Pertanyaan yang berat, Briyan bertanya bagaimana jika suatu saat dia berjumpa Aryo? Dia sendiri tak tau harus bagaimana, munafik seseorang jika mengatakan cinta pertama masa lalu bisa hilang dalam kurun waktu yang sebentar. Wanita itu perasaannya sangat halus, dia makhluk yang paling rumit dan susah dimengerti, kembali ke pertanyaan Briyan, bagaimana jika mereka bertemu? Apa lagi? Aryo bukan lagi miliknya, kisah cinta dan rumah tangga mereka hanya akan menjadi dongeng dan dibawa sampai mati.

"Sri?" Briyan memegang bahu Sri yang asik memandang ke luar jendela. Wanita itu tergagap, lalu buru-buru menyodorkan jas yang sudah rapi itu pada Biyan.

"Ada yang menganggumu?"

"Tidak," sahut Sri menggeleng, dia membantu memasangkan jas itu ke tubuh Briyan.

"Aku pulang telat malam ini, kau mau dibelikan sesuatu?"

Sri kembali menggeleng.

"Baiklah, kalau begitu untuk Nadhira saja, aku pergi," kata Briyan mengecup kening Sri. Sri mengantar Briyan sampai pintu keluar, dia kembali masuk ke rumah setelah mobil Briyan menjauh dari pekarangan.

Sri tau, Briyan laki-laki sangat baik, pria tulus yang begitu sabar menerima keadaannya, bahkan sabar menunggu ucapan cinta darinya. Jika tak ada Briyan, mungkin dia masih berkubang dengan kesepian dan kesakitan masa lalu yang tak kunjung sembuh.

Akan tetapi bagaimana pun, hati kecil seorang wanita tak bisa dipaksa, dia masih berusaha membuka hatinya, dan memupuk rasa cinta untuk Briyan.

***

"Capek, Mas?" Brenda muncul setelah meletakkan hatinya di box.

"Lumayan," sahut Aryo.

"Wajah Masa terlihat gundah, " pancing Brenda. Tangannya gesit mengambil sepatu Aryo dan meletakkan di atas rak sepatu.

"Nanti Mas akan cerita sama kamu."

"Baiklah, Mas mau makan atau mandi dulu?"

"Aku mandi dulu," sahut Aryo bangkit dari duduknya.

Brenda mengangguk, Aryo, suami yang sangat dicintainya, pasti telah melalui masa yang begitu sulit hari ini. Brenda tak ingin memaksa Aryo, dia tau betul Aryo laki-laki yang bijak, yang akan mengatakan apa yang layak dan berhak untuk didengar istrinya.