9

Sri menutup pintu kembali. Dia, Mbak Susi, yang tinggal bersebelahan dengannya, baru saja bertandang ke rumah. Susi wanita yang ramah dan bersahabat, bahkan Nadhira pun, merasa nyaman saat digendong janda tanpa anak satu itu.

Hari ini, Sri akan menjalani tes masuk kerja. Terkadang dunia ini aneh, pekerjaan yang akan digelutinya hanya sebatas bersih-bersih. Tak jauh-jauh dari sapu dan kain pel. Tapi, prosedurnya tetap saja berjalan seperti bekerja kantoran. Sri berfikir, hanya perlu menjalani saja, dia butuh pekerjaan agar bisa menghidupi dirinya dan Nadhira.

Susi menawarkan diri untuk menjaga Nadhira sampai tes Sri selesai. Walaupun ragu, namun melihat Nadhira cukup nyaman dengan Susi, akhirnya Sri memutuskan untuk menyetujui usulan tersebut. Dia tidak mungkin membawa anaknya untuk ikut saat tes akan dilakukan.

Beberapa menit kemudian Sri sudah sampai di restoran cepat saji itu. Ternyata dia tidak sendirian. Ada puluhan orang yang didominasi oleh wanita, tengah duduk di kursi antrian. Sama, memakai seragam hitam putih juga.

Sri tidak tertarik untuk berkenalan, beberapa pasang mata tampak melihatnya penasaran, namun tak berani bertanya lebih jauh.

Dua jam menunggu, nama Sri dipanggil. Dia bergegas ke ruangan yang digunakan untuk tes wawancara.

Ada dua orang di sana, laki-laki bertubuh gempal, dengan papan nama bertuliskan Triyono, dan satu lagi wanita kurus dan juga terlihat sudah berumur.

Triyono sempat mematut Sri dari atas sampai ke bawah, sebelum mempersilakan wanita cantik itu untuk duduk.

"Hmmm ... Langsung saja, anda melamar untuk bekerja sebagai cleaning service. Apa alasan kami supaya menerima anda," tutur wanita kurus itu, mata kecilnya terlihat kejam dan tanpa ampun. Namun, dia terlihat sudah mulai lelah.

"Saya memiliki keahlian, dalam menggunakan sapu dan kain pel."

Pria gempal bernama Triyono itu tergelak. Bahkan air ludahnya sempat muncrat, namun wanita kurus di sampingnya memberi tatapan membunuh.

"Hmmm, begitu ya?"

"Saya rasa itu yang dibutuhkan untuk bekerja sebagai cleaning service," tambah Sri.

"Kenapa kamu tidak melamar pada bagian lain, jadi koki misalnya," Triyono mengeluarkan suara. Namun, matanya masih lekat memandang pada tubuh Sri dengan pandangan menerawang, sehingga Sri merasa risih.

"Saya tidak begitu pintar memasak. Lagi pula, untuk menjadi koki, bukankah seseorang harus memiliki sertifikat khusus."

"Jawaban pintar," Triyono mengangguk.

"Baiklah! Kamu diterima, tapi ada beberapa hal yang harus kamu ketahui. Pertama, menjalankan disiplin sepenuhnya, datang jam enam pagi dan pulang jam enam sore, tidak boleh terlambat. Saat restoran mulai buka, ruangan harus dalam keadaan bersih dan wangi. Untuk hal- hal khusus akan ada yang menerangkan pada kamu."

"Saya mengerti."

"Besok kamu mulai bekerja, untuk perdana, pakai seragam hitam putih dulu. Setelah satu bulan baru kami akan memberikan seragam. Sejauh ini jelas?"

"Jelas, Bu."

"Ada pertanyaan?"

Sri diam sejenak, tatap datarnya lurus menatap tepat pada mata wanita di depannya.

"Bolehkah saya membawa bayi saya bekerja?"

Wanita kurus bermata kecil itu melebarkan matanya secara paksa. Menurutnya pertanyaan Sri terdengar konyol.

***

"Lalu bagaimana?" tanya Susi yang tengah berada di kossan Sri. Nadhira sudah tidur lebih awal.

Sri menggeleng lalu mengangkat bahunya.

"Dia diam saja. Tanpa menjawab, dia menyuruhku keluar."

"Mungkin dia keberatan jika kamu kerja bawa anak."

Sri mengela nafas. Lalu mengusap pipi Nadhira. Mencium kening anaknya itu sekilas.

"Aku tidak sanggup untuk meninggalkannya, sementara jam kerjaku hampir dua belas jam. Aku tak ingin lagi berjauhan dengannya. Cukup sudah aku mengabaikannya selama ini." Sri berusaha menghalau air mata yang mulai menganak di pelupuk matanya.

"Kau benar. Anak adalah segalanya, kita bekerja untuk anak, jika anak menjadi korban, bukankah kita dikatakan ibu yang zalim."

"Mbak benar."

"Lalu bagaimana keputusanmu."

"Aku pasrah aja, Mbak. Kalau nggak diizinkan, aku akan cari kerja lain, mungkin cuci gosok di rumah orang. Yang penting bisa makan, dan bayar kos."

Susi termenung. Memandang Sri iba. Sungguh! Wanita satu anak itu terlalu muda. Namun gurat lelah di wajahnya menandakan bahwa dia telah melalui masa-masa yang sulit. Namun, Susi tak ingin bertanya lebih jauh, mereka baru kenal dua hari. Tidak mungkin dia mengorek kehidupan pribadi Sri.

"Makasih, ya, Mbak. Telah jaga Nadhira."

"Sama-sama. Aku senang sama Nadhira. Kalau kamu butuh bantuan untuk menjaga dia, aku bersedia kok."

Sri tersenyum.

"Makasih, Mbak. Tapi saya tak ingin membebani Mbak. Karena mbak kan kerja juga."

Susi tersenyum.

"Kalau ada apa-apa, jangan sungkan minta bantuan padaku, ya!"

"Iya, Mbak."

***

Briyan melonggarkan dasinya, lalu membuka kancing kemejanya. Seharian bergelut dengan pekerjaan, membuat dia butuh air hangat untuk relaksasi. Berendam sambil tidur sejenak di bathub terasa menggoda.

Dia baru saja sampai di Semarang, belum sempat dia beristirahat setelah mengendarai mobil cukup lama, daddy-nya menyuruhnya untuk langsung mensurvey cabang baru di kota itu.

Tak ada kata tidak untuk Hans. Briyan pun akhirnya memaksakan diri untuk mengunjungi restorannya. Besok, tempat usaha itu akan dibuka secara resmi. Akan banyak tamu undangan yang akan datang, dia harus memastikan semua persiapan sudah maksimal.

"Apa yang anda butuhkan tuan muda?" Seorang pria paruh baya datang kemudian.

"Buatkan aku kopi!"

"Baik, Tuan." Laki-laki itu berjalan ke arah dapur.

"Oh mata, bekerja samalah!" gumam Briyan putus asa. Banyak hal yang harus disiapkan malam ini.

Tiba-tiba handphonenya berdering. Briyan melempar kemejanya asal setelah mengambil handphonenya itu.

"Ada apa, Emma?"

"...."

"Lalu?"

"...."

"Apa keputusanmu?"

"...."

"Kalau begitu, kau saja yang menyapu dan membersihkan toilet." Suara Briyan menunggi.

"....."

"Panggil saja dia! Tidak ada lagi waktu untuk mencari cleaning service, kecuali kau berminat untuk posisi itu."

Klik. Sambungan diputuskan Briyan sepihak.

"Oh God," keluh Briyan. Tapi tetap saja tangannya meraih laptop dalam tasnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top