminya yang biasa dia panggil Abah.
"Hmm ... Ummi tanyakan dulu ke Mentari."
"Iya, Bah."
"Jadi ... rencananya siang ini Ibu mau bikin masakan apa buat Fatih?"
"Kamu mau apa?"
"Bu, risoles yang waktu acara Mbak Faizah itu ... enak! Ibu buatin ya buat Fatih. Kalau bisa nanti waktu acara sunatan massal, ada juga risoles itu."
Kening Bu Aminah berkerut.
"Kamu suka?"
"Suka. Buatan Ibu, kan? Fatih selalu suka apa pun yang Ibu buat."
Perempuan itu menggeleng.
"Itu buatan Mentari."
"Mentari? Siapa Mentari?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top