Abiyyu
"dan hanya kepada Tuhanmu -lah hendaknya kamu berharap"
Al Insyirah 8
***
Selepas subuh Mentari telah menyelesaikan beberapa kue buatannya. Hari ini ia akan berangkat lebih pagi ke rumah Bu Vina. Menurut majikannya itu, mulai hari ini persiapan pernikahan sudah mulai dilaksanakan. Meski puncak acara yang akan digelar di hotel tiga hari lagi. Mulai malam nanti akan dilaksanakan malam midodareni.
Midodareni disebut sebagai pangarip-arip, yang berarti malam menjelang hari pernikahan bagi kedua mempelai. Midodareni berasal dari kata widodari atau bidadari yang turun dari langit. Masyarakat Jawa yang memegang tradisi ini percaya, ini adalah malam saat bidadari mempercantik calon pengantin wanita supaya lebih elok.
Ia dipercaya bertanggung jawab atas semua keperluan dapur. Karena meskipun mereka telah mempercayakan kepada event organizer, tapi untuk perayaan di rumah, Bu Vina tetap ingin dia sendiri yang menjamu tetamu.
Setelah membuat sarapan, ia membangunkan Abiyyu untuk salat subuh.
"Abi, setelah mandi langsung sarapan ya, Nak. Ibu mau berangkat lebih pagi hari ini," tuturnya saat anak kecil itu melintas ke kamar mandi.
"Iya, Bu. Bu ... hari ini apa Abiyyu ikut menunggu di rumah Bu Vina seperti biasa?"
"Memangnya kenapa, Abi?"
"Eum ... Abi boleh tunggu ibu di rumah Ustadz Ahsan saja boleh?"
Mentari mengangguk setuju. Anak lelakinya itu bersorak kemudian masuk ke kamar mandi.
***
Suasana rumah besar itu tampak ramai. Ada beberapa pekerja yang mulai memasang tenda berukuran besar berwarna kuning gading dengan pita menjuntai berwarna emas. Sangat cantik. Beberapa mobil tampak berjajar di halaman.
Ia sudah duga, pesta pernikahan putri majikannya pasti akan berlangsung meriah. Hal itu wajar sebab mereka dari golongan orang berada. Terlebih baru-baru ini suami Bu Vina mencalonkan diri sebagai anggota dewan. Tentu akan semakin banyak kolega mereka.
"Tari! Kenapa berdiri aja di situ. Ayo cepat, ke gudang. Piring juga perlengkapan prasmanan dikeluarkan," teguran Bu Vina membuyarkan lamunannya. Dengan senyum sopan ia bergegas melakukan perintah sang majikan. Pelan-pelan ia mengeluarkan piring dan perlengkapan pesta lainnya.
Suasana semarak itu tentu saja berbanding terbalik dengan saat ia menikah dulu. Semua serba tergesa dan bahkan tak ada nilai sakral yang terasa. Ada segumpal rindu tebersit di hati manakala menyaksikan kebahagiaan Bu Vina, ibu calon mempelai. Kebahagiaan yang tak pernah ia berikan pada ibunya hingga hari ini.
"Eh denger-denger mas kawin untuk Mbak Sonia mobil terbaru keluaran Eropa ya, Rin!"
"Seriusan?"
"Iya, tapi nggak heran sih aku! Kamu tahu kan siapa Raka! Dia satu-satunya pewaris bisnis real estate papanya!"
"Ganteng nggak?"
"Tuh nanti kalau foto prewedding mereka udah dipasang, kamu liat sendiri deh!"
Tari menajamkan pendengarannya saat mencuci setumpuk piring yang baru saja keluar dari gudang. Kedua gadis yang masih ada hubungan kerabat dengan Bu Vina itu asik mengobrol tak jauh dari tempatnya.
Mendengar nama Raka disebut, hampir saja ia menjatuhkan satu piring dari tangannya. Nama yang hingga kini masih terukir indah di hatinya. Nama yang pernah membuat dirinya bahagia dan merasa dicintai. Berbagai pikiran muncul di benak. Ia mulai bertanya-tanya dan mengira-ngira tentang calon suami Sonia.
'Ah, mungkin hanya nama saja yang sama. Nama itu bukan hanya milik Mas Raka ... tapi ...."
Panggilan Sonia membuyarkan angannya. Gadis semampai itu memerintahnya untuk membuatkan minuman dingin.
"Nanti antar ke kamar ya, Tari!"
"Iya, Mbak Sonia."
Empat gelas ice lemon tea ia bawa menuju kamar Sonia.
"Masuk, Tari!"
Ada tiga tamu perempuan di sana. Mereka tengah membicarakan konsep malam nanti. Aroma melati dan sedap malam menyeruak di ruangan itu. Ia tersenyum simpul mengingat Raka pernah memberikan untaian bunga melati untuknya waktu itu.
"Silakan, Mbak."
"Oke, makasih, Tari. Kamu bisa balik ke belakang," sambut gadis berambut cokelat itu.
Tari mengurungkan langkah untuk kembali ke belakang, teringat obrolan dua gadis yang ia dengar tadi. Sejenak ia melongok ke bagian depan, berharap dirinya bisa melihat wajah sang mempelai pria di foto yang dipajang. Namun, panggilan dari Bu Vina membuatnya kembali ke dapur.
"Sebentar lagi Abiyyu pulang sekolah, 'kan? Sebaiknya kamu jemput dulu dia."
"Baik, Bu. Oh iya, nanti saya agak sedikit terlambat kembali ke sini, sebab harus mengantar Abi pulang, Bu," pamitnya.
Mentari menjelaskan bahwa anaknya itu ingin menunggu di rumah saja. Sang majikan mengangguk paham.
***
Sekolah sudah mulai sepi, si kecil Abiyyu menunggu kedatangan ibunya di bawah pohon sambil sesekali meminum air putih yang sisa sedikit di botol.
Tak jauh dari tempat ia duduk, tampak sebuah mobil berhenti. Seorang pria di dalamnya sedang mengamati.
"Abiyyu!" panggil Tari seraya melambaikan tangan memberi isyarat agar anak kecil itu mendekat. Seperti biasa, ia akan berlari menyongsong kedatangan sang ibu dengan binar mata bahagia.
"Sudah lama menunggu, Nak?"
Abi mengangguk.
"Maaf, ban sepedanya bocor. Jadi ibu harus mencari tukang tambal ban dulu tadi. Maaf ya, Sayang."
"Nggak apa-apa, Bu."
Tari tersenyum, bocah itu membonceng di belakang.
"Sudah siap?"
"Sudah, Ibu."
Mentari mengayuh sepeda mengantar putranya pulang. Pria di dalam mobil itu memejamkan mata menahan air mata.
"Tari ... dia Abiyyu anakku? Kamu memberikan nama itu untuknya?" gumamnya.
Pelan tanpa mereka berdua sadari, mobil yang sejak tadi berhenti itu mengikuti mereka.
***
Selesai menemani Abi ganti baju dan makan siang.
"Abi, ibu hanya mengizinkan Abi ke rumah Ustadz Ahsan saja. Jangan ke mana-mana ya, Nak. Kalau Abi mau tidur siang dulu, pintu dikunci ya."
"Iya, Bu. Abi nanti sekalian bawa baju ngaji ya, Bu."
Tari tersenyum mengangguk lalu mengusap pipi lelaki kecilnya itu.
"Ibu kerja dulu ya, Nak."
Tari kembali ke rumah Bu Vina. Sepeninggal ibunya, Abi berkemas untuk ke rumah Ustadz Ahsan yang tak jauh dari tempat mereka. Ketukan pintu membuatnya menghentikan aktivitas. Teringat pesan sang ibu, ia tak diperbolehkan membuka pintu untuk siapapun kecuali orang yang benar-benar dikenal ibunya.
"Siapa?" tanyanya melongok dari jendela. Sesosok pria berkacamata hitam tersenyum padanya.
"Abiyyu? Bisa buka pintunya?"
"Om siapa?"
Pria itu terdiam lalu menarik napas panjang.
"Kita bisa bicara berdua?"
Abiyyu menggeleng cepat. Ia mengatakan bahwa ibunya tidak memperbolehkan membuka pinta atau bercakap-cakap dengan orang asing.
"Oke, boleh kita salaman aja?" Lagi-lagi Abi menggeleng.
"Om siapa? Om mau pesan kue? Ibu Abi jago bikin kue, enak loh. Nanti aja Om ke sini lagi. Sekarang ibu masih kerja," jelasnya masih dari jendela.
Terlihat mata pria itu berkabut.
"Ibu Abiyyu memang jago. Om tahu."
"Om, Om tahu dari mana nama Abiyyu? Om sudah kenal sama ibu? Tapi kenapa ibu nggak pernah cerita ya?" cecarnya menatap polos pada pria itu.
"Oh, iya ... Om ini ...."
"Abiyyu? Ayo katanya mau ke rumah Ustadz Ahsan," panggil Bu Aminah yang telah berada di depan rumah Abiyyu.
"Iya, Umi.- demikian Abiyyu memanggil-Abi berkemas dulu!" Anak itu kembali menutup jendela.
"Maaf, saya permisi," pamit pria berkulit bersih itu pada Bu Aminah.
"Anda mencari Tari?"
"Nggak eh maksud saya, iya. Saya dengar dia pintar membuat kue."
Bu Aminah tersenyum. Perempuan itu menganjurkan agar ia kembali lagi ke sini selepas maghrib.
"Tari pulang agak malam, biasanya sore sudah pulang, tapi karena majikannya akan punya hajat, maka dia pulang telat hari ini."
Pria itu mengangguk kemudian kembali memohon diri. Ia kembali ke mobil membawa luka yang tersayat.
Flash back.
Raka bimbang, ia hampir putus asa saat ia tak memiliki pendapatan yang cukup untuk membiayai persalinan istrinya. Meski Tari masih hamil muda, ia merasa sudah saatnya menabung untuk biaya tersebut. Dalam kalut antara tetap memulung dan pergi mencari pendapatan lain, tiba-tiba tak sengaja ia bertemu Mira-mamanya. Ibu mana yang tega melihat anaknya yang terbiasa hidup enak harus mencari sampah plastik atau kardus untuk dijual kembali.
"Sebaiknya kamu pulang. Mama masih sanggup membiayai hidupmu!"
"Tapi, Ma ... Tari ...."
"Istrimu itu? Tinggalkan saja dia. Sementara kamu memperbaiki diri. Nanti jika sudah sukses, kamu bisa bawa dia pindah dari sana."
"Tapi Ma, Tari ...."
"Cukup! Mama nggak mau dengar nama gadis yang telah menjerumuskanmu itu! Ikut mama pulang!"
Bukan Raka tak berontak, tapi sejak itu ia selalu diikuti dua orang suruhan Mira untuk mengawasi putranya. Hingga Raka tak lagi bisa bertemu atau sekadar mengubungi via telepon. Semua akses ke istrinya dihapus oleh orang tua Raka.
***
Sejak itulah, Raka tak pernah kembali. Ia dikirim orang tuanya ke luar negeri untuk menyelesaikan kuliahnya hingga lulus. Saat ia menginjakkan kaki di tanah air, pertama yang ia datangi adalah rumah kontrakan mereka dulu.
Namun, ia harus menelan kecewa, rumah itu tak lagi dihuni Mentari. Sang pemilik rumah pun tak tahu ke mana istrinya pergi.
Ia tak putus asa, berbagai cara ia mencoba mencari istrinya, tapi sia-sia. Pun demikian saat dirinya ke rumah orang tua Tari, ia juga tak bertemu dengan mertuanya itu.
Menurut tetangganya, sudah lama orang tua Mentari pindah ke desa. Di situlah ia merasa kehilangan Mentari. Ia bahkan tak tahu desa tempat tinggal mertuanya. Mentari hilang tak berjejak.
Hingga akhirnya, tak sengaja ia hampir bertabrakan di toko sepatu dengan sosok yang menurutnya mirip Mentari meski kini wanita itu menutupi rambut indahnya dengan jilbab.
Sejak waktu itu, ia menguntit berharap bahwa wanita itu benar-benar sosok wanita yang ia rindukan. Ternyata dugaannya benar, wanita itu adalah Mentari istrinya, tapi ia belum punya nyali untuk bertemu.
Mobil Raka masih berada tak jauh dari kediaman Tari. Sedari tadi ia hanya mengawasi dari dalam rumah kecil itu. Gema azan magrib berkumandang, dari kejauhan ia melihat Abiyyu berlarian dengan teman-temannya menuju mesjid. Kali ini ia tak dapat menahan emosi, ada titik air mata di sudut matanya.
"Tari ... maafkan aku ...." desisnya.
***
TBC
Masih suka?
Kasi bintang yaa. Komentar ciamikk ditunggu 💙
Colek jika typo yaa 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top